Kamis, 03 November 2011

Sajak “Kesepian” Friedrich Nietzsche

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=586


Sebelum menyusuri puisi Nietzsche yang bertitel “Kesepian” dari buku “Malam Biru Di Berlin,” terjemahan Berthold Damshäuser dan Ramadhan K.H. 1989. Terlebih dahulu, aku kan kembarai kesanku padanya.

Setidaknya aku punya dua buku karangannya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jilidannya telah rusak, yang aku rekatkan dengan memaku, tidak menggunakan lem perekat. Demikian kelakuanku pada buku-buku yang kerap kubaca sampai tercerai, aku benahi seperti tukang kursi; Sabda Zarathustra, Ecce Homo.

Sedang dua lainnya; Lahirnya Tragedi dan Senjakala Berlaha serta Anti Krist, hampir-hampir ludes, tetapi belum aku paku. Aku kira, dari empat bukunya diri ini terbebani, maka kan kucoba menanggalkan beratnya. Atau jangan-jangan kini terasa ringan, berjinjit pun jadi.

Nietzsche, insan paling bergairah yang pernah kutemui, jika tak pantas menyebutnya sangat bernafsu. Jiwanya meledak-ledak seakan di atas kobaran bara, tidak sebentar pun duduk tenang. Seumpama derasnya gelombang menghajar tanjung karang, nilai dikira orang mapan, ia sebut berhala-berhala.

Ia tak dapat ditaklukkan kecuali insaf sendiri, ombak selalu membaur menanggulangi kekeroposan, kelembekan diri; mental-mental mencipta kelayakan lalu, terserang badai keluputan digerusnya habis. Dirinya ingin senantisa waras, serupa timbangan tidak pernah berhenti bergoyang.

Aku yang pernah terinfeksi Zarathustra-nya hampir setahun, selebihnya mengawang, sewaktu di kontrakan Gedong Kuning Yogyakarta sampai kembali ke tanah kelahiran. Untung mendapati penyeimbang atas karya Ibnu Attaillah, bertitel Al-Hikam. Kalau takdirku tak perdalam ulang sambil menyusuri daerah terpencil Watucongol, Magelang, mungkin sudah tak normal seperti dirinya, yang ditimpakan banyak orang.

Friedrich Wilhelm Nietzsche (15 Oktober 1844 – 25 Agustus 1900) menyebut pribadinya bukan hantu, tapi bagiku dengan itu ingin menjelma hantu gentayangan melampau milenium di depan. Menjegal nilai-nilai semu pemanis buatan, mengolok-olok pengkhotbah bermodal gincu pun sorban. Ialah benar-benar hantu memiliki jasad utuh, selayaknya ajaran Karl Marx (1818–1883), yang menaungi kepala-kepala para pengikutnya.

Sejenis bisul di tubuh filsafat, pula di lapangan sastra manja grup. Ia mengetahui kemandekan nilai dielus-elus pengikutnya kian mengkilap, berdampak mengumpulnya darah kotor fikiran usang tak dapat difungsikan, otomatis pemberontakan datang:

Terbitlah Jean Paul Sartre (1905-1980), oleh kakek buyut perlawanan Voltaire (1694-1778). Di sebelahnya bermunculan para filsuf dan sastrawan kemayu, yang berperang dengan para pendatang beringas.

Nama Nietzsche termasuk sering disebut sebagai momok barangkali dirindu, apalagi tatkala berbicara soal “tuhan telah mati.” Bagiku karya yang berhasil sejenis Sabda Zarathustra, tak sekadar berkhotbah, menghasut, apalagi berindah-indah. Namun mampu menggerakkan organ lain menyusup ke balik jiwa pembaca, sampai batas-batas diinginkan dan diketahui.

Aku tersadar perkataan pelukis Picasso, dari ingatan Christian Zervos (1889-1970), bahwa “…tiada lebih berbahaya daripada keadilan di tangan para hakim dan kuas-kuas untuk melukiskan di tangan pelukis! Bayangkan saja bahayanya bagi masyarakat.”

Maka sungguh berbahaya kata-kata penyair pun filsuf disalah tafsirkan, apalagi sengaja dibengkokkan demi nafas kesia-siaan; membuat penilaian yang didasari kata-katanya semata, tidak dilandasi pergolakan sejarah di dalam kisaran pelakunya.

Kesetiaannya mengurbankan diri membekas tampak cekung pada batuan pualam kehidupan. Laksana letak bersilanya Pangeran Sambernyowo di atas ketinggian Gunung Gambar, yang di bawahnya jurang terlukis peta pergerakannya kabut konflik kota Surakarta.

Tabah mengerami sakit fisik pun psikis, dilarung ombak ke tengah samudra kebebasan memahami gelora hidup naik turun. Berharap unggul selapisan air tertinggi dekat cahaya surya, yang menghantarkan kapal menuju pantai makna. Selepas melayari teka-teki menyerat langkah lincah, pula di kedalaman jiwanya, terdapat pembaharuan terus-menerus.

Ketakpuasan rahim lautan, bersimpan ikan-ikan besar dan ribuan ikan kecil berlomba memakmurkan fikiran. Atau batu-batu bergolak di kedalaman gunung berapi demi diledakkan, jikalau purna kekangan rindu terdalam, hingga tercipta danau kemakmuran, membangkitkan bibit ditiupkan bayu perubahan.

Teks-teks bersenggama menghayati gejolak jaman, membawa pencerahan sejauh kemampuan sudah dicapai. Ini berkembang sedapat pengikutnya mampu memahami, menyusupi bebenang halus tak sekadar mengikat, namun juga menawan, lagi nikmat bagi lambung kemanusiaan. Dan marilah kita simak puisinya:

KESEPIAN
Friedrich Nietzsche

Burung-burung gagak berteriak
Dan terbang ke kota dengan mengumbang:
Salju akan turun segera-
Bahagialah dia yang kini masih -berkampung halaman!

Kini kau berdiri kaku,
Menengok ke belakang, ah! betapa lama sudah!
Mengapa kau yang tolol
Karena musim dingin ke dunia -larikan diri?

Dunia itu pintu gerbang
Ke seribu gurun bisu dan dingin!
Yang kehilangan,
Yang kau kehilangan, takkan berhenti di mana pun jua.

Kini kau berdiri pucat,
Terkutuk untuk ngembarai musim salju,
Bagaikan asap,
Yang mencari langit yang lebih dingin selalu.

Terbanglah, burung, berkoak
Lagumu dalam nada-burung-gurun!-
Umpetkanlah, kau yang tolol itu,
Hatimu yang berdarah di dalam es dan ejekan!

Burung-burung gagak berteriak
Dan terbang ke kota dengan mengumbang:
Salju akan turun segera
Celakalah dia yang tak berkampung halaman!
***

Kini izinkan diriku menafsirinya, sadaplah penuh gairah:

I
Kesepian meluncur beringas, menderas. Gema suaranya terpendam dalam, mendobrak, mengaduk ruang angkasa bersegenap kandungan diuntahkan keluar. Kesunyian tradisi tertimbun masa-masa berlesatan. Mulai bergerak menolak yang membebani selama ini. Jiwa terus bergolak, bayang-bayang suram menguntit dari belakang; sejarah bersegala kenangan diruapinya, bagaikan abu memberkah ditaburkan.

Atau dari pedalaman purba menuju kota sesak suara masing-masing, hingga tak mampu membedakan. Di sana hawa dingin terkucil, dihimpit-hincit kebisuan terbungkam keganjilan tidak sepadang yang dirasai di tengah jalan. Ia merindu berkeringat menggigil, kilatan cahaya silam menyodok dadanya, terkepak kembali sayap-sayapnya berkembang mendapati sang surya:

Merekah memenuhi detak jantung dalam tabung rencana. Terdedah ingatan ke tanah-tanah menerbangkan debu, batu-batu menunggu waktu kesendirian pilu. Padanya ia serahkan segenap kemampaun berbalik mencium hawa sedap malam. Siang menerawang putih, dalam pekat peroleh yang abadi, yakni keyakinan.

II
Pemberontakan hadir dari kelambanan, terbodohi lupa menguliti nasib. Lalu kesadaran menegak, bayu berbondong kekuatan, selepas menyusup melalui lubang pori-pori. Angan lampau terhitung, jengkal demi jengkal lahir pengungkapan. Terbukalah hijab musim cibiran, cuaca makian. Ditelan berat berlari, meninju kebobrokan menekan diri matang sasaran.

Yang memberi umpan dipukuli keculasan, dihincit kekuasaan, tapi betapa arang bersimpan bara masa silam. Kedunguan imbas ketidaksepadanan, atau di sana terjerumus sendiri. Segenap daya patah arang menugel was-was, membeludak kesungguhan dari kewaspadaan terus berlipat kedewasaan. Digerusnya kepicikan, dilumat keegoisan dihadapan muka penghinaan.

Nietzsche mempertanyakan dirinya di hadapan malam kelabu, fajar abu-abu, siang kelawu, senjakala merah memenggal berhala. Nilai-nilai diaduk memudar bagai pesulap di balik layar. Pun terangnya pujian berbalas cermin pantulan, oleh kaki lincah penggoda, hanyut dalam tanya bersimpan kutukan.

III
Dunia berpintu-pintu menjulur ke alam nun jauh, ke pohon-pohon sekarat ditinggalkan ide besar hidup. Akarnya kering tercerabut meranggas penuh debu api sunyi, nafas satu-satu atau dua-dua menekan. Betapa dingin melebihi abad kebisuan, penasaran menghantui tapak kaki kembara, hingga berdarah tidak dirasai. Yang diperoleh di jalan digembolnya tak terlepas, memadatkan keyakinan itu, segumpal es terpegang panasnya.

Yang terlepas selalu was-was, seperti bunga tumbuh di awan dari kisah sang ayah, bersama turunnya hujan anak menangis. Disentak sebuah takdir besar perpisahan seluruh kepemilikan, yakni perasaan. Begitulah ia dijangkiti nilai pencarian, linglung di tengah-tengah kebisuan, akan hasrat senantiasa meremaja.

IV
Yang berdiri pucat dari kutukan musim pencarian di depan pintu, terlihat jalan tertimbun longsoran salju. Hukum tak dapat dikendalikan, tidak dikenali, kecuali maknawi nasib buruk menimpa. Diringkus kebuntuan murung, tiada cahaya panas melelehkan, beku tarikan selain gumpalan menghitam.

Yang terpaksa keluar menerobos gundukan salju dengan jaket tipis. Atau keyakinannya terkelupas lembar demi lembar bolak balik terjaruh. Daging amarah belum beralamat, memudarkan warna pesona pribadi. Sampai suatu kali, nafas kembang-kempis dilayangkan ke akhir tiada tertandai kebugaran.

Ranting sekarat tenggorokannya panas membuat tak waras. Dicarinya batu-batu digesekkan demi hadirnya secerna nafas, percikan api secepat lumatan asap tipis melesat. Entah putus asa atau kesungguhan akhir, doa-doa atau umpatan. Jelasnya lebih dalam dari maut, lebih kejam dari yang dirasai, pilu dari waktu-waktu meninggalkannya. Makin dingin di pucuk-pucuk sekarat, harapannya tetap bernafas di jepitan padat, jeritan melesak ke dada, ceruk paling dalam bersimpan batu mulia.

V
Nilai-nilai padatan nafas udara sesak menggelinjak, hasrat tertumpas dikeluarkan mulut bertenaga. Lengkingan suara serak berteriak dari kesepian menyayat. Kepakkan seluruh sayap kemauan menghardik situasi dilesatkan. Ingatan keras bertumpuk, dalam lawatannya membangun yang digandrungi.

Zarathustra menjadi alamat, seluruh tubuhnya dipancari hasana pembeda; umpatan pada kekerdilan, pembusukan, nilai mandul pembodohan, taklid buta, hamba kebenaran yang mandek serupa sungai tak lagi mengalir, mengempis airnya oleh perubahan jaman, tinggal selokan.

Mencaci maki kelembekan atas keterlambatan terlalu, dengan memeras rasa malu. Usaha kritik diri hingga berdarah dalam membekukan renungan kecewa. Mengejek sifat pecundang yang memperbesar keadaan pada lingkaran sama ketololan.

Nietzsche mengupas keseriusan sekaligus tertawa. Memuncratkan tangis gembira, haru yang mewah, sesudah membenamkan diri dalam cacian menguliti kebodohan. Musik beringas memberedeli capaian kemayu bertenaga dendam, di atas kecintaannya kepada tanah air. Senada alunan komponis Mussorgsky (1839-1881) dalam komposisinya “Night On Bald Mountain” yang memorat-maritkan tradisi klasik sebelumnya.

VI
Ialah kawanan burung hitam berteriak lantang. Melabrak gemawan mengacaukan musim berganti selepas memasuki situasi. Mematahkan nilai-nilai sekaruan hasratnya tertinggi, memurnikan bijian insani demi memimpin diri paling pribadi:

Telinga purna tersumbat kasih sayang, mata tajam dipejamkan kecemburuan dalam. Alam di balik kesadaran bangkit, tarian lumrah jelma peperangan. Tekukan lembut bersimpan belati maut. Kegusaran hebat menampilkan canda, dan ketentuan jadi permainannya.

Bagi ketahui alamat diberi kecupan, itu kemungkinan sepadan. Sesudah terlupa dirasai, kegetiran menamatkan pemahaman. Atau rindu tanah dijanjikan, bathin mendamaikan persoalan matang, musik pemberontakan bebas dari kesepian, menuju kesunyian sebening binaran cahaya. Sesantun pendapat tidak mengeruk pendapatan, kecuali kekekalan agung bagi semua. Di sana terus diperbaharui, kalau tak ingin celaka dalam kebisuan yang tidak punya maksud kedalaman.

Yang meraba diberi kejelian pandang, tiada lekang jutaan perubahan, punya musik tersendiri dan selalu menghantui. Berteduh di awang-awang menebarkan jala kemungkinan, sedari maksud baik sebagaimana kepulangan.

9 September 2010

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi