Membaca ‘kedangkalan’ logika Dr. Ignas Kleden? (bagian X kupasan ketiga dari paragraf keduanya)
Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/
Sebelum masuk bagian ini, izinkan menulis perihal keheranan saya pada penyair atau yang mengakuinya, namun ungkapannya telah melampaui batas sejarah kodrat iradat insani. Oleh sangking keterlaluan menggumuli kata, seakan ‘kata’ menjelma sekutu terbaik, seolah gerak hasratnya mampu memerintah kalimat, bahasa sedari kekuasaan hidup dengan pandangan sebelah mata, tidak menengok profesi lain juga memakainya. Atau hilaf tak merasai gerakan terlembut kehidupan dari Sang Maha Hidup yang senantiasa mengatur segenap indra, mengurus planet-planet beserta peredaranya, tak terkecuali menghadiahi nafas bagi tukang-tukang syair.
Sepengetahuan saya, ungkapan bombastis apakah tentang tuhan telah mati, senjakala sejarah, -hal keterlaluan, biasanya diusung bersegenap gegugusan wacana argumentatif, sehingga kehadirannya tidak sepintas slogan yang kelak menjadi dagelan. Sekiranya ucapan orang ditokohkan tampak kebiasaannya membuat gosip, atau pendapat asal-asalan dekat keangkuhan, merasa ampuh sampai lepas dinaya ingat awalnya belajar menuntut ilmu. Kian gagal diikuti generasi bermental penurut, ‘nerimo eng pandum’ cepat-cepat puas, tidak menyelidik kehendak dikunyah. Pembodohan ini berantai sejauh kekuasaan penguasa tersebut, entah dari kekuatan modal / jargon lain terlihat mentereng angker bertuan, tetapi tidak bertuah.
***
Semalam saya menemukan artikelnya seorang dosen Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Elisa Dwi Wardani berjudul “Sastra dan Identitas” diterbitkan koran Kedaulatan Rakyat 10/05/2008, yang mengundang daya ganggu. Sepertinya sesuai alur jika diilustrasikan pada bacaan menguak SCB dari IK, sejenis guyonan namun tak lepas minat keseriusan. Di bawah ini larikannya:
Sebagaimana dikatakan oleh penyair Taufiq Ismail, penyair adalah penguasa kata-kata. Walaupun seorang penyair, seperti kata Taufiq Ismail, mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.” Selengkapnya di sini: http://sastra-indonesia.com/2011/08/sastra-dan-identitas/
***
Sungguh saya kagum orang-orang di bidang sastra, mereka mampu mengungkapkan, mengatur baik irama ‘kata’ sampai batas tertentu mengaburkan demi mendapati temuan yang kehendaknya diterima khalayak. Dengan mengurangi tumbuhnya bibit protes, oleh tekanan musik dipunyai berlipat makna tergantung indra penerimanya, lewat menentukan jatuh-bangunnya menggurati kalimat. Keberhasilannya menuangkan kata-kata mempengaruhi kejiwaan pembaca, membuka kalbu seluas-luasnya menuju hawa kemungkinan rahmat nan terbuka.
Mari mencermati apa yang membentuk pola paragraf di atas, tentu tak lepas riwayat ‘kata’ serta kisah orang yang berada di dalamnya, untuk pahami seluk-beluk kenapa hal itu hadir?
Sosok Taufiq Ismail (TI) berpribadi ta’at dari awal berkarya hingga kini, setidaknya kerap memakai songkok. Kesetiaanya di jalan tersebut bukan kemarin sore, pasti didukung bacaan, serta gerak peribadatan di rumah tuhan juga pengabdian ke masyarakat. Pada dunia sastra seminimalnya penjaga gawang majalah sastra Horison. Muslim baik hati tentu terpaut sungguh keyakinannya, memiliki benteng kala menyikapi godaan-rayu.
Ada makolah; “Perang terbesar memerangi hawa nafsu sendiri, yang tergantung profesi diembanya sebagai jalanan memakmurkan hayati.” Dan pengalaman TI mengalir dibagi-bagikan bagi terima berlapang dada, tiada ketulungan pengurbananya di alam susastra Indonesia, menyumbangkan dinaya nalar-perasaan; puisi-puisinya mencapai berbantal-bantal tebalnya, ceramahnya menyegarkan kalbu sesama. Sampai saya mencurigai, jangan-jangan termasuk Islam garis keras yang mengharamkan rokok.
Pengabdian besar tidak lepas hilaf dan semoga yang diungkapkan Elisa Dwi Wardani hanyalah keterlepasan tak pakem masanya. Entah sehabis mendapati menghargaan, sesudah syuting baca puisi di sebuah stasiun televisi, atau teringat telah mengangkat banyak penyair hebat dari majalah sastra dipandeganinya, SCB misalnya. Lantas angin bertiup kencang mengaburkan paham meninggikan drajat kepenyairannya, sampai-sampai seolah penguasa kata-kata di jagad raya, atas nada:
“penyair adalah penguasa kata-kata” dengan menurunkan melodinya “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan.””
***
Bagi saya yang awam mengenai soal agama, istilah ‘penguasa’ sedari perkembangan sejarah ajaran Islam memiliki dua tafsir; yakni Tuhan (juga berhubungan rasul-Nya, Muhammad SAW), kedua sultan / raja bersama pemerintahannya. Yang pertama maknanya tidak berubah, sedangkan kedua mengalami pergeseran, bisa jadi sosok intelektual sebagai penggerak laju keadaban? Namun saya tidak habis pikir ini: “penyair adalah penguasa kata-kata.”
Kata ‘penguasa’ di hadapan saya sungguh agung, jikalau ditempatkan kepada sebutan tuhan, maka yang mengatur / penguasa terbitnya fajar hingga bertemunya senja, mentari, gemintang, di sisi kecantikan bulan dan lainnya, merupakan tanda-tanda kuasa-Nya. Dan kuasa pemerintah, raja, sultan adalah bersegenap tanah air sebatas garis kerajaannya, ini diwarnai pergolakan intrik jegal tidak sedap dipandang mata.
Penyair di suatu negara, tentu memegang tanda kewarganegaraan, sekecilnya punya rasa cinta kepada tanah airnya. Meski kalimatnya mampu menembus belahan bebangsa, juga abad-abad di depannya, tetaplah manusia mengabdi pada kata, seperti pedagang mempunyai ‘kata sepakat’ di dalam pertukaran barang dagangannya. Profesi lain demikian adanya, menggunakan kata-kata untuk lajuan sejarah insan sebagai rangkaian menjelma panji-panji peradaban di masanya. Jadi bukan penyair saja, jika kata ‘penguasa’ ialah turunan dari kekuasaan lebih besar darinya. Sungguh sembrono sebola ditendang melambung tinggi, mengingat pendapat TI di atas.
Saya kira lebih tepat, penyair menggunakan kata-kata dalam kerja kepenyairannya. Mereka mengaduknya tak hanya indah, namun juga menyembulkan makna di kedalaman syair-syairnya, dan bukan sosok penguasa kata-kata. Ketika saya raba seungkapan TI muncul, mungkin sebab kejiwaan senioritasnya, merasa berkuasa menjadikan orang lain penyair atau sebaliknya. Maaf jika salah menduga wujud keblingernya.
Mari susuri turunan melodinya yang saya bagi tiga belahan: “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2), dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).””
***
Ungkapan “penyair adalah penguasa kata-kata.” Lantas mengalami turunan nilai saat dapati awalan ‘mungkin’ di belakangnya ialah sudah terkena pembatalan. Sebab kata ‘penguasa’ (kuasa) merupakan hal tak tertolak dengan apa pun. Karena kata ‘kuasa’ berdekatan kata ‘mutlak,’ (maha) berkehendak (perintahnya). Jika nada ini saya rendahkan sedikit menerima kata ‘penguasa’ sekadar pemanis, menjadi tak penting abang-abang lambe, gincunya perayu bagi yang tidak jeli selidiki drajat ‘kata’ sebagai pribadi nan mandiri maknanya.
TI sepertinya mengajak bercanda, kalau tak mau menerima disebut angkuh oleh berpaham penyair ialah penguasa kata-kata. “mungkin tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur (1)” Saya kira tidak sekadar tukang syair saja memiliki kemampuan demikian lihai berujar, jika kata ‘kuasa’ sebagai turunan dari perihal kedua saya sebut di atas (tuhan dan sultan). Lalu semakin menggelikan membaca cermat kalimat di dalam tanda petik itu serupa dinaya tarik mengelak sedari kesombongan awal daripada profesi lain. Gerakan suatu ‘kata’ yang meluncur dari orang-orang berkemampuan piawai pun tak “secara otoriter, memangkas ataupun mencukur (kata-kata).” Para sejarahwan, filsuf, psikolog sampai akuntan, kerja kata-katanya tak lebih mendialogkan yang jadi permasalahan diunggahnya. Malah kadang jadi titik temu kepahaman yang mengutarakan dengan para penerimaannya, sebagai bentuk ukuran tertentu yang memang tiada mutlak sama keadaannya.
“namun penyair juga “membiarkan kata-kata mengukur emosinya (2).” Sungguh geli ungkapannya yang saya kira lebih dekat seorang guru / pendidik yang memiliki kuasa kata-kata, jikalau dimaksud penguasa ‘kata’ sekadar ke tataran insani. Betapa sang pengajar di suatu kelas misalkan, “membiarkan kata-kata mengukur emosinya” dan sedapat mungkin para murid menerima dengan kadar keinsfaan atas keilmuan tengah direguknya. Kalau TI mengelak, berpaham penyair sama persis profesi lain, kenapa mengangkat penyair saja? Apakah dekat profesinya? Ini serupa pribadi menutup diri di belahan bidang kehidupan lain di luar keahliannya, sampai mewujud undukan pasir aneh. Atau kacamata kuda tak tengak-tengok luasnya cakrawala, yang dianggapnya kerja bersyair lebih agung daripada pedagang klontong contohnya.
“dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan (3).” Saya terbayang ibunda atau bapak menggendong anaknya, untuk ditidurkan di ayunan tangannya. Mereka bernikmat-nikmat dengan kata-kata demi mendapatkan pencerah, yakni ruang penjumlahan aktivitas sehari-hari, dipantulkan berkasih sayang yang menghibur diri jua demi sang anak ialah penyejuk berkekuatan di atas kerja selanjutnya. Dan ‘kumandang lagu tidur’ bisa terjadi spontanitas oleh rindu menggebu, sehabis seharian berpeluh keringat mencarikan nafkah. Atau sosok pelajar ingusan mangalami jatuh cinta, bernikmat kata-kata untuk mendapati pencerah lewat surat-surat digubah demi kekasihnya. Begitukah penyair? Lalu kasir toko menikmati ‘angka-angka’, meski uang yang dihitung milik majikan dan seterusnya.
Demikian nikmat diberikan Sang Penguasa tak terkira nan teraba di belahan lain, rasanya enak berdialog saling menyepadankan paham sama menghargai. Menunjuk betapa indah kehidupan dengan tidak membentuk jalur kekuasaan ‘menindas’ profesi lain, meski berirama santun; nada dan dakwa istilah Roma Irama. Atas musik ini, alunan kehidupan harmonis seperti usaha majalah membutuhkan kerjanya distributor, agar tak kembang-kempis kerap mendekati nasib kolap.
Sebagai penutup, kala pelaku sebelumnya sudah merasa sebagai ‘penguasa kata-kata,’ maka turunannya mengalami kemalangan menjelma penyair ‘suka beralibi.’ Dan sepengetahuan saya, para intelektual muslim / sastrawannya yang diakui ketokohannya oleh dunia, dari generasi awal sampai akhir, belum saya temukan paham mereka senekat ungkapan tuan Taufiq Ismail tersebut. Wallahualam bi shawab.
***
Dijumput dari: http://nurelj.blogspot.com/2011/12/membaca-kedangkalan-logika-dr-ignas_31.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar