Senin, 13 Agustus 2012

Sekadar Pengantar Suara-suara Kecil yang Memanggil dalam ’’Ribuan Gelas Berisi Teh’’


Ali Ibnu Anwar
Riau Pos, 22 Juli 2012

TELAH sampai sajak sembilu tentang ‘’Ribuan Gelas Berisi Teh’’di tangan saya. Perlu duduk manis untuk memahami organ-organ kata di dalamnya. Mengapa harus ‘’teh’’? Padahal air putih lebih menyehatkan. Atau ‘’Kopi Ribuan Gelas’’ yang banyak disukai penyair untuk menyanding rokok, yang dinilai lebih memudahkan penyair dalam menemukan inspirasi. Tapi penulis justru memilih ‘teh’ yang justru tak pernah tumbuh di tempat penulis. Jelas, itu adalah sebuah pilihan.
Ternyata benar, makin dalam saya baca, kian bermunculan suara-suara kecil memanggil batin dan raga agar menuntaskan bacaan saya. Akhirnya tuntas juga. Berikut catatan-catatan kecil tentang suara-suara kecil itu.
***

Suara pertama hadir dari ruh kepenyairan Asqalani. Penyair paham betul dengan suara batin yang jadi bendera untuk mengibarkan kata-katanya. Ia berhasil memberi makna hidup yang dianugerahkan Sang Khaliq, dimana kesadaran semacam ini hanya didapat dari proses perenungan panjang yang biasa dilakukan para sufi dalam menemukan identitas dirinya.

Penyair tak pernah menemukan kepuasan akan segala batas-batas yang tak tersentuh. Misalnya, dalam ‘makna kehadiran’ ia tak sekadar melihat dirinya dari dalam, tapi juga membangun konsep diri dari luar dirinya. Sehingga, ia menyulut api kegelisahannya dengan bait: suatu hari kau terlahir bukan karena sihir//tapi, karena takdir. Puisi itu menjadi luar biasa, ketika pembaca juga memberi makna pada dirinya sendiri.

Serpihan-serpihan makna yang menggema juga menyinggahi orang-orang terdekat yang ia cintai. Tak heran, jika puisi-puisi Asqalani memantulkan bias-bias kasih sayang yang luar biasa. Tapi, pada saat yang bersamaan, ia merasa kehilangan sosok yang disebut-sebut sebagai ‘ayah’. Penyair dengan membuat tanda dalam puisi tanpa ayah, ibu tetap memberikan ASI: sekasih//sesekali memandikan anaknya dengan seciduk//kuyu kuyup: ‘’Nak, Ayahmu telah tiada, akankah kelak Kau mengirim doa padanya?’’.

Pada dasarnya puisi di atas menyadarkan bahwa manusia akan mengalami banyak kehilangan. Kehilangan sosok, waktu, kesempatan, kasih sayang, bahkan kehilangan dirinya sendiri. Tapi pada kalanya ia akan kembali menemukan sosok, waktu, kesempatan, kasih sayang dan dirinya sendiri. Konsep semacam ini jarang disadari. Sehingga manusia mudah melewatkan impian dan tujuan dari hidup yang sebenarnya.

Kembali pada persoalan kepenyairan Asqalani, ia membangun puisi-puisinya dengan kultur bahasa yang santun. Faktor religi juga menyelip di bait-bait puisi penyair. Penyair seringkali menggunakan diksi doa, subuh, ruh, ukhty, iftitah, nuthfah, marwah, yang mengarah pada bahasa tempat pertama kali agamanya lahir. Secara tegas, ia juga menulis tentang rutinitas keagamaan yang ia anut dalam ‘’Sembahyang’’: tegakku,/ /berderak/ /rukukku,/ /terpuruk/ /itidalku,/ /terjungkal/ /sujudku,/ /tersangkut/ /salamku,/ /tenggelam/ /Rabb, ajari aku sembahyang seluruh tubuh/ /sedari awal. Musabab ia menulis tentang puisi ini, lagi-lagi menyadarkan pembaca, bahwa bila manusia asal sembahyang, ia hanya akan memperoleh tegak yang berderak, rukuknya terpuruk, iktidalnya hanya jungkir balik, sujudnya tersangkut dan salamnya tenggelam dalam sesuatu yang sia-sia. Sehingga ia meminta agar Sang Rabb yang ia sembah tak sekadar penerima gerakan tubuh, tapi dari niat yang paling dalam, ‘sedari awal’.
***

Suara kedua adalah suara cinta, muara awal manusia tercipta. Kata-kata genit secara deras meremuk-redamkan puisi-puisi Asqalani, pertanda ia mulai tumbuh dewasa. Persoalan cinta, tak habis-habis ditulis oleh banyak penyair. Hal tersulit adalah menulis puisi cinta dengan kualitas baik. Tapi Asqalani dapat menyelesaikan persoalan ini.

Dalam musim cinta penyair mengolah cinta semacam cuaca yang memiliki musim. Ia bisa diterima atau ditolak oleh manusia, karena bisa mendatangkan manfaat dan mudarat. jangan kau menjulur giur/ /pada aroma cinta di musim gugur/ /lihatlah gelimpangan perih tak pernah terkubur atau jangan kau bahas pelas/ /pada gemas cinta di musim panas/ /lihatlah bias cemas meranggas kandas. Bait ini ingin menyampaikan bahwa cinta layak diagungkan, tapi tak pantas dipertuhankan. Musim kemarau yang terlampau dapat mengakibatkan kekeringan. Musim hujan yang terlalu, juga akan mengakibatkan banjir. Jadi dalam bercinta pun tak dianjurkan berlebih-lebihan. Karenanya, Asqalani mengakhiri puisi ini dengan: tapi cobalah menabur syukur/ /pada luhur cinta dimusim umur/ /lihatlah tadabbur masyhur sampai ke baitul makmur.

Tingkatan ‘cinta’ Asqalani tak hanya sampai di sini. Ia berusaha memahami tingkatan cinta terhadap hal lain. Tingkatan tertinggi, yaitu cinta kepada Sang Maha Pemilik Cinta. Suasana cinta semacam ini terlihat pada dua puisinya yang berjudul ‘’Ciuman untukMu’’ dan ‘’Pelukan untukMu’’. Bait dalam ‘’Ciuman CintaMu adalah: /1/ kita berciuman sebelum wudhu kekeringan /2/ kukecup keningMu di dada sejadah /3/ keriangan airmataMu kuteguk rindu /4/ kupinjam bibirMu untuk mengecup do’a. Secara mendalam, penyair memberi makna pada cinta yang ia rasa dapat memberi kedamaian batin daripada cinta lainnya, yang suatu saat akan hilang dan ia tinggalkan. Aduhai, cinta telah membawanya pada puncak istirah di atas rahmah dan sajadah.
***

Suara ketiga adalah suara yang bukan suara. Tapi itu adalah suara. Karena suara itu membisik pada hati. Suara itu bermula dari struktur tulisan yang mengingatkan saya pada Sutardji Calzoum Bachri (SCB), sang Presiden Penyair yang meniupkan napas kontemporer pada bait-bait puisinya. Beberapa puisi Asqalani mengamini SCB, yang perlu pembacaan berulang-ulang untuk memahami puisi itu secara komprehensif.

Dalam ‘’Lukisan Ibu’’ ia memusatkan pada permainan kata ‘bu’ dan ‘nuh’ yang secara berulang-ulang dibolak-balik atau dibalik-bolak. Permainan kata semacam ini juga terjadi pada genre kepenyairan ‘puisi mBeling’ yang diprakarsai Jeihan dan Remy Sylado. Tingkat keseriusannya juga masih dipertanyakan, apakah itu puisi main-main atau puisi yang membatasi kata, karena sebenarnya itu puisi sungguh-sungguh?


bu
nuh

nuh
bu

bunuh

nuhbu


Ada baiknya saya akan menjelaskan letak main-main dan sungguh-sungguh dalam puisi tersebut. Pokok permainan kata dalam puisi ini sangat jelas, yaitu kata ‘bu’ dan ‘nuh’. Secara semantik, bu adalah salah satu tanda dialek yang mengarah pada kata ibu. Jelas bahwa bu di sini merupakan kata-kata yang mengandung maksud. Sedangkan nuh mengacu pada salah satu nama Nabi. Hal ini diperjelas dengan bait: ibu kaulah kapal terbesar semesta dunia/ /melayarkan aku laksana nuh suatu kala.

Kemudian kedua kata itu dijadikan satu kata, yaitu bunuh dan nuhbu. Di sini kedudukan bu dan nuh bukan lagi sebagai kata. Melainkan sebagai morfem yang membentuk kata bunuh dan nuhbu. Karena bila kata bunuh yang berarti membuat seseorang menjadi tidak bernyawa, dipisah menjadi bu-nuh akan mengalami kehilangan makna. Sebab tak diperjelas dengan bait-bait sebagaimana di atas. Namun pertanyaanya, nuhbu apa maksudnya? Anggap saja hanya penyair yang tahu, karena belum saya temukan di referensi manapun. Yang jelas itu bermakna, karena penulis mengakhiri puisinya dengan bait: manakala kuhidupkan ibu dengan gemintang/ /terbanglah sayap cahayaku menuju kedamaian / /di telapak kaki ibu. Sementara ini saya menerka maknanya adalah tujuan yang harus tercapai sebagai seorang anak yang taat pada ibunya. Karena surga di bawah telapak kaki ibu.
***

Suara-suara lainnya makin mengecil, mengecil, mengecil dan habis. Tapi masih menyisakan kesan di telinga saya. Karena saya membaca puisi-puisi Asqalani dengan bersuara keras atau landai. Saatnya saya mengambi segelas teh dari ribuan gelas itu untuk saya tenggak melenyapkan dahaga. Dan luar biasa segarnya.***

Jakarta, 2 Juni 2012

*) Ali Ibnu Anwar, Karyanya terbit di berbagai media, di antaranya Horison dan Jawa Pos. Juga terkumpul dalam antologi bersama cerpen At-he-is, antologi puisi O.De, Yaasin, Kepada Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan, Reuni dan Sepasang Mata yang Cemburu. Bermastautin di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi