Kamis, 03 Juli 2014

Kritik Sastra Yang Menghamba Pada Kekuasaan

Katrin Bandel *
http://boemipoetra.wordpress.com

Nothing in my view is more reprehensible than those habits of mind in the intellectual that induce avoidance, that characteristic turning away from a difficult and principled position which you know to be the right one, but which you decide not to take. (Edward Said).

Sastra adalah bagian dari dunia intelektual, dan demikian pun kritik sastra. Mengikuti harapan yang diekspresikan kritikus pascakolonial (dan kritikus sastra) Edward W. Said dalam bukunya Representations of the Intellectual (1994), para intelektual seharusnya mengambil peran yang “mengungkapkan kebenaran di hadapan kekuasaan” (speaking truth to power). Intelektual sebaiknya menduduki posisi relatif independen sehingga senantiasa dapat memandang kekuasaan – negara, pemilik modal, kekuatan-kekuatan yang dominan secara global – dengan mata kritis dan berjarak. Seperti yang diungkapkan Said dalam buku yang sama, harapannya itu sama sekali tidak selalu terwujud. Tidak jarang mereka-mereka yang seharusnya bersuara sebagai intelektual independen, ternyata malah menghamba pada kekuasaan.

Apa implikasi realitas tersebut bagi pembahasan kita mengenai kritik sastra di sini? Di negeri pascakolonial bernama Indonesia yang sangat jauh dari keadilan sosial ini, dengan pemerintah yang cenderung menghamba pada kepentingan kapitalis, intelektual kritis dan independen sangat dibutuhkan. Sastrawan dan kritikus sastra tentu termasuk golongan yang diharapkan sebagai intelektual “pengungkap kebenaran di hadapan kekuasaan”. Namun tepatnya apa kebenaran yang perlu diungkapkan itu, dan bagaimana kita menilainya? Karya sastra semacam apa yang mengekspresikan kritik sesuai dengan harapan Said itu? Pada kenyataannya, sangat tidak mudah membedakan antara karya sastra yang kritis dengan yang menghamba pada kekuasaan. Bukan hal mustahil kalau sebuah karya yang sangat sesuai dengan kepentingan kekuasaan, justru menyamar menjadi sebaliknya, yaitu karya yang kritis dan independen. Di situlah kemudian kritik sastra menjadi penting. Kritik sastra diharapkan membongkar asumsi-asumsi yang melatarbelakangi sebuah karya, serta memperlihatkan apa yang tersembunyi atau hanya disampaikan secara tersirat. Dengan demikian, kritik sastra dapat menjadi alat bantu yang sangat penting bagi pembaca kritis yang tidak ingin terbuai oleh tipuan ideologi penguasa.

Namun tentu saja kritik sastra pun tidak terbebas dari risiko yang sama yang berlaku untuk sastra sendiri. Kritik sastra pun dapat menghamba pada kekuasaan, ketimbang speaking truth to power seperti yang diharapkan. Mengingat hal itu, bagaimana kita mesti menilai kondisi kritik sastra di Indonesia saat ini? Untuk menjawab pertanyaan itu secara menyeluruh, sangat kurang memungkinkan di sini. Untuk mengakses dan menilai kerja kritik sastra yang dilakukan di berbagai lembaga di seluruh Indonesia tentu dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Maka pada kesempatan ini, saya memilih untuk sekadar membahas satu kasus saja, yaitu kasus sebuah buku yang sedang hangat dibicarakan di dunia sastra Indonesia, sehingga kiranya dengan membicarakan kasus tersebut, pembahasan ini dapat mewakili bukan hanya keresahan saya sendiri, namun juga keresahan cukup banyak orang lain yang terlibat di dunia sastra atau memiliki kepedulian terhadapnya.

Yang saya maksudkan adalah kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang disusun oleh 8 orang yang menyebut diri Tim 8, di bawah pimpinan Jamal D. Rahman, dan diterbitkan Januari 2014 oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Buku setebal 734 halaman (ditambah 33 halaman yang berisi sambutan, pengantar, dsb) itu berisi esei tentang masing-masing ke-33 “tokoh sastra” yang dipandang “paling berpengaruh” tersebut. Sebagai buku yang bertujuan menilai dan membahas sastrawan dan karyanya – bahkan dengan berangkat dari penilaian tentang sastra Indonesia modern secara keseluruhan, yang berarti menilai masa 100 tahun dengan segala dinamikanya dan sekian tokohnya, untuk kemudian memilih 33 di antaranya – tentu saja buku tebal ini hadir sebagai bagian dari genre “kritik sastra”. Kritik sastra semacam apakah ini?

Sebelum memasuki buku itu sendiri sebagai teks, konteks kelahiran buku itu menarik disorot secara kritis. Konteks itu jugalah yang menjadi salah satu fokus utama gerakan perlawanan terhadap buku tersebut. Semakin lama semakin terungkap dengan jelas betapa buku tersebut lahir terutama demi kepentingan (dan atas inisiatif dan pendanaan) satu orang, yaitu Denny JA yang terpilih sebagai salah satu dari ke-33 “tokoh sastra paling berpengaruh” itu. Denny JA konon “berpengaruh” karena menciptakan “genre baru” yang dinamakannya “puisi esai”. Rahasia pengaruh itu pun makin lama makin terbongkar: sejumlah penulis yang sempat ikut menulis “puisi esai” dengan terus terang mengaku sekadar ikut-ikutan demi honor yang cukup besar, atau karena tergoda dengan besarnya hadiah yang dijanjikan dalam lomba penulisan “puisi esai”. Dan semua honor dan hadiah itu disediakan oleh Denny JA sendiri, demi kejayaan “genre” ciptaannya! Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam kasus ini, “pengaruh” telah dibeli dengan uang.

Berangkat dari ulasan singkat di awal esei ini tentang hubungan antara intelektual dengan kekuasaan, saya ingin bertanya: bagi Tim 8, apa hubungan antara sastra(wan) dengan kekuasaan? Pengantar mereka dibuka dengan sebuah kutipan dari John F. Kennedy yang antara lain mengatakan: “Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya”. Pilihan kutipan itu, yang kemudian dengan cukup panjang lebar dibahas (dalam arti diulang dan dirayakan, bukan dikritik) dalam teks pengantar itu sendiri, cukup menarik, baik dari segi isinya maupun pilihan tokoh yang dipandang layak dijadikan rujukan.

Saat John F. Kennedy dinobatkan menjadi presiden Amerika Serikat pada tahun 1961, penyair Robert Frost diundang membaca puisi sebagai bagian dari acara penobatan itu. Frost pun menulis puisi panjang dalam rangka merayakan berawalnya sebuah masa baru, di mana nilai kemajuan dan demokrasi akan semakin jaya. “A golden age of poetry and power/Of which this noonday’s the beginning hour,” demikian kedua baris terakhir puisinya. Jelas sekali ini bukan contoh peran intelektual yang berada di posisi independen, apalagi contoh penyair yang berani speaking truth to power. Di masa perang Vietnam, dan di tengah masalah-masalah ketidakadilan sosial di Amerika Serikat sendiri (rasisme, antara lain), Frost memilih menghamba pada kekuasaan. Dan ungkapan presiden yang dinobatkan dengan cara seperti itulah dikutip dengan begitu antusias oleh Tim 8! Puisi apa yang dimaksudkannya sebagai “pembersih” kekuasaan yang kotor? Puisi yang membersihkan dalam arti menuntut penguasa untuk bertobat dari segala ketamakannya, atau sebaliknya, puisi yang justru melegitimasi kekuasaan? Puisi yang kritis dan marah akan setiap penindasan dan ketidakadilan, atau puisi yang merayakan kejayaan penguasa sehingga tampak indah, heroik dan bersih?

Semangat semacam itu kemudian berlanjut dalam pengantar yang ditulis oleh Tim 8. Menurut keterangan dalam pengantar itu, tujuan buku tersebut antara lain untuk “memperjuangkan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi”, untuk “melengkapi bahan pembelajaran sastra di sekolah”, dan untuk menjadi “sumber informasi bersifat ensiklopedis mengenai sejarah sastra Indonesia sejak awal abad ke-20”. Di awal pengantar, dengan cukup panjang mereka membicarakan peran sastra bagi masyarakat dan negara, dengan argumen utama bahwa peran sastra sedang menurun di Indonesia, dan perlu dipulihkan lewat buku sejenis 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Namun ada hal yang sama sekali luput dipertanyakan di sini: apakah peran sastra selalu positif? Tepatnya apa yang diharapkan dari sastra? Tampaknya manfaat sastra diasumsikan begitu saja. Kritik sosial lewat sastra memang disebut dalam pengantar, namun anehnya, tradisi masa lalu untuk melegitimasi kekuasaan seorang raja atau sultan lewat karya para pujangga juga disebut dan dirayakan – tanpa sedikit pun melihat adalah pertentangan di situ. Seakan-akan Tim 8 ingin mengatakan: Asal sastra – sastra mana pun, dengan corak dan pesan apapun! – menjadi semakin jaya dan dihormati di Indonesia, maka budaya Indonesia akan semakin bermartabat.

Bagi saya, salah satu hal yang paling ganjil dalam buku tersebut adalah konsep “pengaruh” itu sendiri. Mengapa tokoh “paling berpengaruh” dianggap perlu ditentukan, dan tepatnya apa yang dimaksudkan dengan “berpengaruh”? Persoalan itu sedikit dijelaskan dalam pengantar, meskipun sama sekali tidak secara memuaskan. Ke-33 tokoh itu dipandang “memberi pengaruh dan dampak yang cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia yang lebih luas”. Selain sangat abstrak (dan tidak dibuktikan dengan baik dalam esei-esei yang ada di buku itu), ada satu hal yang bagi saya sangat aneh dalam pembahasan mengenai “pengaruh” itu. Bagi saya, apabila kita berbicara mengenai pengaruh, salah satu pertanyaan utama yang perlu diajukan adalah: apakah pengaruhnya itu baik atau buruk? Namun pertanyaan itu sama sekali absen dari buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.

Kalau absennya pertanyaan itu kita nilai sebagai usaha untuk menjaga sikap netral dan berjarak, saya rasa kita keliru. Dengan menempatkan buku mereka sebagai bagian dari sebuah perayaan sastra sebagai kekuatan penting yang akan bisa menaikkan martabat bangsa, secara implisit Tim 8 sudah memberi jawaban: pengaruh sastra(wan) selalu positif. Ini jawaban yang bagi saya sama sekali tidak bertanggungjawab. Di sini kritik sastra sudah menolak melakukan tugasnya, paling tidak apabila tugas itu kita definisikan sesuai dengan yang saya lakukan di atas dengan merujuk pada perumusan Edward Said mengenai tugas intelektual. Tim 8 menolak melihat keterlibatan sastra di tengah kotornya kekuasaan.

Apabila kita kembali pada konteks penerbitan buku tersebut yang sudah saya bicarakan di atas, penolakan untuk bersikap kritis itu sangat bisa dipahami. Apabila pengaruh dirayakan sebagai tanda sukses dan jayanya “sastra” pada umumnya tanpa mempertimbangkan masalah etika dan keberpihakan sama sekali, maka dengan mudah seorang Denny JA pun bisa menjadi salah satu dari “tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”!

Semoga saja kasus buku ini bukan cermin kondisi kritik sastra di Indonesia secara umum. Namun meskipun tulisan-tulisan lain yang lebih kritis dan jujur tentu ada, saya rasa kehadiran buku semacam itu sangat layak direfleksikan. Seperti itukah kritik sastra yang diharapkan dan dibutuhkan di Indonesia? Ataukah tetap ada kebutuhan akan sebuah kritik sastra yang terpanggil untuk mengutamakan speaking truth to power, daripada menghamba pada kekuasaan dan pada kekuatan uang?
***

*) Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta.
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2014/03/19/kritik-sastra-yang-menghamba-pada-kekuasaan/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi