Ahmad Zaini
http://sastra-indonesia.com/
Hamparan kebun kelapa sawit tumbuh hijau di atas tanah milik saudagar kaya raya, Suparman. Puluhan pekerja setiap hari bekerja di kebun lelaki yang sangat disegani penduduk di daerah itu. Sementara sang majikan, Suparman, hanya duduk manis di atas kap mobil mewah yang diparkir di pinggir perkebunan sawit miliknya. Caping melingkar lebar di atas kepalanya separuh menutupi wajahnya yang dipenuhi jambang lebat. Terkadang penampilannya itu sampai mengelabui pekerjanya sendiri dikira pengusaha kepala sawit lain yang ingin bekerja sama dengan Suparman.
Hasil dari berkebun sawit Suparman memang di atas rata-rata. Jika yang lain dalam sekali panen dapat menghasilkan uang sekitar lima ratus juta, maka Suparman dapat menghasilkan dua kali lipat atau bahkan tiga kali lipat. Empat buah Mobil mewah yang diparkir di depan rumah itu juga dibeli dari hasil berkebun kelapa sawit.
“Pak, kelapa sawit yang berada di pekarangan sebelah kebun Sali sudah bisa dipanen dalam waktu seminggu lagi,” lapor salah satu pekerjanya.
“Baik. Persiapkan segala sesuatunya,” perintah sang majikan kepada pekerjanya. Kemudian Suparman menghisap asap cerutu yang sejak tadi dijepit dengan kedua jari kirinya yang hitam legam.
Tiupan angin siang sudah mulai menggerahkan badan. Suparman turun dari kap mobil mewahnya kemudian masuk ke dalam mobil itu. Tangan kekarnya menombol power AC yang berada dalam mobilnya. Tiga kancing baju bagian atas ia buka latas kepala disandarkan pada jok mobil depannya. Dinginnya hawa AC ternyata melelapkan mata sang majikan yang kaya raya tersebut.
“Bos, Bos! Bangun, Bos! Ada tamu,” kata Amir sopir pribadinya. Suparman terbangun lantas bergegas membuka daun pintu mobilnya. Ia melihat di belakang mobil seorang tamu dari Jawa.
“Wah, kamu Samsul. Apa kabar? Bagimana bisnis kelapa sawitmu?” tanya Suparman dengan merangkul pundak Samsul.
“Syukur, baik-baik saja. Terus bagaimana usahamu berkebun kelapa sawit?” Sambul balik bertanya.
“Ya, seperti yang Engaku lihat sendiri,” jawabnya dengan menunjuk ke arah perkebunan miliknya.
Dua orang pengusaha bertemu di area perkebunan rasanya kurang sempurna. Suparman kemudian mengajak Samsul untuk ke rumahnya. Jari-jarinya memencet ponsel yang selalu menemani ke mana dia berada.
“Bu, siapkan tempat dan makanan yang enak! Ini ada Pak Samsul rekan bisnis kepala sawit dari Jawa,” Suparman mengontak istrinya yang berada di rumah.
Kedua orang itu lantas masuk ke mobil mewah yang tak lama kemudian mobil tersebut lenyap di balik rimbun pepohonan sawit.
Rumah megah berinterior mahal ala eropa berdiri di sebuah lahan seluas satu hektar. Di kanan kiri rumah terdapat taman dengan aneka bunga yang indah. Setiap mata yang melihat rumah dan pekarangan yang seperti itu tentu saja ngiler.
“Benar-benar edan rumahmu!” kata Samsul takjub dengan bangunan rumah yang super megah.
“Ya. Rumah itu saya bangun dengan dana 1 milyar, lho!” kata Suparman.
Samsul hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala seperti tak percaya dengan semua yang dilihat.
“Bu, ini Pak Samsul. Dulu ketika masih di Jawa dia teman akrabku,” kata Suparman memperkenalkan Samsul kepada istrinya yang cantik jelita itu.
Saudagar yang kaya raya seperti Suparman memang tak kurang satu apa pun. Segala keinginan duniawinya selalu terpenuhi. Dengan harta kekayaan yang dia miliki dia mampu membeli apa saja yang ia mau. Seluruh perkebunan sawit di daerah itu hampir separo telah dibelinya. Namun sayang ada satu kekurangannya. Dia itu orang yang sangat pelit. Pelit kepada pekerjanya, pembantu rumah tangganya, bahkan kepada istrinya sendiri dia juga pelit. Untung istrinya termasuk orang yang sabar dan mengerti masalah agama. Andaikan istrinya itu orang yang judes dan tidak mengerti agama tentu sudah lari beberapa tahun yang lalu.
“Permisi, Pak!” kata Rahmah lemah lembut saat menghidangkan makanan di ruang tamu.
“Oh, iya. Terima kasih!” kata Samsul.
Berbagai jenis makanan tersaji di meja tamu. Namun Suparman diam saja tidak mempersilakan tamunya untuk makan atau sekedar mencicipi hidangan yang berada di depannya.
“Pak, kok, tidak dipersilakan tamunya?” tegur Rahmah saat melihat hidangan di meja masih untuh belum tersentuh.
Suparman kemudian mempersilakan Samsul untuk menikmati hidangan buatan Rahmah, istrinya.
Setelah negobrol beberapa jam sambil menikmati hidangan Samsul kemudian berpamitan kepada tuan rumah. Ia harus segera kembali ke Jawa setelah di telepon karyawannya bahwa pabrik pembuatan minyak kelapa sawit miliknya terbakar. Samsul tampak shok mendengar kejadian seperti itu. Namun rupanya dia pasrah dan mencoba untuk menenangkan dirinya.
Suparman menyuruh sopir pribadinya untuk mengantar Samsul ke bandara. Sedangkan dia hanya mengantar hingga ke pintu rumahnya. Dia diam tak mengucapkan terima kasih atau apa saja kepada tamunya yang jauh-jauh datang dari Jawa.
“Kasihan dia,” gerutunya dalam hati. Suparman kembali ke dalam rumah.
Hari mulai senja. Sinar matahari de sebelah barat sudah tampak kekuning-kuningan. Pertanda hari akan segera malam. Para pekerja Suparman juga sudah mulai datang dari tempat kerjanya. Mereka kemudian masuk ke dalam ruangan yang khusus disediakan untuk para pekerja. Istri Suparman lantas membawa beberapa bakul nasi untuk persiapan makan malam mereka.
Setelah dipersiapkan kemudian mereka makan dengan lahap. Empat bakul nasi dan lauk-pauk serta lalapan ludes ditelan mereka. Maklumlah sehari hanya di jata makan dua kali. Yaitu pagi sebelem mereka berangkat ke kebun dan malam setelah mereka pulang. Usai makan malam kemudian mereka terlelap tidur.
Di ruang makan suami istri sedang makan malam. Mereka dikagetkan oleh suara ketukan pintu di depan. Suparman masih lahap menyantap masakan yang dibuat oleh istrinya. Rahmah memperhatikan suara ketukan pintu itu kemudian dia berdiri bergegas menuju ke ruang depan. Ada seorang lelaki yang memakai pakaian compang-camping yang berdiri di depan pintu. Rahmah lalu membukanya.
“Permisi Nyonya! Saya adalah pengemis yang kemalaman. Bolehkah saya menumpang nginap di rumah ini?” Lelaki berbadan kurus dan berpakaian lusuh mengiba kepada Rahmah. Ketika Rahmah akan menjawab permintaan dari laki-laki itu dari dalam suaminya berteriak.
“Siapa Rahmah yang di depan?” tanya Suparman kemudian dia muncul di tengah-tengah mereka.
“Dia pengemis yang kemalaman. Di sedang lapar dan ingin menumpang nginap di rumah kita,” jelas Rahmah.
“Cih, tak sudi! Rumah sebagus ini mau dimasuki orang semacam dia. Tidak, Rahmah. Tidak! Suruh dia keluar dan meninggalkan tempat ini dan jangan boleh kembali,” bentak Suparman.
“Jangan begitu, Pak! Kasihan dia. Tubuhnya kurus dan berpakaian compang-camping. Bagaimana dia nanti kalau masuk angin?”
“Pokoknya usir dia. Badan kurus, pakaian compang-camping, masuk angina, itu urusan dia. Mengapa kita ikut memikirkan. Semua itu salahnya sendiri. Dia malas tidak mau bekerja keras. Kerjanya hanya meminta-minta. Hai, pengemis! Saya bisa seperti ini karena hasil kerja keras saya. Mengerti kamu!?” Suara lantang Suparman begitu congkak di hadapan pengemis dan istrinya. Dengan serta merta tangan kekar Suparman menyeret paksa pengemis itu keluar dari rumahnya.
“Sana, pergi! Rasakan angin malam itu! Dasar pemalas!” umpatnya.
Pengemis itu kemudian meninggalkan rumah Suparman dengan hati yang sangat sakit. Walau dia hanya seorang pengemis namun dia juga mempunyai harga diri seperti kebanyak orang.
Sementara Rahmah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menghela napas panjang dan mengelus dadanya. Rahmah sendiri heran dengan perangai suaminya yang seperti itu.
Setalah kejadian itu Rahmah selalu membayangkan nasib dari pengemis. Dia merasa ikut berdosa lantaran sikap suaminya. Setiap malam matanya sulit dipejamkan. Setiap terpejam bayangan peristiwa itu muncul lagi. Karena tak kuat menahan rasa kantuk Rahmah akhirnya tertidur pulas di samping suaminya yang mendengkur.
Seminggu telah berlalu dari kejadian tersebut. Bisnis Suparman seperti menemui masalah. Samsul yang biasanya membeli kelapa sawit miliknya kini sudah tak pernah lagi menghubunginya. Demikian juga pada pembeli yang lain. Suparman gelisah dengan penghasilan yang semakin lama semakin merosot. Usaha Suparman kini benar-benar kolap. Setiap malam dia tidak tidur-tidur menghitung neraca usahanya. Dia semakin tidak percaya ketika saldo usahanya kini malam minus. Ia menghela napas panjang dari balik meja kerjanya. Rambut yang separo telah beruban ia remas-remas. Sesekali kepalan tangannya menghantam meja kerjanya.
“Ada apa, Pak? Kalau capek, ya, tidur. Sudah larut malam,” Rahmah mengingatkan suaminya.
Suparman berdiri lantas menguak keras menggetarkan segala yang ada di rumahnya.
“Sialan…!” teriaknya lantas dia menjatuhkan tubuhnya di ranjangnya.
Rahmah tampak kasihan dengan suaminya yang capek memikirkan usahanya yang sedang kolap itu.
Pagi hari sebelum berangkat kerja, Suparman menyantap sarapan pagi ditemani istriinya. Dia seakan ingin mengungkapkan sesuatu kepada istrinya. Ia tampak salah tingkah dengen sendirinya.
“Ada apa, Pak? Sejak tadi saya perhatikan Bapak ini kok aneh. Ayo katakan saja! Aku ini istrimu, Pak. Ajaklah menyelesaikan masalah ini.”
“Begini, Rahmah. Usaha kita kini benar-benar bangkrut. Saya tak sanggup lagi membayar hutang yang semakin menumpuk. Saya tak sanggup lagi membayari pekerja-pekerja kita yang setiap hari membantu di kebun kelapa sawit. Untuk menutupi hutang-hutangku, terpaksa seluruh kebun kelapa sawit akan saya jual. Kita sudah tidak punya apa-apa. Saya juga tidak bisa menghidupimu. Maka hari ini kamu akan saya antar ke rumah orang tuamu. Kamu akan saya cerai. Ini adalah keputusanku yang tidak boleh diganggu gugat. Paham!?”
“Tapi, Pak?”
“Tidak ada tapi-tapian. Kemasi semua pakaianmu dan segera kita berangkat!”
Mendengar putusan Suparman yang seperti itu Rahmah lantas menangis. Dia tidak percaya dengan keputusan suaminya. Terlalu cepat menurutnya. Tapi apa boleh buat dia hanya seorang istri. Di harus menurut semua yang dikatakan suaminya walau terasa berat. Rahmah kemudian diantar ke rumah orang tuanya.
Lima bulan setelah dia dicerai suaminya, datanglah lelaki yang berhati baik ke rumah orang tuanya. Dia saudagar yang menginginkan Rahmah menjadi istrinya. Orang tua Rahmah menerima lamaran lelaki itu dan Rahmah pun menerima karena dia sudah sah cerai dari suami pertamanya.
Kedua pasangan itu akhirnya hidup bahagia dalam bahtera rumah tangganya. Pada suatu hari datanglah seorang pengemis. Di mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Si suami memerintahkan Rahmah membuka pintu itu.
“Bu, hari ini kita tahan dulu menikmati makanan ini. Jika yang datang itu adalah pengemis yang sedang kelaparan, berikanlah makanan ini kepadanya. Jika dia adalah gelandangan yang berpakaian compang-camping, maka berikanlah pakaian terbaik yang kita miliki. Jika dia adalah orang yang ingin istirahat di rumah ini, siapkanlah kamar kita untuk ditempatinya. Kita mengalah. Kita harus menghormati dan mengutamakan tamu siapa pun dia,” lelaki itu memberi penjelasan kepada Rahmah.
“Baik, Pak!” jawab Rahmah dengan lemah lembut.
Rahmah kemudian bergegas membukakan pintu depan. Betapa kagetnya dia ketika lelaki yang berpakaian compang-camping di hadapannya adalah Suparman, suami pertamanya. Rahmah berlari ke arah suaminya dan menangis berderai air mata.
“Kenapa kamu menangis, Bu?” tanya suaminya.
“Perlu Bapak ketahui bahwa lelaki pengemis yang berpakaian compang-camping di depan itu adalah suami pertamaku, Suparman!” jawabnya sambil menangis.
“Suruh dia masuk!” perintah suaminya.
Pengemis yang tak lain adalah Suparman itu kemudian masuk. Dia bersalaman dengan suami Rahmah dengan rasa malu yang tiada terkira. Kemudian suami Rahmah menyodorkan handuk kepada Suparman lalu menyuruhnya mandi. Pakaian yang bagus telah dipersiapkan suami Rahmah agar dipakai Suparman.
“Silakan dipakai pakaian itu, dan mari makan bersama-sama ke ruang makan!” ajak suami Rahmah.
Suparman memakan hidangan di meja makan dengan lahap karena terlalu lapar. Kemudian segelas air putih ia minum hingga tak tersisa walau hanya setetes. Rahmah kemudian membereskan semua perabot yang tersisa di atas meja makan.
Di ruang tamu mereka berkumpul. Di atas sofa yang bermotif bunga melati mereka duduk santai usai makan. Di atas meja tamu terdapat makanan ringan sebagai camilan saat mereka santai.
Saat mereka duduk-duduk Suami Rahmah ingin mengutarakan sesuatu. Namun, ia merasa berat mengutarakannya hingga beberapa kali ia harus memaksa mulutnya untuk tidak megatakannya.
“E.., begini, Bu. saya ingin mengatakan sesuatu yang belum Ibu ketahui,” kata suami Ramah.
“Sebenarnya saya ini adalah pengemis yang pernah datang ke rumahmu waktu itu. Karena saya adalah orang hina maka suamimu, Pak Suparman, ini mengusirku. Setelah saya pergi dari rumahmu itu kemudian saya menolong seseorang yang mengalami kecelakaan. Dengan sekuat tanaga saya membopong orang tersebut ke rumah sakit. Dan, saya bersyukur akhirnya orang tadi selamat. Ternyata dia adalah pengusaha kebun kelapa sawit yang kaya raya. Dia akhirnya memberiku separo dari kebun kelapa sawit yang dimilikinya sebagai ucapan terima kasih karena aku telah menolongnya. Sekarang usahaku berkembang seperti yang kamu ketahui sekarang ini.”
Mendengar cerita suami Rahmah, Rahmah yang kini menjadi istri lelaki itu terharu dan menahan rasa malu kepada suaminya sendiri. Ternyata dia adalah pengemis yang diusir suami pertamanya, Suparman. Karena Suami Rahmah adalah orang pemaaf, maka dia telah memaafkan semua yang telah diperbuat oleh Suparman kepada dirinya waktu itu yang kini menjadi pengemis. Dia bahkan menawari Suparman untuk berkeja di perkebunan kelapa sawit miliknya.***
05 Februari 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar