Rabu, 15 Agustus 2012

Surga Ada di Dekatmu

Ahmad Zaini
http://sastra-indonesia.com/

Hamparan kebun kelapa sawit tumbuh hijau di atas tanah milik saudagar kaya raya, Suparman. Puluhan pekerja setiap hari bekerja di kebun lelaki yang sangat disegani penduduk di daerah itu. Sementara sang majikan, Suparman, hanya duduk manis di atas kap mobil mewah yang diparkir di pinggir perkebunan sawit miliknya. Caping melingkar lebar di atas kepalanya separuh menutupi wajahnya yang dipenuhi jambang lebat. Terkadang penampilannya itu sampai mengelabui pekerjanya sendiri dikira pengusaha kepala sawit lain yang ingin bekerja sama dengan Suparman.

Hasil dari berkebun sawit Suparman memang di atas rata-rata. Jika yang lain dalam sekali panen dapat menghasilkan uang sekitar lima ratus juta, maka Suparman dapat menghasilkan dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat. Empat buah Mobil mewah yang diparkir di depan rumah itu juga dibeli dari hasil berkebun kelapa sawit.

“Pak, kelapa sawit yang berada di pekarangan sebelah kebun Sali sudah bisa dipanen dalam waktu seminggu lagi,” lapor salah satu pekerjanya.

“Baik. Persiapkan segala sesuatunya,” perintah sang majikan kepada pekerjanya. Kemudian Suparman menghisap asap cerutu yang sejak tadi dijepit dengan kedua jari kirinya yang hitam legam.

Tiupan angin siang sudah mulai menggerahkan badan. Suparman turun dari kap mobil mewahnya kemudian masuk ke dalam mobil itu. Tangan kekarnya menombol power AC yang berada dalam mobilnya. Tiga kancing baju bagian atas ia buka latas kepala disandarkan pada jok mobil depannya. Dinginnya hawa AC ternyata melelapkan mata sang majikan yang kaya raya tersebut.

“Bos, Bos! Bangun, Bos! Ada tamu,” kata Amir sopir pribadinya. Suparman terbangun lantas bergegas membuka daun pintu mobilnya. Ia melihat di belakang mobil seorang tamu dari Jawa.

“Wah, kamu Samsul. Apa kabar? Bagimana bisnis kelapa sawitmu?” tanya Suparman dengan merangkul pundak Samsul.

“Syukur, baik-baik saja. Terus bagaimana usahamu berkebun kelapa sawit?” Sambul balik bertanya.

“Ya, seperti yang Engaku lihat sendiri,” jawabnya dengan menunjuk ke arah perkebunan miliknya.

Dua orang pengusaha bertemu di area perkebunan rasanya kurang sempurna. Suparman kemudian mengajak Samsul untuk ke rumahnya. Jari-jarinya memencet ponsel yang selalu menemani ke mana dia berada.

“Bu, siapkan tempat dan makanan yang enak! Ini ada Pak Samsul rekan bisnis kepala sawit dari Jawa,” Suparman mengontak istrinya yang berada di rumah.

Kedua orang itu lantas masuk ke mobil mewah yang tak lama kemudian mobil tersebut lenyap di balik rimbun pepohonan sawit.

Rumah megah berinterior mahal ala eropa berdiri di sebuah lahan seluas satu hektar. Di kanan kiri rumah terdapat taman dengan aneka bunga yang indah. Setiap mata yang melihat rumah dan pekarangan yang seperti itu tentu saja ngiler.

“Benar-benar edan rumahmu!” kata Samsul takjub dengan bangunan rumah yang super megah.

“Ya. Rumah itu saya bangun dengan dana 1 milyar, lho!” kata Suparman.

Samsul hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala seperti tak percaya dengan semua yang dilihat.

“Bu, ini Pak Samsul. Dulu ketika masih di Jawa dia teman akrabku,” kata Suparman memperkenalkan Samsul kepada istrinya yang cantik jelita itu.

Saudagar yang kaya raya seperti Suparman memang tak kurang satu apa pun. Segala keinginan duniawinya selalu terpenuhi. Dengan harta kekayaan yang dia miliki dia mampu membeli apa saja yang ia mau. Seluruh perkebunan sawit di daerah itu hampir separo telah dibelinya. Namun sayang ada satu kekurangannya. Dia itu orang yang sangat pelit. Pelit kepada pekerjanya, pembantu rumah tangganya, bahkan kepada istrinya sendiri dia juga pelit. Untung istrinya termasuk orang yang sabar dan mengerti masalah agama. Andaikan istrinya itu orang yang judes dan tidak mengerti agama tentu sudah lari beberapa tahun yang lalu.

“Permisi, Pak!” kata Rahmah lemah lembut saat menghidangkan makanan di ruang tamu.

“Oh, iya. Terima kasih!” kata Samsul.

Berbagai jenis makanan tersaji di meja tamu. Namun Suparman diam saja tidak mempersilakan tamunya untuk makan atau sekedar mencicipi hidangan yang berada di depannya.

“Pak, kok, tidak dipersilakan tamunya?” tegur Rahmah saat melihat hidangan di meja masih untuh belum tersentuh.

Suparman kemudian mempersilakan Samsul untuk menikmati hidangan buatan Rahmah, istrinya.

Setelah negobrol beberapa jam sambil menikmati hidangan Samsul kemudian berpamitan kepada tuan rumah. Ia harus segera kembali ke Jawa setelah di telepon karyawannya bahwa pabrik pembuatan minyak kelapa sawit miliknya terbakar. Samsul tampak shok mendengar kejadian seperti itu. Namun rupanya dia pasrah dan mencoba untuk menenangkan dirinya.

Suparman menyuruh sopir pribadinya untuk mengantar Samsul ke bandara. Sedangkan dia hanya mengantar hingga ke pintu rumahnya. Dia diam tak mengucapkan terima kasih atau apa saja kepada tamunya yang jauh-jauh datang dari Jawa.

“Kasihan dia,” gerutunya dalam hati. Suparman kembali ke dalam rumah.
Hari mulai senja. Sinar matahari de sebelah barat sudah tampak kekuning-kuningan. Pertanda hari akan segera malam. Para pekerja Suparman juga sudah mulai datang dari tempat kerjanya. Mereka kemudian masuk ke dalam ruangan yang khusus disediakan untuk para pekerja. Istri Suparman lantas membawa beberapa bakul nasi untuk persiapan makan malam mereka.

Setelah dipersiapkan kemudian mereka makan dengan lahap. Empat bakul nasi dan lauk-pauk serta lalapan ludes ditelan mereka. Maklumlah sehari hanya di jata makan dua kali. Yaitu pagi sebelem mereka berangkat ke kebun dan malam setelah mereka pulang. Usai makan malam kemudian mereka terlelap tidur.

Di ruang makan suami istri sedang makan malam. Mereka dikagetkan oleh suara ketukan pintu di depan. Suparman masih lahap menyantap masakan yang dibuat oleh istrinya. Rahmah memperhatikan suara ketukan pintu itu kemudian dia berdiri bergegas menuju ke ruang depan. Ada seorang lelaki yang memakai pakaian compang-camping yang berdiri di depan pintu. Rahmah lalu membukanya.

“Permisi Nyonya! Saya adalah pengemis yang kemalaman. Bolehkah saya menumpang nginap di rumah ini?” Lelaki berbadan kurus dan berpakaian lusuh mengiba kepada Rahmah. Ketika Rahmah akan menjawab permintaan dari laki-laki itu dari dalam suaminya berteriak.

“Siapa Rahmah yang di depan?” tanya Suparman kemudian dia muncul di tengah-tengah mereka.

“Dia pengemis yang kemalaman. Di sedang lapar dan ingin menumpang nginap di rumah kita,” jelas Rahmah.

“Cih, tak sudi! Rumah sebagus ini mau dimasuki orang semacam dia. Tidak, Rahmah. Tidak! Suruh dia keluar dan meninggalkan tempat ini dan jangan boleh kembali,” bentak Suparman.

“Jangan begitu, Pak! Kasihan dia. Tubuhnya kurus dan berpakaian compang-camping. Bagaimana dia nanti kalau masuk angin?”

“Pokoknya usir dia. Badan kurus, pakaian compang-camping, masuk angina, itu urusan dia. Mengapa kita ikut memikirkan. Semua itu salahnya sendiri. Dia malas tidak mau bekerja keras. Kerjanya hanya meminta-minta. Hai, pengemis! Saya bisa seperti ini karena hasil kerja keras saya. Mengerti kamu!?” Suara lantang Suparman begitu congkak di hadapan pengemis dan istrinya. Dengan serta merta tangan kekar Suparman menyeret paksa pengemis itu keluar dari rumahnya.

“Sana, pergi! Rasakan angin malam itu! Dasar pemalas!” umpatnya.

Pengemis itu kemudian meninggalkan rumah Suparman dengan hati yang sangat sakit. Walau dia hanya seorang pengemis namun dia juga mempunyai harga diri seperti kebanyak orang.

Sementara Rahmah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menghela napas panjang dan mengelus dadanya. Rahmah sendiri heran dengan perangai suaminya yang seperti itu.

Setalah kejadian itu Rahmah selalu membayangkan nasib dari pengemis. Dia merasa ikut berdosa lantaran sikap suaminya. Setiap malam matanya sulit dipejamkan. Setiap terpejam bayangan peristiwa itu muncul lagi. Karena tak kuat menahan rasa kantuk Rahmah akhirnya tertidur pulas di samping suaminya yang mendengkur.

Seminggu telah berlalu dari kejadian tersebut. Bisnis Suparman seperti menemui masalah. Samsul yang biasanya membeli kelapa sawit miliknya kini sudah tak pernah lagi menghubunginya. Demikian juga pada pembeli yang lain. Suparman gelisah dengan penghasilan yang semakin lama semakin merosot. Usaha Suparman kini benar-benar kolap. Setiap malam dia tidak tidur-tidur menghitung neraca usahanya. Dia semakin tidak percaya ketika saldo usahanya kini malam minus. Ia menghela napas panjang dari balik meja kerjanya. Rambut yang separo telah beruban ia remas-remas. Sesekali kepalan tangannya menghantam meja kerjanya.

“Ada apa, Pak? Kalau capek, ya, tidur. Sudah larut malam,” Rahmah mengingatkan suaminya.

Suparman berdiri lantas menguak keras menggetarkan segala yang ada di rumahnya.

“Sialan…!” teriaknya lantas dia menjatuhkan tubuhnya di ranjangnya.

Rahmah tampak kasihan dengan suaminya yang capek memikirkan usahanya yang sedang kolap itu.

Pagi hari sebelum berangkat kerja, Suparman menyantap sarapan pagi ditemani istriinya. Dia seakan ingin mengungkapkan sesuatu kepada istrinya. Ia tampak salah tingkah dengen sendirinya.

“Ada apa, Pak? Sejak tadi saya perhatikan Bapak ini kok aneh. Ayo katakan saja! Aku ini istrimu, Pak. Ajaklah menyelesaikan masalah ini.”

“Begini, Rahmah. Usaha kita kini benar-benar bangkrut. Saya tak sanggup lagi membayar hutang yang semakin menumpuk. Saya tak sanggup lagi membayari pekerja-pekerja kita yang setiap hari membantu di kebun kelapa sawit. Untuk menutupi hutang-hutangku, terpaksa seluruh kebun kelapa sawit akan saya jual. Kita sudah tidak punya apa-apa. Saya juga tidak bisa menghidupimu. Maka hari ini kamu akan saya antar ke rumah orang tuamu. Kamu akan saya cerai. Ini adalah keputusanku yang tidak boleh diganggu gugat. Paham!?”

“Tapi, Pak?”

“Tidak ada tapi-tapian. Kemasi semua pakaianmu dan segera kita berangkat!”

Mendengar putusan Suparman yang seperti itu Rahmah lantas menangis. Dia tidak percaya dengan keputusan suaminya. Terlalu cepat menurutnya. Tapi apa boleh buat dia hanya seorang istri. Di harus menurut semua yang dikatakan suaminya walau terasa berat. Rahmah kemudian diantar ke rumah orang tuanya.

Lima bulan setelah dia dicerai suaminya, datanglah lelaki yang berhati baik ke rumah orang tuanya. Dia saudagar yang menginginkan Rahmah menjadi istrinya. Orang tua Rahmah menerima lamaran lelaki itu dan Rahmah pun menerima karena dia sudah sah cerai dari suami pertamanya.

Kedua pasangan itu akhirnya hidup bahagia dalam bahtera rumah tangganya. Pada suatu hari datanglah seorang pengemis. Di mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Si suami memerintahkan Rahmah membuka pintu itu.

“Bu, hari ini kita tahan dulu menikmati makanan ini. Jika yang datang itu adalah pengemis yang sedang kelaparan, berikanlah makanan ini kepadanya. Jika dia adalah gelandangan yang berpakaian compang-camping, maka berikanlah pakaian terbaik yang kita miliki. Jika dia adalah orang yang ingin istirahat di rumah ini, siapkanlah kamar kita untuk ditempatinya. Kita mengalah. Kita harus menghormati dan mengutamakan tamu siapa pun dia,” lelaki itu memberi penjelasan kepada Rahmah.

“Baik, Pak!” jawab Rahmah dengan lemah lembut.

Rahmah kemudian bergegas membukakan pintu depan. Betapa kagetnya dia ketika lelaki yang berpakaian compang-camping di hadapannya adalah Suparman, suami pertamanya. Rahmah berlari ke arah suaminya dan menangis berderai air mata.

“Kenapa kamu menangis, Bu?” tanya suaminya.

“Perlu Bapak ketahui bahwa lelaki pengemis yang berpakaian compang-camping di depan itu adalah suami pertamaku, Suparman!” jawabnya sambil menangis.

“Suruh dia masuk!” perintah suaminya.

Pengemis yang tak lain adalah Suparman itu kemudian masuk. Dia bersalaman dengan suami Rahmah dengan rasa malu yang tiada terkira. Kemudian suami Rahmah menyodorkan handuk kepada Suparman lalu menyuruhnya mandi. Pakaian yang bagus telah dipersiapkan suami Rahmah agar dipakai Suparman.

“Silakan dipakai pakaian itu, dan mari makan bersama-sama ke ruang makan!” ajak suami Rahmah.

Suparman memakan hidangan di meja makan dengan lahap karena terlalu lapar. Kemudian segelas air putih ia minum hingga tak tersisa walau hanya setetes. Rahmah kemudian membereskan semua perabot yang tersisa di atas meja makan.

Di ruang tamu mereka berkumpul. Di atas sofa yang bermotif bunga melati mereka duduk santai usai makan. Di atas meja tamu terdapat makanan ringan sebagai camilan saat mereka santai.

Saat mereka duduk-duduk Suami Rahmah ingin mengutarakan sesuatu. Namun, ia merasa berat mengutarakannya hingga beberapa kali ia harus memaksa mulutnya untuk tidak megatakannya.

“E.., begini, Bu. saya ingin mengatakan sesuatu yang belum Ibu ketahui,” kata suami Ramah.

“Sebenarnya saya ini adalah pengemis yang pernah datang ke rumahmu waktu itu. Karena saya adalah orang hina maka suamimu, Pak Suparman, ini mengusirku. Setelah saya pergi dari rumahmu itu kemudian saya menolong seseorang yang mengalami kecelakaan. Dengan sekuat tanaga saya membopong orang tersebut ke rumah sakit. Dan, saya bersyukur akhirnya orang tadi selamat. Ternyata dia adalah pengusaha kebun kelapa sawit yang kaya raya. Dia akhirnya memberiku separo dari kebun kelapa sawit yang dimilikinya sebagai ucapan terima kasih karena aku telah menolongnya. Sekarang usahaku berkembang seperti yang kamu ketahui sekarang ini.”

Mendengar cerita suami Rahmah, Rahmah yang kini menjadi istri lelaki itu terharu dan menahan rasa malu kepada suaminya sendiri. Ternyata dia adalah pengemis yang diusir suami pertamanya, Suparman. Karena Suami Rahmah adalah orang pemaaf, maka dia telah memaafkan semua yang telah diperbuat oleh Suparman kepada dirinya waktu itu yang kini menjadi pengemis. Dia bahkan menawari Suparman untuk berkeja di perkebunan kelapa sawit miliknya.***

05 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi