Pandu Radea
http://www.kabar-priangan.com/
Bulan pucat pasi, bergetar di atas riak gelombang. Angin laut menderu-deru mengiris malam. Waktupun terasa berdetak lambat seolah ingin menegaskan harapan yang tersirat pada wajah wanita yang benama Pejoh.
Dialah yang menjadi pemeran utama malam ini. Tokoh kunci yang akan mentasbihkan sekelompok peronggeng muda yang akan menjadi pewaris kesenian khas Ciamis di masa yang akan datang. Calon peronggeng gunung yang merupakan generasi muda dibawah asuhan Neng Peking malam itu didaulat untuk melanjutkan amanat karuhun, menari dan mendendangkan wawangsalan buhun Dewi Siti Samboja.
Peristiwa budaya yang bertempat di Pondok Wisata Disbudpar Pangandaran, pada malam Minggu (1/10) itu digagas oleh Disbudpar Provinsi Jawa Barat dengan tajuk kegiatan “Pagelaran Hasil Pewarisan Kepesindenan Dalam Ronggeng Gunung”. Dan Bi Pejoh sebagai Maestro Ronggeng Gunung didaulat sebagai guru yang mewariskan Seni Ronggeng Gunung. Kesempatan langka itu sekaligus menjadi titik balik bagi Bi Pejoh tampil kembali di muka publik, setelah belasan tahun berhenti dari kiprahnya sebagai seniman ronggeng gunung. Dan Bagi Disbudpar, kegiatan ini diharapkan dapat memicu gairah positip bagi generasi muda untuk lebih mengenal, mendalami dan mengaktifkan seni Ronggeng Gunung di masyarakat luas, sekaligus meningkatkan citra pariwisata di Pangandaran.
Kemasan kegiatan memang mengacu kepada nilai-nilai sakral yang biasa dilakukan jaman dulu. Harum kemenyan, dan sederet sesajen yang disimpan di depan panggung menegaskan bahwa kegiatan itu tidak semata-mata hanya seremonial belaka. Pewarisan itu sendiri dilaksanakan sore hari sebelum pagelaran dimulai. Beberapa remaja putri yang dibina oleh Neng Peking, mengikuti ritual siraman yang dipimpin langsung oleh Bi Pejoh. Setelah acara inti selesai, maka malam harinya adalah pagelaran Ronggeng Gunung. Saat itulah Bi Pejoh tampil kembali sebagai ronggeng Gunung dengan didampingi oleh Neng Peking dan anak didiknya. Kesempatan itu pun menjadi lebih istimewa saat Bi Raspi, Ronggeng Gunung yang namanya sudah populer di Jawa Barat, juga turut ngahaleuang mendampingi Bi Pejoh.
Bi Pejoh sesungguhnya adalah maestro Ronggeng Gunung yang selama ini namanya nyaris tak tercatat dalam literatur media maupun di akademisi seni. Sosoknya hanya ada dalam ingatan orang-orang tertentu saja yang mengenalnya sebagai guru Ronggeng Gunung. Bi Pejoh dianggap ronggeng gunung betul-betul memahami, menghayati dan mendalami makna setiap nyanyian Ronggeng Gunung yang langka itu. Selama ini perhatian publik seni di Jawa Barat hanya mengenal nama Bi Raspi sebagai satu-satunya Ronggeng Gunung yang masih hidup. Hal itu suatu kondisi yang selalu menimbulkan kekhawatiran akan punahnya seni yang diciptakan Dewi Siti Samboja.
Bagi Bi Pejoh, setiap rumpaka lagu, seperti Kudup Turi, Golewang, Canggreng, Raja Pulang, Jangganom, Manangis, Cacar Burung, Ladrang, Tunggul Kawung, Torondol, Sasagaran, Kawungan, Liring, dll, memiliki nilai dan aturan tersendiri, tidak sembarang dihaleungkeun, harus sesuai urutan, dengan kebutuhan dan perhitungan waktu yang tepat. Karena semua lagu dalam ronggeng gunung menggambarkan atau prilaku Dewi Siti Samboja dan pengikutnya dulu. Konon, lalaguan dalam ronggeng gunung sebetulnya lebih dari 30 lagu. Malah ada yang “ngageugeuh” 40 lagu.
Tampilnya kembali Bi Pejoh mengobati kerinduan bagi penggemarnya. Kendati dengan suara yang tidak begitu prima, karena sekian tahun istirahat, namun tetap disambut dengan antusias oleh penonton yang hadir. Wawan Aryaganis, seniman tari dari padepokan Rengganis Ciamis terlihat demikian terharu. Wawan termasuk seniman yang mengenal bagaimana kiprah Bi Pejoh saat masih eksis.
“Dulu Bi Pejoh adalah ronggeng gunung terbaik, saya senang bisa melihatnya tampil kembali” ungkapnya.
Jika peristiwa budaya itu sesuai dengan tajuk kegiatannya maka, analoginya seperti menetasnya kembali telur dinosaurus. Artinya, sebagai sebuah peristiwa, ini adalah momen yang langka dan jarang terjadi. Bi Pejoh malam itu seolah menjadi penunjuk takdir bagi generasi pewarisnya untuk melanjutkan kiprah para ronggeng pendahulunya. Dan jika generasi itu mampu lana midang, moyan manggung tentu akan membawa harapan besar bagi masyarakat untuk merasa plong. Bahwa setidaknya kini, bersama Bi Raspi, ada beberapa peronggeng muda yang akan turut menjaga kelestarian seni buhun Ciamis pakidulan itu.
Sisi Paradox
Kegiatan penting itu, sepertinya luput dari perhatian media massa karena minimnya informasi dan publikasi di awal kegiatan. Padahal jika hal itu dilakukan serius oleh panitia kegiatan yaitu Disbudpar Provinsi Jawa Barat dan Disbudpar Kabupaten Ciamis, mungkin hasilnya akan sangat baik. Jumlah penonton yang relatif sedikit menjadi penanda minimnya publikasi. Padahal saat itu, pangandaran sedang ramai dikunjungi wisatawan yang berlibur akhir pekan. Imank Pasha, salah seorang penggiat sinema yang sengaja datang dari Ciamis untuk mendokumentasikan kegiatan tersebut adalah salah seorang yang menyayangkan hal diatas.
Pagelaranpun tidak begitu nyaman, karena sempitnya panggung pertunjukan. Nyaris setengah dari luas panggung telah dipenuhi kelengkapan gamelan untuk kebutuhan pertunjukan Ronggeng Amen yang akan ditampilkan setelah pentas Ronggeng Gunung. Hasilnya, para penari ronggeng gunung pria yang mengenakan sarung, tidak bisa tampil sebagaimana mestinya. Mereka menari berputar-putar di luar poros sang Ronggeng Gunung. Padahal, dalam kebiasaanya, penari pria ini harus menari mengitari Sang Ronggeng Gunung.
Tampilnya Ronggeng Amen setelah Ronggeng Gunung mendapat apresiasi yang bagus. Penonton pakidulan memang fanatik terhadap Ronggeng Amen yag lebih populer, mereka akan langsung ngengklak dipakalangan manakala para penari Ronggeng Amen mengalungkan selendang ke penonton yang terpilih. Namun suksesnya Ronggeng Amen yang sesunggunya menjadi pendukung kegiatan, justru membiaskan acara utama yang tersirat dalam tajuk kegiatan seperti yang tertulis di atas.
Kemudian, essensi dari pewarisan yang didalamnya disebut-sebut juga sebagai tawajjuh itu sendiri sepertinya harus dipertimbangkan lebih dalam. Tawajjuh berarti konsentrasi dan perhatian penuh terhadap sang Pencipta, mengacu pula sebagai pemusatan spiritual antara mursyid dan murid pada tataran yang lebih tinggi. Makna yang terkandung dalam konteks peristiwa budaya diatas dapat diartikan bahwa generasi yang ditawajjuh atau yang telah mewarisi bagbagan ilmu ronggeng gunung sudah layak untuk ditampilkan di masyarakat. Seperti sarjana yang telah diwisuda, yang mengemban amanat untuk mendedikasikan ilmunya bagi kemajuan masyarakat.
Artinya mereka yang diwarisi, harus bisa nembang dan ngibing sebagai dasar utama seorang ronggeng gunung. Berdasarkan referensi dari buku “Deskripsi Seni Daerah” (disusun oleh H.Djadja Sukardja S), pada bagian deskripsi yang berjudul “Ngala jeung Nanggap Ronggeng Gunung” (Umar, Penilik Kebudayaan Kalipucang) wanita yang ingin menjadi Ronggeng Gunung harus melewati ujian yang berat.
Di antaranya disebutkan: calon ronggeng kudu kuat mental jeung fisik sajero diajar nu lilana bisa nepi ka tilu bulan, diwulang tembang jeung diajar ngibing. kudu kuat daya ingetna sabab guru tara ngajarkeun wawangsalan katut lagu oron ti dua-tilu peuting, cukup sapeuting kudu geus apal. Tahan kurang sare kurang dahar. Malah dina “hataman” mah ukur dibere sangu dua huap, sagede indung suku nu dijerona geus dicampuran ramuan, diantarana tujuh siki pedes. Sangkan sorana lepas, tina liang irung nepi ka tikoro diasupan bari digera ku akar antanan. Mun palakiah panjang nafas, calon ronggeng gunung kudu latihan teuleum di sungapan atawa walungan nu aya curugna. Malah aya katangtuan nu baku, yen salila jadi ronggeng teu meunang boga salaki atawa heureuy jeung lalaki.
Saat ini belajar untuk menjadi Ronggeng Gunung mungkin tidak harus seperti itu. Kemajuan tekhologi dan bergesernya sebagian fungsi seni Ronggeng Gunung memudahkan orang untuk mempelajarinya. Namun gambaran diatas mengisyaratkan bahwa, jaman dulu, ketika seni Ronggeng Gunung begitu berperan di masyarakat sebagai seni yang berfungsi juga sebagai sarana ritual, tampak begitu berat syarat-syarat untuk menjadi seorang Ronggeng Gunung.
Dan seniman Gugum Gumbira, Sang Komposer Sunda serta maestro yang menggubah Ketuk Tilu menjadi Jaipongan, yang juga turut menyaksikan kegiatan tersebut mengungkapkan apresianya, bahwa sajian tersebut harus mengenai jiwa dan ruhnya, dan ritualnya harus kental dengan keasliannya.***
*) Warga Panjalu, pecinta Ronggeng Gunung /12 Oct 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar