Yulizar Fadli
http://www.lampungpost.com/
BULAN benjol. Segaris awan tersua di bawahnya. Sedang di dalam lapo tuak berdinding papan, empat bujang berkumpul dengan penerangan yang remang. Kelihatannya ingin mabuk mereka. Sudah secerek tuak mereka tandaskan. Tanpa sepengetahuan Otong, Yariman, dan Puguh—karena ketiganya terlalu asyik menikmati lagu dangdut yang bikin kepala mereka manggut-manggut—Upik mengeluarkan sebotol minuman mirip teh. Selain Upik, tak ada yang tahu apa nama minuman itu. Pokoknya, racikannya terbuat dari biji tumbuhan berbahaya, tumbuh liar di hampir seluruh kampung.
Ada juga persaingan cinta tak sehat antarremaja kampung. Mirip persaingan pejabat tinngi di negeri ini. Ah, adakah api cemburu membakar Upik? Tak tahu juga. Yang jelas, satu botol sudah digasak Yariman. Alunan musik dangdut membuat kepala mereka bertambah berat. Perlahan, tubuh dan kaki Yariman lemas, seolah tanpa sum-sum. Pandangannya buyar. Pingsan. Upik menyeringai. Puguh khawatir. Sinar matanya berubah gusar. Dalam keadaan tak sadar, Puguh mengantar Yariman pulang dengan sepeda motor bututnya. Yariman dipapah, digandeng sampai depan rumah. Saat tiba di teras rumah, ia letakkan Yariman begitu saja. Seolah Yariman bangkai kucing yang ia tabrak lalu buang di pinggir jalan.
***
KEPAK sekawan perenjak sibuk mencari makan, terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Sementara di puluhan rumah berdinding papan, muncul petani dengan segala macam alat pertanian.
Dari belasan rumah lain, orang-orang mulai keluar membawa barang dagangan. Anak-anak berangkat sekolah melalui jalan beraspal kasar. Ada yang berjalan, ada yang bersepeda. Ada juga segerombol anak berseragam putih-merah yang sengaja membuntut-ejeki perempuan kurus berwajah tirus. Ejekan mereka akan berhenti kalau perempuan keriting itu sudah masuk ke dalam pasar. Dalam posisi yang aman ini, perempuan itu akan minta pecel-lontong buatan Mbah Sam, kadang tertidur pulas di samping parkiran, dan ini yang paling sering ia lakukan; duduk-diam sambil sesekali menyeringai. Buat orang pasar, hal itu sudah lumrah. Mereka mungkin mahfum.
Dan, di kampung itu tak semua rumahnya berdinding papan. Sebab, di sana, di antara kerumun rumah papan, ada satu rumah bagus bertingkat dua. Dari rumah itulah muncul seorang perempuan, kira-kira 26 tahun. Dia berlari. Tangan kirinya memegangi rok sepanjang mata kaki agar tak mengganggu kecepatannya. Terus saja ia berlari menuju sebuah rumah papan yang berjarak tiga ratus meter dari tempat pertama ia keluar. Selang beberapa belas menit, ia sampai di tempat tujuan. Butir keringat bersalin dari lubang porinya. Pukul tujuh pagi.
“Kulonuwon,” ucapan salam berulang tiga kali. Yang memberi salam mulai resah karena tak ada jawaban dari pemilik rumah. Sembari menunggu, tak sengaja kakinya menginjak seekor cacing tanah yang berjalan pelan menuju lubang. Ketika mendengar sahutan dari dalam rumah, senyum tipis tergambar di wajahnya.
“Monggo,” suara lelaki tua itu tertahan di kerongkongan. “Ada apa Tik, pagi-pagi kok sudah kemari?” imbuh si Mbah ketika membukakan pintu dan tahu siapa nama si tamu.
“Anu, Mbah. Anaknya Bude Robayah kesurupan,” sahut Atik dengan kening dikerutkan.
“Walah-walah, ayo kalau begitu,” setelah menjawab, lelaki tua itu kembali masuk rumah, mengambil plastik berisi tembakau. Kemudian ia Keluar. Tangan keriputnya buru-buru mengunci pintu.
“Mana Suratmi, Mbah?” tanya Atik basa-basi. Padahal Atik tahu ke mana Suratmi pergi. Terang saja, karena sebelumnya ia berpapasan dengan Suratmi di tengah jalan.
“Sudah pergi ke pasar. Ayo kita berangkat,” jawab Mbah datar.
Keduanya menyusuri jalan kecil, melewati rumah-rumah penduduk, juga pohon Waru yang di bawahnya banyak ditumbuhi tanaman kecubung. Tak jauh dari pohon rimbun nan rindang, tersualah pohon kamboja dengan gundukan yang bernisan. Enam di antaranya adalah makam pahlawan yang gugur tahun 1948.
Hampir tak sadar ketika melewati permakaman, Atik mengangkat roknya tinggi-tinggi, berjingkat, melompat ke samping, ke arah si mbah. Tangan kanannya menutup mulut (karena ia sadar kalau lewat kuburan tak boleh menjerit) hingga jeritnya terdengar kecil—rupanya seekor ular tanah yang melintas di punggung kakinya itu penyebabnya. Mbah Sobari buru-buru mengusirnya. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Atik, lalu memberi tahu bahwa si ular sudah pergi. Kata-kata Mbah Sobari mengambang di udara bersama desis ular, kerik jangkrik, dan kicau kutilang.
Dalam gesa, tak jauh dari makam pahlawan, keduanya sampai di sebuah jembatan. Jembatan Pahlawan, begitu penduduk menyebutnya.
***
“KOK lama sekali, ya?”
“Sabar, Bu. Sebentar lagi juga sampai.”
Robayah, janda kaya di kampung Taman Sari, duduk tak tenang di bibir ranjang sembari memijit-mijit kepalanya yang mulai pening. Putra tercinta sedang terbaring tak sadarkan diri. Perempuan paruh baya itu dikelilingi dua pembantu setia.
“Coba kamu susul, Di. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia,” pinta Robayah kepada Juardi karena anaknya terbangun dan berteriak-teriak tak keruan.
Si bocah mulai melantur. Badannya terasa gerah. Ia minta agar pakaiannya dilepaskan. Berangsur-angsur kesadarannya hilang. Ia mulai berhalusinasi; ada beberapa anak kecil berkepala botak sedang bercanda di atas lemari. Ia juga melihat peri yang tengah terbang ke sana kemari sembari mengayun-ayun tongkat ajaibnya.
Tiba-tiba halusinasinya buyar ketika kepalanya serasa membesar. Mungkin akan meledak. Robayah dan kedua pembantunya mulai kewalahan menghadapi tingkah-polah si bocah. Tapi untunglah, di tengah ketegangan itu, Atik dan Mbah Sobari segera datang.
“Duh Gusti, akhirnya datang juga,” sambut Robayah sembari memegangi tangan anaknya.
“Iya, Nduk. Pegang kuat kaki dan tangannya, jangan sampai lepas,” tukas si Mbah menganjurkan. Tampaknya Mbah Sobari tahu apa yang harus ia lakukan.
“Tolong ambilkan segelas air putih.” Mbah Sobari mulai beraksi. Ia menempelkan telapak tangan kirinya ke jidat pemuda itu, lalu perlahan pindah memegang kepalanya. Mulutnya komat-kamit, kemudian tersembur air dari mulutnya. Dua kali semburan itu mengenai muka si pemuda. Lalu, si empunya mantera menepuk-nepuk pipi pasiennya seraya bertanya, “Sadar, Le. Kamu kenal aku, toh?”
Mendengar pertanyaan itu, sontak ibunya membisikkan sesuatu. Mungkin ingin memberi tahu siapa nama orang yang menanyainya. Tak lama setelah Robayah membisikkan sesuatu ke telinga anaknya, jawaban terdengar juga dari mulut pemuda yang sejak semalam kehilangan kesadarannya. Matanya setengah terbuka, serupa pintu dan jendela di kamar tidurnya.
“Kamu manusia planet, toh?” jawab pemuda itu. Mbah Sobari terkejut bukan main.
“Yah, siapa nama lengkap anakmu? Bin siapa dia?” pertanyaan ditujukam pada Robayah
“Yariman bin Yatman Kasrowi,” Robayah menyahut.
Si mbah kembali komat-kamit. Setengah jam ketegangan berlangsung. Mantera si mbah mengambang di udara. Akhirnya si mbah menarik sebuah kesimpulan. Saat itu Yariman tertidur karena pengaruh mantra. Tubuhnya terkulai lemas. Pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana berwarna cokelat yang secokelat kulitnya.
“Cah bagus ini enggak kesurupan, tapi keracunan buah kecubung,” ujar Mbah Sobari pasti. Sepersekian detik Robayah dan keempat pembantunya bengong, terlebih Juardi. Robayah diam. Mungkin mengingat kejadian saat anaknya tergeletak di teras depan.
“Jadi bagaimana, Mbah?” ujar Robayah dengan asa yang hampir putus.
“Kasih dia tempe goreng, tapi enggak usah dikasih bumbu, lalu buatkan segelas kopi pahit,” jelas Mbah Sobari
Atas perintah nyonya rumah, Sakiyem bergegas ke pasar mencari tempe. Sepeda jengki dikeluarkan, dikayuhnya menuju pasar becek di kampung itu. Beberapa menit ketika sampai di tengah pasar, perempuan itu menatap berkeliling, mencari sosok tambun Lek Wasbir. Alih-alih Lek Wasbir yang terlihat, malah Suratmi yang tampak tertidur pulas di samping warung Kang Mono. Sakiyem menggeleng.
Sakiyem beralih pandang. Nah itu dia orangnya, batin Sakiyem. Ia mendekat dan langsung membeli beberapa tempe. Setelah selesai, ia bergegas pulang. Tanpa pikir panjang, ia naiki sepedanya dan mempercepat kayuhannya.
Ketika sampai rumah, ia sandarkan sepeda lalu masuk lewat pintu belakang. Segera pula ia melucuti plastik pembungkus tempe, menghidupkan kompor, kemudian menaruh wajan berisi minyak goreng di atasnya. Ia masukkan beberapa tempe setelah minyak itu panas. Tak berlama-lama ia menggoreng.
Selesai menggoreng, ada yang memanggilnya dari balik sekat yang memisahkan ruang dapur dan ruang makan. Rupanya suara Atik, ia sedang menyeduh kopi pahit. Sakiyem lalu menghampiri Atik. Keduanya bergincu gunjing, membicarakan Mbah Sobari dan anak semata wayangnya. Gunjingan berhenti setelah kopi siap di bawa ke kamar.
Ketika Sakiyem dan Atik sampai di kamar, Mbah Sobari sudah tak ada. Ia diantar pulang oleh Juardi. Tapi sebelum mbah sakti itu pergi, lebih dulu ia membuat Yariman siuman. Bocah itu setengah sadar. Robayah menyuapkan tempe goreng ke mulutnya, kemudian meminumkan kopi itu dengan sendok. Tiga tempe dan beberapa sendok kopi pahit masuk ke mulutnya. Yariman mulai merasakan reaksinya. Penawar racun kecubung ala Mbah Sobari membuat perutnya mual, lalu muntah. Sehari kemudian Yariman sadar.
***
SUATU pagi, sepekan setelah kejadian Yariman, di atap genting rumah Mbah Sobari, sekawanan burung gereja mematuk dan menari riang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah pintu depan, terdengar ketukan dibarengi ucapan salam. Si mbah keluar. Kata-kata si tamu bernada khawatir. Ia bilang bahwa Sutilah, adik perempuan yang ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, nekat minum kecubung lantaran tak mampu bayar utang. Pasti sekarang Sutilah sudah menceracau tak keruan. Mbah Sobari menghela napas. Sesepuh kampung itu tahu, jika ada orang keracunan kecubung, kemudian orang itu masuk pasar, pasti sukar disembuhkan. Kalau tak beruntung seperti Yariman pastilah langsung gila. Persis Suratmi, anak perempuan semata wayangnya.
Bandar Lampung, 2010-2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 10 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar