Suryanto Sastroatmodjo
http://sastra-indonesia.com/
1.
Sebelum mengakhiri buku pengembaraan panjangnya di Bali, K’tut Tantri dalam “Revolt in Paradise” (Revolusi di Nusa Damai) menulis sebagai berikut : “Di atas kota, bintang-bintang memancarkan cahayanya yang gemerlapan, dan aku teringat akan sebuah kisah di masa bocah, yang mengatakan : Mereka yang ingin memperoleh ketenangan, haruslah berani meninggalkan kesenangan dan harta dunia, dan pergi berkelana mencari tempat bintang suci. Kalau pencarian itu berakhir, maka bintang suci itu akan muncul dengan sendirinya di atas kepala. Tetapi yang dapat melihatnya hanyalah mereka yang telah banyak merelakan pengorbanan. Aku telah mengunjungi berbagai negeri untuk mencari bintang suci itu, tetapi tak pernah menemukannya. Bintang-bintang di atas kota New York bersinar dengan sejuk dan tenang. Adakah diantaranya terdapat bintang suci itu? Dan apakah dia akan muncul dengan sendirinya di hadapan mataku? Aku menyelidikinya dengan penuh harapan..”
2.
Cahaya berbinar mengikuti ufuk-induknya. Jikalau manusia mengejar seberkas sinar, dan bukan sekedar bayang-bayang di kesemestaan, sepatutnya dia mengejar juga nilai yang diwedarkan oleh sendratari agung semesta nan rampa-rancak itu. Kita misalnya memulai sebuah episode kehidupan dengan lantunan nurani sendiri—karena memang begitulah fitrahnya. Kesejatian pribadi, ibarat tembang yang bergema di angkasa, mengatasi warna-warna yang berpencaran. Dan di kala kita berusaha untuk merekamnya dalam indera kita yang terbaik, kita sudah mulai dengan langkah lugas. Cahaya bintang yang berada di atas diadem yang terbuat dari logam dan batu mulia, mungkin hanya terjadi, lantaran ada diejawantahkan oleh pengorbanan diri kita sendiri. Kehidupan terasa utuh, karena kita mau “basah kuyup” dan “jungkir balik” untuk menyelamatkan oranglain yang terinjak atau tersungkur.
3.
Kehidupan tak bisa ditakik-takik seperti perca atau karet cair. Namun demikian, manakala kita mengambil pelbagai perumpamaan seputar hidup, maka pertama-tama yang nampak adalah sebagai berikut : pertama, adakah manusia mengenal bentuk kesenggangan yang lain artinya daripada santai biasa, yang antara niat untuk menikmati saat-saat kosong itu bukan untuk sebuah hajat badaniah, melainkan sesuatu yang bermakna bakti. Kedua, tatkala seorang manusia menciptakan andalan-andalan dalam upaya mencapai prestasi gemilang, dia justru membentuk impian khusus yang bersifat dedikatif, bukan ambisi-ambisi kosong. Ketiga, kita memiliki “diri kita sendiri”, sebagai keabsahan nan tak tak terganggu oleh sifat-sifat sementara yang naïf. Manakala pembicaraan tentang martabat ini menjadi serangkum kepribadian, maka kitapun bisa mengaitkannya dengan krida yang lebih langgeng, lebih berkualitas.
4.
Kenalkah pada seseorang seperti Mahatma Gandhi dan Sri Ramakhrisna Paramahamsa yang pernah mewarnai alam pikiran India selama setengah abad berselang, dan membuat tiap mata menatap benua tersebut dengan rasa kagum bercampur khidmat? Pada Gandhi, kita melihagt bagaimana wajah politik sebagai kancah-juang dikawinkan dengan manis pada “olah brata” yang kita kenal di sini sebagai lampah kebatinan ini. Kombinasi yang tepat antara kedua unsur itu ternyata membuahkan kelompok-kelompok pendukung yang merasakan, bahwa Gandhi bukan hanya seorang yang memiliki sikap akurat, melainkan juga seorang yang lugas. Artinya, jikalau dia mencintai manusia, maka sebagai konsekuensi logisnya kudu membenci kebatilan-kedurjanaan, yang merupakan musuh kemanusiaan nomor wahid. Sedangkan pada Sri Ramakhrisna, kita temukan alam pertapaan India—seperti halnya dunia Timur pada zaman penuh kegelisahan—di mana tokoh ini memisahkan pemikiran pandangan, bagaimana kita perlu mempersembahkan kehidupan sama sekali pada Yang Maha Pengasih, tanpa alas pijak politik manapun, kecuali rasa agamawi nan terlembut. Cara begini, boleh jadi cocok dengan abad ke-19 yang lebih meminta kepasrahan sebagai totalitas, tanpa laternatif apapun. Sedangkan Gandhi, kreasi politiknya mengantar manusia pada perjuangan kongkrit, dengan mempergunakan senjata-senjata modern yang dimungkinkan, bahkan kalau perlu dengan kompromi pada system penjajahan. Tetapi, wujud juang Gandhi juga sudah kedaluwarsa.bkarena kita yang berada di abad ini, rupanya lebih suka mengorbankan hal-hal prinsipil, apalagi kemudahan dan kemungkinan hidup yang mengacu pada comforbalitydan enjoyment jadi lidah nan menderi-deru.
5.
Perjalanan gelombang tekad para Pandawa sendiri, tatkala memperebutkan Indra prastha dengan pihak Kurawa, bukan hanya lewat potensi pengerahan sesuatu nan putih belaka, kita lihat bagaimana diperlukan juga strategi juang yang meminta ketangguhan, sikap bijak, dan terkadang disertai sedikit agak keras. Dengan langkah seperti ini diinginkan agar masyarakat menjadi sesuatu yang komplit. Masalahnya, apakah kita perlu menggugat (kalau ada, dan perlu digugat : lembaga yang memiliki wibawa, ataukah sebuah guyub biasa?). atau, kudu menembus kebekuan-kebekuan yang dianggpa jadi perinta ng (kalau pikiran orang sudah sampai pada kegersangan yang membuat kita memandang oranglai sebagai lawan)—dan justru karena itu, tendensi kepahlawanan menjadi teramat lengkap, bahkan menguyupkan diri sendiri.
6.
Sarana yang dikehendaki oleh Abad Pemikiran Sekarang, lebih ditekankan pada sesuatu yang nampak, tergeyong-geyong, kendatipun banyak di antaranya adalah justru batu sanding bagi hidup yang tentram. Salah satu faktor penyebab, kenapa manusia mengalami goncangan, keretakan, dan kebimbangan yang berlebih-lebihan, adalah ini : tiadanya lagi rasa kepemimpinan murni. Boleh jadi, ungkapan begini tak enak untuk didengar. Namun demikian, saya pikir, tiap kelompok yang hadir di tengah gumelarnya kebudayaan, niscaya kepingin menam,pilkan sang pemimpin(dengan kadar yang paling positif menurut wawasan kelompok). Sampai-sampai ada yang dicetuskan sekolah bagi calon pemimpin bangsa (yang sebenarnya susah dirumuskan, apakah hal begini sifatnya yang luar biasa!). tatkala kita mendengar bahwa saran-saran yang tertuju kepada pembangunan watak angkatan muda, harus lebih banyak mendengarkan uluran tangan angkatan tua, terasa sedikit ganjalan (karena angkatan muda lantas hanyasebagai epigon yang tanpa inisiatif dan idealism sendiri)—dan dengan cara ini, kita merasa, betapa impian wangi yang musti diimpikan, juga impian wangi seluruh generasi.
7.
Bincang-bincang tentang mencapai harmoni, adalah ibaratnya bincang-bincang tentang keindahan rembulan di langit, sementara para bocah dolan yang dolanan di pelataran itu hanya menciptakan beberapa gambaran ideal tentang langit, makhluk langit, suasana langit, dan bukan tentang bagaimana menurunkan butir-butir bintang itu ke bumi, supaya hangatnya kulit meteor ruang angkasa itu dapat pula dirasakan oleh warga dunia yang banyak ingin tahu ini. Bincang-bincang tentang mencapai kebahagiaan yang selaras dengan alam yang “lebih tua”, agaknya tidak terbatas kepada siapa pemeluknya, siapa pencetusnya, siapa penggugah senandungnya. Masyarakat adalah produk dari sebuah kurun sejarah yang panjang, di mana di dalamnya terkandung berbagai sentra ketegaran peradaban. Masyarakat adalah sebuah hamparan amat kompleks, di mana satu sama lain anggotanya mencari kesetimbangan dalam geraknya (dan karena itu, rujukan yang tepat senantiasa dicari sepanjang masa)—dan dalam tilikan demikian, tidak dipersoalkan benar-salahnya. Adalah wajar, bahwasanya kembang dari hayat ini adalah tokoh yang mengabstrakkan kuntum falsafah melalui medium-medium yang diyakini. Walaupun beberapa di antaranya seperti pletik-pletik lintang terakhir di kumparan galaxy yang semayup pada nilakandi terjauh!
8.
Primanya kekuatan setiap bangsa adalah bagaimana dia ditelentang-telengkupkan menurut sendi-dasarnya sendiri. Mungkin juga, dalam istilah ini : menurut nada dan Pathet yang dimiliki oleh tiap metrum. Setiap budayawan, yang bukan hanya sibuk menuju bukit pertapaan, melainkan juga sibuk membangun kanal, bendungan, jembatan dan bengkel kerja bagi anak rakyat, barangkali lebih tepat dikatakan bukan hanya sibuk menjual asset bumi warisan ini sebagai atraksi bagi mata dan telinga orang luar, tetapi ikut ngopeni, nyengkuyung, mengayomi dan membela mati-matian khasanah kultural yang diemban negrinya ini, agar lebih awet-sejahtera. Kalau itu yang jadi soal, maka kita bisa dengan sadar mengatakan, bahwa ada saatnya sosok Gandhi yang realistis-fanatik bertemu dengan sosok Sri Ramakhrisna yang altrustik-religius dapat mengembalikan teduhnya suasana pagi-baru, walau tanpa rasa teduh yag panjang.
* Tanggungjawab posting atas PuJa [PUstaka puJAngga]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar