Senin, 13 Agustus 2012

Menutup Polemik Kebudayaan…

Sutan Takdir Alisjahbana
http://majalah.tempointeraktif.com/

Berikut ini adalah jawaban untuk tulisan Taufik Abdullah dan Arief Budiman (TEMPO, 24 Mei), Goenawan Mohamad dan Abdurrahman Wahid (TEMPO, 31 Maret), Sutardji Calzoum Bachri dan Umar Kayam (TEMPO, 7 Juni), dan Daoed Joesoef (TEMPO, 14 Juni).

APABILA Taufik Abdullah dalam karangan Kenang, Kenanglah Polemik Kebudayaan menganggap bahwa dalam merumuskan identitas Indonesia dalam Polemik Kebudayaan itu saya adalah ‘anak kandung dari Sumpah Pemuda’, ia meletakkan pertukaran pikiran itu dalam perspektif yang benar. Segala usaha saya seperti menerbitkan Pujangga Baru jelas berpokok pada pikiran Sumpah Pemuda. Pujangga Baru bukan saja berjuang untuk bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga untuk menimbulkan suasana kebudayaan yang melingkupi seluruh Indonesia.


Dalam hubungan perbedaan kenyataan dan suasana yang disebabkan oleh perjalanan waktu 50 tahun, tepat sekali Taufik Abdullah berkata, “Yang menjadi soal dewasa ini bukan lagi ‘Semboyan yang Tegas’ seperti yang diucapkan waktu itu, yaitu bahwa kita mesti mengasah otak Indonesia setajam-tajamnya, membangkitkan pribadi-pribadi Indonesia dan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin, tetapi sekarang ini yang diperlukan adalah ‘Strategi yang Jelas’ untuk mencapai yang dicita-citakan dalam Semboyan yang Tegas.”

Orang-Orang Miskin

Sementara itu, Arief Budiman menyesali saya dengan mengatakan bahwa saya meletakkan pemikiran dalam konteks yang universal dan tidak dalam konteks sebuah sistem. Rasionalisme dalam sistem kapitalisme katanya lain dari dalam sistem sosialisme. Meskipun keduanya bersifat rasionalis, komitmen sistem kapitalis adalah modal sedangkan dalam sistem sosialis rasionalisme ditujukan untuk memberi kesejahteraan kepada orang-orang yang miskin.

Tentang hal ini hendak saya katakan bahwa sesungguhnya Polemik Kebudayaan ketika itu belum sampai membicarakan sistem dan ideologi. Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional kita yang dikuasai oleh nilai agama dan nilai seni). Yang pertama berdasarkan kerasionalan pikiran, sedangkan yang kedua berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi.

Arief Budiman mempertentangkan individualisme, sebagai dasar dari kapitalisme yang hendak mengumpulkan harta bagi individu, dengan sosialisme yang hendak menaikkan kesejahteraan rakyat. Kedua sistem ini dipertentangkan dalam lingkupan kebudayaan progresif atau modern yang dikuasai oleh kerasionalan. Jelas bahwa Adam Smith dan Marx sama-sama adalah anak dari kebudayaan progresif. Hal ini baik dijadikan lanjutan Polemik Kebudayaan sebagai pemikiran untuk masa depan.

Bagi saya jelas bahwa kapitalisme dan sosialisme, yang kedua-duanya telah mencapai jalan buntu itu, mesti melalui transformasi dalam suatu sintesis yang baru dalam suatu hubungan organisasi dunia yang dewasa ini telah disatukan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Satu hal lagi yang hendak saya sampaikan kepada Arief Budiman berhubung dengan ucapannya bahwa orang tradisional itu pun rasional. Jika perkataan rasional itu ingin diartikan seluas-luasnya, maka kita tiba pada pengertian rasional pada tingkat yang lain, yang tiada berwatas. Dalam hubungan ini si agamawan mempunyai logikanya tetapi jelas bahwa logika agama berbeda dari logika ilmu dan logika ekonomi.

Goenawan Mohamad mengemukakan tanggapannya tentang Polemik Kebudayaan dengan judul yang sangat menarik: Beberapa Tusuk Sate dan Segelas Rum. Goenawan benar ketika menganalisa bahwa optimisme dalam tahun 1930 itu adalah optimisme sebelum pengantin baru oleh orang-orang yang tak boleh tidak mesti percaya akan diri dan kemungkinan usahanya untuk mengatasi ketertinggalan bangsanya yang amat jauh. Setelah Kemerdekaan ternyata optimisme sebelum Kemerdekaan itu, seperti dikatakan oleh Goenawan, banyak di antaranya yang rontok. Residu kebudayaan lama ternyata tetap menebal. Beban sejarah dalam bentuk kebudayaan yang dilihat dari kebudayaan modern bersifat kurang aktif, kurang dinamis, kurang produktif, rupanya tetap menjadi beban yang berat.

Goenawan mengemukakan bahwa akibat keterbelakangan kita, yaitu kemiskinan, keterbelakangan dalam kecerdasan dan ekonomi sekarang ini menjadi belenggu yang baru. Dikutipnya Tawney yang mengibaratkan orang yang terus-menerus dalam air setinggi leher. Satu gerak saja yang salah dan seombak kecil saja menendang, ia akan tenggelam. Di sini Goenawan tiba pada sikap determinisme sosial dan ekonomi. Siapakah yang mesti dan akan dapat mengubah posisi celaka rakyat kita selain daripada kita sendiri? Dan perubahan sendiri itu tak boleh tidak mestilah bersifat perubahan jiwa, perubahan pemandangan hidup, perubahan cara berpikir. Kita mesti menjadi manusia baru yang dinamis dari dalam diri kita sendiri. Itulah yang dinamakan oleh Lindworsky Motiven-Kultur: berikan kepada orang yang lesu, apatis, dan putus harapan itu motif baru, cita-cita baru, dan ia akan menjadi manusia baru yang akan mengangkat dirinya dari lumpur tempat ia hampir tenggelam.

Zaman lampau Goenawan mengutip Joseph Livenstone yang mengatakan bahwa konsep tradisional ltu tidak dengan sendirinya hilang apalagi hilang 100%. Itu jelas. Tetapi jelas pula bahwa konsep tradisional itu tak mungkin dijadikan pusat perkembangan baru kita dalam dunia modern yang dikuasai oleh kemajuan ilmu, teknologi, dan kemajuan industri. Unsur-unsur kebudayaan tradisi itu mungkin, malah pasti ada yang akan tinggal sebagai sisa-sisa zaman lampau, tetapi ia jangan menahan tumbuhnya jiwa kebudayaan baru yang penuh keaktifan.

Juga Abdurrahman Wahid menganggap bahwa baik yang mau mempromosikan modernisasi maupun yang menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinak pada kenyataan yang berkembang. Menurut dia, sekarang ini aspek seremonial dari kebudayaan tradisi telah dimodernisasi, yaitu dieksploitasi oleh industri pariwisata. Demikian pula kebudayaan modern telah menyadari pentingnya integrasi organik antara nilai-nilai lama dan budaya baru. Masalah pokoknya bukan lagi rasionalitas harus diterima atau ditolak, melainkan bagaimana ia digunakan untuk mendorong munculnya kreativitas dari tradisi. Kekreatifan itu sekarang menjadi mandek, katanya, karena timbul kerutinan.

Di sini jelas bahwa Abdurrahman Wahid telah mengatasi polemik itu, dan berusaha menarik perhatian pada kemandekan perkembangan kebudayaan kita dewasa ini karena segala sesuatu telah menjadi rutin. Sekarang ini kehidupan kebudayaan dilanda oleh rutinisme dalam bentuk birokrasi pemerintah yang menahan bangkitnya kekreatifan dan penciptaan yang baru. Karangan Zeus, Eros, Siti Jenar, dan Parikesit yang ditulis oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri, membawa soal Polemik Kebudayaan ke tempat yang agak berlainan, meskipun masih tetap relevan. Dikatakannya bahwa sebenarnya soal Polemik Kebudayaan telah selesai dalam rumusan buku Social and Cultural Revolution in Indonesia, tempat saya berkata bahwa soal kita yang penting sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru.

Sebenarnya kalau saya mengatakan kebudayaan tradisi itu harus diintegrasikan dalam kebudayaan baru, hal itu artinya kebudayaan tradisi itu mesti mengalami transformasi. Dalam hal yang demikian yang diambil dari kebudayaan yang lama itu adalah unsur-unsur lahirnya, bentuk dan caranya. Tapi semuanya harus berubah menjadi penjelmaan jiwa kebudayaan modern yang, seperti kita tahu, dikuasai oleh kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi. Di sini kelihatan bahwa Sutardji kurang memahami pengertian kebudayaan sebagai suatu struktur.

Tiap-tiap kebudayaan itu mempunyai konfigurasi nilai-nilainya yang menentukan struktur dan arahnya sendiri, dan kebudayaan modern adalah kebudayaan yang berbeda sekali nilai-nilai dan strukturnya, bukan hanya dari kebudayaan Abad Pertengahan di Eropa, tetapi juga dari segala kebudayaan tradisi yang bersifat keagamaan. Kebudayaan modern yang bersifat sekuler itu mementingkan tanggung jawab manusia, hasil pemikiran dan pekerjaan manusia dalam usahanya menguasai alam.

Bahasa Asing

Sutardji berkata bahwa generasi kini lebih besar kepercayaan dirinya dari generasi sebelumnya. Kenyataannya adalah sebaliknya. Pada pikiran saya, banyak orang hendak kembali kepada kebudayaan tradisi, terutama sekali karena kebudayaan modern yang melingkupi seluruh dunia terlalu sulit untuk mereka pahami. Kebudayaan modern itu terlampau besar, terlampau kompleks dan rumit, sehingga tak mudah memahami dan menguasainya sebagai keseluruhan, apalagi kalau kita tidak menguasai bahasa asing. Perubahan berlaku dalam tiap-tiap masyarakat, menurut pemandangan Umar Kayam. Selalu lambat, oleh karena tak bisa dielakkan ada suatu keterikatan kepada kebudayaan tradisi yang sedikit banyaknya menghalangi lompatan kepada kebudayaan negara kebangsaan yang baru, malah yang masih mesti didirikan.

Umar Kayam mengemukakan bahwa dalam perubahan itu tiap-tiap masyarakat mempunyai jadwalnya sendiri, temponya sendiri. Dalam karangannya yang berjudul Dari Mahak Dumuk ke Indonesia, Umar Kayam menunjukkan proses yang sedang berlaku dalam masyarakat suku Dayak itu. Proses menuju kepada negara kebangsaan yang bersifat keindonesiaan itu sudah mulai berjalan. Dan dalam hal ini, katanya, hendaklah kita adil, memberikan kepada tiap-tiap masyarakat itu temponya sendiri.

Nyata sekali Umar Kayam seorang yang sabar melihat proses berjalan, sedangkan saya gelisah hendak mempercepat proses itu. Tetapi kemudian dikemukakannya juga bahwa meskipun masuk ke dalam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Indonesia, tak dapat dielakkan akan bangkit suatu Renaissance kebudayaan tradisi itu. Kebangkitannya bukan dalam bentuk yang lama tetapi dalam jiwa keindonesiaan. Tentang yang terakhir ini sesungguhnya inilah yang saya harapkan. Sebab, bagi saya, dalam tiap-tiap kebudayaan itu yang terpenting adalah jiwanya, sikap hidupnya, cara berpikirnya, dan nilai-nilai tujuannya. Adapun bahan-bahan dan alat-alat boleh saja berasal dari mana saja, apalagi dari kebudayaan tradisi itu sendiri.

Dr. Daoed Joesoef mempertahankan bahwa kebudayaan Indonesia seperti diterangkan menurut penjelasan UUD ’45 sama sekali tidak sekacau seperti yang saya nyatakan, sebab katanya penjelasan itu jelas menyatakan ke arah mana usaha kebudayaan Indonesia harus dikembangkan, untuk apa usaha itu dilakukan, dan di mana sumber bahan-bahan kebudayaan itu harus dicari, dan pemandangan itu tidak picik. Kekacauan penjelasan UUD ’45 itu telah kelihatan kepada kita apabila kata-katanya saja kita analisa. Apakah artinya kebudayaan timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya? Dikatakan pula bahwa usaha kebudayaan harus menuju kemajuan budaya, dan persatuan. Sekaliannya adalah permainan kata yang bersifat tautologi.

Tiga perkataan yang pada dasarnya sama dipakai dengan kekaburan pengertian dan kekacauan pikiran, yaitu katakata kebudayaan, budi daya, dan budaya. Lagi pula, apakah kebudayaan lama dan kebudayaan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di seluruh Indonesia? Saya mau bertanya beda “lama” dan “asli”, dan saya ingin tahu bagaimana modus operandinya untuk menentukan puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah. Kalau puncak-puncaknya saja terhitung kebudayaan Indonesia, bagaimana dasar-dasarnya? Cukupkah puncak tidak berdasar?

Bangsa Belanda Jelas bahwa pengertian kebudayaan tidak jelas bagi orang yang merumuskan UUD ’45 itu. Dr. Daoed Joesoef, yang mengatakan bahwa penjelasan UUD ’45 itu tidak kacau, menghendaki pengolah kebudayaan kita meneliti nilai-nilai yang mana yang telah memungkinkan kita selamat (survive) dari dahulu sampai sekarang dan nilai-nilai mana yang dapat membuat kita maju (progress) di hari mendatang. Dan selanjutnya ia berkata bahwa sebagai makhluk manusia yang kini mengelompok menjadi satu bangsa kita mempunyai satu masa lalu yang pantas dibanggakan. Tidak sedikit pun disadari oleh Dr. Daoed Joesoef bahwa dalam kebudayaan kita yang lama yang menjelmakan sikap hidup, mentalitas, dan cara berpikir kebudayaan itu, bangsa-bangsa di Indonesia ini menjadi makanan yang empuk bagi bangsa Belanda yang kecil. Itu tak dapat kita banggakan. Dan harus kita pahami dan sadari betul-betul hukum sebab-akibat yang menentukannya.

Bangsa Belanda yang datang menjajah ke sini kebudayaannya telah berubah dari kebudayaan ekspresif (yaitu yang dikuasai oleh perasaan dan kepercayaan agama). Untuk mencapai kebudayaan progresif yang dikuasai ilmu, teknologi, dan kemajuan ekonomi itu, jiwa, sikap hidup, cara berpikir, serta nilai-nilai bangsa Indonesia mesti berubah. Sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai kebudayaan lama, yang menyebabkan nenek moyang kita terperosok dalam penjajahan bangsa Belanda yang begitu kecil haruslah ditinggalkan. Perbedaan antara kebudayaan progresif dan ekspresif cukup besarnya, sehingga memberi arti kepada perbedaan Indonesia dan praIndonesia yang dapat dibandingkan dengan perbedaan zaman Islam dan zaman Jahiliahnya. Malah di sini dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa warga negara keturunan Cina yang mempunyai tradisi, sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai lain dari bangsa pribumi kita dengan mudah dapat melebihi bangsa pribumi Indonesia sekarang. Bukan hanya di lapangan ekonomi, tetapi juga di lapangan kecerdasan dan kemajuan pendidikan.

Dr. Mulyani Martania, dosen ilmu jiwa Universitas Gadjah Mada, yang beberapa tahun yang lalu mengadakan penyelidikan tentang motivasi murid-murid SMA di Yogyakarta, tiba pada kesimpulan bahwa motivasi anak-anak keturunan Cina lebih besar dari motivasi anak-anak Jawa. Dalam hubungan ini jelaslah bahwa saya setuju apabila kita mengadakan penelitian kebudayaan, tetapi penelitian itu hendaklah berdasarkan konsep-konsep pikiran yang jelas dan relevan. Lagi pula, kebudayaan Indonesia itu hendaklah diletakkan di tengah-tengah proses amalgamasi dan globalisasi kebudayaan-kebudayaan di dunia dewasa ini, yang oleh kemajuan ilmu dan teknologi batas-batasnya makin lama makin tidak berarti.

21 Juni 1986
Dijumput dari: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1986/06/21/KL/
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/06/21/KL/mbm.19860621.KL35303.id.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi