Katrin Bandel *
http://boemipoetra.wordpress.com
Nothing in my view is more reprehensible than those habits of mind in the intellectual that induce avoidance, that characteristic turning away from a difficult and principled position which you know to be the right one, but which you decide not to take. (Edward Said).
Sastra adalah bagian dari dunia intelektual, dan demikian pun kritik sastra. Mengikuti harapan yang diekspresikan kritikus pascakolonial (dan kritikus sastra) Edward W. Said dalam bukunya Representations of the Intellectual (1994), para intelektual seharusnya mengambil peran yang “mengungkapkan kebenaran di hadapan kekuasaan” (speaking truth to power). Intelektual sebaiknya menduduki posisi relatif independen sehingga senantiasa dapat memandang kekuasaan – negara, pemilik modal, kekuatan-kekuatan yang dominan secara global – dengan mata kritis dan berjarak. Seperti yang diungkapkan Said dalam buku yang sama, harapannya itu sama sekali tidak selalu terwujud. Tidak jarang mereka-mereka yang seharusnya bersuara sebagai intelektual independen, ternyata malah menghamba pada kekuasaan.
Apa implikasi realitas tersebut bagi pembahasan kita mengenai kritik sastra di sini? Di negeri pascakolonial bernama Indonesia yang sangat jauh dari keadilan sosial ini, dengan pemerintah yang cenderung menghamba pada kepentingan kapitalis, intelektual kritis dan independen sangat dibutuhkan. Sastrawan dan kritikus sastra tentu termasuk golongan yang diharapkan sebagai intelektual “pengungkap kebenaran di hadapan kekuasaan”. Namun tepatnya apa kebenaran yang perlu diungkapkan itu, dan bagaimana kita menilainya? Karya sastra semacam apa yang mengekspresikan kritik sesuai dengan harapan Said itu? Pada kenyataannya, sangat tidak mudah membedakan antara karya sastra yang kritis dengan yang menghamba pada kekuasaan. Bukan hal mustahil kalau sebuah karya yang sangat sesuai dengan kepentingan kekuasaan, justru menyamar menjadi sebaliknya, yaitu karya yang kritis dan independen. Di situlah kemudian kritik sastra menjadi penting. Kritik sastra diharapkan membongkar asumsi-asumsi yang melatarbelakangi sebuah karya, serta memperlihatkan apa yang tersembunyi atau hanya disampaikan secara tersirat. Dengan demikian, kritik sastra dapat menjadi alat bantu yang sangat penting bagi pembaca kritis yang tidak ingin terbuai oleh tipuan ideologi penguasa.
Namun tentu saja kritik sastra pun tidak terbebas dari risiko yang sama yang berlaku untuk sastra sendiri. Kritik sastra pun dapat menghamba pada kekuasaan, ketimbang speaking truth to power seperti yang diharapkan. Mengingat hal itu, bagaimana kita mesti menilai kondisi kritik sastra di Indonesia saat ini? Untuk menjawab pertanyaan itu secara menyeluruh, sangat kurang memungkinkan di sini. Untuk mengakses dan menilai kerja kritik sastra yang dilakukan di berbagai lembaga di seluruh Indonesia tentu dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Maka pada kesempatan ini, saya memilih untuk sekadar membahas satu kasus saja, yaitu kasus sebuah buku yang sedang hangat dibicarakan di dunia sastra Indonesia, sehingga kiranya dengan membicarakan kasus tersebut, pembahasan ini dapat mewakili bukan hanya keresahan saya sendiri, namun juga keresahan cukup banyak orang lain yang terlibat di dunia sastra atau memiliki kepedulian terhadapnya.
Yang saya maksudkan adalah kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang disusun oleh 8 orang yang menyebut diri Tim 8, di bawah pimpinan Jamal D. Rahman, dan diterbitkan Januari 2014 oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Buku setebal 734 halaman (ditambah 33 halaman yang berisi sambutan, pengantar, dsb) itu berisi esei tentang masing-masing ke-33 “tokoh sastra” yang dipandang “paling berpengaruh” tersebut. Sebagai buku yang bertujuan menilai dan membahas sastrawan dan karyanya – bahkan dengan berangkat dari penilaian tentang sastra Indonesia modern secara keseluruhan, yang berarti menilai masa 100 tahun dengan segala dinamikanya dan sekian tokohnya, untuk kemudian memilih 33 di antaranya – tentu saja buku tebal ini hadir sebagai bagian dari genre “kritik sastra”. Kritik sastra semacam apakah ini?
Sebelum memasuki buku itu sendiri sebagai teks, konteks kelahiran buku itu menarik disorot secara kritis. Konteks itu jugalah yang menjadi salah satu fokus utama gerakan perlawanan terhadap buku tersebut. Semakin lama semakin terungkap dengan jelas betapa buku tersebut lahir terutama demi kepentingan (dan atas inisiatif dan pendanaan) satu orang, yaitu Denny JA yang terpilih sebagai salah satu dari ke-33 “tokoh sastra paling berpengaruh” itu. Denny JA konon “berpengaruh” karena menciptakan “genre baru” yang dinamakannya “puisi esai”. Rahasia pengaruh itu pun makin lama makin terbongkar: sejumlah penulis yang sempat ikut menulis “puisi esai” dengan terus terang mengaku sekadar ikut-ikutan demi honor yang cukup besar, atau karena tergoda dengan besarnya hadiah yang dijanjikan dalam lomba penulisan “puisi esai”. Dan semua honor dan hadiah itu disediakan oleh Denny JA sendiri, demi kejayaan “genre” ciptaannya! Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam kasus ini, “pengaruh” telah dibeli dengan uang.
Berangkat dari ulasan singkat di awal esei ini tentang hubungan antara intelektual dengan kekuasaan, saya ingin bertanya: bagi Tim 8, apa hubungan antara sastra(wan) dengan kekuasaan? Pengantar mereka dibuka dengan sebuah kutipan dari John F. Kennedy yang antara lain mengatakan: “Jika kekuasaan kotor, puisi membersihkannya”. Pilihan kutipan itu, yang kemudian dengan cukup panjang lebar dibahas (dalam arti diulang dan dirayakan, bukan dikritik) dalam teks pengantar itu sendiri, cukup menarik, baik dari segi isinya maupun pilihan tokoh yang dipandang layak dijadikan rujukan.
Saat John F. Kennedy dinobatkan menjadi presiden Amerika Serikat pada tahun 1961, penyair Robert Frost diundang membaca puisi sebagai bagian dari acara penobatan itu. Frost pun menulis puisi panjang dalam rangka merayakan berawalnya sebuah masa baru, di mana nilai kemajuan dan demokrasi akan semakin jaya. “A golden age of poetry and power/Of which this noonday’s the beginning hour,” demikian kedua baris terakhir puisinya. Jelas sekali ini bukan contoh peran intelektual yang berada di posisi independen, apalagi contoh penyair yang berani speaking truth to power. Di masa perang Vietnam, dan di tengah masalah-masalah ketidakadilan sosial di Amerika Serikat sendiri (rasisme, antara lain), Frost memilih menghamba pada kekuasaan. Dan ungkapan presiden yang dinobatkan dengan cara seperti itulah dikutip dengan begitu antusias oleh Tim 8! Puisi apa yang dimaksudkannya sebagai “pembersih” kekuasaan yang kotor? Puisi yang membersihkan dalam arti menuntut penguasa untuk bertobat dari segala ketamakannya, atau sebaliknya, puisi yang justru melegitimasi kekuasaan? Puisi yang kritis dan marah akan setiap penindasan dan ketidakadilan, atau puisi yang merayakan kejayaan penguasa sehingga tampak indah, heroik dan bersih?
Semangat semacam itu kemudian berlanjut dalam pengantar yang ditulis oleh Tim 8. Menurut keterangan dalam pengantar itu, tujuan buku tersebut antara lain untuk “memperjuangkan martabat kebudayaan Indonesia yang lebih tinggi”, untuk “melengkapi bahan pembelajaran sastra di sekolah”, dan untuk menjadi “sumber informasi bersifat ensiklopedis mengenai sejarah sastra Indonesia sejak awal abad ke-20”. Di awal pengantar, dengan cukup panjang mereka membicarakan peran sastra bagi masyarakat dan negara, dengan argumen utama bahwa peran sastra sedang menurun di Indonesia, dan perlu dipulihkan lewat buku sejenis 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Namun ada hal yang sama sekali luput dipertanyakan di sini: apakah peran sastra selalu positif? Tepatnya apa yang diharapkan dari sastra? Tampaknya manfaat sastra diasumsikan begitu saja. Kritik sosial lewat sastra memang disebut dalam pengantar, namun anehnya, tradisi masa lalu untuk melegitimasi kekuasaan seorang raja atau sultan lewat karya para pujangga juga disebut dan dirayakan – tanpa sedikit pun melihat adalah pertentangan di situ. Seakan-akan Tim 8 ingin mengatakan: Asal sastra – sastra mana pun, dengan corak dan pesan apapun! – menjadi semakin jaya dan dihormati di Indonesia, maka budaya Indonesia akan semakin bermartabat.
Bagi saya, salah satu hal yang paling ganjil dalam buku tersebut adalah konsep “pengaruh” itu sendiri. Mengapa tokoh “paling berpengaruh” dianggap perlu ditentukan, dan tepatnya apa yang dimaksudkan dengan “berpengaruh”? Persoalan itu sedikit dijelaskan dalam pengantar, meskipun sama sekali tidak secara memuaskan. Ke-33 tokoh itu dipandang “memberi pengaruh dan dampak yang cukup luas khususnya pada dinamika kehidupan sastra, dan umumnya pada dinamika kehidupan intelektual, sosial, politik, dan kebudayaan Indonesia yang lebih luas”. Selain sangat abstrak (dan tidak dibuktikan dengan baik dalam esei-esei yang ada di buku itu), ada satu hal yang bagi saya sangat aneh dalam pembahasan mengenai “pengaruh” itu. Bagi saya, apabila kita berbicara mengenai pengaruh, salah satu pertanyaan utama yang perlu diajukan adalah: apakah pengaruhnya itu baik atau buruk? Namun pertanyaan itu sama sekali absen dari buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Kalau absennya pertanyaan itu kita nilai sebagai usaha untuk menjaga sikap netral dan berjarak, saya rasa kita keliru. Dengan menempatkan buku mereka sebagai bagian dari sebuah perayaan sastra sebagai kekuatan penting yang akan bisa menaikkan martabat bangsa, secara implisit Tim 8 sudah memberi jawaban: pengaruh sastra(wan) selalu positif. Ini jawaban yang bagi saya sama sekali tidak bertanggungjawab. Di sini kritik sastra sudah menolak melakukan tugasnya, paling tidak apabila tugas itu kita definisikan sesuai dengan yang saya lakukan di atas dengan merujuk pada perumusan Edward Said mengenai tugas intelektual. Tim 8 menolak melihat keterlibatan sastra di tengah kotornya kekuasaan.
Apabila kita kembali pada konteks penerbitan buku tersebut yang sudah saya bicarakan di atas, penolakan untuk bersikap kritis itu sangat bisa dipahami. Apabila pengaruh dirayakan sebagai tanda sukses dan jayanya “sastra” pada umumnya tanpa mempertimbangkan masalah etika dan keberpihakan sama sekali, maka dengan mudah seorang Denny JA pun bisa menjadi salah satu dari “tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”!
Semoga saja kasus buku ini bukan cermin kondisi kritik sastra di Indonesia secara umum. Namun meskipun tulisan-tulisan lain yang lebih kritis dan jujur tentu ada, saya rasa kehadiran buku semacam itu sangat layak direfleksikan. Seperti itukah kritik sastra yang diharapkan dan dibutuhkan di Indonesia? Ataukah tetap ada kebutuhan akan sebuah kritik sastra yang terpanggil untuk mengutamakan speaking truth to power, daripada menghamba pada kekuasaan dan pada kekuatan uang?
***
*) Katrin Bandel, kritikus sastra, tinggal di Jogjakarta.
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2014/03/19/kritik-sastra-yang-menghamba-pada-kekuasaan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar