Sabtu, 05 November 2011

Gema yang berpendar di kejauhan

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Ketika hari hampir gelap, dan senja hanya terlihat di tepi ufuk lembut yang bisu, sebelum kemudian tenggelam di balut kelam, seorang penyair muncul di sebuah podium untuk membacakan sajak-sajaknya. Sang penyair dikenal di negerinya sebagai sang otoritas yang tak terjangkau, suatu dewa eros yang terus bicara tapi tak mendengarkan. Sajak-sajaknya menampilkan monolog batin yang sok khusuk dan khidmat. Tetapi, di kalangan kritikus sastra ia dikenal sebagai seorang narsisme Hindu yang panjang umur. Hal itu terlihat pada kegemaran puisinya pada labirin.

Karena puisi-puisi labirinnya dianggap terlampau nenes dan cengeng, tak dapat tempat di hati kritikus. Akhirnya ia pun mengasingkan diri di sebuah tempat yang terpencil, dan tinggal di sebidang tanah lempang dekat sungai yang tak banyak riak. Suatu hari ia melewati sebuah jembatan kanal yang menghubungkan rumah barunya dengan kepenatan, sebuah perkampungan misterius yang dihuni orang-orang yang bergelut dengan perih. Kemudian ia bergegas pulang untuk menulis selarik kalimat sunyi berbunyi: “bertumpu pada penaku yang paling pribadi, aku bergerak perlahan, memasuki sebuah jembatan,yang kubayangkan tanpa mesin perasaan”.

Puisi lirik, karena itu, sebuah pergulatan dalam wilayah perasaan. Juga kepekaan pada situasi yang khusus. Sering kali tampil dengan suasana hati tanpa banyak cingcong. Maka, membaca puisi lirik ibarat melintasi jembatan perjalanan menuju tepi-tepi terakhir; tepi sebagai kegelisahan yang masih bersifat dicari-cari. Sebuah proses tak selesai. Atau sebuah tepi dari dunia hampa yang hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata yang minus suara, bahkan sering tanpa gema.

Sajak lirik ibarat sultan terakhir dari keraguan Hamlet. Si sultan yang kemudian hari memilih hidup sebagai pendurhaka, dan menulis secarik puisi yang saya baca pertama kali saat negeri kita sedang huru-hara: “izinkan aku bicara padamu, dengan kebisuan sebungkah batu”.

Begitulah yang dibayangkan ufuk dari pagi kemarin yang berpijar kembali dalam gema puitis di kejauhan. Makin lama kata-kata tampak bersayap kupu-kupu yang hanya bisa di cuaca. Kalimat-kalimat yang lembayung, yang bermain dalam dua aras tematis: gelap dan gumun.

Tatkala terbit puisi lirik Gema Secuil Batu, ufuk yang gelap dan gumun itu kian membungakan perasaan aku pembaca yang haus akan sesuatu yang puitis. Himpunan puisi ini menghadirkan suasana hati dengan nada dasar yang mendendangkan keparauan, juga kerisauan, juga ketidakpastian. Debar serta gemetar berseling kelakar, disertai debam lengang, seperti menyembul dari pengalaman katan—atau luka yang belum sampai histeria. Kata-kata seperti memiliki ekor yang bisa dipegang, bersosok dan berbentuk—bagaikan sebuah adegan-gerak-diam. Belum lagi dari segi ritme dan komposisi, warna yang ungu, seni rupa kurva, dan musik lirih. Ya, “penyair lirik adalah yang paling lama membaur dengan musisi, aktor dengan penari”, ucap Zarahustra dalam karya Nietzsche.

Puisi lirik mungkin seperti yang dimaui si pengarang Gema Secuil Batu: memberi kita semacam “dendang yang sebentar dan gelisah”. Gema Secuil Batu adalah pengalaman membaca karakter sensitif yang hidup dalam resah dan gelisah. Sangat klise memang. Namun pada yang klise rangkap banyak sekali pun, sering kita measakan gairah ritme dan komposisi yang menakjubkan. Aku lirik tak jarang justru mampu meyakinkan kita untuk ikut menghayati kembali sesuatu yang remeh dan sederhana: daun yang digoyang angin, gerimis, perdu, sulur, pohon, daun, sayap kupu-kupu, hujan, batu, parit dan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir mengikis tebing, biru laut yang lirik yang membentangkan layar yang bebas, ganggang, umang-umang, bunga karang, remah kerang, dan entah.

Iswadi menghadirkan khayal yang jauh, yang nyaris melumat dan mengikis-habis individunya sendiri. Seorang yang luka, atau menulis tentang pengalaman akan luka yang membentuk delta sungai mutiara dari endapan lumpur yang bertahun terabaikan. Amis darah yang meresap masuk bersama kenyataan bahwa: aku lirik tak pernah puas dengan hanya menulis yang diketahui. Sebab dunianya adalah yang sembunyi. Bahkan apa yang tak terpahamkan justru sesuatu yang memuaskan. Karena itu, jangan berharap sajak-sajaknya seperti novel yang bertanggungjawab, karena puisi lirik sifatnya “hanya sebuah kemungkinan dari kenyataan yang belum seluruhnya terjadi”, tulis Iswadi.

Pribadi sunyi Iswadi terasa hendak membaurkan lirik dengan tradisi epik yang tidak dipenting-pentingkan. Sebab puisi pada dasarnya cuma gema secuil batu, atau bunyi yang lain dari lirik Sitor dan Goenawan yang posesif. Di dalamnya kita disuguhkan sebuah keterpesonaan dan terhubungnya dunia pengalaman penyair dan pengalaman pembaca.

Beberapa sajak memunculkan suasana hening namun belum terbening. Saya katakan belum terbening karena Iswadi banyak menampilkan kata-kata sebagai elemen kediam-dirian. Beberapa sajaknya bahkan memiliki relasi estetik dengan Octavio Paz, khususnya tentang tradisi menulis dalam diam sebagai elemen-elemen bawah-sadar dari kebisuan, atau elemen-elemen yang tak terpikirkan; seperti memikirkan diri sendiri. Iswadi mungkin suka jika aku memaknai kembali kata-kata Octavio Paz: “kau berasal dari sunyi, Idan kepada sunyi kau kembali”.

Sajak-sajak Iswadi terasa menyamun asap dan kabut bahasa dengan kekayaan luka, atau kata yang menjelma semacam doa-diam yang meragukan realitas hampir tanpa batas dalam melakukan monolog batin. Sebuah akal kelajuan lain yang membentang suram di ufuk dini hari, kadang dengan permainan tegangan, sulawan, dan gejolak yang menembus-tembus dinding keharusan. Karena itu, tak mudah bagi saya menangkap gema dari sajak yang berayun antara lirik dan epik, sonata dan balada, fuga dan drama.

Memang, dari sekian elemen itu, betapa diam ingin jadi maqam menuju pendakian ke puncak pohon lotus terjauh. Dan seorang aktor ternama yang disukai Iswadi pernah mengatakan: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening, maka aku akan menikmatinya”. Kata-kata ini saya petik dari Stanislavski dalam Persiapan Seorang Aktor terjemahan sangat baik oleh Asrul Sani, terutama ketika menyinggung sifat silent soliloquy.

Tentu saja percakapan dengan diri sendiri lebih mudah dilakukan dalam puisi, ketimbang di atas panggung. Tapi monolog batin inilah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu yang naskahnya ditulis dan pertunjukannya disutradarai Iswadi sendiri. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa bulan lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi kriteria.

Iswadi cukup intim dalam mengungkai semesta batin di tengah cuaca yang bergayut mendung, suram. Tak Aku lirik seakan sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, atau pada apa yang oleh Ivan illich dan Goenawan Mohamad dinamakan: bergayut pada “seutas tali kebisuan”. Atau komunukasi dalam diam, dan menulis pun tampak “dalam diam”. Kediam-dirian inilah yang tak disangka-sangka akan melahirkan “sebuah kefasihan dari diam”—the eloquency of silence—kata Illich.

Monolog batin, kembali ke rumah sunyi, kefasihan dari diam, adalah kembali ke kewajaran, ketakbiasaan, yang disebabkan oleh pembesaran kata tunggal aku yang selama ini terdengar bertalu-talu. Kekuasaan aku lirik adalah gerak terakhir dari kebimbangan penyair. Sajak-sajaknya memunculkan bayang-bayang dari elegi Rilke, balada Garcia Lorca hingga simponi Bethoven, pencinta yang muram, penurunan dalam gravitasi Einstein sampai yang terendah, pendakian ke puncak menara keterasingan, berbaur-maur bersama gerak-komposisi puisi Sitor dan Goenawan.

Tidak harus dibaca sebagai pengaruh-mempengaruhi, sebab sudah lumrah jika ada kemiripan dan kedekatan antara satu sajak dan sajak lain dari penyair berbeda walau tak pernah jumpa dan saling terpaut. Tanpa harus mengamini semangat pasca-modernis tentang alusi, parodi, komidi, rekonstruksi, apropriasi, transformasi, intertektualitas.

Dan marilah kita beralih ke sesuatu yang lain, yang mungkin masih tersembunyi oleh hutan rimbun imaji. Apa yang Iswadi cari dengan puisi, tampaknya bukan sesuatu yang khas negeri ini. Iswadi mencari bukan ke-Lampung-an! Bahkan si penyair menulis elegi bukan zaman ini, menghadirkan puisi ironi dan parodi pada kelampauan yang jauh sekali. Agak aneh bahwa logat puisi Iswadi justru kental dengan Jawa ketimbang Lampung. Sajaknya “telah lama” sekali (mencuri judul puisi Sitor) bermain dalam wilayah lawa, antara ada dan tiada, atau expatriate kata Goenawan.

Iswadi masih menulis buah khuldi, sesuatu yang fitri dalam hidup ini, barangkali, yang sedang ia susuri di pantai-pantai pengharapan tempat balada-balada orang tercintanya Garcia Lorsa sampai Rendra dinyanyikan, atau pertempuran dan salju penghabisan di Paris-nya Sitor berlangsung. Sesekali muncul kilatan kata-kata sunyi yang mendekati gairah dengan ritme dan komposisi sajak Pastoral Goenawan yang melukiskan “arus yang menyisir batu, batu yang menahanmu” dengan komposisi musik untuk dua soprano dan kuartet gesek. Barangkali itulah gema yang sebentar, atau pendar di kejauhan untuk kemudian lenyap, dan diam adalah suatu maqam menuju Tuhan. Dan barangsiapa mengikuti pendirian kepenyairan Iswadi, akan tahu bahwa para sufi adalah bisu. Diam adalah cara kekasih Tuhan, karena Tuhan menyukai diam. Diam adalah gaya hidup para pujangga dan kebiasaan orang-orang tercinta. Diam adalah bagian intim dari hikmah kebijaksanaan. Dan diam adalah menggemaskan. Dan diam adalah: ”tersapih paling jauh dari komunikasi orang-ke-orang”.

Apa yang gemas, juga ganjil, dalam sajak-sajak gebalau nonsens Iswadi adalah watak pelarian dari “hidup yang jadi komoditas” (mencuri frase Goenawan) dan sering bikin gemas. Sebab si aku lirik ternyata masih juga merasa tidak menghiraukan sehelai regas daun kambas, harum pepohonan, butir embun, burung gereja. Untung saja Iswadi tak senekat Goenawan walau nyaris jadi kembar siamnya. Goenawan yang menulis ratusan puisi lirik dengan pelarian dan kediam-dirian yang sunyi, masih menganggap yang remeh-temeh sebagai “sederet rahmat”. Bahkan semua yang remeh dan sepele menurut kebanyakan orang, justru memberi getar pada hidup Goenawan tanpa banyak cingcong.

Iswadi seperti Goenawan yang tak henti-hentinya merasa bersalah dan meyakinkan kita pentingnya menulis tentang burung dan angin, rumput dan perdu. Iswadi ingin menerima apa saja yang wajar di dekat ambangnya. Karena, seperti kata Goenawan, “selama ini kita lupa dan tak pernah terkesima akan hal yang sesungguhnya dahsyat tapi tersisih; warna bulu burung yang menakjubkan itu, sepasang mati yang seperti merjan jernih itu, sayap-sayap yang serba-sanggup itu. Ternyata selama ini saya tak punya waktu buat tetek-bengek itu…saya hanya menyimak dan memakai hal-hal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Ada yang salah agaknya.”
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi