Meneropong Thaha Husein dan Sutan Takdir Alisyahbana
Aguk Irawan Mn
http://www.sinarharapan.co.id/
Di saat gelombang perdebatan Manikebu Vs Lekra bertemu di puncak yang sangat sengit (1950-1965), Mesir juga mengalami persengketaan yang meluap dan tak kalah sengitnya. Permasalahannya juga tak jauh berbeda, yaitu dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru” persoalan itu digiring melalui konsepsi ”bahasa dan sastra Arab”. Pelaku perdebatan adalah para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi.
Dalam perdebatan tersebut, ada satu nama yang sangat penting. Ia bernama Thaha Husein (1889-1973), sastrawan tunanetra yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan di Mesir (1950-1952). Husein lahir pada tanggal 14 Nopember 1889 di kota kecil Maghargha dari keluarga petani.
Pendidikannya diawali di Kuttab, lembaga pendidikan dasar tradisional, dan kemudian melanjutkan di al-Azhar (1902). Setelah belajar kira-kira sepuluh tahun, ia meninggalkan al-Azhar karena tidak menyukai dan tidak disukai.
Husein kecewa dengan sistem pengajaran al-Azhar yang dogmatis, serta materi pelajarannya yang amat tradisional dan menjemukan. Husein muda melanjutkan pendidikannya di Universitas Cairo, dan di Universitas Sorbonne Prancis. Gelar Doktornya diperoleh di Universitas Cairo dengan disertasi berjudul ”Dhikra Abu al-`Ala’ al-Ma‘ari” sedang di Sarbonne berjudul ”Etude Analitique Et Critique De La Philosophie Sociale Ibnu Khaldun.”
Di Sarbonne, Husein bertemu sederetan ilmuwan ternama, semisal Profesor Emile Durkheim (1858-1917) dalam disiplin ilmu sosiologi. Profesor Gustaf Block dalam disiplin ilmu sejarah (ahli sejarah Romawi), Profesor Casanova dalam ilmu tafsir dan Profesor Pierre Jenet dalam Ilmu Psikologi. Perkenalan itulah yang mewarnai intelektualitas Husein hingga menghasilkan gagasan-gagasan yang sangat kontroversial pada zamannya. Puluhan buku ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Di antara yang populer adalah Fi al-Syi‘ri al-Jahili, ditulis pada tahun 1926, saat ia dipercaya menjadi dosen sejarah sastra Arab pada Fakultas Sastra, al-Ayyam, dan Fi al-Adab al-Jahili (1927), Mustaqbal al-Saqafah fi Misr, dan The Future of Culture in Egypt (1938).
Penyegaran Kembali
Perdebatan diawali saat Thaha Husein mengatakan bahasa dan sastra Arab harus mengalami modernisasi dan ”penyegaran kembali”. Seperti penyair Jerman Friedrich Ruckert, Husein juga mengatakan bahwa sastra adalah lidah utama umat manusia. Sebab kehadirannya bisa menjadi wahana bagi perubahan sosial di zaman modern, serta menghubungkan manusia dengan peradaban di dunia. Ia juga menilai ada sesuatu yang ”getir” pada sastra Arab, yang tetap mempertahankan sastra Jahili (pra-Islam) sejak 14 abad tahun silam.
Selain itu, menurutnya, sastra arab digunakan sebagai penyanggah kekuatan dekadensi bahasa yang justru memperkuat tradisionalisme yang lebih berbau dogma agama dan menentang pembaruan. Maka kebangkitan kembali bahasa dan sastra Arab masa pra-Islam, yang bersifat bebas dan membebaskan adalah sesuatu yang lazim. Bahkan lebih dari itu Husein mengatakan bahwa al-Quran adalah karya sastra dan hasil produk peradaban Arab.
Gagasan Husein saat itu dinilai terlalu ”berani” oleh sejumlah ulama al-Azhar, dan serta- merta ditolak oleh tokoh kebudayaan, semisal Muhammad al-Khudar Husein, Musthafa Shidiq ar-Rafi’i, Muhammad Farid Wajdy, Rasyid Rida, Anwar Jundy dan Maryam Jamelah. Kritik tersebut setidaknya dapat ditelusuri dalam buku Anwar Jundy, Thaha Husayn, Hayatuhu wa fikruhu fi Mizan al-Islam dan Maryam Jamelah, Islam and Modernism atau pada as-Sira’ bayna al-Fikrah al-Islamiyah wa al-Fikrah al-Gharbiyah Fial-Aqtar al-Islamiyah karya Abu al-Hasan ‘Ali al-Husni an-Nadawi.
Namun, Husein tidak sendiri. Penyair terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai pembelanya dan turut menjadi bintang gemerlap dalam perbincangan mengenai pembaruan bahasa dan sastra Arab. Sejak masa itu, muncul mazhab baru bahasa Arab, yang dirasakan sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial.
Menuju kebudayaan baru di Mesir, menurut Husein, harus memiliki kemerdekaan intelektual. Untuk mendapatkannya, tidak ada jalan lain kecuali mengerti cara memperolehnya. Maka umat Islam harus memandang bagaimana bangsa-bangsa yang telah maju mencapai kemerdekaan tersebut. Langkah terakhir adalah bagaimana ilmu pengetahuan yang merdeka tersebut ditransfer ke negeri-negeri Islam. Husein memimpikan bahwa ”otak” Mesir harus berubah sembilan puluh derajat menjadi ”otak” Barat, dengan cara memboyong ”warna” kebudayaan Barat ke segala lini kehidupan masyarakat, sebab Mesir mempunyai pertalian erat dengan ”otak” Yunani.
Menurutnya, pikiran Mesir tidak mempunyai kaitan yang kuat dengan Pikiran Timur, dan juga tidak serasi dengan pikiran Persia atau Iran. Mesir mempunyai ikatan yang teratur, damai dan saling menguntungkan hanya dengan Barat dan Yunani. Perkataan lain adalah bahwa tak ada satu kebodohan yang lebih besar dari anggapan bahwa Mesir sebagai bagian dari Timur dan memandang pemikiran Mesir sebagai pemikiran Timur, semisal India atau Cina. Atas dasar itulah Thaha Husein mengajak orang-orang Mesir memiliki peradaban Barat sebagai peradaban mereka, dan bersekutu dengan Barat dalam semua norma, cara perasaan dan perundangan.
Polemik Kebudayaan
Di tanah Air hal serupa juga terjadi. Peristiwa itu disebut Polemik Kebudayaan (1935-1936). Dalam perdebatan itu, ada anak muda yang resah terhadap negaranya. Ia adalah nama yang penting bagi sejarah kebudayaan Indonesia, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1994). Ia lahir di Minang 11 Februari 1908, dikenal sebagai penyair, novelis, filsuf, ahli hukum, dan futurolog. Pola pikiran Thaha Husain dan Sutan Takdir memang sejalan. Tak ada yang simpang siur dalam hal dan cita-cita ”mewujudkan kebudayaan baru”.
Latar pendidikan Sutan Takdir adalah sekolah tinggi kehakiman (Rechtshoge school). Jakarta (1941), gelar meester in de rechten (Mr) melekat pada namanya, di samping gelar Profesor dan Doktor. Tahun 1948 ia pergi ke Amsterdam mengunjungi Kongres Filsafat. Sebelumnya, ia sudah belajar filsafat ke Jerman, Belanda, Perancis, AS dan Jepang. Pernah juga menjadi Felllow pada Center for Advanced Studies in the behavioral science, Standart (1956-61) dan East-West Center, Hawaii (1961-62). Tahun 1963-1668 ia menjadi dosen di Kuala Lumpur. Pada tahun 1972 atas dorongannya Kongres Filsafat sedunia terselenggara. Sebagai lanjutan dari Kongres tersebut, bersama budayawan se-Indonesia dan bangsa lain ia mendirikan Association Fort Art Anda the Future, disusul Kongres II (1990). Ia juga menjadi anggota organisasi internasional, antara lain Societe de Linguistique de Paris dan UNESCO, International Commision for the Scientific dan Cultural Development of Mankind and Study of Mankind, USA. Di tahun 1970 ia menerima bintang Satyalencana Kebudayaan oleh Pemerintah Jerman Pada 1976, kemudian ia diangkat sebagai anggota kehormatan dari Koninklijk Instituut voor Tall, Landa en Volkenkunde, Leiden, Belanda.
Puluhan buku juga berhasil ditulisnya, dan setiap buku mendapat perhatian yang serius di masyarakatnya. Yang paling populer adalah roman ide berbentuk novel Layar Terkembang (1936) yang bercerita tentang emasipasi wanita. Disusul Grotta Azzura (1979), Kalah dan Menang (1978) yang berbicara masalah filsafat kebudayaan.
Penyegaran Bahasa dan Sastra
Sebagaimana polemik di Mesir, bagi Sutan Takdir, untuk menuju masyarakat dan kebudayaan baru, harus dimulai dari penyegaran bahasa dan sastra. Dalam pidatonya yang sangat berani Sutan telah mengecam bahwa nyaris tak ada perkembangan bahasa Indonesia—bahkan perkembangannya malah menuju ”pengeromoan”, yang dipegang kaum tradisionalis dan antipembaruan. Ironisnya, keadaan itu justru didukung Lembaga Bahasa Pemerintah saat itu.
Menurutnya bahasa dan sastra adalah jantung kebudayaan sebab terlibat dan menyatu dalam dinamika masyarakat. Maka sebagai reaksi yang nyata, Sutan menampik bentuk sastra lama, jenis pantun dan syair. ”Kita buang dan lupakan saja sastra lama dan kita bangun sastra yang baru” begitulah jargon yang selalu melekat di bibirnya. Berani memang!
Sebagai wujud dari kata-kata itu, ia bergegas membentuk sastra baru, yaitu sastra soneta (1933), dan menerbitkan sekaligus memimpin Pujangga Baru, majalah Indonesia pertama untuk bidang sastra dan budaya. Ia pun menerbitkan buku Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Pada waktu terjadi polemik kebudayaan, Sutan baru berusia 27 tahun. Lewat tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, ia membagi sejarah kita menjadi dua bagian yang sentral, pertama zaman pra-Indonesia sampai akhir abad ke-19, kedua zaman Indonesia.
Menurutnya, zaman Indonesia tidak boleh dianggap sebagai sambungan dari zaman pra-Indonesia yang dikecamnya sebagai zaman jahiliyah Indonesia. Sebab, di sana ada perbedaan yang terlalu jauh. Pada zaman Indonesia, terdapat semangat yang belum ada dalam zaman Jahiliyah Indonesia, yaitu semangat bersatu untuk menuju kebudayaan baru dan layak di sisi bangsa-bangsa lain. Sedang zaman pra-Indonesia adalah zaman yang mirip suku baduwi di Arab yang tak mengenal peradaban dan kebudayaan, ditandai dengan penolakan kebudayaan luar.
Maka dari sinilah, Sutan menghendaki bangsa Indonesia harus lebih dinamis dan maju setapak. Lalu ia memberikan solusi, menawarkan obat yang mujarab bagi penyembuhan luka atas dekadensi zaman jahiliyah Indonesia yang berlangsung lama. Obat pilihan itu adalah memperkenalkan kebudayaan Barat melalui segala lini institusi masyarakat dan pendidikan. Mirip yang terjadi pada Thaha Husein di Mesir, Sutan Takdir juga berpolemik dipicu dari pembentukan kebudayaan baru, dengan mengusung nilai-nilai Barat, sebagai lawan dari kebudayaan Timur yang dianggapnya jumud.
Tapi gagasan ini memang tak diterima semua kalangan. Bahkan ada yang sangat tersinggung. Mereka mengira bahwa Sutan telah mengejeknya sedemikian rupa budaya Timur yang luhur dan santun. Memang Sutan telah menuding bahwa kaum pesantren yang feodal dan Taman Siswa yang egoistis dan materialistis tak mampu membawa napas budaya bangsa yang terpuruk yang hampir ajal.
Maka polemik meledak di Pujangga Baru, surat kabar Suara Umum, Pewarta Deli dan lain-lain. Sutan terjun dengan mata yang menyala dan menyerang tokoh kebudayaan dan pendidikan saat itu. Seperti Sanusi Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Sejak saat itu polemik pun terus dimulai, hingga menyeret dialog berbagai tema penting dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia baru— masa depan ke kancah politik praktis. Saat itu Sutan memang menyerukan untuk membangun integritas individu pencipta budaya, dengan landasan kebebasan kreatif yang demokratis, disertai wawasan internasional. Namun lagi-lagi gagasan itu diadang kelompok yang dipimpin Sanusi Pane dan Ki Hajar Dewantara. Sutan dianggap telah bersekongkol dengan para kolonial Belanda. Sementara itu, tokoh seperti Ki Hajar Dewantara justru ingin menguburkan sisa-sisa kebudayaan kolonial. Selain itu yang ditakutkan oleh Ki Hajar adalah rendahnya tingkat pendidikan rakyat Indonesia. Barangkali inilah yang tidak diperhatikan oleh Sutan Takdir Alisyahbana dengan sikap ekstremnya untuk ”menoleh ke Barat” dalam polemik kebudayaan 1930-an.
Mereka yang menentang Sutan Takdir tidak mengingkari pencapaian-pencapaian kebudayaan Barat. Mereka pun hasil dari pendidikan modern Barat. Yang mereka permasalahkan adalah landasan kebudayaan Indonesia sendiri yang harus kokoh, sehingga siap berdialog dengan budaya Barat. Sebab kalau tidak, ”melihat ke Barat” dari Sutan Takdir akan menjadi sebuah pengabdian.
Tapi kini, kolonial sudah lama hengkang, dan di saat Mesir sudah mulai merasakan sumbangan Thaha Husein. Jepun, India, Taiwan, Korea Selatan, Eropa Timur dan Russia telah melalui proses pencerahan, berkat kesadaran mereka terhadap kebudayaan Barat yang ditandai dengan meningkatnya ilmu pengetahuan. Lantas kebudayan baru dan ”progresif” macam apa yang seharusnya lahir dan berkembang— yang bisa mendorong lahirnya sebuah masyarakat yang demokratis, egaliter, sebagai prasyarat dasar dari seluruh proses penyelesaian setiap krisis, di Indonesia yang terkapar? Barangkali Impian Sutan memang patut diperhitungkan dalam kondisi dewasa ini.
*) Penulis adalah Peneliti Kebudayaan pada LkiS Yogyakarta, dikenal sebagai sastrawan, penyair dan esais.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar