Jumat, 21 Oktober 2011

DARI DAN KE …

Bambang Kempling *
http://sastra-indonesia.com/

Mimpi masih berlanjut setelah itu.

Suatu perbincangan pada suatu sore masih saja mengiang di telinganya sepanjang hari yang dilalui kini. Apakah hal yang tampak selalu di depan mata, telah menjelmakan racun pada setiap lembut udara yang dihirupnya? Ataukah semacam tabir bagi kebanggaan jalan yang pernah dilalui?

Sore itu, selesai rintik hujan dan di barat matahari kuning keemasan hampir terhimpit di antara gedung-gedung tua tertiraikan pohon-pohon akasia, ketika sepasang kekasih duduk berhadapan di bawah tiang bendera yang menjulang di tengah lapangan rumput, ketika dia dan seorang temannya melintas di antara mereka tanpa begitu peduli, ketika mereka lalu menyapa,

“Hallo!!”

Ketika sapaan itu tak ada sahutan sama sekali. Ketika sang perempuan menyebulkan senyum kecil yang manis sekali, lalu bertanya pada sang kekasih:

“Kemana mereka?”

“Entah!” jawab sang kekasih.

Di perempatan jalan mereka berhenti, ketika seorang pengendara motor melambaikan tangan tanpa menoleh lalu mengencangkan laju motornya, ketika percakapan itu terjadi:

“Seekor nyamuk sekarat di atas sehelai kertas putih lantas mati. Begitu mengagumkan ia dalam mengakhiri kebebasannya dengan bermula dari kebahagiaan tanpa beban kelaparan. Tapi dengan begitu, mungkin dan bahkan sangat mungkin, ia justru sangat menderita karena tidak sempat menikmati keinginan-keinginan yang akan terjadi sesudahnya,” temannya mencoba membuka kebisuan.

“Hidup tidaklah sesederhana itu kawan. Adalah tidak salah kalau saya tiba-tiba memilih keputusan yang benar-benar menyakitkan, yaitu pulang. Tidak seperti nyamuk itu, sebab kami ternyata bukan kawan yang baik untuk mati bersama-sama. Kalau hal ini kau anggap menuju kematian? Tunggu dulu! Siapa sebenarnya yang telah merintis jalan itu bahkan cenderung untuk mempertahankannya?”

“Stop!! Saya hanya berbicara tentang nyamuk, bukan untuk berdebat tentang pilihan kita.”

“Apologi kuno!! aku berangkat.”

“Kita belum selesai bicara!”

“Kita tidak akan pernah bisa menyelesaikan pembicaraan! aku berangkat pulang!”

“Sudah kau pikirkan masak-masak?”

“Busyet! kita sehari-hari di sini terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mimpi-mimpi..”

“Tunggu dulu.., paling tidak dengarkan perkataanku kali ini!”

“Otakku capek.”

“Apa perlu kita saling berkabar?”

“Kita titipkan pada angin.”

“Itu klise!”

“Ya… pada embun.”

“Sama saja!”

“Kalau begitu tidak usah!”

“Adakah ini keberartian jalan?”

“Simpan kalimatmu untuk nama jalan ini?”

Masih di perempatan jalan itu, di bawah jajaran pohon palem yang menjulang, berpacu dengan matahari mereka berjabatan. Dia berjalan ke timur mengejar bayangannya yang meliuk-liuk di atas rerumputan sepanjang pinggir jalan.

Bagaikan sesosok tubuh tunggal, terasa ada yang hilang dari diri mereka yang lelah dengan harapan-harapan.

“Hai…! tidak kau ucapkan sepatahpun kata pepisahan?” teriak sang kawan.

“Kita bukanlah sepasang kekasih sobat!” jawabnya dari kejauhan dan akhirnya menghilang di kelokan.

Sang kawan berjalan ke utara menyusuri jalan sempit berlawanan dengan arah air sungai kecil yang mengalir di bawahnya.

“Kenapa pulang selalu menjadi masalah?” kalimat itu terulang bersekian juta kali di kepalanya, bagaikan kekhusukan dzikir sepanjang perjalanan beriringan dengan denyut nadi, langkah kakinya sendiri, langkah kaki orang-orang yang bersimpangan, guguran daun-daun sepanjang jalan, laju mobil angkutan, teriakan kenek-kenek bus, obrolan penumpang, sapa orang tuanya sesampainya di rumah, bantingan pintu kamar, ngorok tidurnya.

Pagi-pagi benar ketika bangun tidur, dia menyambut pagi dengan umpatan keras. “Bangsaaat…kubunuh kau!!”

Ibunya yang baru serekaat melaksanakan sholat subuh, membatalkan sholatnya, cepat-cepat menghampirinya. “Ada apa?” tanyanya.

“Cicak…”

“Kenapa dengan cicak?”

“Mukaku dikencingi!”

“Oh…alaaah, begitu saja kok mengumpat! Sana sholat! biar bening hatimu.”

Dengan berang dia beranjak dari kamar menuju kamar mandi, membasuh muka dan bagian-bagian tubuh yang layak tersiram air wudlu lalu segera pergi. Ibunya yang belum selesai sholat tak sempat bertanya.

Matahari sudah membentuk bayangan panjang bagi lalu lalang orang-orang di pasar. Keramaian yang sudah sejak tadi, sebagai satu tanda tentang harapan-harapan. Tapi dia bukanlah seperti kebanyakan dari mereka. Kemarahan yang iseng mengantarkannya ke salah satu toko mainan,“Pistol ini berapa?” tanyanya pada penjaga.

“Baru benah-benah Mas!” jawab perempuan penjaga.

“Busyet!! Pistol ini!!”

“Untuk adiknya?”

“Saya bertanya harganya!? Adapun ini nanti untuk saya atau nenek saya, itu bukan urusanmu! Yang penting saya beli! Titik!!” sahutnya kesal.

Wajah penjaga toko tiba-tiba pucat dan gemetar mendengarnya, segera ia memberikan mainan yang dikehendakinya sekaligus menunjukkan harganya. “Kok sekarang jadi gitu?” desisnya.

Bagaikan remaja belasan tahun dia mengendarai motornya, para tetangga yang kebetulan bangun pagi pada ngedumel lantas segera memasang tanda tanya dan tanda seru yang besar di atas kepalanya: “Ada apa?!” atau “Kok?!” Pengedumel-pengedumel itu serta-merta berkerumun untuk merumuskan tentang sebab dan musabab dari “Ada apa?!” dan “Kok?!”. Hasilnya, tidak lebih dari satu rumusan tanda tanya dan tanda seru yang semakin besar menindih setiap kepala mereka. “Nihil!” Celotehnya.

Sesampai di kamar, cicak di atap semakin banyak, bahkan ada yang asyik bercumbu. Dia segera mengeluarkan pistol mainannya, menembakinya satu persatu. Satu persatu cicak itu terjatuh: ada yang mengenai kepalanya, ada yang ekornya hingga putus dan seakan-akan hidup memisahkan diri dari induk tubuh, menjentik-njentik di lantai sementara sang induk tubuh terus melanjutkan kehidupannya. Tetapi dia tetap tidak akan memberikan hak untuk itu. Ketika dilihatnya ada sepasang yang bercumbu dia jadi tertawa sekeras-kerasnya,

“Ha…ha…ha… Keterlaluan..! Dan inilah ganjaran bagi yang tak tahu diri!!”

Tas!!

Tas!!

“Kena kau…! Mampus kau…!” teriak girangnya.

Di balik pintu kamar ibunya yang masih bermukena setelah menyelesaikan sholat dhuha mengelus dada, meneteskan air mata. “Apa ada yang salah dari doa saya?” tanyanya dalam hati.

Kabar tentang itu segera terdengar sampai di setiap sudut kampung. Peristiwa yang teramat ganjil dalam pikiran-pikiran sederhana mereka dengan santernya menjadi topik setiap pembicaraan di warung-warung, di toko-toko kelotong, di pasar-pasar, di jalan-jalan, di hampir semua tempat orang-orang biasa bergerombol termasuk di tempat ibadah. Sepanjang hari itu topik tidak pernah berubah bahkan cenderung berkembang menjadi pro dan kontra, dan masalah pro dan kontra ini di suatu warung kopi dua orang nyaris saling melempar cangkir kopi kalau tidak segera dilerai dengan geram oleh pemiliknya:

“Kalau berani saling melempar dengan cangkirku, maka kursi ini nanti akan kulempar ke kalian, biar sekalian hancur!!” bentak pemilik warung itu.

Sudah tiga hari dia tidak keluar kamar, kecuali untuk buang air kecil atau makan, lampu kamar dibiarkan menyala terang. Yang dilakukan selama itu kalau tidak ada cicak dia membaca, kalau tidak membaca ya menulis, kalau tidak membaca dan menulis dia bernyanyi keras atau berdeklamasi, kalau semuanya tidak dia tidur mendengkur.

Hari keempat dia mulai jenuh dengan rutinitas perang melawan cicak, maka diputuskannya untuk menempelkan foto-foto dirinya di dinding dan sudut kamar sebagai bidikan barunya. Tidak tanggung-tanggung kali ini senjatanya tidak dengan pistol mainan, tapi dengan senapan angin yang dimiliki. Mula-mula yang dibidik matanya kemudian jidat sampai seluruh bagian tubuhnya. Kalau tidak mengenai sasaran dia berteriak menyumpahi ketololannya.

Hari berikutnya, dia tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba mengamuk menghancurkan semua benda-benda dalam kamar, menyobeki semua buku-bukunya, menempelengi kepalanya , bernyanyi keras-keras, berdeklamasi keras-keras, dan menangis keras-keras.

Melihat keadaan yang dianggap ganjil, seluruh keluarganya berkumpul untuk membicarakan sikap dan tindakan yang tepat. Dan hasilnya segera mengirimnya ke rumah sakit jiwa.

Seminggu di rumah sakit jiwa dia lepas, pulang naik taxi. Di depan rumah dia berteriak keras, “Saya tidak gila! saya tidak butuh rumah sakit jiwa! tidak butuh dokter! yang saya butuhkan hanya kebebasan untuk menjalani pilihan hidup saya! Pilihan hidup yang didasari oleh kebebasan cara berpikir! Apakah kemudian dengan demikian lantas dengan enaknya kalian menempatkan saya pada ketidakmampuan akal sehatku untuk menjalani hidup? Percuma saya sekolah! Percuma saya belajar psikologi, sastra, dan filsafat! Kalau kemudian dengan pengabdianku kepada kehidupan yang baru kurintis terlalu cepat dianggap sinting! Tidak adakah bentuk penghargaan lain kecuali tuduhan yang tidak beradab ini? Hari ini saya pergi!”

Selesai mengucapkan itu, dia langsung pergi. Sementara sang supir taxi masih linglung, salah seorang dari keluarganya menanyakan tentang upahnya, setelah dibayar dalam kelinglungannya buru-buru tancap gas. Di perjalanan kembali bertemu dengan bekas penumpangnya tadi, karena takut ditumpangi lagi supir itu semakin tancap gas sampai laju taxinya tak terkendali dan di tikungan jalan nyelonong ke sebuah toko kelontong hingga ringsek, sedang sang supir luka parah. Banyak orang berkerumun, ketika dia sang bekas penumpang tadi lewat tidak menoleh sedikitpun.

“Sombong!! Takabur!! Sok..!!” bisik seseorang kepada seseorang yang kebetulan menyaksikan dia.

*

Tiga tahun sudah peristiwa itu terjadi, dan selama waktu itu, dia telah hampir menyinggahi seluruh kota di negri ini, menjalani hidup sebagai manusia kelas pinggiran, bermukim di rumah-rumah kardus bawah jembatan dan pinggiran jalan kumuh. Untuk makan dia mencari uang dengan mengais dan menjual barang-barang bekas yang dari gundukan sampah pinggir kota. Anehnya selama bermukim di setiap permukimannya, dia hanya dikenal oleh yang lain sebagai ‘entah’ dan mengenal yang lain pun dengan ‘entah’ saja.

“Kamu siapa dan dari mana?” suatu ketika salah seorang wanita bertanya kepadanya, langsung wanita itu diringkusnya lantas disetubuhi, anehnya wanita itu tidak berontak. Esoknya, tepat tengah malam dan bulan bundar terang menyinari perkampungan kardus itu, wanita itu dengan berkain sarung masuk ke rumah kardusnya, dia tidak terkejut dan langsung meringkusnya setelah mendengar pertanyaan yang sama. Begitulah yang terjadi di hari-hari berikutnya apabila wanita itu bertanya. Lama-lama pertanyaan itu sudah terlalu basi bagi bibir manisnya, tapi tetap saja diringkus bahkan sampai menjalani hidup selayaknya sebuah rumah tangga yang aneh dengan tanpa kata-kata. Percintaannya terjadi hanya dengan isyarat-isyarat. Dan dengan isyarat pula, ketika pada suatu pagi dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi sebelum wanita itu bangun, ditulisnya pesan singkat dengan arang di salah satu dinding kardus.

“lewat terang bulan yang menerobos di persinggahan ini

aku kabarkan pilar rahasia dari percintaan kita

pada langit terang bila tak ada hujan

luka dan tangis adalah sia-sia

sia-sia

pergiku adalah beruntai-untai kisah panjang

yang tak kan pernah terungkap

Akhirnya hanya pada angin aku bersimpuh.

Hanya pada angin.”

Semula wanita itu tidak terkejut melihat dia sudah tidak di sampingnya, tetapi keadaan menjadi lain ketika ditemuinya tulisan itu.

“Siapa yang kucintai ini?” desisnya, sambil mengusap air mata yang tiba-tiba berurai. Tangisnya semakin menjadi, semakin menjadi setiap dibacanya tulisan yang tepat dihadapannya. Seharian wanita itu menangis, seharian wanita itu membacanya.

*

Beberapa hari kemudian, di suatu tempat yang jauh, di sebuah warung kopi, dia seperti sedang menunggu seseorang. Para pengunjung warung kopi tampak sudah akrab sekali dengannya, sesekali mereka terlibat dalam kelakar dan basa-basi juga saling mengabarkan sesuatu. Seseorang dengan tubuh kerempeng sambil membawa buku tebal melongokkan wajah dari balik jendela, dengan tertawa ia menyambut kedatangannya, “Aku tadi dengar kalau kau datang, bagaimana pulangmu?” sambutnya.

“Busyet!” jawabnya.

November 2003
____________________
*) Bambang Kempling lahir di Lamongan, 17 April 1967 dengan nama lengkap Bambang Purnomo Setyo. Menyelesaikan Pendidikan terakhir di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP UMM tahun 1992. Semasa mahasiswa aktif di berbagai kegiatan berkesenian diantaranya Teater MELARAT, Kelompok Musik Seteman Ngobrol IQr.
Sekarang aktif di KOSTELA (KOMUNITAS SASTRA DAN TEATER LAMONGAN). Publikasi cerpen-cerpennya hanya terbatas di kalangan CANDRAKIRANA KOSTELA dan antologi cerpen pilihan “Pada Sebuah Alamat” oleh Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unisda Lamongan. Sedangkan untuk puisi-puisinya bisa ditemui di Antologi Tunggalnya KATA SEBUAH SAJAK 2002, Majalah Indupati, Antologi Bersama Teman-teman KOSTELA “Rebana Kesunyian”, “Imajinasi Nama”, Antologi bersama “Permohonan Hijau” yang diterbitkan oleh Festival Seni Surabaya tahun 2003, “Bulan Merayap” (DKL 2004), “Lanskap Telunjuk” (DKL 2004), “Duka Atjeh Duka Bersama (DKJT 2005), dan tabloit Telunjuk.
Baginya menulis adalah sebagai bentuk ‘dialog’ yang harus dilakukan. Bersama teman-teman KOSTELA, ia akan terus menulis sepanjang masih bermakna.
Alamat surat: KOSTELA, Jln Raya Karanggeneng No.107 Cuping, Madulegi, Sukodadi, Lamongan. Tlp. (0322) 393042. HP. 081 332 002 807

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi