Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 13 Agustus 2012
Sekadar Pengantar Suara-suara Kecil yang Memanggil dalam ’’Ribuan Gelas Berisi Teh’’
Ali Ibnu Anwar
Riau Pos, 22 Juli 2012
TELAH sampai sajak sembilu tentang ‘’Ribuan Gelas Berisi Teh’’di tangan saya. Perlu duduk manis untuk memahami organ-organ kata di dalamnya. Mengapa harus ‘’teh’’? Padahal air putih lebih menyehatkan. Atau ‘’Kopi Ribuan Gelas’’ yang banyak disukai penyair untuk menyanding rokok, yang dinilai lebih memudahkan penyair dalam menemukan inspirasi. Tapi penulis justru memilih ‘teh’ yang justru tak pernah tumbuh di tempat penulis. Jelas, itu adalah sebuah pilihan.
Ternyata benar, makin dalam saya baca, kian bermunculan suara-suara kecil memanggil batin dan raga agar menuntaskan bacaan saya. Akhirnya tuntas juga. Berikut catatan-catatan kecil tentang suara-suara kecil itu.
***
Suara pertama hadir dari ruh kepenyairan Asqalani. Penyair paham betul dengan suara batin yang jadi bendera untuk mengibarkan kata-katanya. Ia berhasil memberi makna hidup yang dianugerahkan Sang Khaliq, dimana kesadaran semacam ini hanya didapat dari proses perenungan panjang yang biasa dilakukan para sufi dalam menemukan identitas dirinya.
Penyair tak pernah menemukan kepuasan akan segala batas-batas yang tak tersentuh. Misalnya, dalam ‘makna kehadiran’ ia tak sekadar melihat dirinya dari dalam, tapi juga membangun konsep diri dari luar dirinya. Sehingga, ia menyulut api kegelisahannya dengan bait: suatu hari kau terlahir bukan karena sihir//tapi, karena takdir. Puisi itu menjadi luar biasa, ketika pembaca juga memberi makna pada dirinya sendiri.
Serpihan-serpihan makna yang menggema juga menyinggahi orang-orang terdekat yang ia cintai. Tak heran, jika puisi-puisi Asqalani memantulkan bias-bias kasih sayang yang luar biasa. Tapi, pada saat yang bersamaan, ia merasa kehilangan sosok yang disebut-sebut sebagai ‘ayah’. Penyair dengan membuat tanda dalam puisi tanpa ayah, ibu tetap memberikan ASI: sekasih//sesekali memandikan anaknya dengan seciduk//kuyu kuyup: ‘’Nak, Ayahmu telah tiada, akankah kelak Kau mengirim doa padanya?’’.
Pada dasarnya puisi di atas menyadarkan bahwa manusia akan mengalami banyak kehilangan. Kehilangan sosok, waktu, kesempatan, kasih sayang, bahkan kehilangan dirinya sendiri. Tapi pada kalanya ia akan kembali menemukan sosok, waktu, kesempatan, kasih sayang dan dirinya sendiri. Konsep semacam ini jarang disadari. Sehingga manusia mudah melewatkan impian dan tujuan dari hidup yang sebenarnya.
Kembali pada persoalan kepenyairan Asqalani, ia membangun puisi-puisinya dengan kultur bahasa yang santun. Faktor religi juga menyelip di bait-bait puisi penyair. Penyair seringkali menggunakan diksi doa, subuh, ruh, ukhty, iftitah, nuthfah, marwah, yang mengarah pada bahasa tempat pertama kali agamanya lahir. Secara tegas, ia juga menulis tentang rutinitas keagamaan yang ia anut dalam ‘’Sembahyang’’: tegakku,/ /berderak/ /rukukku,/ /terpuruk/ /itidalku,/ /terjungkal/ /sujudku,/ /tersangkut/ /salamku,/ /tenggelam/ /Rabb, ajari aku sembahyang seluruh tubuh/ /sedari awal. Musabab ia menulis tentang puisi ini, lagi-lagi menyadarkan pembaca, bahwa bila manusia asal sembahyang, ia hanya akan memperoleh tegak yang berderak, rukuknya terpuruk, iktidalnya hanya jungkir balik, sujudnya tersangkut dan salamnya tenggelam dalam sesuatu yang sia-sia. Sehingga ia meminta agar Sang Rabb yang ia sembah tak sekadar penerima gerakan tubuh, tapi dari niat yang paling dalam, ‘sedari awal’.
***
Suara kedua adalah suara cinta, muara awal manusia tercipta. Kata-kata genit secara deras meremuk-redamkan puisi-puisi Asqalani, pertanda ia mulai tumbuh dewasa. Persoalan cinta, tak habis-habis ditulis oleh banyak penyair. Hal tersulit adalah menulis puisi cinta dengan kualitas baik. Tapi Asqalani dapat menyelesaikan persoalan ini.
Dalam musim cinta penyair mengolah cinta semacam cuaca yang memiliki musim. Ia bisa diterima atau ditolak oleh manusia, karena bisa mendatangkan manfaat dan mudarat. jangan kau menjulur giur/ /pada aroma cinta di musim gugur/ /lihatlah gelimpangan perih tak pernah terkubur atau jangan kau bahas pelas/ /pada gemas cinta di musim panas/ /lihatlah bias cemas meranggas kandas. Bait ini ingin menyampaikan bahwa cinta layak diagungkan, tapi tak pantas dipertuhankan. Musim kemarau yang terlampau dapat mengakibatkan kekeringan. Musim hujan yang terlalu, juga akan mengakibatkan banjir. Jadi dalam bercinta pun tak dianjurkan berlebih-lebihan. Karenanya, Asqalani mengakhiri puisi ini dengan: tapi cobalah menabur syukur/ /pada luhur cinta dimusim umur/ /lihatlah tadabbur masyhur sampai ke baitul makmur.
Tingkatan ‘cinta’ Asqalani tak hanya sampai di sini. Ia berusaha memahami tingkatan cinta terhadap hal lain. Tingkatan tertinggi, yaitu cinta kepada Sang Maha Pemilik Cinta. Suasana cinta semacam ini terlihat pada dua puisinya yang berjudul ‘’Ciuman untukMu’’ dan ‘’Pelukan untukMu’’. Bait dalam ‘’Ciuman CintaMu adalah: /1/ kita berciuman sebelum wudhu kekeringan /2/ kukecup keningMu di dada sejadah /3/ keriangan airmataMu kuteguk rindu /4/ kupinjam bibirMu untuk mengecup do’a. Secara mendalam, penyair memberi makna pada cinta yang ia rasa dapat memberi kedamaian batin daripada cinta lainnya, yang suatu saat akan hilang dan ia tinggalkan. Aduhai, cinta telah membawanya pada puncak istirah di atas rahmah dan sajadah.
***
Suara ketiga adalah suara yang bukan suara. Tapi itu adalah suara. Karena suara itu membisik pada hati. Suara itu bermula dari struktur tulisan yang mengingatkan saya pada Sutardji Calzoum Bachri (SCB), sang Presiden Penyair yang meniupkan napas kontemporer pada bait-bait puisinya. Beberapa puisi Asqalani mengamini SCB, yang perlu pembacaan berulang-ulang untuk memahami puisi itu secara komprehensif.
Dalam ‘’Lukisan Ibu’’ ia memusatkan pada permainan kata ‘bu’ dan ‘nuh’ yang secara berulang-ulang dibolak-balik atau dibalik-bolak. Permainan kata semacam ini juga terjadi pada genre kepenyairan ‘puisi mBeling’ yang diprakarsai Jeihan dan Remy Sylado. Tingkat keseriusannya juga masih dipertanyakan, apakah itu puisi main-main atau puisi yang membatasi kata, karena sebenarnya itu puisi sungguh-sungguh?
…
bu
nuh
…
nuh
bu
…
bunuh
…
nuhbu
…
Ada baiknya saya akan menjelaskan letak main-main dan sungguh-sungguh dalam puisi tersebut. Pokok permainan kata dalam puisi ini sangat jelas, yaitu kata ‘bu’ dan ‘nuh’. Secara semantik, bu adalah salah satu tanda dialek yang mengarah pada kata ibu. Jelas bahwa bu di sini merupakan kata-kata yang mengandung maksud. Sedangkan nuh mengacu pada salah satu nama Nabi. Hal ini diperjelas dengan bait: ibu kaulah kapal terbesar semesta dunia/ /melayarkan aku laksana nuh suatu kala.
Kemudian kedua kata itu dijadikan satu kata, yaitu bunuh dan nuhbu. Di sini kedudukan bu dan nuh bukan lagi sebagai kata. Melainkan sebagai morfem yang membentuk kata bunuh dan nuhbu. Karena bila kata bunuh yang berarti membuat seseorang menjadi tidak bernyawa, dipisah menjadi bu-nuh akan mengalami kehilangan makna. Sebab tak diperjelas dengan bait-bait sebagaimana di atas. Namun pertanyaanya, nuhbu apa maksudnya? Anggap saja hanya penyair yang tahu, karena belum saya temukan di referensi manapun. Yang jelas itu bermakna, karena penulis mengakhiri puisinya dengan bait: manakala kuhidupkan ibu dengan gemintang/ /terbanglah sayap cahayaku menuju kedamaian / /di telapak kaki ibu. Sementara ini saya menerka maknanya adalah tujuan yang harus tercapai sebagai seorang anak yang taat pada ibunya. Karena surga di bawah telapak kaki ibu.
***
Suara-suara lainnya makin mengecil, mengecil, mengecil dan habis. Tapi masih menyisakan kesan di telinga saya. Karena saya membaca puisi-puisi Asqalani dengan bersuara keras atau landai. Saatnya saya mengambi segelas teh dari ribuan gelas itu untuk saya tenggak melenyapkan dahaga. Dan luar biasa segarnya.***
Jakarta, 2 Juni 2012
*) Ali Ibnu Anwar, Karyanya terbit di berbagai media, di antaranya Horison dan Jawa Pos. Juga terkumpul dalam antologi bersama cerpen At-he-is, antologi puisi O.De, Yaasin, Kepada Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan, Reuni dan Sepasang Mata yang Cemburu. Bermastautin di Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar