Kamis, 03 Juli 2014

DZIKIR-DZIKIR CINTA (Potret Romantisme Di Pesantren)

Nita Zakiyah
http://niethazakia.blogspot.com

A. Pendahuluan
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang di ungkapkan dengan media bahasa, telah berada di tengah-tengah peradaban manusia dan di terima sebagai suatu realitas sosial budaya sejak ribuan tahun yang lalu. Sepanjang perjalanannya sastra mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sastra itu sendiri tidak hanya mengandung nilai-nilai budi, imajinasi, dan emosi tetapi telah di anggap suatu karya kreatif yang hidup dalam suatu masyarakat baik hanya di manfaatkan oleh suatu komunitas tertentu maupun berbagai golongan (masyarakat luas) sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi (Semi, 1990:1).
Dalam perkembangan sastra modern, kritik sastra memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya sebagai usaha menjembatani gagasan yang di sampaikan pengarang lewat teks sastra kepada pembaca, tetapi juga memberi panduan untuk memahami karya sastra(Mahayana, 2005: 219), agar sistem sastra bisa berfungsi sebaik-baiknya.
Dzikir-dzikir cinta -selanjutnya disingkat DDC- merupakan potret romantisme di pesantren, sangat menarik untuk menjadi bahan kritik sastra, karena terdapat keberanian penulis memotret sisi lain pesantren, mengungkap yang tidak terungkap, terselubung dan tabu untuk dibicarakan di lingkungan pembentuk generasi agamis seperti pesantren. Sebuah romantisme, istilah yang erat dengan dominasi rasa, dan berbagai peristiwa di susun secara dramatis, hanya memberi sedikit tempat pada rasio untuk berperan. Akan tetapi Romantisme yang di maksud disini bukan sebuah aliran, namun kisah romantis yang terjadi di kalangan santri, perasaan cinta yang mengharu biru. Meski romantisme sangat di tonjolkan, namun sarat dengan pesan-pesan moral, disampaikan dengan beragam cara yang mudah di tangkap oleh pembaca. Walau pada akhirnya penelaah menggunakan salah satu aliran sastra ini sebagai pisau analisis.

I. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan lembaga yang menjadi rujukan nilai dan etika, sejak awal kelahirannya menyimpan misi dari para ulama terdahulu yang di antaranya mentransmisikan islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang di tulis berabad-abad yang lalu (Bruinessen: 1995: 17). Ilmu yang bersumber dari kitab klasik, dianggap sesuatu yang statis, tidak dapat di sentuh, kalaupun itu terjadi, hanya untuk diperjelas dan dirumuskan kembali dengan kandungan yang tidak berbeda. Demikian salah satu contoh kekakuan tradisi yang menyelimuti dunia pesantren. Meski di era kini, terdapat dua jenis pesantren baik salafiyah yang bercorak tradisional baik dari sisi kitab yang di pelajari hingga system belajar mengajar santri, dan khalafiyah yang menggunakan corak modern pada sisi-sisinya termasuk pada kitab yang di pelajari dan berbagai sistemnya.

Berkaitan dengan novel yang akan di telaah (DDC), mengekspresikan realitas pesantren salafiyah yang kental dengan tradisi, selain itu, yang mendominasi dari DDC, yaitu ungkapan sisi lainnya, romantisme di dunia pesantren yang tidak jarang melanda antara sesama santri, terutama bila letak pesantren putra berdekatan dengan pondok putri. Fenomena tersebut bukan hanya isapan jempol saja, akan tetapi realitas yang tidak jarang terjadi di pesantren. Salah satu penyebabnya adalah peraturan yang di buat dengan rapat, justru kerap membuat santri mencari celah. Larangan yang terlalu ketat, pada akhirnya justru menghilangkan ketakdziman terhadap larangan itu sendiri. Karena pada hakikatnya manusia itu makhluk yang “merdeka”.

II. Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, DDC menggambarkan sisi lain dari pesantren, “interaksi-eksotis” yang tabu untuk di ungkap khususnya.

Meski karya sastra merupakan gambaran dari pengalaman pribadi ataupun suatu masyarakat, tak akan sama persis dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya karena sebuah dunia dalam suatu cerita itu sudah mengalami beberapa fase yang meliputi beberapa proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan. Kemudian baru dituangkan dalam susunan-susunan kata yang di bumbui dengan imajinasi (Mahayana, 2005: 336). Akan tetapi, kejujuran penulis dalam menuangkan peristiwa tidak dapat di nafikan begitu saja.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di dunia pesantren? Apakah telah terjadi kelonggaran tradisi, dan pesantren merupakan salah satu tempat yang tidak terlewatkan oleh budaya barat, sebagaimana yang terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya? serta sejauh manakah, novel ini mencerminkan kehidupan pesantren, khususnya fenomena romantisme di dalamnya?. Persoalan yang akan coba di jawab dengan pijakan berbagai sumber. Meski karena beberapa faktor alasan, penalaah di sini tidak merincinya secara detail.

B. Landasan Teori.
Sebagaimana dalam sejarah kritik dan teori sastra, terdapat salah satu pendekatan sosiologi untuk memahami karya sastra. Karya sastra disini dipahami sebagai karya yang tidak hadir begitu saja sehingga menafikan latar belakang sastra itu sendiri, akan tetapi adanya keterkaitan dengan semesta dimana karya itu lahir, ia berupa potret kehidupan sang sastrawan itu secara khusus, maupun masyarakat secara umum, serta merupakan hasil hubungan diakletis antara sastrawan dan realitas objektif, seperti kondisi sosial, budaya, dan politik yang berada di sekitarnya.(islam, Telaah sosiologi sastra: 1). Kendati demikian, sastra menurut Endraswara tetap di akui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan (kamil , Tulisan&Himpunan makalah bahan kuliah: 78) yang dapat dinikmati oleh pembaca, di fahami dan di manfaatkan (Sapardi, 2002: Makalah Bahan Kuliah).
Selain melalui landasan sosiologi, kritik sastra ini juga menggunakan pendekatan melalui aliran romantisme. Sebuah aliran yang beraktualisasi pada pengungkapan rasa, dimana realitas kehidupan dilukis dalam bentuk yang indah dan halus, serta setiap konflik baik bahagia maupun sebaliknya, disusun secara detail dan dramatis, dengan tujuan utama, menyentuh dan mengguncang emosi pembaca (Kamil: Tulisan& Himpunan makalah bahan kuliah: 33).

Pada zaman romantik, karya sastra dipahami sebagai ekspresi, peluapan atau ungkapan perasaan pengarangnya atau sebagai hasil imajinasi pengarangnya yang mengurai pandangan, pemikiran, dan perasaannya(Yapi Taum, 1997: 25), kemudian karya tersebut lahir dari jiwa yang jernih dan rasa yang tajam.

C. Sejarah Hidup Pengarang
Anam Khoirul Anam, lahir di Ngawi, 26 juni 1982. Tumbuh dan besar di sebuah kampung daerah pegunungan. Ketika kecil pernah bercita-cita menjadi ABRI, namun sekedar cita-cita anak kecil yang kemudian terkubur dengan iringan waktu. Ia seorang yang familiar, menjadikannya sangat lentur; cakap dan mudah bergaul dengan siapa saja.

Penulis novel best seller ini banyak menimba ilmu di pesantren tradisional (salafy) sejak jenjang pendidikan menengah (tsanawiyah), dan menempuh studi di MAN 2 Madiun angkatan 1999. Kemudian melanjutkan program studi di fakultas Tarbiyah (D2) UII Madiun, setelah tamat, di tahun 2003 ia meneruskan studi S1-nya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fakultas Adab, jurusan bahasa dan sastra Arab hingga sekarang. Sejak berstatus sebagai mahasiswa UIN ia tinggal di salah satu pondok pesantren salafy di yogya. Hingga lahirlah karya ini sebagai cerminan hidupnya di pesantren.

Di samping itu ia aktif di Lembaga “KUTUB”. DDC merupakan karya perdananya yang berbentuk novel, namun karya-karyanya yang lain telah dipublikasikan antara lain di: Jawa Pos, Seputar Indonesia, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Surya, Bulletin Savior dll. Prestasi yang pernah di raihnya yaitu pernah menjadi juara III dalam lomba puisi se-UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (2005)

D. Ringkasan Cerita (sinopsys)
Sebelum menceritakan ringkasan cerita, karena substansi dari novel ini begitu kompleks, maka hanya di batasi pada peristiwa yang berkisar pada kisah romantisme di dunia pesantren.

Adapun tokoh pada novel ini menampilkan kiayi Mahfudz, pengasuh pondok pesantren yang merupakan salah satu latar terjadinya peristiwa, serta putrinya Fatimah. Dan Kiayi Muhsin, sosok kiayi Muhsin tidak hadir secara langsung dan berperan dalam novel ini, akan tetapi hadir sebagai sosok sahabat kiayi Mahfudz ketika sama-sama masih berstatus sebagai santri, di sini kiayi Mahfudz sebagai pencerita kisah perjuangan cinta sahabatnya yang mencintai putri kiayi, Aisyah, dan tidak mendapatkan restu dari sang kiayi- ayah, sekaligus guru pesantren. Oleh karena itu hukuman demi hukuman ia jalani di sebabkan cinta terlarang yang di jalani. Kisah pilu dua sejoli yang teringkari oleh etika, terberangus hingga mereka tak berdaya. Cinta yang terbungkus norma, religi dan karisma dalam penjara suci. Dan puncak dari hukuman yang diterimanya serta membuat kiayi naik pitam ia harus mengasingkan diri di bukit selama 40 hari, dan setiap harinya harus membaca surat At-taubah, ketika di sebuah gudang nan sepi, kiayi menemukan dirinya dan Aisyah sedang asyik masyuk berdua dalam keadaan bibir yang beradu, desah-desah peluh bercampur nafsu, bermandian, berkejaran dalam aliran darah, serta mengalir dalam luapan rasa yang menggelora. Sedangkan Aisyah diberi hukuman dengan dipingit didalam rumah, Setelah selesi dari masa ta’dzir, Muhsin muda mencoba melamar Aisyah namun ditolak kecuali bila ia mampu memenuhi syarat untuk menguasai berbagai ilmu agama, hingga melebihi kiayinya, sejak itu ia angkat kaki dari pondok dan “melahap” berbagai ilmu, lantas dengan kehendak Nya, cinta mereka dapat bersatu karena Muhsin kembali dan membuktikan kesungguhan cintanya. Kekuatan cinta yang dilandasi dengan ketulusan karena Allah semata.

Juga menghadirkan sosok Rusli, ‘mantan’ santri kiayi muhsin yang kemudian pindah ke pondok kiayi mahfudz atas arahan kiayi muhsin, dan Nikmah santriwati dari Gus Mu’ali, lokasi pondoknya tidak jauh dengan pondok kiayi Mahfudz. Rusli dan Nikmah mengalami kisah cinta yang tidak kalah tragis. Berpisah karena Rusli yang menjadi abdi ndalem, di minta untuk menikahi putrinya Fatimah yang secara diam-diam menyimpan hati padanya. Ia tak dapat menolaknya, dengan membawa hutang budi pada sang kiayi di sertai rasa hormat yang tinggi serta adanya unsur pengaruh dari kondisi sosial adat istiadat yang berlaku di pesantren, pada kali ini ia tidak dapat berbuat apa-apa, walau hanya untuk memperjuangkan cintanya, yang mampu ia lakukan hanya menyimpan cintanya pada Sukma dalam peti emas dan menikah dengan putri kiayi. Ia telah menikah namun tak mampu menepis cinta pada Sukma meski yang di sampingnya adalah Fatimah. Dan karena ketulusan cintanya, ia dapat menikah dengan Sukma setelah Fatimah meninggal setelah melahirkan anak pertama Rusli. Lantas setelah rentang waktu yang tidak terlalu panjang Rusli meninggal dalam kecelakaan motor ketika ingin mengisi pengajian, sedangkan Sukma pasca di tinggalkan oleh suaminya ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal bersama bayi yang ada dalam rahimnya. Pada ending kisah ini di ceritakan bahwa mereka bertiga (Rusli, Fatimah dan Sukma) hidup bahagia di alam lain.

Dan berbagai kisah aneh santri yang nyeleneh, baik santri yang berhubungan dengan sesama (homoseks dan lesbi). Maupun bagi santri yang memiliki ilmu hikmah yang supranatural, di dalam novel salah satunya dengan nama ilmu ngerogoh sukma[1].

E. Analisis
Pada kesempatan kali ini, analisis di sandarkan pada pendapat Laurenson dan Swingewood bahwa penelitian ini mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya. Berpijak pada teori, penulis novel memang berdomisili di lingkungan pesantren, sebagaimana karya sastra yang tercipta, berlatar pesantren. Bahkan secara terus terang penulis mengatakan bahwa karya yang ada di tangan penelaah kini(DDC) merupakan sebagian dari kisah hidupnya. Keberanian untuk mengungkap sisi lain pesantren. Tentunya tanpa menafikan peran pesantren dalam pembentuk moral bangsa.

Di samping itu sastra sebagai cermin masyarakat, digunakan untuk melihat refleksi masyarakat di dalamnya. Kisah yang ada dalam novel ini juga merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari santri dan merupakan kritik tajam yang seakan-akan meletakkan posisi santri sebagai manusia biasa yang tidak di dalam jiwanya terdapat gejolak darah muda, ingin mencintai dan di cintai. Di titik ini terdapat permainan romantisme yang meliputi eksploitasi rasa ( ??????? ), luapan rasa cinta yang di iringi dengan kebahagiaan dan kesedihan. Tergambar pada ungkapan “ entah mengapa sehari tanpa bias bayangmu, hari-hariku makin sunyi. Mati. Tak ada energi yang mampu mendorongku untuk mengejar hari. Aku makin lemah tanpa hadirmu. Jiwa ini makin meronta ketika sejengkal jarak mencoba pisahkan rasa kita”. Juga pada “ ada denyar-denyar bahagia menusuk relung-relung hatinya, beriring letupan senyum antar keduanya. Letupan-letupan rasa malu yang tak terkira. Keakraban dua insane yang telah di mabuk cinta itu mulai tersulut. Rembulan yang redup di angkasa biru seperti malu-malu menampakkan wajahnya. Biru, sebiru cinta dalam hati mereka yang tengah di mabuk asmara”. Kisah bahagia dan derita yang di susun dengan dramatis, di uraikan secara tuntas dan sempurna. Juga khayal (??????)atau imajinasi dari penulis, merupakan kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau pikiran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh panca indera atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan(Sudjiman, 1990: 36). Karya yang terpancar dari alam ide sang kreator, terletak pada ilmu hikmah supranatural ngerogoh sukmo, ngerogoh sukmo dalam kisah ini hanya berupa fiksi, namun ilmu-ilmu hikmah di dunia pesantren yang semacam itu, meski tidak semua orang tahu, jumlahnya sangat banyak, dan tidak sedikit santri yang “ngamal” ilmu hikmah dengan tujuan yang beragam.

Kembali pada tataran sosiologi sastra, karya yang berkisar kehidupan pesantren ini lahir pada september 2006, mengenai tahun lahirnya karya ini juga merupakan cermin dari sebuah zaman, bahwa pada tahun tersebut globalisasi yang melanda negeri ini juga berimbas pada kehidupan di pesantren, walau masih banyak nilai-nilai yang sama sekali tidak bergeser pada tempatnya, tapi santri sebagai anak zaman tentu saja tidak akan sama dalam hal pemikiran dengan santri generasi lalu, karena hidup di zaman yang berbeda. Contoh kecilnya, dewasa ini banyak santri yang suka mendengarkan musik masa kini, baik beraliran pop, jazz, dangdut, bahkan rock. Bukan hanya mendendangkan gambus, shalawat nabi dan berbagai jenis aliran musik islami lainnya. Dari sini dapat dilihat modernisasi juga menjalar pada kehidupan pesantren meski tidak “sebulat” pada generasi muda non pesantren yang kehidupannya riilnya sudah di warnai dengan beragam imbas dari globalisasi seperti gaya hidup sangat pragmatis, cair, hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif. Meski pengertian ini terlepas dari generasi-generasi muda yang hingga saat ini tetap mempersiapkan dirinya membangun negeri.

Berbeda bila DDC lahir sebelum tahun 1980, hal yang tidak mungkin terjadi. Kajian tentang pesantren berkisar sebelum tahun 1980-an masih menjadi hal langka sehingga keberadaannya masih sedemikian asing bagi perbincangan sehari-hari. Konsekuensi logisnya saat kajian tentang pesantren menjadi hal langka yang berakibat kurang dikenalnya pesantren di ranah masyarakat luas, bagaimana jadinya bila isu yang lahir langsung berupa isu negatif. Kemungkinan terbesarnya, pesantren akan mendapat cibiran masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang belum mengenal “sisi dalam” pesantren dan peran sertanya di kancah perjuangan mempertahankan Negara kita tercinta.

Karya DDC mencerminkan kisah romantisme di pesantren, sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, dari mulai hubungan emosional rasa antar santriwan dan santriwati yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebuah kontras memang. Di dalam pondok pesantren memandang lawan jenis itu dilarang, apalagi mencintai. Haram adalah bahasa orang pesantren. Zina. Dilarang mencintai santriwati, meski boleh menyayangi. Hubungan cinta hanya dikenal dalam ikatan pernikahan. Begitulah slogan yang di gembar gemborkan dalam dunia pesantren. Namun pada hakekatnya, ada pergolakan batin disana. Ada usaha memunafiki kejujuran hati yang hakiki di dalam pengkhianatan terhadap cinta.

Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa dalam karya ini mengungkap sisi lain pesantren berdasarkan keberanian dan kejujuran penulisnya, kisah-kisah tersebut memang fenomena yang kerap terjadi pesantren. Namun pada hakikatnya dunia sastra adalah dunia imajinatif, fakta dalam karya sastra pada hakikatnya fiksionalitas. Ia merupakan hasil pencampuran antara pengalaman, imajinasi, kecendekiaan dan wawasan pengarang. Dan pengalaman yang diperoleh pengaranga/penulis karya sastra telah mengalami beberapa proses, meliputi perenungan, penghayatan, lalu di evaluasi. Lantas dengan kemampuan imajinasi dan keluasan wawasan pengetahuannya, pengarang mengungkapkan kembali dengan bahasa sebagai media. Jadi, sejauh manapun karya sastra sebagai cermin memantulkan bias, cerita dalam karya tersebut hanya menjadi sebuah dunia rekaan. Kesimpulannya meski terdapat sisi-sisi nyata dari DDC, kisah nyata yang di alami lalu di ungkapkan kembali oleh pengarang, namun hanya merupakan sebuah cerita yang sudah melalui beberapa proses yang telah di sebutkan tadi, dan proses akhirnya melahirkan dunia rekaan pengarang semata.

Adapun di sebabkan ruang lingkup santri yang semuanya laki-laki maupun sebaliknya. Banyak terjadi hal yang tidak di inginkan, hubungan antar sesama yang seharusnya tidak pernah boleh terjadi. Kisah ini juga beriringan dengan fakta di lingkungan pesantren. Banyak kasus serupa terjadi, hanya saja bagi putri kiayi yang mencintai khadam/abdi ndalem ayahnya itu jarang sekali terjadi di dunia nyata. Meski tidak menutup kemungkinan bila hal itu terjadi.

F. Penutup
Demikianlah serangkaian kritik dan analisis sebuah karya sastra melalui pendekatan sosiologi dan di lengkapi dengan aliran romantis. Sangat di sadari masih terdapat banyak kesalahan maupun ketidaksesuaian, untuk itu berbagai saran serta kritik yang membangun akan di terima dengan sambutan hangat dan tangan terbuka.
Tak ada asa yang lebih tinggi, hanya berharap semoga karya ini dapat bermanfaat untuk penganalisa sebagai pelajar dan pemula khususnya, dan bagi pembaca umumnya.

Kepada bapak dosen dan untuk semua oknum yang telah membantu hingga tugas ini selesai, saya haturkan beribu terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga.

G. Daftar Pustaka
Anam, Anam Khoirul, Dzikir-dzikir Cinta, Yogyakarta: Diva Press, 2007, cet. Ke-10.
Semi, M. Atar, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, 1993, cet. Ke-1.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.
Mahayana, Maman S., Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik, Jakarta: Bening, 2005, cet. Ke-1.
Kamil, Sukron, Tulisan Dan Himpunan Kritik Sastra Arab, Teori Klasik Dan Modern, Jakarta: Fakultas Adab Dan Humaniora, 2004.
Damono, Sapardi Djoko, Klasifikasi Dan Bagan Sosiologi Sastra, Makalah Bahan Kuliah, 2002.
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990.
Yapi Taum, Yoseph, Pengantar Teori Sastra, Flores: Nusa Indah, 1997, cet. Ke-1.
__________________________
[1] Ilmu dengan keluarnya ruh dari jasad, sehingga bisa menemui orang yang di inginkan tanpa sepengetahuan siapapun(biasanya pada malam hari). Dengan demikian orang yang “ngilmu” bisa berbuat apa saja terhadap korbannya termasuk berbuat mesum. Sedangkan orang yang dalam keadaan tidur dan menjadi korban hanya merasa bahwa ia telah mimpi basah.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi