Sutan Takdir Alisjahbana
http://majalah.tempointeraktif.com/
Berikut ini adalah jawaban untuk tulisan Taufik Abdullah dan Arief Budiman (TEMPO, 24 Mei), Goenawan Mohamad dan Abdurrahman Wahid (TEMPO, 31 Maret), Sutardji Calzoum Bachri dan Umar Kayam (TEMPO, 7 Juni), dan Daoed Joesoef (TEMPO, 14 Juni).
APABILA Taufik Abdullah dalam karangan Kenang, Kenanglah Polemik Kebudayaan menganggap bahwa dalam merumuskan identitas Indonesia dalam Polemik Kebudayaan itu saya adalah ‘anak kandung dari Sumpah Pemuda’, ia meletakkan pertukaran pikiran itu dalam perspektif yang benar. Segala usaha saya seperti menerbitkan Pujangga Baru jelas berpokok pada pikiran Sumpah Pemuda. Pujangga Baru bukan saja berjuang untuk bahasa dan kesusastraan Indonesia, tetapi juga untuk menimbulkan suasana kebudayaan yang melingkupi seluruh Indonesia.
Dalam hubungan perbedaan kenyataan dan suasana yang disebabkan oleh perjalanan waktu 50 tahun, tepat sekali Taufik Abdullah berkata, “Yang menjadi soal dewasa ini bukan lagi ‘Semboyan yang Tegas’ seperti yang diucapkan waktu itu, yaitu bahwa kita mesti mengasah otak Indonesia setajam-tajamnya, membangkitkan pribadi-pribadi Indonesia dan mengumpulkan harta dunia sebanyak mungkin, tetapi sekarang ini yang diperlukan adalah ‘Strategi yang Jelas’ untuk mencapai yang dicita-citakan dalam Semboyan yang Tegas.”
Orang-Orang Miskin
Sementara itu, Arief Budiman menyesali saya dengan mengatakan bahwa saya meletakkan pemikiran dalam konteks yang universal dan tidak dalam konteks sebuah sistem. Rasionalisme dalam sistem kapitalisme katanya lain dari dalam sistem sosialisme. Meskipun keduanya bersifat rasionalis, komitmen sistem kapitalis adalah modal sedangkan dalam sistem sosialis rasionalisme ditujukan untuk memberi kesejahteraan kepada orang-orang yang miskin.
Tentang hal ini hendak saya katakan bahwa sesungguhnya Polemik Kebudayaan ketika itu belum sampai membicarakan sistem dan ideologi. Perdebatan ketika itu adalah mengenai perbedaan antara yang saya namakan kebudayaan progresif (dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai ekonomi yang melahirkan teknologi) dan yang saya namakan kebudayaan ekspresif (kebudayaan tradisional kita yang dikuasai oleh nilai agama dan nilai seni). Yang pertama berdasarkan kerasionalan pikiran, sedangkan yang kedua berdasarkan intuisi, perasaan, dan imajinasi.
Arief Budiman mempertentangkan individualisme, sebagai dasar dari kapitalisme yang hendak mengumpulkan harta bagi individu, dengan sosialisme yang hendak menaikkan kesejahteraan rakyat. Kedua sistem ini dipertentangkan dalam lingkupan kebudayaan progresif atau modern yang dikuasai oleh kerasionalan. Jelas bahwa Adam Smith dan Marx sama-sama adalah anak dari kebudayaan progresif. Hal ini baik dijadikan lanjutan Polemik Kebudayaan sebagai pemikiran untuk masa depan.
Bagi saya jelas bahwa kapitalisme dan sosialisme, yang kedua-duanya telah mencapai jalan buntu itu, mesti melalui transformasi dalam suatu sintesis yang baru dalam suatu hubungan organisasi dunia yang dewasa ini telah disatukan oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Satu hal lagi yang hendak saya sampaikan kepada Arief Budiman berhubung dengan ucapannya bahwa orang tradisional itu pun rasional. Jika perkataan rasional itu ingin diartikan seluas-luasnya, maka kita tiba pada pengertian rasional pada tingkat yang lain, yang tiada berwatas. Dalam hubungan ini si agamawan mempunyai logikanya tetapi jelas bahwa logika agama berbeda dari logika ilmu dan logika ekonomi.
Goenawan Mohamad mengemukakan tanggapannya tentang Polemik Kebudayaan dengan judul yang sangat menarik: Beberapa Tusuk Sate dan Segelas Rum. Goenawan benar ketika menganalisa bahwa optimisme dalam tahun 1930 itu adalah optimisme sebelum pengantin baru oleh orang-orang yang tak boleh tidak mesti percaya akan diri dan kemungkinan usahanya untuk mengatasi ketertinggalan bangsanya yang amat jauh. Setelah Kemerdekaan ternyata optimisme sebelum Kemerdekaan itu, seperti dikatakan oleh Goenawan, banyak di antaranya yang rontok. Residu kebudayaan lama ternyata tetap menebal. Beban sejarah dalam bentuk kebudayaan yang dilihat dari kebudayaan modern bersifat kurang aktif, kurang dinamis, kurang produktif, rupanya tetap menjadi beban yang berat.
Goenawan mengemukakan bahwa akibat keterbelakangan kita, yaitu kemiskinan, keterbelakangan dalam kecerdasan dan ekonomi sekarang ini menjadi belenggu yang baru. Dikutipnya Tawney yang mengibaratkan orang yang terus-menerus dalam air setinggi leher. Satu gerak saja yang salah dan seombak kecil saja menendang, ia akan tenggelam. Di sini Goenawan tiba pada sikap determinisme sosial dan ekonomi. Siapakah yang mesti dan akan dapat mengubah posisi celaka rakyat kita selain daripada kita sendiri? Dan perubahan sendiri itu tak boleh tidak mestilah bersifat perubahan jiwa, perubahan pemandangan hidup, perubahan cara berpikir. Kita mesti menjadi manusia baru yang dinamis dari dalam diri kita sendiri. Itulah yang dinamakan oleh Lindworsky Motiven-Kultur: berikan kepada orang yang lesu, apatis, dan putus harapan itu motif baru, cita-cita baru, dan ia akan menjadi manusia baru yang akan mengangkat dirinya dari lumpur tempat ia hampir tenggelam.
Zaman lampau Goenawan mengutip Joseph Livenstone yang mengatakan bahwa konsep tradisional ltu tidak dengan sendirinya hilang apalagi hilang 100%. Itu jelas. Tetapi jelas pula bahwa konsep tradisional itu tak mungkin dijadikan pusat perkembangan baru kita dalam dunia modern yang dikuasai oleh kemajuan ilmu, teknologi, dan kemajuan industri. Unsur-unsur kebudayaan tradisi itu mungkin, malah pasti ada yang akan tinggal sebagai sisa-sisa zaman lampau, tetapi ia jangan menahan tumbuhnya jiwa kebudayaan baru yang penuh keaktifan.
Juga Abdurrahman Wahid menganggap bahwa baik yang mau mempromosikan modernisasi maupun yang menjajakan tradisionalisme sama-sama tidak berinak pada kenyataan yang berkembang. Menurut dia, sekarang ini aspek seremonial dari kebudayaan tradisi telah dimodernisasi, yaitu dieksploitasi oleh industri pariwisata. Demikian pula kebudayaan modern telah menyadari pentingnya integrasi organik antara nilai-nilai lama dan budaya baru. Masalah pokoknya bukan lagi rasionalitas harus diterima atau ditolak, melainkan bagaimana ia digunakan untuk mendorong munculnya kreativitas dari tradisi. Kekreatifan itu sekarang menjadi mandek, katanya, karena timbul kerutinan.
Di sini jelas bahwa Abdurrahman Wahid telah mengatasi polemik itu, dan berusaha menarik perhatian pada kemandekan perkembangan kebudayaan kita dewasa ini karena segala sesuatu telah menjadi rutin. Sekarang ini kehidupan kebudayaan dilanda oleh rutinisme dalam bentuk birokrasi pemerintah yang menahan bangkitnya kekreatifan dan penciptaan yang baru. Karangan Zeus, Eros, Siti Jenar, dan Parikesit yang ditulis oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri, membawa soal Polemik Kebudayaan ke tempat yang agak berlainan, meskipun masih tetap relevan. Dikatakannya bahwa sebenarnya soal Polemik Kebudayaan telah selesai dalam rumusan buku Social and Cultural Revolution in Indonesia, tempat saya berkata bahwa soal kita yang penting sekarang adalah bagaimana mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lama ke dalam kebudayaan baru.
Sebenarnya kalau saya mengatakan kebudayaan tradisi itu harus diintegrasikan dalam kebudayaan baru, hal itu artinya kebudayaan tradisi itu mesti mengalami transformasi. Dalam hal yang demikian yang diambil dari kebudayaan yang lama itu adalah unsur-unsur lahirnya, bentuk dan caranya. Tapi semuanya harus berubah menjadi penjelmaan jiwa kebudayaan modern yang, seperti kita tahu, dikuasai oleh kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi. Di sini kelihatan bahwa Sutardji kurang memahami pengertian kebudayaan sebagai suatu struktur.
Tiap-tiap kebudayaan itu mempunyai konfigurasi nilai-nilainya yang menentukan struktur dan arahnya sendiri, dan kebudayaan modern adalah kebudayaan yang berbeda sekali nilai-nilai dan strukturnya, bukan hanya dari kebudayaan Abad Pertengahan di Eropa, tetapi juga dari segala kebudayaan tradisi yang bersifat keagamaan. Kebudayaan modern yang bersifat sekuler itu mementingkan tanggung jawab manusia, hasil pemikiran dan pekerjaan manusia dalam usahanya menguasai alam.
Bahasa Asing
Sutardji berkata bahwa generasi kini lebih besar kepercayaan dirinya dari generasi sebelumnya. Kenyataannya adalah sebaliknya. Pada pikiran saya, banyak orang hendak kembali kepada kebudayaan tradisi, terutama sekali karena kebudayaan modern yang melingkupi seluruh dunia terlalu sulit untuk mereka pahami. Kebudayaan modern itu terlampau besar, terlampau kompleks dan rumit, sehingga tak mudah memahami dan menguasainya sebagai keseluruhan, apalagi kalau kita tidak menguasai bahasa asing. Perubahan berlaku dalam tiap-tiap masyarakat, menurut pemandangan Umar Kayam. Selalu lambat, oleh karena tak bisa dielakkan ada suatu keterikatan kepada kebudayaan tradisi yang sedikit banyaknya menghalangi lompatan kepada kebudayaan negara kebangsaan yang baru, malah yang masih mesti didirikan.
Umar Kayam mengemukakan bahwa dalam perubahan itu tiap-tiap masyarakat mempunyai jadwalnya sendiri, temponya sendiri. Dalam karangannya yang berjudul Dari Mahak Dumuk ke Indonesia, Umar Kayam menunjukkan proses yang sedang berlaku dalam masyarakat suku Dayak itu. Proses menuju kepada negara kebangsaan yang bersifat keindonesiaan itu sudah mulai berjalan. Dan dalam hal ini, katanya, hendaklah kita adil, memberikan kepada tiap-tiap masyarakat itu temponya sendiri.
Nyata sekali Umar Kayam seorang yang sabar melihat proses berjalan, sedangkan saya gelisah hendak mempercepat proses itu. Tetapi kemudian dikemukakannya juga bahwa meskipun masuk ke dalam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan Indonesia, tak dapat dielakkan akan bangkit suatu Renaissance kebudayaan tradisi itu. Kebangkitannya bukan dalam bentuk yang lama tetapi dalam jiwa keindonesiaan. Tentang yang terakhir ini sesungguhnya inilah yang saya harapkan. Sebab, bagi saya, dalam tiap-tiap kebudayaan itu yang terpenting adalah jiwanya, sikap hidupnya, cara berpikirnya, dan nilai-nilai tujuannya. Adapun bahan-bahan dan alat-alat boleh saja berasal dari mana saja, apalagi dari kebudayaan tradisi itu sendiri.
Dr. Daoed Joesoef mempertahankan bahwa kebudayaan Indonesia seperti diterangkan menurut penjelasan UUD ’45 sama sekali tidak sekacau seperti yang saya nyatakan, sebab katanya penjelasan itu jelas menyatakan ke arah mana usaha kebudayaan Indonesia harus dikembangkan, untuk apa usaha itu dilakukan, dan di mana sumber bahan-bahan kebudayaan itu harus dicari, dan pemandangan itu tidak picik. Kekacauan penjelasan UUD ’45 itu telah kelihatan kepada kita apabila kata-katanya saja kita analisa. Apakah artinya kebudayaan timbul sebagai usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya? Dikatakan pula bahwa usaha kebudayaan harus menuju kemajuan budaya, dan persatuan. Sekaliannya adalah permainan kata yang bersifat tautologi.
Tiga perkataan yang pada dasarnya sama dipakai dengan kekaburan pengertian dan kekacauan pikiran, yaitu katakata kebudayaan, budi daya, dan budaya. Lagi pula, apakah kebudayaan lama dan kebudayaan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di seluruh Indonesia? Saya mau bertanya beda “lama” dan “asli”, dan saya ingin tahu bagaimana modus operandinya untuk menentukan puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah. Kalau puncak-puncaknya saja terhitung kebudayaan Indonesia, bagaimana dasar-dasarnya? Cukupkah puncak tidak berdasar?
Bangsa Belanda Jelas bahwa pengertian kebudayaan tidak jelas bagi orang yang merumuskan UUD ’45 itu. Dr. Daoed Joesoef, yang mengatakan bahwa penjelasan UUD ’45 itu tidak kacau, menghendaki pengolah kebudayaan kita meneliti nilai-nilai yang mana yang telah memungkinkan kita selamat (survive) dari dahulu sampai sekarang dan nilai-nilai mana yang dapat membuat kita maju (progress) di hari mendatang. Dan selanjutnya ia berkata bahwa sebagai makhluk manusia yang kini mengelompok menjadi satu bangsa kita mempunyai satu masa lalu yang pantas dibanggakan. Tidak sedikit pun disadari oleh Dr. Daoed Joesoef bahwa dalam kebudayaan kita yang lama yang menjelmakan sikap hidup, mentalitas, dan cara berpikir kebudayaan itu, bangsa-bangsa di Indonesia ini menjadi makanan yang empuk bagi bangsa Belanda yang kecil. Itu tak dapat kita banggakan. Dan harus kita pahami dan sadari betul-betul hukum sebab-akibat yang menentukannya.
Bangsa Belanda yang datang menjajah ke sini kebudayaannya telah berubah dari kebudayaan ekspresif (yaitu yang dikuasai oleh perasaan dan kepercayaan agama). Untuk mencapai kebudayaan progresif yang dikuasai ilmu, teknologi, dan kemajuan ekonomi itu, jiwa, sikap hidup, cara berpikir, serta nilai-nilai bangsa Indonesia mesti berubah. Sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai kebudayaan lama, yang menyebabkan nenek moyang kita terperosok dalam penjajahan bangsa Belanda yang begitu kecil haruslah ditinggalkan. Perbedaan antara kebudayaan progresif dan ekspresif cukup besarnya, sehingga memberi arti kepada perbedaan Indonesia dan praIndonesia yang dapat dibandingkan dengan perbedaan zaman Islam dan zaman Jahiliahnya. Malah di sini dapat kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa warga negara keturunan Cina yang mempunyai tradisi, sikap hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai lain dari bangsa pribumi kita dengan mudah dapat melebihi bangsa pribumi Indonesia sekarang. Bukan hanya di lapangan ekonomi, tetapi juga di lapangan kecerdasan dan kemajuan pendidikan.
Dr. Mulyani Martania, dosen ilmu jiwa Universitas Gadjah Mada, yang beberapa tahun yang lalu mengadakan penyelidikan tentang motivasi murid-murid SMA di Yogyakarta, tiba pada kesimpulan bahwa motivasi anak-anak keturunan Cina lebih besar dari motivasi anak-anak Jawa. Dalam hubungan ini jelaslah bahwa saya setuju apabila kita mengadakan penelitian kebudayaan, tetapi penelitian itu hendaklah berdasarkan konsep-konsep pikiran yang jelas dan relevan. Lagi pula, kebudayaan Indonesia itu hendaklah diletakkan di tengah-tengah proses amalgamasi dan globalisasi kebudayaan-kebudayaan di dunia dewasa ini, yang oleh kemajuan ilmu dan teknologi batas-batasnya makin lama makin tidak berarti.
21 Juni 1986
Dijumput dari: http://ip52-214.cbn.net.id/id/arsip/1986/06/21/KL/
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1986/06/21/KL/mbm.19860621.KL35303.id.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar