Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=586
Sebelum menyusuri puisi Nietzsche yang bertitel “Kesepian” dari buku “Malam Biru Di Berlin,” terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989. Terlebih dahulu, aku kan kembarai kesanku padanya.
Setidaknya aku punya dua buku karangannya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jilidannya telah rusak, yang aku rekatkan dengan memaku, tidak menggunakan lem perekat. Demikian kelakuanku pada buku-buku yang kerap kubaca sampai tercerai, aku benahi seperti tukang kursi; Sabda Zarathustra, Ecce Homo.
Sedang dua lainnya; Lahirnya Tragedi dan Senjakala Berlaha serta Anti Krist, hampir-hampir ludes, tetapi belum aku paku. Aku kira, dari empat bukunya diri ini terbebani, maka kan kucoba menanggalkan beratnya. Atau jangan-jangan kini terasa ringan, berjinjit pun jadi.
Nietzsche, insan paling bergairah yang pernah kutemui, jika tak pantas menyebutnya sangat bernafsu. Jiwanya meledak-ledak seakan di atas kobaran bara, tidak sebentar pun duduk tenang. Seumpama derasnya gelombang menghajar tanjung karang, nilai dikira orang mapan, ia sebut berhala-berhala.
Ia tak dapat ditaklukkan kecuali insaf sendiri, ombak selalu membaur menanggulangi kekeroposan, kelembekan diri; mental-mental mencipta kelayakan lalu, terserang badai keluputan digerusnya habis. Dirinya ingin senantisa waras, serupa timbangan tidak pernah berhenti bergoyang.
Aku yang pernah terinfeksi Zarathustra-nya hampir setahun, selebihnya mengawang, sewaktu di kontrakan Gedong Kuning Yogyakarta sampai kembali ke tanah kelahiran. Untung mendapati penyeimbang atas karya Ibnu Attaillah, bertitel Al-Hikam. Kalau takdirku tak perdalam ulang sambil menyusuri daerah terpencil Watucongol, Magelang, mungkin sudah tak normal seperti dirinya, yang ditimpakan banyak orang.
Friedrich Wilhelm Nietzsche (15 Oktober 1844 – 25 Agustus 1900) menyebut pribadinya bukan hantu, tapi bagiku dengan itu ingin menjelma hantu gentayangan melampau milenium di depan. Menjegal nilai-nilai semu pemanis buatan, mengolok-olok pengkhotbah bermodal gincu pun sorban. Ialah benar-benar hantu memiliki jasad utuh, selayaknya ajaran Karl Marx (1818–1883), yang menaungi kepala-kepala para pengikutnya.
Sejenis bisul di tubuh filsafat, pula di lapangan sastra manja grup. Ia mengetahui kemandekan nilai dielus-elus pengikutnya kian mengkilap, berdampak mengumpulnya darah kotor fikiran usang tak dapat difungsikan, otomatis pemberontakan datang:
Terbitlah Jean Paul Sartre (1905-1980), oleh kakek buyut perlawanan Voltaire (1694-1778). Di sebelahnya bermunculan para filsuf dan sastrawan kemayu, yang berperang dengan para pendatang beringas.
Nama Nietzsche termasuk sering disebut sebagai momok barangkali dirindu, apalagi tatkala berbicara soal “tuhan telah mati.” Bagiku karya yang berhasil sejenis Sabda Zarathustra, tak sekadar berkhotbah, menghasut, apalagi berindah-indah. Namun mampu menggerakkan organ lain menyusup ke balik jiwa pembaca, sampai batas-batas diinginkan dan diketahui.
Aku tersadar perkataan pelukis Picasso, dari ingatan Christian Zervos (1889-1970), bahwa “…tiada lebih berbahaya daripada keadilan di tangan para hakim dan kuas-kuas untuk melukiskan di tangan pelukis! Bayangkan saja bahayanya bagi masyarakat.”
Maka sungguh berbahaya kata-kata penyair pun filsuf disalah tafsirkan, apalagi sengaja dibengkokkan demi nafas kesia-siaan; membuat penilaian yang didasari kata-katanya semata, tidak dilandasi pergolakan sejarah di dalam kisaran pelakunya.
Kesetiaannya mengurbankan diri membekas tampak cekung pada batuan pualam kehidupan. Laksana letak bersilanya Pangeran Sambernyowo di atas ketinggian Gunung Gambar, yang di bawahnya jurang terlukis peta pergerakannya kabut konflik kota Surakarta.
Tabah mengerami sakit fisik pun psikis, dilarung ombak ke tengah samudra kebebasan memahami gelora hidup naik turun. Berharap unggul selapisan air tertinggi dekat cahaya surya, yang menghantarkan kapal menuju pantai makna. Selepas melayari teka-teki menyerat langkah lincah, pula di kedalaman jiwanya, terdapat pembaharuan terus-menerus.
Ketakpuasan rahim lautan, bersimpan ikan-ikan besar dan ribuan ikan kecil berlomba memakmurkan fikiran. Atau batu-batu bergolak di kedalaman gunung berapi demi diledakkan, jikalau purna kekangan rindu terdalam, hingga tercipta danau kemakmuran, membangkitkan bibit ditiupkan bayu perubahan.
Teks-teks bersenggama menghayati gejolak jaman, membawa pencerahan sejauh kemampuan sudah dicapai. Ini berkembang sedapat pengikutnya mampu memahami, menyusupi bebenang halus tak sekadar mengikat, namun juga menawan, lagi nikmat bagi lambung kemanusiaan. Dan marilah kita simak puisinya:
KESEPIAN
Friedrich Nietzsche
Burung-burung gagak berteriak
Dan terbang ke kota dengan mengumbang:
Salju akan turun segera-
Bahagialah dia yang kini masih -berkampung halaman!
Kini kau berdiri kaku,
Menengok ke belakang, ah! betapa lama sudah!
Mengapa kau yang tolol
Karena musim dingin ke dunia -larikan diri?
Dunia itu pintu gerbang
Ke seribu gurun bisu dan dingin!
Yang kehilangan,
Yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.
Kini kau berdiri pucat,
Terkutuk untuk ngembarai musim salju,
Bagaikan asap,
Yang mencari langit yang lebih dingin selalu.
Terbanglah, burung, berkoak
Lagumu dalam nada-burung-gurun!-
Umpetkanlah, kau yang tolol itu,
Hatimu yang berdarah di dalam es dan ejekan!
Burung-burung gagak berteriak
Dan terbang ke kota dengan mengumbang:
Salju akan turun segera
Celakalah dia yang tak berkampung halaman!
***
Kini izinkan diriku menafsirinya, sadaplah penuh gairah:
I
Kesepian meluncur beringas, menderas. Gema suaranya terpendam dalam, mendobrak, mengaduk ruang angkasa bersegenap kandungan diuntahkan keluar. Kesunyian tradisi tertimbun masa-masa berlesatan. Mulai bergerak menolak yang membebani selama ini. Jiwa terus bergolak, bayang-bayang suram menguntit dari belakang; sejarah bersegala kenangan diruapinya, bagaikan abu memberkah ditaburkan.
Atau dari pedalaman purba menuju kota sesak suara masing-masing, hingga tak mampu membedakan. Di sana hawa dingin terkucil, dihimpit-hincit kebisuan terbungkam keganjilan tidak sepadang yang dirasai di tengah jalan. Ia merindu berkeringat menggigil, kilatan cahaya silam menyodok dadanya, terkepak kembali sayap-sayapnya berkembang mendapati sang surya:
Merekah memenuhi detak jantung dalam tabung rencana. Terdedah ingatan ke tanah-tanah menerbangkan debu, batu-batu menunggu waktu kesendirian pilu. Padanya ia serahkan segenap kemampaun berbalik mencium hawa sedap malam. Siang menerawang putih, dalam pekat peroleh yang abadi, yakni keyakinan.
II
Pemberontakan hadir dari kelambanan, terbodohi lupa menguliti nasib. Lalu kesadaran menegak, bayu berbondong kekuatan, selepas menyusup melalui lubang pori-pori. Angan lampau terhitung, jengkal demi jengkal lahir pengungkapan. Terbukalah hijab musim cibiran, cuaca makian. Ditelan berat berlari, meninju kebobrokan menekan diri matang sasaran.
Yang memberi umpan dipukuli keculasan, dihincit kekuasaan, tapi betapa arang bersimpan bara masa silam. Kedunguan imbas ketidaksepadanan, atau di sana terjerumus sendiri. Segenap daya patah arang menugel was-was, membeludak kesungguhan dari kewaspadaan terus berlipat kedewasaan. Digerusnya kepicikan, dilumat keegoisan dihadapan muka penghinaan.
Nietzsche mempertanyakan dirinya di hadapan malam kelabu, fajar abu-abu, siang kelawu, senjakala merah memenggal berhala. Nilai-nilai diaduk memudar bagai pesulap di balik layar. Pun terangnya pujian berbalas cermin pantulan, oleh kaki lincah penggoda, hanyut dalam tanya bersimpan kutukan.
III
Dunia berpintu-pintu menjulur ke alam nun jauh, ke pohon-pohon sekarat ditinggalkan ide besar hidup. Akarnya kering tercerabut meranggas penuh debu api sunyi, nafas satu-satu atau dua-dua menekan. Betapa dingin melebihi abad kebisuan, penasaran menghantui tapak kaki kembara, hingga berdarah tidak dirasai. Yang diperoleh di jalan digembolnya tak terlepas, memadatkan keyakinan itu, segumpal es terpegang panasnya.
Yang terlepas selalu was-was, seperti bunga tumbuh di awan dari kisah sang ayah, bersama turunnya hujan anak menangis. Disentak sebuah takdir besar perpisahan seluruh kepemilikan, yakni perasaan. Begitulah ia dijangkiti nilai pencarian, linglung di tengah-tengah kebisuan, akan hasrat senantiasa meremaja.
IV
Yang berdiri pucat dari kutukan musim pencarian di depan pintu, terlihat jalan tertimbun longsoran salju. Hukum tak dapat dikendalikan, tidak dikenali, kecuali maknawi nasib buruk menimpa. Diringkus kebuntuan murung, tiada cahaya panas melelehkan, beku tarikan selain gumpalan menghitam.
Yang terpaksa keluar menerobos gundukan salju dengan jaket tipis. Atau keyakinannya terkelupas lembar demi lembar bolak balik terjaruh. Daging amarah belum beralamat, memudarkan warna pesona pribadi. Sampai suatu kali, nafas kembang-kempis dilayangkan ke akhir tiada tertandai kebugaran.
Ranting sekarat tenggorokannya panas membuat tak waras. Dicarinya batu-batu digesekkan demi hadirnya secerna nafas, percikan api secepat lumatan asap tipis melesat. Entah putus asa atau kesungguhan akhir, doa-doa atau umpatan. Jelasnya lebih dalam dari maut, lebih kejam dari yang dirasai, pilu dari waktu-waktu meninggalkannya. Makin dingin di pucuk-pucuk sekarat, harapannya tetap bernafas di jepitan padat, jeritan melesak ke dada, ceruk paling dalam bersimpan batu mulia.
V
Nilai-nilai padatan nafas udara sesak menggelinjak, hasrat tertumpas dikeluarkan mulut bertenaga. Lengkingan suara serak berteriak dari kesepian menyayat. Kepakkan seluruh sayap kemauan menghardik situasi dilesatkan. Ingatan keras bertumpuk, dalam lawatannya membangun yang digandrungi.
Zarathustra menjadi alamat, seluruh tubuhnya dipancari hasana pembeda; umpatan pada kekerdilan, pembusukan, nilai mandul pembodohan, taklid buta, hamba kebenaran yang mandek serupa sungai tak lagi mengalir, mengempis airnya oleh perubahan jaman, tinggal selokan.
Mencaci maki kelembekan atas keterlambatan terlalu, dengan memeras rasa malu. Usaha kritik diri hingga berdarah dalam membekukan renungan kecewa. Mengejek sifat pecundang yang memperbesar keadaan pada lingkaran sama ketololan.
Nietzsche mengupas keseriusan sekaligus tertawa. Memuncratkan tangis gembira, haru yang mewah, sesudah membenamkan diri dalam cacian menguliti kebodohan. Musik beringas memberedeli capaian kemayu bertenaga dendam, di atas kecintaannya kepada tanah air. Senada alunan komponis Mussorgsky (1839-1881) dalam komposisinya “Night On Bald Mountain” yang memorat-maritkan tradisi klasik sebelumnya.
VI
Ialah kawanan burung hitam berteriak lantang. Melabrak gemawan mengacaukan musim berganti selepas memasuki situasi. Mematahkan nilai-nilai sekaruan hasratnya tertinggi, memurnikan bijian insani demi memimpin diri paling pribadi:
Telinga purna tersumbat kasih sayang, mata tajam dipejamkan kecemburuan dalam. Alam di balik kesadaran bangkit, tarian lumrah jelma peperangan. Tekukan lembut bersimpan belati maut. Kegusaran hebat menampilkan canda, dan ketentuan jadi permainannya.
Bagi ketahui alamat diberi kecupan, itu kemungkinan sepadan. Sesudah terlupa dirasai, kegetiran menamatkan pemahaman. Atau rindu tanah dijanjikan, bathin mendamaikan persoalan matang, musik pemberontakan bebas dari kesepian, menuju kesunyian sebening binaran cahaya. Sesantun pendapat tidak mengeruk pendapatan, kecuali kekekalan agung bagi semua. Di sana terus diperbaharui, kalau tak ingin celaka dalam kebisuan yang tidak punya maksud kedalaman.
Yang meraba diberi kejelian pandang, tiada lekang jutaan perubahan, punya musik tersendiri dan selalu menghantui. Berteduh di awang-awang menebarkan jala kemungkinan, sedari maksud baik sebagaimana kepulangan.
9 September 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar