Nita Zakiyah
http://niethazakia.blogspot.com
A. Pendahuluan
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang di ungkapkan dengan media bahasa, telah berada di tengah-tengah peradaban manusia dan di terima sebagai suatu realitas sosial budaya sejak ribuan tahun yang lalu. Sepanjang perjalanannya sastra mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sastra itu sendiri tidak hanya mengandung nilai-nilai budi, imajinasi, dan emosi tetapi telah di anggap suatu karya kreatif yang hidup dalam suatu masyarakat baik hanya di manfaatkan oleh suatu komunitas tertentu maupun berbagai golongan (masyarakat luas) sebagai konsumsi intelektual di samping konsumsi emosi (Semi, 1990:1).
Dalam perkembangan sastra modern, kritik sastra memegang peranan yang sangat penting, tidak hanya sebagai usaha menjembatani gagasan yang di sampaikan pengarang lewat teks sastra kepada pembaca, tetapi juga memberi panduan untuk memahami karya sastra(Mahayana, 2005: 219), agar sistem sastra bisa berfungsi sebaik-baiknya.
Dzikir-dzikir cinta -selanjutnya disingkat DDC- merupakan potret romantisme di pesantren, sangat menarik untuk menjadi bahan kritik sastra, karena terdapat keberanian penulis memotret sisi lain pesantren, mengungkap yang tidak terungkap, terselubung dan tabu untuk dibicarakan di lingkungan pembentuk generasi agamis seperti pesantren. Sebuah romantisme, istilah yang erat dengan dominasi rasa, dan berbagai peristiwa di susun secara dramatis, hanya memberi sedikit tempat pada rasio untuk berperan. Akan tetapi Romantisme yang di maksud disini bukan sebuah aliran, namun kisah romantis yang terjadi di kalangan santri, perasaan cinta yang mengharu biru. Meski romantisme sangat di tonjolkan, namun sarat dengan pesan-pesan moral, disampaikan dengan beragam cara yang mudah di tangkap oleh pembaca. Walau pada akhirnya penelaah menggunakan salah satu aliran sastra ini sebagai pisau analisis.
I. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan lembaga yang menjadi rujukan nilai dan etika, sejak awal kelahirannya menyimpan misi dari para ulama terdahulu yang di antaranya mentransmisikan islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang di tulis berabad-abad yang lalu (Bruinessen: 1995: 17). Ilmu yang bersumber dari kitab klasik, dianggap sesuatu yang statis, tidak dapat di sentuh, kalaupun itu terjadi, hanya untuk diperjelas dan dirumuskan kembali dengan kandungan yang tidak berbeda. Demikian salah satu contoh kekakuan tradisi yang menyelimuti dunia pesantren. Meski di era kini, terdapat dua jenis pesantren baik salafiyah yang bercorak tradisional baik dari sisi kitab yang di pelajari hingga system belajar mengajar santri, dan khalafiyah yang menggunakan corak modern pada sisi-sisinya termasuk pada kitab yang di pelajari dan berbagai sistemnya.
Berkaitan dengan novel yang akan di telaah (DDC), mengekspresikan realitas pesantren salafiyah yang kental dengan tradisi, selain itu, yang mendominasi dari DDC, yaitu ungkapan sisi lainnya, romantisme di dunia pesantren yang tidak jarang melanda antara sesama santri, terutama bila letak pesantren putra berdekatan dengan pondok putri. Fenomena tersebut bukan hanya isapan jempol saja, akan tetapi realitas yang tidak jarang terjadi di pesantren. Salah satu penyebabnya adalah peraturan yang di buat dengan rapat, justru kerap membuat santri mencari celah. Larangan yang terlalu ketat, pada akhirnya justru menghilangkan ketakdziman terhadap larangan itu sendiri. Karena pada hakikatnya manusia itu makhluk yang “merdeka”.
II. Rumusan Masalah
Sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, DDC menggambarkan sisi lain dari pesantren, “interaksi-eksotis” yang tabu untuk di ungkap khususnya.
Meski karya sastra merupakan gambaran dari pengalaman pribadi ataupun suatu masyarakat, tak akan sama persis dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya karena sebuah dunia dalam suatu cerita itu sudah mengalami beberapa fase yang meliputi beberapa proses penghayatan, penafsiran dan pemaknaan. Kemudian baru dituangkan dalam susunan-susunan kata yang di bumbui dengan imajinasi (Mahayana, 2005: 336). Akan tetapi, kejujuran penulis dalam menuangkan peristiwa tidak dapat di nafikan begitu saja.
Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di dunia pesantren? Apakah telah terjadi kelonggaran tradisi, dan pesantren merupakan salah satu tempat yang tidak terlewatkan oleh budaya barat, sebagaimana yang terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya? serta sejauh manakah, novel ini mencerminkan kehidupan pesantren, khususnya fenomena romantisme di dalamnya?. Persoalan yang akan coba di jawab dengan pijakan berbagai sumber. Meski karena beberapa faktor alasan, penalaah di sini tidak merincinya secara detail.
B. Landasan Teori.
Sebagaimana dalam sejarah kritik dan teori sastra, terdapat salah satu pendekatan sosiologi untuk memahami karya sastra. Karya sastra disini dipahami sebagai karya yang tidak hadir begitu saja sehingga menafikan latar belakang sastra itu sendiri, akan tetapi adanya keterkaitan dengan semesta dimana karya itu lahir, ia berupa potret kehidupan sang sastrawan itu secara khusus, maupun masyarakat secara umum, serta merupakan hasil hubungan diakletis antara sastrawan dan realitas objektif, seperti kondisi sosial, budaya, dan politik yang berada di sekitarnya.(islam, Telaah sosiologi sastra: 1). Kendati demikian, sastra menurut Endraswara tetap di akui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan (kamil , Tulisan&Himpunan makalah bahan kuliah: 78) yang dapat dinikmati oleh pembaca, di fahami dan di manfaatkan (Sapardi, 2002: Makalah Bahan Kuliah).
Selain melalui landasan sosiologi, kritik sastra ini juga menggunakan pendekatan melalui aliran romantisme. Sebuah aliran yang beraktualisasi pada pengungkapan rasa, dimana realitas kehidupan dilukis dalam bentuk yang indah dan halus, serta setiap konflik baik bahagia maupun sebaliknya, disusun secara detail dan dramatis, dengan tujuan utama, menyentuh dan mengguncang emosi pembaca (Kamil: Tulisan& Himpunan makalah bahan kuliah: 33).
Pada zaman romantik, karya sastra dipahami sebagai ekspresi, peluapan atau ungkapan perasaan pengarangnya atau sebagai hasil imajinasi pengarangnya yang mengurai pandangan, pemikiran, dan perasaannya(Yapi Taum, 1997: 25), kemudian karya tersebut lahir dari jiwa yang jernih dan rasa yang tajam.
C. Sejarah Hidup Pengarang
Anam Khoirul Anam, lahir di Ngawi, 26 juni 1982. Tumbuh dan besar di sebuah kampung daerah pegunungan. Ketika kecil pernah bercita-cita menjadi ABRI, namun sekedar cita-cita anak kecil yang kemudian terkubur dengan iringan waktu. Ia seorang yang familiar, menjadikannya sangat lentur; cakap dan mudah bergaul dengan siapa saja.
Penulis novel best seller ini banyak menimba ilmu di pesantren tradisional (salafy) sejak jenjang pendidikan menengah (tsanawiyah), dan menempuh studi di MAN 2 Madiun angkatan 1999. Kemudian melanjutkan program studi di fakultas Tarbiyah (D2) UII Madiun, setelah tamat, di tahun 2003 ia meneruskan studi S1-nya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Fakultas Adab, jurusan bahasa dan sastra Arab hingga sekarang. Sejak berstatus sebagai mahasiswa UIN ia tinggal di salah satu pondok pesantren salafy di yogya. Hingga lahirlah karya ini sebagai cerminan hidupnya di pesantren.
Di samping itu ia aktif di Lembaga “KUTUB”. DDC merupakan karya perdananya yang berbentuk novel, namun karya-karyanya yang lain telah dipublikasikan antara lain di: Jawa Pos, Seputar Indonesia, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Surya, Bulletin Savior dll. Prestasi yang pernah di raihnya yaitu pernah menjadi juara III dalam lomba puisi se-UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta (2005)
D. Ringkasan Cerita (sinopsys)
Sebelum menceritakan ringkasan cerita, karena substansi dari novel ini begitu kompleks, maka hanya di batasi pada peristiwa yang berkisar pada kisah romantisme di dunia pesantren.
Adapun tokoh pada novel ini menampilkan kiayi Mahfudz, pengasuh pondok pesantren yang merupakan salah satu latar terjadinya peristiwa, serta putrinya Fatimah. Dan Kiayi Muhsin, sosok kiayi Muhsin tidak hadir secara langsung dan berperan dalam novel ini, akan tetapi hadir sebagai sosok sahabat kiayi Mahfudz ketika sama-sama masih berstatus sebagai santri, di sini kiayi Mahfudz sebagai pencerita kisah perjuangan cinta sahabatnya yang mencintai putri kiayi, Aisyah, dan tidak mendapatkan restu dari sang kiayi- ayah, sekaligus guru pesantren. Oleh karena itu hukuman demi hukuman ia jalani di sebabkan cinta terlarang yang di jalani. Kisah pilu dua sejoli yang teringkari oleh etika, terberangus hingga mereka tak berdaya. Cinta yang terbungkus norma, religi dan karisma dalam penjara suci. Dan puncak dari hukuman yang diterimanya serta membuat kiayi naik pitam ia harus mengasingkan diri di bukit selama 40 hari, dan setiap harinya harus membaca surat At-taubah, ketika di sebuah gudang nan sepi, kiayi menemukan dirinya dan Aisyah sedang asyik masyuk berdua dalam keadaan bibir yang beradu, desah-desah peluh bercampur nafsu, bermandian, berkejaran dalam aliran darah, serta mengalir dalam luapan rasa yang menggelora. Sedangkan Aisyah diberi hukuman dengan dipingit didalam rumah, Setelah selesi dari masa ta’dzir, Muhsin muda mencoba melamar Aisyah namun ditolak kecuali bila ia mampu memenuhi syarat untuk menguasai berbagai ilmu agama, hingga melebihi kiayinya, sejak itu ia angkat kaki dari pondok dan “melahap” berbagai ilmu, lantas dengan kehendak Nya, cinta mereka dapat bersatu karena Muhsin kembali dan membuktikan kesungguhan cintanya. Kekuatan cinta yang dilandasi dengan ketulusan karena Allah semata.
Juga menghadirkan sosok Rusli, ‘mantan’ santri kiayi muhsin yang kemudian pindah ke pondok kiayi mahfudz atas arahan kiayi muhsin, dan Nikmah santriwati dari Gus Mu’ali, lokasi pondoknya tidak jauh dengan pondok kiayi Mahfudz. Rusli dan Nikmah mengalami kisah cinta yang tidak kalah tragis. Berpisah karena Rusli yang menjadi abdi ndalem, di minta untuk menikahi putrinya Fatimah yang secara diam-diam menyimpan hati padanya. Ia tak dapat menolaknya, dengan membawa hutang budi pada sang kiayi di sertai rasa hormat yang tinggi serta adanya unsur pengaruh dari kondisi sosial adat istiadat yang berlaku di pesantren, pada kali ini ia tidak dapat berbuat apa-apa, walau hanya untuk memperjuangkan cintanya, yang mampu ia lakukan hanya menyimpan cintanya pada Sukma dalam peti emas dan menikah dengan putri kiayi. Ia telah menikah namun tak mampu menepis cinta pada Sukma meski yang di sampingnya adalah Fatimah. Dan karena ketulusan cintanya, ia dapat menikah dengan Sukma setelah Fatimah meninggal setelah melahirkan anak pertama Rusli. Lantas setelah rentang waktu yang tidak terlalu panjang Rusli meninggal dalam kecelakaan motor ketika ingin mengisi pengajian, sedangkan Sukma pasca di tinggalkan oleh suaminya ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal bersama bayi yang ada dalam rahimnya. Pada ending kisah ini di ceritakan bahwa mereka bertiga (Rusli, Fatimah dan Sukma) hidup bahagia di alam lain.
Dan berbagai kisah aneh santri yang nyeleneh, baik santri yang berhubungan dengan sesama (homoseks dan lesbi). Maupun bagi santri yang memiliki ilmu hikmah yang supranatural, di dalam novel salah satunya dengan nama ilmu ngerogoh sukma[1].
E. Analisis
Pada kesempatan kali ini, analisis di sandarkan pada pendapat Laurenson dan Swingewood bahwa penelitian ini mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya. Berpijak pada teori, penulis novel memang berdomisili di lingkungan pesantren, sebagaimana karya sastra yang tercipta, berlatar pesantren. Bahkan secara terus terang penulis mengatakan bahwa karya yang ada di tangan penelaah kini(DDC) merupakan sebagian dari kisah hidupnya. Keberanian untuk mengungkap sisi lain pesantren. Tentunya tanpa menafikan peran pesantren dalam pembentuk moral bangsa.
Di samping itu sastra sebagai cermin masyarakat, digunakan untuk melihat refleksi masyarakat di dalamnya. Kisah yang ada dalam novel ini juga merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari santri dan merupakan kritik tajam yang seakan-akan meletakkan posisi santri sebagai manusia biasa yang tidak di dalam jiwanya terdapat gejolak darah muda, ingin mencintai dan di cintai. Di titik ini terdapat permainan romantisme yang meliputi eksploitasi rasa ( ??????? ), luapan rasa cinta yang di iringi dengan kebahagiaan dan kesedihan. Tergambar pada ungkapan “ entah mengapa sehari tanpa bias bayangmu, hari-hariku makin sunyi. Mati. Tak ada energi yang mampu mendorongku untuk mengejar hari. Aku makin lemah tanpa hadirmu. Jiwa ini makin meronta ketika sejengkal jarak mencoba pisahkan rasa kita”. Juga pada “ ada denyar-denyar bahagia menusuk relung-relung hatinya, beriring letupan senyum antar keduanya. Letupan-letupan rasa malu yang tak terkira. Keakraban dua insane yang telah di mabuk cinta itu mulai tersulut. Rembulan yang redup di angkasa biru seperti malu-malu menampakkan wajahnya. Biru, sebiru cinta dalam hati mereka yang tengah di mabuk asmara”. Kisah bahagia dan derita yang di susun dengan dramatis, di uraikan secara tuntas dan sempurna. Juga khayal (??????)atau imajinasi dari penulis, merupakan kemampuan menciptakan citra dalam angan-angan atau pikiran tentang sesuatu yang tidak diserap oleh panca indera atau yang belum pernah dialami dalam kenyataan(Sudjiman, 1990: 36). Karya yang terpancar dari alam ide sang kreator, terletak pada ilmu hikmah supranatural ngerogoh sukmo, ngerogoh sukmo dalam kisah ini hanya berupa fiksi, namun ilmu-ilmu hikmah di dunia pesantren yang semacam itu, meski tidak semua orang tahu, jumlahnya sangat banyak, dan tidak sedikit santri yang “ngamal” ilmu hikmah dengan tujuan yang beragam.
Kembali pada tataran sosiologi sastra, karya yang berkisar kehidupan pesantren ini lahir pada september 2006, mengenai tahun lahirnya karya ini juga merupakan cermin dari sebuah zaman, bahwa pada tahun tersebut globalisasi yang melanda negeri ini juga berimbas pada kehidupan di pesantren, walau masih banyak nilai-nilai yang sama sekali tidak bergeser pada tempatnya, tapi santri sebagai anak zaman tentu saja tidak akan sama dalam hal pemikiran dengan santri generasi lalu, karena hidup di zaman yang berbeda. Contoh kecilnya, dewasa ini banyak santri yang suka mendengarkan musik masa kini, baik beraliran pop, jazz, dangdut, bahkan rock. Bukan hanya mendendangkan gambus, shalawat nabi dan berbagai jenis aliran musik islami lainnya. Dari sini dapat dilihat modernisasi juga menjalar pada kehidupan pesantren meski tidak “sebulat” pada generasi muda non pesantren yang kehidupannya riilnya sudah di warnai dengan beragam imbas dari globalisasi seperti gaya hidup sangat pragmatis, cair, hedonis, dan buntutnya adalah konsumtif. Meski pengertian ini terlepas dari generasi-generasi muda yang hingga saat ini tetap mempersiapkan dirinya membangun negeri.
Berbeda bila DDC lahir sebelum tahun 1980, hal yang tidak mungkin terjadi. Kajian tentang pesantren berkisar sebelum tahun 1980-an masih menjadi hal langka sehingga keberadaannya masih sedemikian asing bagi perbincangan sehari-hari. Konsekuensi logisnya saat kajian tentang pesantren menjadi hal langka yang berakibat kurang dikenalnya pesantren di ranah masyarakat luas, bagaimana jadinya bila isu yang lahir langsung berupa isu negatif. Kemungkinan terbesarnya, pesantren akan mendapat cibiran masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang belum mengenal “sisi dalam” pesantren dan peran sertanya di kancah perjuangan mempertahankan Negara kita tercinta.
Karya DDC mencerminkan kisah romantisme di pesantren, sebagaimana sudah di singgung sebelumnya, dari mulai hubungan emosional rasa antar santriwan dan santriwati yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebuah kontras memang. Di dalam pondok pesantren memandang lawan jenis itu dilarang, apalagi mencintai. Haram adalah bahasa orang pesantren. Zina. Dilarang mencintai santriwati, meski boleh menyayangi. Hubungan cinta hanya dikenal dalam ikatan pernikahan. Begitulah slogan yang di gembar gemborkan dalam dunia pesantren. Namun pada hakekatnya, ada pergolakan batin disana. Ada usaha memunafiki kejujuran hati yang hakiki di dalam pengkhianatan terhadap cinta.
Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya bahwa dalam karya ini mengungkap sisi lain pesantren berdasarkan keberanian dan kejujuran penulisnya, kisah-kisah tersebut memang fenomena yang kerap terjadi pesantren. Namun pada hakikatnya dunia sastra adalah dunia imajinatif, fakta dalam karya sastra pada hakikatnya fiksionalitas. Ia merupakan hasil pencampuran antara pengalaman, imajinasi, kecendekiaan dan wawasan pengarang. Dan pengalaman yang diperoleh pengaranga/penulis karya sastra telah mengalami beberapa proses, meliputi perenungan, penghayatan, lalu di evaluasi. Lantas dengan kemampuan imajinasi dan keluasan wawasan pengetahuannya, pengarang mengungkapkan kembali dengan bahasa sebagai media. Jadi, sejauh manapun karya sastra sebagai cermin memantulkan bias, cerita dalam karya tersebut hanya menjadi sebuah dunia rekaan. Kesimpulannya meski terdapat sisi-sisi nyata dari DDC, kisah nyata yang di alami lalu di ungkapkan kembali oleh pengarang, namun hanya merupakan sebuah cerita yang sudah melalui beberapa proses yang telah di sebutkan tadi, dan proses akhirnya melahirkan dunia rekaan pengarang semata.
Adapun di sebabkan ruang lingkup santri yang semuanya laki-laki maupun sebaliknya. Banyak terjadi hal yang tidak di inginkan, hubungan antar sesama yang seharusnya tidak pernah boleh terjadi. Kisah ini juga beriringan dengan fakta di lingkungan pesantren. Banyak kasus serupa terjadi, hanya saja bagi putri kiayi yang mencintai khadam/abdi ndalem ayahnya itu jarang sekali terjadi di dunia nyata. Meski tidak menutup kemungkinan bila hal itu terjadi.
F. Penutup
Demikianlah serangkaian kritik dan analisis sebuah karya sastra melalui pendekatan sosiologi dan di lengkapi dengan aliran romantis. Sangat di sadari masih terdapat banyak kesalahan maupun ketidaksesuaian, untuk itu berbagai saran serta kritik yang membangun akan di terima dengan sambutan hangat dan tangan terbuka.
Tak ada asa yang lebih tinggi, hanya berharap semoga karya ini dapat bermanfaat untuk penganalisa sebagai pelajar dan pemula khususnya, dan bagi pembaca umumnya.
Kepada bapak dosen dan untuk semua oknum yang telah membantu hingga tugas ini selesai, saya haturkan beribu terima kasih dan apresiasi yang tak terhingga.
G. Daftar Pustaka
Anam, Anam Khoirul, Dzikir-dzikir Cinta, Yogyakarta: Diva Press, 2007, cet. Ke-10.
Semi, M. Atar, Metode Penelitian Sastra, Bandung: Angkasa, 1993, cet. Ke-1.
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.
Mahayana, Maman S., Sembilan Jawaban Sastra Indonesia: Sebuah Orientasi Kritik, Jakarta: Bening, 2005, cet. Ke-1.
Kamil, Sukron, Tulisan Dan Himpunan Kritik Sastra Arab, Teori Klasik Dan Modern, Jakarta: Fakultas Adab Dan Humaniora, 2004.
Damono, Sapardi Djoko, Klasifikasi Dan Bagan Sosiologi Sastra, Makalah Bahan Kuliah, 2002.
Sudjiman, Panuti, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Universitas Indonesia, 1990.
Yapi Taum, Yoseph, Pengantar Teori Sastra, Flores: Nusa Indah, 1997, cet. Ke-1.
__________________________
[1] Ilmu dengan keluarnya ruh dari jasad, sehingga bisa menemui orang yang di inginkan tanpa sepengetahuan siapapun(biasanya pada malam hari). Dengan demikian orang yang “ngilmu” bisa berbuat apa saja terhadap korbannya termasuk berbuat mesum. Sedangkan orang yang dalam keadaan tidur dan menjadi korban hanya merasa bahwa ia telah mimpi basah.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar