Jusuf AN
__Majalah Esquere, Apri 2011
Bagaimana mungkin? Bawuk, perempuan paling cantik di kampung itu, yang telah sekian lama hidup di kota, ternyata memiliki rambut gembel, rambut kusut yang seolah membeku—beratus helai menyatu menjadi gumpalan-gumpalan—berwarna coklat kemerah-merahan, tak sejuk dipandang. Warga di daerah itu percaya rambut gembel tak boleh dipangkas sekehendak hati. Konon, selain rambut serupa akan tumbuh lagi, si empunya juga akan diserang sakit yang tak remeh.
Tetapi rambut gembel Bawuk punya cerita lain.[1] Betapa tidak, tiga kali ruwatan telah dilaksanakan, rambut serupa bulu domba yang tumbuh di ubun-ubunnya—gembel debleng (semua huruf “e”-nya dieja seperti ketika kau melafalkan kata “emosi”), begitu warga menyebutnya—selalu tumbuh kembali. Berkali-kali pula Bawuk memangkas rambutnya sendiri, nyatanya ia tak diserang sakit apa-apa. Betapa anehnya!
“Semoga ruwatan keempat kali nanti bisa memulihkan rambutnya,” demikian Tamrin, bapaknya Bawuk berharap.
“Tetapi semua syarat dan tertib ruwat mesti dipenuhi dan dilaksanakan lebih hati-hati,” lanjut Sukmi.
Ya, tentu. Bukankah seorang pemuda gagah dari kota akan datang melamar Bawuk. Sungguh, Tamrin dan Sukmi tak ingin anak gadisnya terlunta menjadi janda hanya karena suaminya jijik dengan rambut gembel-nya. Siapa lelaki sudi beristri perempuan berambut gembel? Apalagi calon suami Bawuk berasal dari kota, sulit dipercaya ia akan terima.
Maka, demikianlah, tanpa panjang pikir lagi Sukmi dan Tamrin memanggil Bawuk ke ruang tengah untuk dijelaskan rencana ruwatan esok hari. Sebagaimana yang sudah menjadi tradisi turun-temurun di daerah itu, sebelum dilangsungkan ruwatan potong gembel sang anak akan ditanya apa yang menjadi permintaannya. Inilah saat yang sesungguhnya paling mendebarkan bagi orang tua. Sebab, apa pun yang diminta oleh sang anak wajiblah dirututi. Sekali lagi apa pun maunya. Jika tidak dituruti maka ruwatan pun sia-sia belaka, rambut gembel akan tumbuh kembali, begitu warga percaya berdasar banyak bukti yang telah terjadi.
Senja perlahan turun. Angin bangkit. Kabut berpendaran membagikan dingin. Bawuk keluar dari kamarnya, lalu duduk di sofa empuk. Kepalanya menunduk. Ditanya apa yang diminta, ia diam tak menjawab; tak senyum tak bergerak. Baru setelah Tamrin mendesak, dan Sukmi mengelus tengkuknya penuh kasih sayang, Bawuk menjawab pula, meski dengan suara serak terbata: Bawuk meminta mati[2], sebuah permintaaan yang tak pernah diduga Tamrin dan Sukmi!
***
“Kiai Kaladete[3] menyukai anak kita, Pak,” ujar Sukmi, ketika pertama kali melihat rambut Bawuk yang tadinya berombak menjadi seperti bulu biri-biri.
“Semoga gembel Bawuk membawa berkah dari Kiai Kolodete, bukannya petaka,” Tamrin bergumam, atau lebih tepatnya berdoa.
Sebelum masuk Sekolah Dasar, untuk pertama kali gembel Bawuk diruwat. Sehari sebelum ruwatan dilangsungkan, Sukmi menanyakan apa yang menjadi permintaannya. Pelan dan hati-hati Sukmi bertanya. Lantang dan lugu Bawuk menjawab: “Pesawat terbang. Pesawat terbang.” Sembari berjingkrak-jingkrak girang. Ah, mungkin Bawuk terlalu sering mendengar dongeng Ratu Sima yang bisa terbang melayang-layang di uadara.
“Ratu Sima terbang dengan selendang, bukan pesawat,” jelas Sukmi pelan.
“Apa aku juga bisa terbang dengan selendang?”
“Tentu saja.”
“Bisa?”
“Tapi nanti kalau sudah besar.”
“Aku ingin terbang sekarang, tak mau nunggu besar.”
“Itu gampang, Wuk. Nanti Emak akan ajarkan.”
“Mak bisa?”
Sukmi mengangguk. “Tapi untuk ruwatan rambutmu, tak boleh kau minta pesawat?”
Saat itu Bawuk memang tidak tahu apa itu ruwatan. Dari Sukmi, ia hanya diberi tahu bahwa rambut gembelnya hendak dipangkas dan ia disuruh meminta sesuatu selain pesawat. Maka setelah Sukmi berjanji akan mengajarkan ilmu terbang dengan selendang, Bawuk mengganti permintaannya dengan boneka yang sama sekali tak ia suka. Sukmi gembira. Tamrin yang diam-diam menyimak percakapan mereka keluar dari balik pintu dengan dada lega.
Duduk dipangkuan Sukmi, dinaungi payung sebagai simbol perlindungan dari kesialan Bawuk memandangi lampu templok yang menyala di depannya. Sesekali ia tersenyum, membayangkan dirinya akan bisa terbang seperti Ratu Sima. Kecuali Bawuk, sepuluhan orang yang duduk bersila sembari membaca doa dan mantra-mantra itu tentu tahu untuk apa tiga jenis tumpeng yang dijajarkan di lantai itu. Tumpeng berwarna putih merupakan persembahan untuk Bawuk, tumpeng kuning untuk Nabi Muhammad, dan tumpeng robyong, yang dihiasi taburan kelopak bebunga merupakan persembahan untuk Kiai Kolodete. Bersama tumpeng robyong itulah potongan rambut gembel Bawuk yang baru dipangkas oleh sesepuh kampung dilarung ke sungai Serayu, tak jauh dari kampung itu.
Itulah urutan ruwatan dan syarat yang mesti dipenuhi, selain juga harus tersedia segeluntung ayam panggang dan bermacam jajanan pasar, seperti kue lapis, apem, onde-onde, klepon, dan lainnya.
Setelah ruwatan selesai dan tamu-tamu pulang, Bawuk tergesa mengambil selendang Sukmi yang tersampir di kursi, lalu membebatkan di pinggang dan berlarian mengitari halaman. Ketika melihat Sukmi berdiri di ambang pintu Bawuk segera menghampiri, menagih janji. Dengan enteng Sukmi berujar, orang yang bisa terbang hanya ada dalam dongeng. Ah!
“Emak bohong! Bohong! Mhhe…mhhhe.. ”
Sukmi persetan dengan tangisan Bawuk. Sampai beberapa hari kemudian barulah Sukmi merasa sangat bersalah karena rambut gembel tumbuh kembali di kepala anaknya. Ini terjadi pastilah karena permintaan Bawuk yang tidak dituruti, pikirnya. Kiai Kolodete tak bisa dibohongi.
Ruwatan potong gembel yang kedua dilangsungkan ketika Bawuk naik kelas tiga sekolah dasar. Sebenarnya Tamrin tidak setuju. Ia menganggap rambut Bawuk telah membawa keberkahan. Buktinya, semenjak Bawuk berambut gembel, panen ladangnya kian melimpah. Tanaman kentangnya aman dari ancaman cacing gelang yang ditakutkan semua petani. Ya, Tamrin yakin, bahwa doanya ketika awal mula melihat gembel anaknya didengar oleh Tuhan.
Tetapi Sukmi tidak demikian. Ia mendesak Tamrin untuk segera meruwat rambut Bawuk. Sampai-sampai ia menolak bercinta, membiarkan suaminya dicekut dingin saban malam. “Isteri dosa menolak itu,” kata Tamrin. Ah, Sukmi seakan lebih memilih dosa ketimbang melihat rambut anaknya gembel memerihkan mata. Karena tak kuat bermalam-malam dicekut dingin berat hati akhirnya Tamrin menyetujui permintaan Sukmi.
Bawuk meminta dibelikan sepeda sebagai syarat ruwatan, dan dengan enteng Sukmi mengangguk menyetujui. Tapi, wajah Tamrin nampak tak ikhlas ketika mengeluarkan lembaran uang kertas di depan kasir toko sepeda, dan barangkali, sebagaimana yang Sukmi pikirkan, inilah penyebab gagalnya ruwatan Bawuk.
Tidak seperti Sukmi, Tamrin justru gembira meski tak tahu persis kenapa gembel anaknya tak pulih-pulih juga. Sementara Bawuk tak peduli itu semua. Hari Minggu ia kayuh sepedanya menuju Telaga Warna, kadang jauh ke timur dan ke tenggara. Tamrin sering memaki-maki Sukmi ketika senja pulang dari ladang dan tidak mendapati Bawuk ada di rumah. “Kalau Bawuk keracunan di kawah Sinila apa kau sanggup melahirkan anak lagi?” Sukmi lebih memilih diam, ketimbang diceraikan, meski ia sendiri tidak tahu pasti kenapa tak kunjung lahir anak kedua.
Ruwatan yang ketiga dilangsungkan atas permintaan Bawuk sendiri. Ia akan masuk SMP dan bosan memakai kerudung. Mulanya Tamrin tidak setuju. Betapa panen ladangnya kian meruah saja, ia merasa. Seperti warga sekitar, Tamrin juga telah menyulap hutan menjadi lahan pertanian. Maka dalam jangka singkat ia pun bisa membangun rumah dua tingkat, membeli sepeda motor, dan menabung sisanya untuk ziarah ke Mekah.
“Perempuan itu wajib pakai kerudung, Wuk,” begitu Tamrin coba merayu.
“Jika Bapak perempuan, apa mau?”
Karena kemudian Bawuk mengancam akan keluar sekolah dan Sukmi ada dipihak Bawuk akhirnya ruwatan potong gembel digelar. Bawuk tidak meminta sesuatu yang berlebihan, sebab sadar jika ia sendiri yang meminta ruwatan. Ia hanya meminta sepatu baru yang harganya tak lebih dari satu karung kentang, dan Tamrin tentu tak keberatan.
Bersama tumpeng robyong seharusnya potongan rambut gembel Bawuk dilarungkan ke sungai Serayu sebagai simbol permintaan dilepasnya titisan dan kesialan. Tetapi Tamrin, yang mendapat tugas dari sesepuh kampung untuk melarungkan potongan rambut anaknya, diam-diam malah membuangnya di sebuah sumur di tengah hamparan ladang kentang. Dan begitulah, hanya beberapa hari setelah ruwatan, gembel Bawuk nampak bersemi kembali.
***
Sejak kecil memelihara rambut gembel, Bawuk seolah menjadi terbiasa. Setidaknya dua hari sekali ia mengkramasi rambutnya meski itu tidak bisa merubah rambutnya menjadi normal, setidaknya bisa menghindari dari kutu. Dalam kamar terkunci, setiap sebulan sekali, Bawuk juga rajin memangkasi rambutnya sendiri, lalu membungkus potongan-potongannya dalam plastik dan membuangnya dengan hati-hati. Ya, Bawuk rajin melakukan itu, meski setelah potongan rambut gembel dibuang, kepalanya mendadak berat, tubuhnya panas seperti terserang demam. Tapi, Bawuk segera dapat mengatasi rasa sakitnya dengan cara mengalihkan rasa sakit dengan menikmati musik.
Setiap keluar dari rumah, bahkan setiap kali keluar dari kamar, rapat dan rapi kerudung membungkus kepala Bawuk. Hasilnya, selain Tamrin dan Sukmi, tak seorang pun tahu rahasia di balik kerudungnya.
Tidak seperti gadis-gadis lain di kampung ini, setamat SMA Bawuk merengek minta melanjutkan kuliah. Tamrin dan Sukmi tak setuju. Tetapi setelah berhari-hari Bawuk tak mau diajak bicara dan mengurung diri dalam kamar, dua orang tuanya akhirnya mengijinkan.
Semakin lama tinggal di kota penampilan Bawuk bertambah menggoda: pipinya putih semu kemerahan dan lekuk pinggulnya aduhai menawan. Sebulan sekali, biasanya hari Sabtu, Bawuk pulang kampung dan Minggu siang ia pamit berangkat. Pada saat-saat pamitan itulah Sukmi dan Tamrin akan memberondongi Bawuk dengan nasehat. Betapa mereka khawatir melihat perkembangan tubuh anak gadisnya. Dada sintal dan padat, dan aih, setiap kali Bawuk duduk celana dalamnya mengintip keluar, seolah melambai menawarkan kehangatan. Tentu saja Sukmi dan Tamrin tahu jika penampilan Bawuk tak serasi dengan kerudung yang selalu membungkus kepalanya. Tapi mereka berdua hanya bisa diam—setelah berkali-kali menasehati—memendam kecemasan yang sama, jika saja…
Hmm, dada mereka sungguh lega ketika kuliah Bawuk akhirnya selesai juga. Saat memboyong perabot dari kamar kos Bawuk, Tamrin menemukan foto seorang lelaki dalam pigura. Ia bertanya, apa lelaki itu kekasihnya. Bawuk mengangguk. Kenapa tidak pernah diajak ke rumah? Bawuk menjelaskan jika kekasihnya sibuk bekerja, dan tak lupa menambahkan, sekitar sebulan lagi kekasihnya akan datang melamar. Dan kelak, kau tentu masih ingat, Bawuk meminta mati sebagai syarat meruwat rambut gembel yang keempat kalinya![4]
Wonosobo, Maret-Juli 2007
Catatan:
[1] Sebenarnya, aku hanya merangkum cerita yang kudengar dari orang-orang, khususnya Pandi, lelaki tua yang sehari-hari mengurus taman kecil di halaman rumahku yang baru. Aku sendiri bukan asli warga daerah ini. Kebetulan oleh pimpinan perusahaan, aku ditugaskan mendampingi pengeboran gas alam yang melimpah, tak jauh dari rumahku yang baru. Sebenarnya pihak perusahaan sudah menyediakan penginapan khusus untukku. Tetapi manakala kudengar ada sebuah rumah akan dijual murah aku segera membelinya. Aku ajak isteri dan dua anakku yang masih kecil-kecil turut serta. Setelah proyek selesai aku bisa menjual lagi rumah dua tingkat itu—yang sepertinya sudah lama tak terhuni—dengan harga lebih tinggi. Sepertinya aku mesti banyak berterima kasih pada Pandi yang dulu menawarkan rumah ini.
Hampir keseluruhan cerita ini juga bersumber dari Pandi. Segala yang ada dikepalanya ia keluarkan untukku. Entah dari mana lelaki tua yang tak punya rumah itu tahu banyak hal perihal kehidupan Bawuk dan keluarganya. Tetapi bukan berarti aku tak mendapat keterangan dari warga lainnya. Ada, tetapi hanya sedikit—lebih sering hanya berupa anggukan dan gelengan.
[2] Yakinlah, aku tidak sedang bercanda. Semua warga yang kutanya mengakui bahwa dahulu ada seorang perempuan yang meminta mati sebagai syarat ruwatan potong gembel. Tetapi, seperti juga Pandi, warga tak mau menyebutkan nama asli perempuan itu. Di daerah ini, Bawuk—dalam bahasa Jawa berarti vagina—aku tahu, bukanlah nama seseorang, melainkan panggilan orang tua kepada anak gadisnya. Mungkin Pandi dan warga sengaja menyembunyikan nama aslinya padaku sehingga merasa tidak berdosa telah membeberkan cela orang lain. Uh!
Kau tahu, betapa cerita tentang Bawuk kini berkecamuk di kepalaku.
[3] Kiai Kolodete merupakan orang yang pertama berumah singgah di daerah ini. Warga percaya bahwa anak yang memiliki rambut gembel merupakan titisannya. Dahulu kala Kiai Koledete pernah bersumpah tak akan memotong rambutnya dan tak akan mandi sebelum desa yang dibukanya makmur, hingga rambutnya pun menjadi gembel. Dan kelak, ia mengatakan, keturunannya akan berambut gembel seperti dirinya. Begitulah yang dipercaya warga. Demi Tuhan, aku tak menambah-nambah!
[4] Tak kutemukan keterangan yang jelas tentang kenapa Bawuk meminta mati ketika Tamrin dan Sukmi berencana meruwat rambut gembel-nya. Aku hanya mendengar, seminggu sebelum meminta mati Bawuk selalu menyendiri dalam kamar. Ia juga sempat pergi selama tiga hari dan kembali lagi dengan mata bengkak serta wajah merah dan lusuh. Kudengar juga (suara Pandi terdengar berat saat mengisahkan ini) ketika Bawuk meminta mati Sukmi dan Tamrin seketika jatuh pingsan. Entah bagaimana selanjutnya, aku tak mendapat keterangan sama sekali.
Ah, barangkali setelah Tamrin dan Sukmi siuman (sebenarnya aku takut membayangkan ini) mereka kemudian mendapati Bawuk sudah menggantung diri di ambang pintu dengan sepasang mata menyembul dan lidah menjulur. Begitu saja aku menduga (kau juga boleh menduga-duga) Bawuk meminta mati karena patah hati. Ya, mungkin saja kekasih yang pernah berjanji akan melamarnya menghilang tiba-tiba, sementara sudah ada janin tertanam dalam rahimnya. Siapa sangka?
Dulu, sebelum aku beranak istri (ah, akhirnya aku kisahkan juga tentang ini padamu) pernah aku meninggalkan seorang gadis setelah aku diberitahu tentang kehamilannya. Aku tak pernah menyangka, percintaan nakal kami yang begitu singkat dan tergesa di sebuah WC umum di bioskop akan menyebabkannya hamil. Terkutuklah aku yang tak kuat membendung nafsu karena seringkali melihat pusarnya dibelai angin. Aku sendiri heran, kenapa ia—yang tak pernah melepas kerudungnya—juga bersedia kuajak bercinta. Bisa jadi ia sudi melakukannya karena begitu percaya dengan janjiku akan melamarnya bulan depan. Entahlah. Yang jelas, telah bertahun-tahun aku terbebas dari bayang perempuan itu. Sampai aku pindah ke rumah ini—siapa telah menuntunku ke rumah ini—satu-satunya rumah bertingkat dua di kampung ini.
Dijumput dari: http://jusufan.blogspot.com/2011/05/perempuan-gembel-debleng.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar