Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/
Koran, tempat lahirnya banyak cerita pendek di negeri ini, tampaknya tak ragu-ragu memuat cerita pendek dengan narasi yang memang pendek. Jika awalnya banyak menuai kritik, lantaran berbaur dengan realisme berita koran yang cepat dan jelas–seperti kritikan yang muncul dengan sebutan ‘sastra koran’ yang sinis beberapa tahun terakhir. Cerpen koran bagaimana pun telah menyita energi sebagian pemerhati sastra di tanah air. Ia sering dihakimi sebagai cerita yang melulu tunduk pada realisme berita. Dengan wataknya yang ringkas lagi pendek, cerita pendek yang dimuat di koran sering diadili sebagai cerita dengan bahasa yang sempoyongan. Jika tidak, maka cerita semacam itu dianggap sebagai cerita sekali jadi, berhenti pada cerita yang dianggap belum selesai. Cerita pendek di koran memang tak memberi ruang untuk mengembangkan cerita lebih jauh.
Para pemerhati sastra kita melulu disibukkan oleh hal-hal yang tidak mencerahkan. Sasaran cemoohan bukan lagi pada substansi dengan gaya dan bentuk cerita–seperti perdebatan tempo dulu—tapi pada media tempat cerita itu dimuat. Para kritikus sepuh yang dulu beramai-ramai mempersoalkan bentuk dan gaya, kini tengah mengidap insomnia yang parah. Para kritikus sastra yang lebih muda sering terjebak pengulangan, diksi yang itu-itu juga. Maka jadilah koran sebagai sasaran kegelisahan dan sering dipersoalkan. Maka tak heran jika kritik sastra kita jauh tertinggal dibanding kritik sastra Eropa. Di Eropa, sastrawan sekaliber Umberto Eco tanpa malu-malu menuangkan karyanya di koran-koran dan tak pernah kehilangan kualitas literernya. Maka lahirlah buku Travels in Hyper-Reality dan Misreading yang menghebohkan sastrawan dan intelektual. “Dalam setiap tulisan dimana terjadi pergolakan emosi yang disulut oleh peristiwa tertentu, demikian Eco, Anda menulis refleksi, berharap adanya seorang yang akan membacanya dan kemudian melupakannya. Saya tak percaya adanya perbedaan antara menulis di buku, dijurnal yang ketat, dengan menulis di koran”.
Lihatlah cerita pendek ‘semiesai’ Jorge Luis Borges—yang kebetulan memang narasinya pendek-pendek—meski mungkin tidak dimuat di koran-koran. Labirin cerita pendek Borges menawarkan sekian dimensi cerita, yang tidak sekedar berumit-rumit ria dan gagah-gagahan, seperti kebanyakan para cerpenis kita. Gaya (style) yang dibangun, dengan membaurkan kisah-kisah mistis penuh simbolik, memadukan gaya surealisme dengan realisme, cerita-cerita Borges justru menyajikan keindahan sekaligus kenikmatan.
Ini yang kemudian mengilhami Hasif Amini untuk merumuskan apa yang kemudian disebutnya sebagai fiksi mikro. Sebuah fiksi yang berupa ‘narasi pendek, yang hanya terdiri dari beberapa kata dan dipadatkan secara maksimal dan indah bagai sebuah teorema, bisa dinikmati dalam satu sesap kopi, dalam rentangan waktu habisnya sekeping koin di telepon umum, dalam rentang waktu yang tersedia pada sehelai kartu pos. Saat memulai adalah sekaligus saat mengakhiri, ketika ia hendak mengembang, saat itu juga ia mesti menguncup, saat hendak mengurai, sekaligus ia mesti memadat” (Prosa No.1/2002: 61-62). Kemudian, dalam menuju pencapaian literernya, ada tiga sihir yang biasa berlaku dalam fiksi mikro.
Pertama, sudut-pandang (provokatif). Fiksi mikro tidak bisa lain kecuali menawarkan perspektif yang segar, yang cerdas, yang gila, yang tak terduga. Ibarat berpapasan dengan orang asing yang tiba-tiba mengatakan sesuatu yang tak disangka-sangka. Masing-masing bisa asyik, dahsyat, tak terlupakan; atau take it or leave it! Kedua, imaji, yakni pemilihan dan pemadatan imaji merupakan taruhan dengan memori dan asosiasi: imaji yang kuat akan bertahan dalam ingatan dan merangsang lompatan imajinasi pembaca, seperti dalam haiuku atau koan Zen, di sana mesti ada kejernihan dan sekaligus teka-teki. Fiksi mikro tak punya banyak waktu untuk memerikan atau memaparkan, ia hanya bisa menyaran, atau menandaskan, atau memohok, hit and run. Ketiga, kata demi kata. Dalam fiksi mikro, ekonomi penulisan demikian mengemuka dan tak tertawar: setiap patah kata menjadi amat berharga dalam menyiapkan bangkitnya sebentuk narasi yang—betapapun sederhananya—kompak dan bernas, dimana prosa satu dengan puisi (Ibid., h. 62).
Satu hal yang membuat fiksi mikro tetap mendapat tempat dan sering, bahkan terlalu sering dirujuk orang, terletak pada kisahnya yang tidak sekedar bermain dengan bahasa dan estetika yang puitis, tapi tetap menyampaikan pesan yang kuat yang gaungnya sekian lama tetap terasa. Dalam prosa “Nukila Amal”, meski harus diakui, imaji dan estetika yang dibangun dalam cerita Cala Ibi begitu indah dan menyentak-nyentak, dan sangat jarang kita dapatkan dalam karya-sastra sebelumnya. Dan kita terperanjat ketika dia bilang: “realisme menyesaki yang nyata, penuh dengan kata-kata nyata, dengan bahasa yang menuding-nuding hidung realita, yang mestinya tak kasat mata tak terkira” (h. 73). Tapi, ketika substansi dicampakkan, cerpenis kawakan seperti Sapardi Djoko Damono tak mampu menagkap substansi dan pesan di dalamnya.
Berbeda dengan imaji yang dibangun Nukila Amal, Zen Hae tetap berpegang teguh pada alur realisme. Meski cerita realisme Zen sangat dekat dengan anjuran Nukila Amal: “sebaik-baik penceritaan realitas ialah dengan alegori dan metafora’, atau dalam istilahnya Zen sendiri; dengan perlambang atau simbolisme. Dalam cerpen “Taman Pemulung”, cerita mengalir bagai serpihan-serpihan puisi liris dengan gaya surealis yang kental. Cerpen “Rumah Jagal” misalnya, ceritanya mengalir layiknya sebuah esai—sebuah surat upaya. Damanhuri suatu ketika pernah mengajukan sebuah pertanyaan yang agak menyentak: apakah tokoh Mahmuda Tongga dan puisi yang dikutip Zen dalam cerpen ini memang ada dalam realitas faktual atau hanya sekedar kisah imajiner yang “direalitaskan”?
Pertanyaan cerdas itu menunjukkan sikapnya yang penuh ragu: jangan-jangan cerpen semacam itu sama sekali tak ada hubungan dengan realitas faktual—dalam arti benar-benar pernah ada penyair Mahmuda Tongga dan puisi semacam itu. Mahmuda Tongga dan puisi yang dijadikan setting cerita di atas barangkali semacam upaya membuat seolah-olah realitas faktual, padahal hanya sebuah imajinasi si pencerita.
Dengan tetap yakin bahwa cerita-cerita Zen Hae adalah cerita realisme, dalam arti realisme faktual, bagaimana pun realisme semacam itu tetap menarik. Kemampuannya membungkus realitas dalam bentuk metafor yang penuh perlambang, seperti menjelma dalam cerita Kereta Ungu dan Taman Pemulung, adalah kisah-kisah yang menjemput decak kagum para pembaca. Lihatlah kelincahannya mengisahkan orang-orang lajang, tak punya pekerjaan, tak dapat santunan negara akhirnya bergabung dalam gerakan bawah tanah yang menyokong pembangkangan terhadap pemerintah resmi dalam cerpen Kereta Ungu. Tema-tema pemberontakan, separatis, otonomi daerah, krisis ekonomi hingga militer berhamburan dan bersanding dengan tema-tema cinta, seks hingga tarian telanjang. Atau kegelisahan orang-orang kalah di Jakarta, perlakukan diskriminasi oleh negara atas etnis tertentu, sebuah refleksi yang menyentak naluri kita dalam cerpen Taman Pemulung. Sebuah tema yang kelak bisa kita jumpai juga dalam cerpen-cerpen Azhari.
Adapun A.S. Laksana cukup menonjol mengeksplorasi tema realisme dalam cerpen-cerpennya. Kumpulan cerpen Bidadari Yang Mengembara adalah satu contoh lagi dari capaian literer cerpen ‘koran’. Buku ini telah mengantarkan A.S. Laksana (36 tahun) dalam deretan cerpenis yang cukup berpengaruh. Sebuah karya realisme yang kental dengan kisah pergolakan kehidupan sosial-politik Indonesia dengan bahasa dan metafor cukup sederhana, bahkan terkesan datar. Mingguan Majalah Tempo mentahbis A.S. Laksana sebagai ‘tokoh seni terbaik tahun 2004. Untuk mengundang siapa di antara para seniman yang layak diangkat sebagai ‘tokoh’ tahun 2004, Majalah Tempo mengundang Nirwan Dewanto–kritikus sastra yang banyak dibenci oleh para penulis itu—sebagai juri tahbis sastra yang sangat kontroversi. Sebuah esai bertitimangsa “Tiga Penguak Tabir” dalam mingguan ini mengulas seni rupawan Handiwirman Saputra, cerpenis A.S. Laksana dan arsitek Adi Purnomo. Karya ketiganya masuk dalam kategori seni terbaik 2004 versi Majalah Tempo. Esai ini tanpa identitas, tapi melihat diksinya yang khas, dugaan kuat bahwa yang menulis esai ini adalah Nirwan.
Dua belas cerita pendek A.S. Laksana menurut si penulis esai, nampak terancang dengan baik, namun bukan sekedar rancangan untuk membina kesatuan cerita, melainkan untuk meneguhkan watak fiksi sebagai apa yang beririsan dengan fakta (realitas) namun tak pernah menjadi representasi yang sempurna. Karya Laksana menghidupkan kembali seni bercerita sekaligus mengandung sikap kritis terhadap bentuk cerita itu sendiri. Ketika kita merasa puas dengan pengalaman para tokoh, si narator menyadarkan kita bahwa semua itu hanya ingatan atau tuturannya yang boleh jadi keliru (h. 62-63). Sebuah penilaian yang sangat berlebihan. Cerpen Laksana agak dekat dengan cerita-cerita Linda Cristanty, yang kebetulan keduanya juga seorang jurnalis. Berkat Kuda Terbang Maria Pinto, Linda dinobatkan sebagai pemenang Khatulistiwa Literer Award tahun 2004 bersama Seno Gumira Ajidarma.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar