Sajak Gamang di Keramaian Orang
Binhad Nurrohmat*
http://www.sinarharapan.co.id/
(Satu)
Awal 1998 saya kebetulan terlibat dalam sebuah tim relawan lingkungan hidup di kawasan hutan Taman Nasional Way Kambas Lampung. Bagi saya pribadi keterlibatan itu lebih sebagai tamasya tak disangka-sangka, sumber kebahagian alami yang kian langka. Tapi kawan-kawan lain menganggap keterlibatan itu begitu serius dan tegang: proyek.
Dan saya dianggap kawan-kawan sebagai anggota yang menyeleweng dari garis fungsi utama sebagai anggota tim relawan itu hanya karena aku mengisi waktu istirahat untuk kelayapan ke dalam hutan atau asyik dengan gajah dan bukan memanfaatkannya untuk istirahat atau berkumpul dengan anggota tim lain untuk mendiskusikan hal-hal yang mungkin perlu didiskusikan.
Bagi saya, fungsi resmi dari keterlibatan itu justru jadi tak begitu penting lagi ketika saya sampai di lokasi tujuan ketimbang kesempatan limpahan peluang menikmati hutan yang begitu cantik dan liar. Mungkin sikapku ini menjadi subversif bila berhadapan dengan barisan poin di kertas kontrak kerja. Tapi saya tetap bertanggung jawab sebagai anggota tim dengan cara bekerja membereskan semua job description yang memang jatah saya.
Saya sering duduk-duduk murung, malas-malasan atau menatapi langit luas sambil tiduran di punggung seekor gajah betina usia puluhan tahun itu. Kulitnya kasar ditumbuhi bulu-bulu yang sangat jarang. Matanya begitu kecil bagi ukuran tubuhnya dan sikapnya terlampau ramah bagi postur tubuhnya yang raksasa.
Para pawang gajah di kawasan taman nasional itu menamai binatang-binatang betina itu dengan nama yang identik dengan nama (manusia) perempuan pada umumnya; bahkan ada yang mengingatkanku pada seorang artis sinetron ternama – tapi kini aku lupa siapa.
Saya suka gajah betina itu dan kayaknya demikian juga sebaliknya. Binatang itu begitu patuh sejak pertama kali aku diajari pawang untuk mengendalikannya. ”Anggap dia kawan baikmu,” kata si pawang. Saya patuh pada saran pawang itu. Gajah butuh elusan dan perhatian. Kayak pacarmu, katanya.
Apa gajah punya perasaan dan mengerti perasaan manusia? Mengerti atau tak, gajah tetap binatang. Selalu hati-hatilah, jawab si pawang. Dari cerita-cerita yang saya dengar selama berada di kawasan taman nasional itu, berkali-kali pernah terjadi insiden pawang dicelakai gajah asuhannya. Tapi saya selalu merasa nyaman dan aman ketika duduk di leher gajah betina yang kokoh dan besar dan terlindung daun telinga yang lebar dan teduh itu. Saya belum pernah merasakan ancaman bahaya apapun dari gajah di kawasan taman nasional itu.
Saya juga pernah mendengar cerita mengerikan dari seorang pawang gajah di taman nasional itu. Dalam sebuah latihan atraksi gajah ada seorang pawang gajah perutnya pecah sampai keluar ususnya dan tulang-tulang badannya remuk karena terinjak kaki kanan belakang seekor gajah. Menurut penuturan pawang gajah itu, kejadian mengenaskan itu sebuah kecelakaan. Gajah yang menginjak perut pawang itu sebelumnya dikenal sangat jinak dan belum punya cacatan berperilaku buruk selama berada di PLG (Pusat Latihan Gajah– semacam sekolah untuk para gajah di taman nasional itu).
Saya tiba-tiba terkenang masa kanak dulu sangat membenci dan mengutuk gajah karena binatang itu (menurut cerita guru mengajiku di surau) menjadi binatang tunggangan utama para penghancur bangunan ikon penting agama yang dianut sebagian besar penduduk kampung saya. Bahkan ada orangtua di kampung saya melarang anak-anaknya menonton televisi gara-gara menayangkan program acara sirkus binatang itu. Dan mungkin ini ironi: suatu ketika saya bercengkerama dengan binatang itu dan para orangtua di kampung saya banyak memakai kain sarung bermerek gambar binatang itu untuk salat atau tahlilan di surau. Malahan pada perhelatan MTQ (saya lupa untuk yang ke berapa) di ibukota provinsi menghadirkan atraksi pertandingan sepak bola antargajah.
Dalam rangsel alpina besar saya, di bagian paling bawah menumpuk buku-buku sajak pamflet penyair flamboyan dan juga tukang main sandiwara kawakan di negeriku. Buku-buku itu tertindih tumpukan apek kaos dagadu, celana alpina, kemeja flannel dan lembar-lembar cawat entah merek apa.
Saya sering membaca beberapa biji sajak penyair itu sambil menunggangi punggung gajah betina itu menjelajah kawasan hutan taman nasional itu. Saya merasakan sesuatu yang aneh, mungkin sejenis kontras, ironi atau entah apa namanya. Saya merasa membaca sajak pada sebuah ruang, waktu, dan suasana yang tak sesuai, tak semestinya.
Sajak-sajak itu seperti hanya melingkar-lingkar, berdengung-dengung di telinga kecil saya, menggumam-gumam di mulut saya yang masam, tak menemukan sasaran. Saya tahu banyak sajak penyair besar hendak membidik kesadaran orang sebanyak mungkin untuk merebut atau merangsang perhatian yang seluas-luasnya.
Saya selalu takjub setiap kali penyair flamboyan itu beraksi di panggung, banyak penonton (terutama perempuan muda) terkesima bahkan histeris sebelum penyair itu sempat membaca satu kata pun dari sajaknya. Bagi dia bukan lagi hanya penyair, tetapi sekaligus selebriti. Sungguh busyet! Saya kadang merinding campur malu bila teringat dan membandingkan sajak-sajak lama saya yang begitu sunyi yang kini entah ada di mana. Siapa yang pernah membaca, siapa pula yang sempat terkesima?
Kata seorang ahli tentang sajak di Jakarta, histeria pendengar sajak penyair flamboyan itu bukan didorong oleh getaran atau pesona estetika sajak pamflet si penyair itu tapi oleh gagah kepalan tangan, pendaran aura kharisma dan legenda, dan luapan protes sosial yang begitu lantang terucap lewat sajaknya yang seolah ingin mewakili pikiran dan kekecewaan orang banyak.
Konon si penyair pamflet itu kerap dicekal aparat keamanan karena alasan yang cenderung politis: mengganggu stabilitas. Sampai begitu berbahayakah makhluk bernama penyair itu? Saya jadi teringat sebuah justifikasi seorang penyair daerah yang sangat jumawa menulis di koran terkemuka di daerahnya, ”Pada akhirnya seorang seniman adalah politikus”. Wah, wah, wah!
Saya merasa bersalah membaca keras-keras sajak penyair flamboyan itu di atas punggung gajah yang terus merangsek ke dalam kawasan hutan itu. Selama menjelajah itu saya dan gajah yang saya tunggangi juga sempat memergoki dan bikin kaget beberapa pasang laki-perempuan sedang mesra-mesraan sepertinya tak ada tempat lain yang lebih pas untuk menyalurkan dorongan biologis yang asyik itu. Mungkinkah mereka mendengar sajak-sajak yang saya bacakan tadi?
Kemudian saya berpikir apakah sajak harus butuh publik (pendengar atau pembaca) –- tak seperti aktivis ”asmara semak belukar” itu yang sama sekali tak ingin orang lain tahu apapun yang mereka lakukan –- yang ketika usai ditulis harus ada yang membaca dan ketika dibacakan harus ada pula yang mendengar? Apakah anasir yang bernama publik bagian dari eksistensi sajak juga? Bisa ya dan tak muskil juga tak. Teramat relatif dan subjektif.
Lantas untuk apa dan siapa penyair menulis atau membaca sajak? Tak musykilkah kegiatan menulis bagai sembahyang yang ikhlas, tanpa pretensi psikologis (popularitas) maupun ekonomis (imbalan) tertentu?
Saya akhirnya tahu, pertanyaan-pertanyaan itu sudah menjadi klise dan memang sangat tak penting dipertanyakan. Apalagi sampai habis-habisan mengupayakan barisan jawaban spekulatif yang cenderung miring, sarat jelek sangka intelektualis segala. Saya ingin tertawa jadinya.
Untuk apa dan untuk siapa pun sajak ditulis, itu bukan perkara signifikan bagi eksistensi sajak. Setiap orang punya hak asasi menentukan untuk apa dia menulis atau untuk apa dia membaca sajak. Janganlah gegabah main pasang curiga-mencurigai atau main tuduh-menuduh hanya berdasarkan sejumlah anggapan atau hipotesis miring yang diintelektualisasikan.
Saya tiba-tiba terkenang Emily Dickinson, orang Amerika yang ketahuan tumpukan puisinya teronggok di laci meja kerjanya setelah dia mati dan menjadikan dia seorang penyair anumerta. Siapa yang tahu untuk apa dan siapa dia menulis sajak?
Juga Franz Kafka, lelaki sendu yang menyedihkan, pencipta tokoh Gregor Samsa yang menjelma kecoa ketika bangun dari tidurnya. Kafka konon sempat berpesan pada sahabat dekatnya agar seluruh tulisannya dihancurkan setelah dia mati. Siapa juga yang tahu untuk apa dan siapa dia menulis cerita? Apakah Dickinson dan Kafka tak pernah berpikir untuk apa dan untuk siapa mereka menulis? Mungkin rumput yang bergoyang pun tak bisa menjawabnya.
Saya ingin berhenti bertanya-tanya lagi. Tak ada guna. Saya ingin santai. Toh hidup pun sudah penuh jawaban-jawaban hebat. Lebih baik menyanyikan sebuah lagu pop lokal yang sedikit-sedikit masih kuingat syairnya. Kebetulan saya tak begitu doyan rokok atau bir sekadar untuk melepas ketegangan. Menyanyi lebih murah dan sehat.
Sialan! Saya terpaksa terkikik-kikik ketika teringat lagi sepasang laki-perempuan aktivis asmara semak belukar yang tergesa-gesa meng-cut keasyikannya karena kepergok dan buru-buru mengenakan pakaian mereka lalu kabur dengan wajah merah-malu.
Dalam perjalanan ke luar hutan saya masih sempat berpikir, mungkin sebuah sajak butuh ruang, waktu dan suasananya sendiri yang pas untuk kehadirannya. Sebuah sajak tak bisa dihadirkan sembarangan agar sajak tak tersesat di ruang, waktu dan suasana yang tak tepat. Sebuah sajak mungkin juga mempunyai semacam psikologi tertentu, yang eksklusif dan peka.
Lagi-lagi saya bertanya: kenapa dan apa memang harus demikian sebuah sajak? Mungkinkah setiap penyair punya rancangan bawah sadar atau justru sangat sadar mengarahkan sajaknya pada ruang, waktu dan suasana tertentu? Aduh, saya jadi malu, dalam tulisan ini aku lebih banyak bertanya ketimbang menemukan jawaban.
Barak-barak pawang PLG tampak di kejauhan di antara pohonan hutan. Matahari sudah melorot ke arah Barat. Saya berdiri sempoyongan di atas punggung gajah yang terus berjalan pelan. Saya membaca sajak ”Nyanyian Angsa”, sebuah narasi terkenal penyair flamboyan itu yang tokohnya seorang lonte, Maria Zaitun, yang katanya Badannya demam./ Sifilis membakar tubuhnya./Penuh borok di kelangkang/ di leher, di ketiak, dan di susunya./
Segala pohonan, binatang, belukar, juga gajah tunggangan itu saya jadikan para pendengar saya. Tapi tak ada satu pun tepuk tangan terdengar. Apalagi histeria. Aku tak kecewa —- bukan itu yang paling saya harapkan.
(Dua)
Kira-kira paruh kedua 2001 kebetulan saya menjadi ”pejuang kecil” dari sebuah kekuasaan yang dipimpin seorang demokrat tulen dan tokoh besar kaliber internasional yang nyaris (di)tumbang(kan). Sungguh ini pekerjaan amat berat, yang spontan, temporer, dan tak pernah kucita-citakan sebelumnya. Tak heran sering terasa tak begitu indah, kering, tegang, dan genting. Tapi tak apalah, namanya perjuangan…..
Di tengah kerumun massa, yel-yel heroik, bendera-bendera besar di semacam alun-alun di jantung Jakarta, tubuh saya yang tipis terhimpit dan kuyup peluh kecut. Saya merasa sukar bernapas dan nyaris tak bisa menggerakkan tubuh saya lagi sedikit pun. Seolah tubuh saya sudah menyatu dengan tubuh massa. Tapi entah kenapa perasaan saya masih dingin, beku, tak cair-hanyut dan tak terbakar emosi massa serta suasana eforia kolektif itu.
Mungkin saya bukan pekerja yang baik (di bidang itu). Dan saya ingin jujur dan tak ingin pura-pura sudah hebat dan mahir menggerakkan massa. Dan mungkin saya absurd: di saat lautan massa histeris memekikkan yel-yel, mulut saya justru bungkam, pikiran saya malah tenang terkenang sajak yang begitu nyaman, ”Di Beranda ini Angin Tak Kedengaran Lagi”. Ya, sebuah sajak bertitimangsa 1966 yang ditulis pemuda pemalu kelahiran Batang, sebuah distrik kecil di pantai utara Jawa. Pemuda itu di kemudian hari, sekian tahun setelah menulis sajak itu, menjadi legenda jurnalisme amat penting dan tenar justru lewat kolom kecil yang tampak sekedar sisa kolom dalam sebuah majalah yang diasuhnya puluhan tahun lamanya.
Lalu saya bayangkan tubuh saya lepas dari kerumun massa. Saya berjalan menyeruak tubuh-tubuh kecut dan menaiki panggung lalu berjalan menuju podium yang disediakan khusus untuk sang pemimpin yang nyaris (di)tumbang(kan) itu. Saya membaca sajak pemuda Batang yang kuhafal di luar kepala itu. Sajak yang begitu tenang dan menghanyutkan. Dalam pandangan mata saya, massa yang tadi gemuruh menjadi teduh, bendera-bendera besar diturunkan, yel-yel dihentikan seusai bait pertama sajak itu kubacakan.
Tapi massa juga tampak bingung, tak mengerti: kenapa justru ketenangan yang dihadirkan dalam suasana yang seharusnya dibutuhkan sebuah semangat berlimpah, heroisme meledak-ledak?
Mulut massa masih terngangga, melongo sampai baris terakhir sajak usai saya bacakan. Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela/ mengekalkan esok yang mungkin tak ada// . Lalu saya rasakan pandangan mata saya terasa kelabu berkunang-kunang. Samar-samar terdengar kegaduhan bergerak menyerbu panggung. Mungkin ini sungguh-sungguh sebuah insiden atau bunuh diri yang memalukan. Untung saja ini terjadi cuma dalam ilusi sehingga saya tak harus bertaruh ”kehilangan” pekerjaan berat yang sementara itu.
Meski itu cuma ilusi, mungkin tetap tak lucu. Sajak itu kelewat personal yang mungkin akan lebih menggetarkan ketika dibaca sendirian dan diam-diam dalam kamar pada tengah malam. Kemungkinan besar nasib sajak itu akan hambar di tengah lautan massa yang gemuruh, memekikkan yel-yel, menjadikan sajak itu sangsi, gamang pada dirinya sendiri.
Ah, sebuah sajak bagus yang kayaknya diciptakan dalam suasana gairah penuh kebebasan dan ekspresi estetik habis-habisan itu pun tak selalu bisa sepenuhnya memiliki ruang, waktu dan suasana yang selalu bebas bagi kehadirannya.
*) Penulis adalah penyair.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar