Fajar Setiawan Roekminto
http://www.kompasiana.com/gadsa
Sastra dan kritik sastra selalu problematis karena tidak mudah menemukan jawaban atas dua hal tersebut. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu harus mengakar pada budaya dimana karya itu dilahirkan serta kondisi masyarakat yang meresepinya. Untuk itulah maka dalam proses kegiatan kritik sastra perlu muncul teori-teori yang relevan dengan situasi tersebut dan tidak terus menerus mengaplikasikan teori yang datang dari Barat, dan kalau itu terjadi maka masih ada harapan dalam masa depan kegiatan kritik sastra di Indonesia, karena teks kritik sastra harus benar-benar berada di tangan audiensi dan tidak berakhir hanya di ruang seminar dan rak buku perpustakaan.
Mendefinisikan “kritik sastra” sebenarnya sama sulitnya dengan mencari jawaban atas pertanyaan “apakah yang disebut dengan sastra.” Dua hal ini telah menjadi persoalan yang sangat problematis, dan siapa saja yang belajar sastra tentu sepakat, bahwa tidak ada satupun jawaban yang mampu memuaskan semua orang bagi kedua pertanyaan tersebut sampai saat ini. Sastra seolah memiliki dua sisi, yakni ketika dirinya sendiri ingin menjadi besar, sehingga merasa memiliki “kuasa” atas apa yang melekat di dalamnya dan pada sisi yang lain, sastra terhempas pada lorong tanpa makna bersama dengan waktu yang menyertainya. Artinya, sastra memiliki makna apabila individu-individu yang berada dalam ruang dan waktu itu secara bersama-sama memberikannya label. Untuk itulah maka apa yang disebut sastra di satu belahan dunia akan berbeda maknanya di belahan dunia yang lain, bahkan di ruang yang sama namun pada waktu yang berbeda.
Sastra selalu berada di ruang dan waktu dalam satu rangkain kronologis sejarah, sehingga setiap kali muncul upaya untuk memberikan definisi sastra maka uraian atas penjelasan definisi itu justru malah berupa lembaran-lembaran sejarah atas perjalanan panjang kata sastra itu sendiri. Definisi sastra biasanya juga selalu dimulai dari etimologi kata itu, meskipun sebenarnya sastra jauh melewati batas-batas itu semua. Sastra bisa menjadi begitu ideologis pada suatu tempat dan waktu, namun juga bisa tidak menjadi apa-apa pada waktu yang lain.
Kompleksitas sastra inilah yang menyebabkan munculnya banyak tafsir dan pemaknaan, khususnya bagi mereka yang awam akan dunia sastra. Dengan berseloroh atau bahkan mengejek, orang awam tidak jarang memberi pemaknaan sastra sebagai ilmu yang tidak jelas dan bahkan tidak berguna. Pandangan seperti ini tentu saja sangat dapat diterima dan dipahami, bahkan Teeuw (1984) sendiri mengatakan bahwa ilmu sastra itu menunjukan keistimewaan dan bahkan keanehan karena obyek utama penelitannya tidak tentu dan bahkan tidak keruan. Dengan memahami “aneh dan uniknya” sastra maka tidak mengherankan apabila tidak mudah juga untuk menjawab pertanyaan mengenai definisi kritik sastra, karena kritik sastra merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sastra itu sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu tentu hampir mirip, artinya jawaban atas pertanyaan apakah “kritik sastra” itu, tidak juga mudah untuk dijawab sebagaimana pertanyaan itu ditujukan kepada arti kata sastra.
Untuk kepentingan yang pragmatis, kritik sastra dapat diartikan sebagai sebuah studi, selain tentunya juga evaluasi yang didalamnya secara simultan juga pemaknaan terhadap eksistensi sastra. Secara lebih sederhana kritik sastra diartikan sebagai kegiatan pembacaan karya sastra, dimana audiensi (baik pembaca maupun penonton) melakukan pemaknaan dengan sudut pandang yang berbeda dari apa yang disajikan dalam teks. Audiensi masuk dan memahami karya sastra dalam relasinya dengan pengarang beserta seluruh semesta yang melekat dalam diri pengarang, baik itu budaya maupun karya/teks lain yang pernah ditulis.
Criticism atau kritik berasal dari bahasa Yunani krites yang berarti menghakimi (Habib, 2005). Memang secara leksikal kata hakim memiliki banyak arti, namun bagi kepentingan penulisan makalah ini hakim diartikan sebagai penilai, atau juri. Lantas, siapa yang berhak mengatakan dirinya sebagai penilai atas sebuah karya sastra? Audiensi tentu saja merupakan hakim yang memberikan penilaian, baik itu audiensi yang menempatkan dirinya hanya sebagai penikmat atau mereka yang bertindak sebagai seorang pakar sastra. Namun demikian hakim pertama yang melakukan penilaian terhadap satu karya sastra bukan audiensi melainkan penulis teks itu sendiri, karena apa yang akan dituangkan dalam karya, beserta seluruh kriteria-kriteria yang dipersyaratkan ditentukan oleh penulis dan pada saat penentuan itulah maka kegiatan kritik itu berlangsung. Pendangan ini tentu saja tidak sepenuhnya dapat diterima khususnya bagi kaum strukturalis.
Penilaian terhadap karya sastra atau kegiatan kritik dilakukan karena tentu memiliki tujuan, tidak hanya dalam rangka mendapatkan kesenangan melainkan juga dalam mendapatkan pengetahuan, baik itu pengetahuan mengenai budaya, ideologi atau pengetahuan lain mengenai ilmu-ilmu kemanusiaan. Penilaian terhadap satu karya sastra tidak hanya disebabkan karena kritikus ingin melakukan hal itu melainkan juga karena sastra juga memiliki karakternya sendiri, yakni kebutuhan akan audiensi. Dalam proses pembacaan itu maka kemudian karakter yang dimaksudkan itu terbentuk dalam pemikiran audiensi yakni bahwa karya tersebut menjadi satu bentuk karya yang diidealkan, terlepas dari apapun teori atau pendekatan yang digunakan dalam proses pembacaannya. Selain itu, tujuan akhir kegiatan kritik sastra bukan sebuah sekedar temuan akan baik atau buruknya karya, melainkan kebenaran itu sendiri, kebenaran yang sejalan dengan teori yang dipakai sebagai alat dalam melakukan kegiatan kritik. Pada titik ini kemudian seorang kritikus memberikan penilaian apakah karya sastra yang telah dibacanya memang karya sastra yang direkomendasikan untuk dibaca, karya yang luar biasa atau bahkan karya yang menurut penilaiannya “sampah” atau tidak perlu dibaca. Selain telah dibekali oleh pengetahuan yang luas, khususnya mengenai teori sastra, seseorang yang melakukan kegiatan kritik sastra juga harus memiliki ketekunan, karena kegiatan ini sangatlah melelahkan dan membutuhkan kejelian yang luar biasa sehingga tidak semua orang berminat menjadi kritikus sastra.
Secara historis, dalam tradisi Yunani kuno, kritikus yang tercatat dalam sejarah sastra adalah Plato dan Artistoteles (Painter, 1903) serta Quintilian, Cicero, dan Horace. Terdapat dua karya penting dalam kaitannya dengan kritik sastra awal, yakni Poetica, yang menjadi materi yang sangat berharga sebagai bahan dalam mendiskusikan prinsip-prinsip dasar kritik sastra serta Ars Poetica yang menjadi bacaan wajib di banyak universitas, karena dianggap memuat prinsip-prinsip kritik yang sangat luar biasa penting. Dalam tradisi kritik sastra Inggris, The Apology (1580) karya Sir Philip Sidney menjadi penanda atas kelahiran kritik di negara itu (Vaughan, 2002). Beberapa diantara sastrawan sekaligus kritikus yang menonjol pada masa itu adalah Dryden, Pope, Addison, Johnson, Coleridge, Jeffrey, Macaulay, Carlyle, dan Matthew Arnold, sedangkan di Amerika nama-nama seperti Poe, Emerson, Whipple, Lowell, dan Stedman merupakan kritikus-kritikus sastra yang sangat diperhitungkan.
Di Indonesia sendiri kegiatan kritik sastra baru dimulai pada periode Balai Pustaka dan teks yang dapat dikatakan sebagai bentuk kritik sastra pertama ialah teks Nota Rinkes, yakni Nota over de Volkslectuur (tahun 1920-an) (Pradotokusumo, 2005). Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (1994 dan 1995) yang mengatakan bahwa kegiatan kritik dalam tradisi sastra Indonesia merupakan kegiatan yang baru berjalan lebih kurang 60 tahun, sedangkan kegiatan kritik sastra yang menerapkan prinsip, kategori, dan kriteria atau yang mengimplementasikan teori sastra Barat, baru berlangsung pada tahun 1970-an.
Meskipun kegiatan kritik yang mengadaptasi teori-teori dari Barat berlangsung pada tahun 70-an, demarkasi yang jelas akan ruang, antar Indonesia dan Barat harus jela mengingat kesejarahan yang berbeda. Di Barat, pada saat yang bersamaan sedang terjadi perubahan sosial dan budaya. Meskipun kondisi yang hampir mirip juga terjadi di Indonesia mengalami hal yang sama, dari sisi pemikiran agak berlainan. Perubahan sosial dan budaya yang terjadi di Barat lebih disebabkan karena terjadinya perubahan filosofi dan tradisi pemikiran yang pada gilirannya mempengaruhi kegiatan kritik sastra. Sedangkan di Indonesia perubahan lebih disebabkan karena situasi politik pada masa itu dan tidak sedang berlangsung “pergolakan” pemikiran, khususnya dalam kegiatan kritik sastra.
Di Barat pada tahun 70-an lahir teori-teori yang menentang kemapanan teori sebelumnya seperti misalnya teori mengenai wacana. Teori ini mengalami semacam “perumusan ulang” yang dilakukan secara radikal, dan hasil perumusan itulah kemudian menjadi bagian penting dalam pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam kegiatan kritik sastra. Jika sebelumnya kaum strukturalis begitu dominan, lambat laun mulai tergantikan oleh pendekatan yang cenderung lebih filosofis hingga kemudia melahirkan postrukturalisme dan posmodernisme. Model pembacaan reader-response juga sedang dimulai dengan teori hermeneutic yang dikembangkan oleh Friedrich Schleiermacher, Martin Heidegger, dan Hans Georg Gadamer. Fenomenologi yang diinspirasi dari pemikiran Edmund Husserl juga mulai menarik minat para kritikus sastra, satu diantaranya adalah Roman Ingarden yang menyatakan bahwa dalam relasinya dengan teks sastra, pembaca terlibat secara kognitif dan historis. Reader-response merupakan reaksi atas formalisme dan objektivisme dan teori itu bukan merupakan sesuatu yang benar-benar baru karena dalam konteks ini Plato pernah mengingatkan akan kekuatan puisi dalam mempengaruhi orang pada tataran nafsu dan moralitas. Teori-teori itu kehadirannya di Indonesia bisa jadi karena dibawa oleh para mahasiswa Indonesia yang baru kembali ke tanah air setelah menempuh studi di Eropa, Amerika atau negara lain yang juga sedang menikmati posmodernisme. Dari situlah kemudian kegiatan kritik sastra yang menggunakan teori yang berasal dari Barat dimulai dalam ranah sastra Indonesia.
Adakah Masa Depan Kritik Sastra di Indonesia
Masih adakah sastra dan kritik Indonesia? Benar bahwa setelah reformasi sampai abad ke-21 ini bermunculan karya-karya satra baik itu puisi, cerpen, maupun novel di Indonesia. Pada masa reformasi misalnya, karya-karya itu umumnya merekam dan membuat perenungan atas kondisi sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Widji Thukul barangkali bisa dikatakan sebagai ikon Angkatan Reformasi. Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi, muncul kemudian “Sastrawan Angkatan 2000” yang didalamnya terdapat nama-nama seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma yang juga menjadi “Sastrawan Angkatan 80”, serta “Sastrawan Angkatan 90”, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Selain itu juga masih terdapat nama-nama lain yang dikategorikan dalam “Sastrawan Angkatan 2000” dan salah satu yang menuai sukses dari angkatan ini adalah Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi-nya.
Menanggapi kelahiran kedua angkatan ini, paling tidak terdapat beberapa hal yang harus disikapi dan dikomentari salah satunya sisi kuantitas karya dan pengarang. Mulai Angkatan Reformasi sampai saat ini jumlah karya yang dihasilkan, termasuk didalamnya jumlah pengarang, masih terbilang jauh dibanding angkatan-angkatan sastra sebelumnya. Berbeda dengan angkatan sebelumnya, misalnya angkatan 60-an, kemunculan angkatan sastra ini tidak dibarengi dengan keberadaan kritikus seperti “Paus Sastra” Indonesia, HB.Jassin. Meskipun kritik HB Jassin cenderung bersifat apresiatif, kehadiran kritikus mutlak perlu. Sebagai hasil proses kreatif, karya sastra menjadi seperti kehilangan rohnya ketika tidak dikritisi, selain karena kritik terhadap karya sastra akan memunculkan pemikiran-pemikiran yang ada di balik teks. Karya sastra sebagai produk budaya hanya mungkin hidup, bertahan dan bermakna bagi peradaban apabila terus menerus tersentuh oleh pisau tajam para kritikus. Kalaupun hadir tulisan-tulisan yang mengupas secara serius karya-karya sastra itu, maka hanya itu berhenti di rak-rak perpustakaan dalam bentuk skripsi, tesis atau disertasi dan jarang yang secara luas dipublikasikan. Karya-karya yang muncul dalam dua angkatan sastra yang disebutkan di atas muncul secara sporadis dan eksitensinya lebih pada kepentingan industri hiburan daripada menyuarakan pemikiran zaman. Inilah yang membedakan dengan Angkatan Sastra 60-an misalnya. Karya-karya sastra itu diproduksi lebih karena kepentingan industri budaya pop dan bukan sebuah karya yang bersifat filosofis.
Tuduhan akan malasnya masyarakat Indonesia untuk membaca dan menulis, ditambah lagi dengan pengaruh global, dalam hal ini kemajuan teknologi informasi (TI), semakin membuat keterpurukan sastra di Indonesia. TI telah mengalineasi manusia dengan budaya tulis, satu bentuk budaya yang membutuhkan permenungan. Orang tidak lagi mau bersusah payah untuk menulis atau membaca teks-teks panjang dan juga malas untuk membaca naskah berlembar-lembar karena telah tergantikan oleh teks-teks yang pendek-pendek. Cukup dengan sentuhan jari maka tersaji di layar monitor komputer, laptop, Ipad, Tab dan bahkan telepon genggam, seluruh teks, termasuk di dalamnya teks sastra. Teks-teks itu dapat diakses dengan mudah dan bahkan dibaca dalam waktu yang bersamaan.
Harus diakui, TI telah mampu melakukan revolusi terhadap struktur, tatanan, estetika dan etika berinteraksi antar sesama manusia. Namun demikian perkembangan TI telah mengubah cara pandang, sikap dan perilaku individu serta kelompok masyarakat penggunanya menjadi tidak lagi kontemplatif. Puisi-puisi yang dulu tertulis indah di surat-surat cinta anak-anak remaja, sekarang tergantikan oleh short message service (SMS), atau kalau ingin agak panjang, ungkapan hati itu ditulis lewat email. Tidak ada lagi imajinasi karena semua orang tidak lagi ingin berlama-lama.
Semua serba cepat dan dapat diakses dimanapun. Kalau dulu seorang gadis remaja mengalami kegalauan hati karena menunggu surat cinta kekasih hatinya maka situasi seperti itu tidak akan terjadi lagi pada saat ini. Hampir tidak ada satupun suasana hati yang tidak bisa divisualisasikan secara digital, rasa gundah, kecewa, senang, rindu dan hampir semua emosi yang dulu dirangkai dalam kalimat yang indah dan panjang namun sekarang cukup dengan satu sentuhan jari. Dengan kondisi dan situasi semacam ini maka budaya tulis dengan kertas lambat laun hanya akan menjadi kenangan.
Melihat begitu cepatnya dunia berubah serta adanya kecenderungan di dunia sastra di Indonesia yang kering akan kritikus, kalaupun ada jumlahnya sedikit dan cenderung “akademis” seperti Umar Junus, Faruk dan Sapardi Djoko Damono, maka model kritik juga harus mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, apabila dikaitkan dengan implementasi, kritik sastra Indonesia harus menemukan model kritiknya sendiri dan tidak sekedar mengekor teori-teori yang selama ini datang dari Barat. Mengapa? Karena tulisan-tulisan mengenai kritik sastra harus benar-benar berada di tangan masyarakat pembaca dan tidak berakhir hanya di ruang seminar dan rak buku perpustakaan. Kritik sastra sedikitnya juga memperhatikan standar kritik itu sendiri. Standar, dalam pengertian ini tidak bersifat teknis tetapi lebih kepada hadirnya kesatuan pemikiran, obyektif dan berimbang dalam teks kritik sastra, serta tidak terjebak pada kritik yang bersifat ad hominem dengan menyerang penulisnya baik yang sifatnya circumstansial maupun abusive.
Dengan mempertimbangkan hal itu maka kritikus sastra juga harus memahami bahwa dirinya memang “terlahir” sebagai kritikus. Seringkali muncul banyak teks yang memberikan kritik pada satu karya tetapi tidak diimbangi oleh pengetahuan yang cukup serta sangat tergesa-gesa dalam memberikan kesimpulan. Dalam sejarah sastra Inggris, terdapat beberapa pengarang yang melakukan blunder dalam kegiatan kritiknya seperti William Wordsworth, Coleridge, dan John Keats yang tentunya bisa menjadi pelajaran bagi kritikus sastra di Indonesia. Untuk itulah maka, seorang kritikus, selain harus memiliki pemahaman budaya yang mumpuni dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap perbedaan, ia juga harus mampu memposisikan dirinya sebagai sosok yang netral, karena sejatinya seorang kritikus sastra harus berada jauh melampaui kemampuan pengarang dalam kedalaman filosofi.
Kritik sastra juga harus dipahami tidak sebagai parasit yang menghalangi lahirnya karya-karya yang baru, melainkan sebagai hamba dalam sebuah rumah bernama sastra. Tujuan kegiatan kritik sastra harus dilihat dari dua hal, bagi kritikus dan pengarang. Bagi seorang kritikus, kegiatan kritik adalah upaya dalam membantu masyarakat memilih karya-karya yang dianggap bermutu dan layak untuk dibaca oleh khalayak pembaca, sedangkan bagi pengarang akan menjadi pendorong bagi lahirnya karya-karya baru yang lebih berkualitas. Dengan semakin banyak lahir teks yang ditulis oleh para kritikus, maka akan meningkatkan kualitas masyarakat dari sisi selera bacaannya serta kualitas pengarang. Kalau seandainya apa yang diuraikan di atas terjadi dalam proses kegiatan kritik sastra di Indonesia, maka dapat dipastikan masih akan ada masa depan kritik sastra di Indonesia. ***
05 February 2014
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar