Jumat, 13 Januari 2012

Menjewer Kuping Taufiq Ismail

Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian X kupasan ketiga dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Sebelum masuk bagian ini, izinkan menulis perihal keheranan saya pada penyair atau yang mengakuinya, namun ungkapannya telah melampaui batas sejarah kodrat iradat insani. Oleh sangking keterlaluan menggumuli kata, seakan ‘kata’ menjelma sekutu terbaik, seolah gerak hasratnya mampu memerintah kalimat, bahasa sedari kekuasaan hidup dengan pandangan sebelah mata, tidak menengok profesi lain juga memakainya. Atau hilaf tak merasai gerakan terlembut kehidupan dari Sang Maha Hidup yang senantiasa mengatur segenap indra, mengurus planet-planet beserta peredaranya, tak terkecuali menghadiahi nafas bagi tukang-tukang syair.

Sepengetahuan saya, ungkapan bombastis apakah tentang tuhan telah mati, senjakala sejarah, -hal keterlaluan, biasanya diusung bersegenap gegugusan wacana argumentatif, sehingga kehadirannya tidak sepintas slogan yang kelak menjadi dagelan. Sekiranya ucapan orang ditokohkan tampak kebiasaannya membuat gosip, atau pendapat asal-asalan dekat keangkuhan, merasa ampuh sampai lepas dinaya ingat awalnya belajar menuntut ilmu. Kian gagal diikuti generasi bermental penurut, ‘nerimo eng pandum’ cepat-cepat puas, tidak menyelidik kehendak dikunyah. Pembodohan ini berantai sejauh kekuasaan penguasa tersebut, entah dari kekuatan modal / jargon lain terlihat mentereng angker bertuan, tetapi tidak bertuah.
***

Semalam saya menemukan artikelnya seorang dosen Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Elisa Dwi Wardani berjudul “Sastra dan Identitas” diterbitkan koran Kedaulatan Rakyat 10/05/2008, yang mengundang daya ganggu. Sepertinya sesuai alur jika diilustrasikan pada bacaan menguak SCB dari IK, sejenis guyonan namun tak lepas minat keseriusan. Di bawah ini larikannya:

Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.” Selengkapnya di sini: http://sastra-indonesia.com/2011/08/sastra-dan-identitas/
***

Sungguh saya kagum orang-orang di bidang sastra, mereka mampu mengungkapkan, mengatur baik irama ‘kata’ sampai batas tertentu mengaburkan demi mendapati temuan yang kehendaknya diterima khalayak. Dengan mengurangi tumbuhnya bibit protes, oleh tekanan musik dipunyai berlipat makna tergantung indra penerimanya, lewat menentukan jatuh-bangunnya menggurati kalimat. Keberhasilannya menuangkan kata-kata mempengaruhi kejiwaan pembaca, membuka kalbu seluas-luasnya menuju hawa kemungkinan rahmat nan terbuka.

Mari mencermati apa yang membentuk pola paragraf di atas, tentu tak lepas riwayat ‘kata’ serta kisah orang yang berada di dalamnya, untuk pahami seluk-beluk kenapa hal itu hadir?

Sosok Taufiq Ismail (TI) berpribadi ta’at dari awal berkarya hingga kini, setidaknya kerap memakai songkok. Kesetiaanya di jalan tersebut bukan kemarin sore, pasti didukung bacaan, serta gerak peribadatan di rumah tuhan juga pengabdian ke masyarakat. Pada dunia sastra seminimalnya penjaga gawang majalah sastra Horison. Muslim baik hati tentu terpaut sungguh keyakinannya, memiliki benteng kala menyikapi godaan-rayu.

Ada makolah; “Perang terbesar memerangi hawa nafsu sendiri, yang tergantung profesi diembanya sebagai jalanan memakmurkan hayati.” Dan pengalaman TI mengalir dibagi-bagikan bagi terima berlapang dada, tiada ketulungan pengurbananya di alam susastra Indonesia, menyumbangkan dinaya nalar-perasaan; puisi-puisinya mencapai berbantal-bantal tebalnya, ceramahnya menyegarkan kalbu sesama. Sampai saya mencurigai, jangan-jangan termasuk Islam garis keras yang mengharamkan rokok.

Pengabdian besar tidak lepas hilaf dan semoga yang diungkapkan Elisa Dwi Wardani hanyalah keterlepasan tak pakem masanya. Entah sehabis mendapati menghargaan, sesudah syuting baca puisi di sebuah stasiun televisi, atau teringat telah mengangkat banyak penyair hebat dari majalah sastra dipandeganinya, SCB misalnya. Lantas angin bertiup kencang mengaburkan paham meninggikan drajat kepenyairannya, sampai-sampai seolah penguasa kata-kata di jagad raya, atas nada:

“penyair adalah penguasa kata-kata” dengan menurunkan melodinya “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.””
***

Bagi saya yang awam mengenai soal agama, istilah ‘penguasa’ sedari perkembangan sejarah ajaran Islam memiliki dua tafsir; yakni Tuhan (juga berhubungan rasul-Nya, Muhammad SAW), kedua sultan / raja bersama pemerintahannya. Yang pertama maknanya tidak berubah, sedangkan kedua mengalami pergeseran, bisa jadi sosok intelektual sebagai penggerak laju keadaban? Namun saya tidak habis pikir ini: “penyair adalah penguasa kata-kata.”

Kata ‘penguasa’ di hadapan saya sungguh agung, jikalau ditempatkan kepada sebutan tuhan, maka yang mengatur / penguasa terbitnya fajar hingga bertemunya senja, mentari, gemintang, di sisi kecantikan bulan dan lainnya, merupakan tanda-tanda kuasa-Nya. Dan kuasa pemerintah, raja, sultan adalah bersegenap tanah air sebatas garis kerajaannya, ini diwarnai pergolakan intrik jegal tidak sedap dipandang mata.

Penyair di suatu negara, tentu memegang tanda kewarganegaraan, sekecilnya punya rasa cinta kepada tanah airnya. Meski kalimatnya mampu menembus belahan bebangsa, juga abad-abad di depannya, tetaplah manusia mengabdi pada kata, seperti pedagang mempunyai ‘kata sepakat’ di dalam pertukaran barang dagangannya. Profesi lain demikian adanya, menggunakan kata-kata untuk lajuan sejarah insan sebagai rangkaian menjelma panji-panji peradaban di masanya. Jadi bukan penyair saja, jika kata ‘penguasa’ ialah turunan dari kekuasaan lebih besar darinya. Sungguh sembrono sebola ditendang melambung tinggi, mengingat pendapat TI di atas.

Saya kira lebih tepat, penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya. Mereka mengaduknya tak hanya indah, namun juga menyembulkan makna di kedalaman syair-syairnya, dan bukan sosok penguasa kata-kata. Ketika saya raba seungkapan TI muncul, mungkin sebab kejiwaan senioritasnya, merasa berkuasa menjadikan orang lain penyair atau sebaliknya. Maaf jika salah menduga wujud keblingernya.

Mari susuri turunan melodinya yang saya bagi tiga belahan: “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2), dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).””
***

Ungkapan “penyair adalah penguasa kata-kata.” Lantas mengalami turunan nilai saat dapati awalan ‘mungkin’ di belakangnya ialah sudah terkena pembatalan. Sebab kata ‘penguasa’ (kuasa) merupakan hal tak tertolak dengan apa pun. Karena kata ‘kuasa’ berdekatan kata ‘mutlak,’ (maha) berkehendak (perintahnya). Jika nada ini saya rendahkan sedikit menerima kata ‘penguasa’ sekadar pemanis, menjadi tak penting abang-abang lambe, gincunya perayu bagi yang tidak jeli selidiki drajat ‘kata’ sebagai pribadi nan mandiri maknanya.

TI sepertinya mengajak bercanda, kalau tak mau menerima disebut angkuh oleh berpaham penyair ialah penguasa kata-kata. “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” Saya kira tidak sekadar tukang syair saja memiliki kemampuan demikian lihai berujar, jika kata ‘kuasa’ sebagai turunan dari perihal kedua saya sebut di atas (tuhan dan sultan). Lalu semakin menggelikan membaca cermat kalimat di dalam tanda petik itu serupa dinaya tarik mengelak sedari kesombongan awal daripada profesi lain. Gerakan suatu ‘kata’ yang meluncur dari orang-orang berkemampuan piawai pun tak “secara otoriter, memangkas ataupun mencukur (kata-kata).” Para sejarahwan, filsuf, psikolog sampai akuntan, kerja kata-katanya tak lebih mendialogkan yang jadi permasalahan diunggahnya. Malah kadang jadi titik temu kepahaman yang mengutarakan dengan para penerimaannya, sebagai bentuk ukuran tertentu yang memang tiada mutlak sama keadaannya.

“namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2).” Sungguh geli ungkapannya yang saya kira lebih dekat seorang guru / pendidik yang memiliki kuasa kata-kata, jikalau dimaksud penguasa ‘kata’ sekadar ke tataran insani. Betapa sang pengajar di suatu kelas misalkan, “membiarkan kata-kata mengukur emosinya” dan sedapat mungkin para murid menerima dengan kadar keinsfaan atas keilmuan tengah direguknya. Kalau TI mengelak, berpaham penyair sama persis profesi lain, kenapa mengangkat penyair saja? Apakah dekat profesinya? Ini serupa pribadi menutup diri di belahan bidang kehidupan lain di luar keahliannya, sampai mewujud undukan pasir aneh. Atau kacamata kuda tak tengak-tengok luasnya cakrawala, yang dianggapnya kerja bersyair lebih agung daripada pedagang klontong contohnya.

“dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).” Saya terbayang ibunda atau bapak menggendong anaknya, untuk ditidurkan di ayunan tangannya. Mereka bernikmat-nikmat dengan kata-kata demi mendapatkan pencerah, yakni ruang penjumlahan aktivitas sehari-hari, dipantulkan berkasih sayang yang menghibur diri jua demi sang anak ialah penyejuk berkekuatan di atas kerja selanjutnya. Dan ‘kumandang lagu tidur’ bisa terjadi spontanitas oleh rindu menggebu, sehabis seharian berpeluh keringat mencarikan nafkah. Atau sosok pelajar ingusan mangalami jatuh cinta, bernikmat kata-kata untuk mendapati pencerah lewat surat-surat digubah demi kekasihnya. Begitukah penyair? Lalu kasir toko menikmati ‘angka-angka’, meski uang yang dihitung milik majikan dan seterusnya.

Demikian nikmat diberikan Sang Penguasa tak terkira nan teraba di belahan lain, rasanya enak berdialog saling menyepadankan paham sama menghargai. Menunjuk betapa indah kehidupan dengan tidak membentuk jalur kekuasaan ‘menindas’ profesi lain, meski berirama santun; nada dan dakwa istilah Roma Irama. Atas musik ini, alunan kehidupan harmonis seperti usaha majalah membutuhkan kerjanya distributor, agar tak kembang-kempis kerap mendekati nasib kolap.

Sebagai penutup, kala pelaku sebelumnya sudah merasa sebagai ‘penguasa kata-kata,’ maka turunannya mengalami kemalangan menjelma penyair ‘suka beralibi.’ Dan sepengetahuan saya, para intelektual muslim / sastrawannya yang diakui ketokohannya oleh dunia, dari generasi awal sampai akhir, belum saya temukan paham mereka senekat ungkapan tuan Taufiq Ismail tersebut. Wallahualam bi shawab.
***

Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_31.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi