Bayu Agustari Adha *
Riau Pos, 14 Okt 2012
PADA tataran tertentu sastra dianggap sebagai suatu refleksi kehidupan seperti apa yang dipandang oleh Plato. Makanya Plato sendiri agak merendahkan sastra karena kalau sastra adalah refleksi maka itu adalah mimesis lapis ketiga. Itu terjadi karena dia menganggap bahwa kehidupan ini adalah suatu refleksi dari ide. Maka dari itu jikalau kehidupan sendiri adalah refleksi dari ide, jadi sastra mengalami dua kali tingkat turunan mimesis.
Bermula dari ide turun ke kehidupan, dan barulah bergenerasi kepada sastra sehingga ibarat penyaringan, akan terdapat unsur-unsur yang tereliminasi. Namun faktanya apa yang terjadi dengan dunia sastra tidak menunjukkan hal yang demikian. Banyak diantara karya sastra tidak melulu merupakan refleksi utuh kehidupan, namun juga dibumbui imajinasi dan beragam gaya para penulis. Rasanya mendekati tepat pula apabila kita mengikuti murid Plato sendiri yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah representasi.
Sastra sebagai representasi berarti bahwa apa yang ada pada sastra adalah suatu wujud perwakilan dari kehidupan nyata. Dia tidak sama persis dengan kehidupan nyata, tetapi mengambil bahan dari kehidupan nyata lalu diramu oleh seorang sastrawan. Hasilnya karya-karya yang dihasilkan salah satunya berbentuk imajinasi yang berakar pada kehidupan nyata. Secara kasat mata mungkin apa yang disajikan tidak logis untuk dicerna, namun hal itu merupakan gaya tersendiri di mana sastra tak utuh untuk menyentuh logika tapi yang utama adalah menyentuh emosi. Karya-karya imajinatif itulah yang menjadi representasi dari kehidupan dan bukanlah rekaan si pengarang. Salah satu tujuannya juga untuk memberikan satir atau sindiran atau olok-olokan terhadap suatu hal yang menjadi perhatian si pengarang. Pada umumnya di Indonesia saat ini genre sastra cerpenlah yang sering menggunakan hal ini. Upaya pengungkapan satir yang imajinatif dapat kita lihat pada karya-karya cerpen Agus Noor dalam bukunya berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia.
Agus Noor memang dikenal sebagai cerpenis mapan Indonesia. Karya-karyanya yang bersifat imajinatif tersebut memang sangat menggelitik melalui penjelajahan gaya yang dilakukannya. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini sangat terlihat jelas betapa nakalnya Agus Noor bermain dengan imajinasi. Bagian pertama yang hadir dalam buku ini berjudul ‘’Empat cerita buat Cinta’’. Cerita pertama berjudul ‘’Pemetik Air Mata’’. Awalnya Agus Noor menjelajahi penceritaannya mengenai asal-usul adanya peri pemetik air mata manusia. Setelah lika-liku cerita imajinatif mengenai hal itu, tibalah akhirnya bahwa air mata-air mata itu dicuri dan telah dijadikan bahan dagangan oleh para pedagang asongan. Sandra, tokoh yang ada dalam cerita tak mempercayai ini karena dia tak melihat peri datang setiap dia dan ibunya yang seorang pelacur menangis. Mama Sandra selalu marah melihat Sandra menangis. Sandra kemudian juga mempunyai anak. Nasibnya lebih baik dari ibunya yang pelacur. Sandra adalah wanita simpanan yang beroleh anak. Anaknya mengetahui adanya peri pemetik air mata itu dan juga membeli air mata itu dari pedagang asongan dan Sandra tidak menyukainya.
Secara kasat mata memang kisah ini tidak masuk akal sama sekali. Mulai dari cerita peri yang entah ada atau tidak sampai pada cerita dijualnya air mata. Namun menarik untuk ditelusuri unsur satir yang ada dalam cerita ini. Air mata merupakan suatu yang identik dengan kesedihan. Dengan air mata, sesuatu yang tidak dapat terselesaikan dapat hilang dengan mencucurkan air mata. Intinya adalah air mata adalah kebutuhan manusia dan telah menjadi takdir bagi manusia untuk menangis menitikkan air mata. Berhubungan dengan konteks cerita bisa dipahami bahwa satir yang hadir adalah suatu sindiran terhadap kehidupan nyata yang telah akrab dengan kesedihan dan kepedihan hidup. Itu terlihat dari apa yang dialami Sandra, ibunya, dan anaknya. Kesedihan terjadi tentu ada sebabnya yang tak lepas dari lingkungannya. Tetapi apa yang dilakukan Sandra dengan melarang anaknya membeli air mata itu adalah suatu upaya kemunafikan dalam menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang berteman dengan kesedihan. Sandra tidak ingin menunjukkan kesedihan yang ada dan memilih untuk terus hidup dalam kebohongan seperti yang dilakukan kepada anaknya dengan menyembunyikan kenyataan bahwa papanya adalah suami orang.
Satu hal lagi satir yang ada bisa dikupas dengan membaca fenomena mengapa air mata itu telah menjadi barang dagangan. Hal ini menandakan bahwa memang saat ini kesedihan juga telah menjadi suatu komoditas. Itu terlihat mulai dari yang beroperasi secara jelas dan yang abstrak. Yang beroperasi dengan jelas adalah seperti para pengemis yang menjual kesedihan dan kemelaratan untuk memperoleh uang. Banyak juga diantaranya yang memperlihatkan bagian fisik yang terlihat menyedihkan untuk memperoleh simpati agar dikasihani. Kemudian menjual kesedihan sebagai komoditi dalam bentuk abstrak bisa dilihat dari populernya cara-cara menarik simpati oleh berbagai pihak. Contohnya program televisi yang mengekspos kesedihan sebagai produknya dan ada juga yang menarik simpati dengan kisah hidupnya dahulu yang menyedihkan agar karya atau produknya terjual. Jadi, hakikatnya mereka menjual kesedihan untuk menarik simpati, bukan menjual produknya melalui kualitasnya.
Cerita kedua di sini berjudul ‘’Penyemai Sunyi’’ menceritakan seorang laki-laki yang menemui rumahnya di mana keluarganya semuanya terbunuh. Saat itulah dia melihat setangkai sunyi yang ada di halamannya sambil terus membayangkan kenangan bersama keluarganya.
‘’Setangkai sunyi yang cemerlang dengan perpaduan warna-warna yang paling rahasia membuatku tergetar dan bertanya-tanya’’. Begitulah gambaran keindahan yang dilukiskan lelaki itu. Sebelum pulang dia membayangkan istrinya akan membukakan pintu dan menyiapkannya kopi hangat dan anak-anaknya yang masih belajar ataupun menonton TV. Dalam renungan diapun masih merasakan seakan-akan ada suara istrinya dan anaknya dari dalam memanggil masuk, namun itu hanya ada dalam kenangan. Setelah itu setangkai sunyi yang berbentuk bunga itu terus tumbuh mekar dan besar sehingga memukau banyak orang, namun ketika ditanya orang dia selalu menjawab bahwa itu adalah setangkai kesunyian.
Cerita ini bersifat filosofis melalui perenungan yang dilakukannya. Satir yang ada di sini bisa dimaknai sebagai suatu fase kehidupan di mana manusia harus melalui suatu masa kesunyian. Kesunyian itu dimaknai sebagai suatu akibat dari tindakan manusia yang telah lupa akan anugerah sosial, dalam hal ini adalah keluarga. Karakter semasa hidupnya tak memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarganya. Dia yang selalu pulang malam membohongi istrinya dan dia yang menganggap remeh kehadiran dari anaknya. Akhirnya dia mengalami kehampaan tanpa mereka semua. Hanya kesunyian yang akan hadir apabila waktu yang telah ada tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun hal menarik yang dihadirkan oleh Agus Noor adalah metaphor bunga sebagai lambang kesunyian. Apa yang mendasari ini? Ini merupakan suatu hal yang berbeda lainnya di mana biasanya bunga dianggap sebagai suatu hal yang menggambarkan keindahan dan bukanlah kesunyian. Mungkinkah ini sebagai perlawanan simbol pada pemahaman umum orang-orang bahwa bunga perlambang dari kegembiraan karena hidupnya warna yang dimilikinya? Apakah manusia telah salah kaprah atau manusia yang hanya melihat kulit luar dari sewujud bunga yang sebenarnya di dalamnya adalah tawaran kesunyian? Interpretasi bisa berbeda di sini.
Cerita ketiga dengan judul ‘’Penjahit Kesedihan’’ menceritakan fenomena tukang jahit dalam suatu kota. Dulu banyak gerombolan tukang jahit datang menjelang Lebaran dan semua orang gembira. Lebaran tak lengkap tanpa menjahitkan pakaian pada para penjahit itu. Setelah beberapa lama, penjahit itu semakin berkurang oleh imbas modernisme. Akhirnya merekapun menyingkir ke pinggir kota. Tak lama kemudian merekapun juga hilang satu per satu oleh zaman. Namun masih ada satu penjahit yang masih bertahan. Ceritanya dia tak hanya bisa menjahit pakaian tapi juga bisa menjahit kesedihan menjadi kebahagian karena memiliki jarum yang diakuinya didapat dari Nabi. Lama kelamaan banyak saja orang yang datang kepadanya untuk menjahit kesedihan sampai antriannya sepanjang ujung cakrawala ini.
Unsur satir yang dapat dilihat dari karya imajinatif ini pada mulanya adalah fenemona tersingkirnya kaum tertentu oleh suatu modernisme. Masyarakat tak menyukai lagi hal-hal yang berakar dari masyarakatnya sendiri melainkan menyukai hal yang lebih modern dan materialistis. Ini merupakan satir dan balada terhadap kesedihan yang dialami oleh para pencari nafkah tradisi kita yang harus tersingkir oleh peradaban modern yang tak kenal kasihan. Selain itu, dapat dilihat di sini pertukaran pola pikir masyarakat yang telah menjadi lebih instan dan tidak mempertimbangkan proses dalam menilai suatu hal. Dulu mereka dengan setia melihat bagaimana setiap penjahit meliuk-liukkan jarumnya, tapi sekarang mereka lebih suka beli barang yang langsung jadi di mal dan butik. Namun ketika manusia telah merasakan keanekaragaman material tersebut, mereka suatu saat juga menjadi hampa sehingga tak mendapatkan kebahagian sehingga menjamurlah orang-orang yang mencari kebahagiaan untuk menjahit kepedihannya. Inilah suatu fenemona yang disebut kehampaan spiritual karena hidup didunia yang materialistis. Ketika mereka telah memiliki semuanya, mereka tak juga bahagia karena masih merasa hampa karena kosongnya jiwa. Hal ini disebabkan tidak adanya kegiatan spiritual. Kegiatan melihat penjahit melakukan jahitannya pada masa dulu bisa jadi suatu analogi kegiatan spiritual sehingga ada suatu kenyamanan dalam hati pada saat melakukan atau menyaksikan.
Cerita keempat dalam bagian cerpen ini adalah ‘’Pelancong Kepedihan’’. Di sini diceritakan fenomena pelancong dari luar yang berwisata untuk menyaksikan kesedihan pada suatu kota. Di sana para pelancong sangat terkagum-kagum melihat kesedihan dan kemelaratan yang ada karena tidak merasakan dan melihat hal tersebut di negerinya. Mereka membawa bekal dan beberapa persediaan dokumentasi. Mereka mengambil foto apa saja yang dilihatnya dan kadang-kadang mereka juga berfoto dengan penduduk setempat yang tertlihat menyedihkan. Konon pula foto itu juga dijadikan perangko yang dibanggakan sebagai bukti mereka pernah ke kota kepedihan. Salah satu hal yang membuat para pelancong tertarik adalah dimana kota ini dibangun untuk keruntuhan. Maka ketika bumi di kota ini tanahnya bergerak, para pelancongpun langsung bereaksi memperlihatkan ketertarikannya dengan apa yang terjadi.
Tentu saja imajinasi ini akan terasa tidak logis. Namun intensitas yang dibangun tentunya bukan bertujuan untuk membujuk logika, namun lebih kepada upaya untuk menyentuh perasaan. Hal ini dilakukan dengan pembuatan realita cerita yang hiperbola. Agus Noor juga memainkan bayangan diluar lingkaran yang ada untuk memberikan satir atas apa yang menjadi fenomena bagi Indonesia yang sering mengalami keruntuhan. Mulai dari keruntuhan secara fisik sampai dengan keruntuhan secara moril. Indonesia sebagai bangsa yang akrab dengan bencana akhir-akhir ini memang telah menyerap perhatian Internasional. Maka banyaklah orang asing yang berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah pelancong yang disangkakan oleh Agus Noor adalah sejumlah lembaga pemerintah ataupun NGO asing yang berkunjung dengan kedok kemanusiaan. Sejumlah kejadian telah memperlihatkan hal tersebut, seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan gempa Padang. Memang terkesan terlalu verbal untuk menuduh mereka sebagai pelancong di dalam cerita. Namun kembali lagi kita menilik pada hakikat sastra sebagai suatu representasi suatu realita. Sastra tidak menuduh, akan tetapi adalah mencoba untuk menggugah pembaca melalui imajinasi yang ada sehingga dapat menjadi pegangan ataupun suatu antisipasi.
_____________________________
*) Bayu Agustari Adha, Penulis yang rajin membaca karya-karya baru serta menulis esai. Bayu adalah Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/10/satir-imajiner-dalam-sastra.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar