Rabu, 22 Oktober 2014

Pascakolonialitas Katrin Bandel *

Ahda Imran **
http://boemipoetra.wordpress.com

/1/
Pascakolonialisme bukan sekadar sebuah deskripsi keadaan, tapi sebentuk perlawanan

BEGITU tulis Katrin Bandel. Perempuan kulit putih yang suatu hari membaca anekdot Gayatri Spivak tentang lelaki borjuis kulit putih yang tak mau bicara sebab sterotip yang telah dilekatkan padanya sebagai keturunan bangsa penjajah. Katrin Bandel, perempuan kulit putih kelas menengah Eropa itu, tiba-tiba merasa menjadi orang yang oleh Spivak diseru, “Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah menuliskan naskah yang begitu keji, sehingga Anda tidak dapat bicara?”


Dari “kemurkaan” yang dimaksud oleh pemikir pascakolonial termasyhur itu, Katrin meyakini bahwa pascakolonialisme lebih dari sekadar sebuah teori. Melainkan juga instrumen kesadaran untuk melawan. Bukan hanya melawan dan murka atas “naskah keji” yang dilekatkan padanya sebagai perempuan kulit putih—sebagaimana yang terkesan kuat dari apa yang dilontarkan Ulil Absar Abdallah (31 Maret 2010) dalam sebuah mailling-list yang menyebut esai Katrin, “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”, sebagai praktik orientalisme dalam bentuknya yang sangat buruk. Tetapi juga pascakolonialisme yang dipakainya untuk melawan dan menguliti segenap produksi budaya yang dicurigai menjadi selubung berbagai hasrat kuasa dan dominasi, sebagaimana ditenggarainya terjadi dalam berbagai fenomena sastra di Indonesia.

Dengan meyakini pascakolonialitas semacam itu, menjadi lumrah bila Katrin lalu mengambil jalan yang berlainan dari kebanyakan kritikus sastra sekolahan lainnya dalam mempraktikan pascakolonialitas sebagai sebuah metode kritik. Di tangan Katrin, pascakolonialitas tidak melulu diperlakukan sebagai pewarta yang mesti berjarak dan bersikap netral dalam mengungkap berbagai situasi pascakolonial; dampak atau jejak kolonialisme dalam politik identitas, relasi kuasa global, atau berbagai intensi kuasa di balik produksi pengetahuan.

Setidaknya inilah yang agaknya menyendirikan pemikiran Katrin dari sejumlah tulisan para kritikus sastra dan indonesianis yang termaktub dalam buku yang dieditori Keith Foulcher dan Tony Day, Clearing a Space: postcolonial of modern Indonesian literature (2002). Meski dalam pengantar Edisi Indonesia Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (2008), Manneke Budiman ada menyebut perlunya kritik postkolonial diposisikan sebagai bagian dari praksis dan bukan elitisme akademik baru, namun disebutkannya juga betapa tulisan-tulisan dalam buku itu diasumsikan mengambil “jarak aman” dari subjek kajian untuk menghindari terjadinya bias yang dapat melemahkan objektivitas kajian.

Dan Katrin Bandel tampaknya memilih berada di luar apa yang disebut Manneke dengan “jarak aman” itu, demi memosisikan pascakolonial sebagai bagian dari praksis dan melucutinya dari elitisme orang sekolahan yang kerap penuh ambivalensi—simpati pada mereka tersisihkan oleh sistem yang mendominasi sambil menikmati posisinya yang sejuk-nyaman yang disediakan oleh sistem itu. Kritik sastra pascakolonial yang diyakininya bisa menjadi suatu bentuk perlawanan lebih diartikulasikannya lagi lewat isu yang—bersama Saut Situmorang dan Joernal boemipoetra—selalu disuarakannya, yakni, politik sastra. Sebuah isu yang bersemangat menggugat hasrat dominasi dan kuasa yang berkerja dalam medan sosial sastra lewat berbagai strategi politik jaringan, produksi wacana, atau kecenderungan estetis. Sesuatu yang niscaya ada namun sebaliknya selalu disangkal.

Akhirnya, sebagai kritikus sastra sekaligus indonesianis perempuan, posisi Katrin Bandel menjadi unik sekaligus genting. Sulit ditemukan tulisannya yang tidak sekadar menggugat basa-basi relasi global yang dianggapnya menyelubungi berbagai ketidakadilan. Namun pula yang selalu menaruh kecurigaan besar setiap produksi wacana yang hanya hendak menjadi perayaan. Atau perspektifnya yang kritis dalam kerumunan yang mengelilingi wacana dominan, bak seorang tokoh partai oposisi.

Termasuk ketika kerumunan itu terdiri dari para indonesianis. Di tengah para indonesianis yang berkerumun itu, Katrin seakan sedang membuktikan kebenaran yang menjadi telaah kritis Shelley Walia (Edward Said and the Writing of History, 2001) atas pemikiran Edward Said terhadap Proyek Pencerahan, yakni, keluasan ilmu kolonialisme; produksi kebudayaan yang dirancang agar beroperasi dengan tujuan memeroleh kesepakatan dari si terjajah.

Pilihan Katrin untuk berada di luar “jarak aman”—tak berjarak bahkan ia berpihak—dalam mengoperasikan kritik sastra pascakolonial, tampaknya minta dimaknai sebagai bentuk penolakannya untuk mempraktikan apa yang lazimnya dilakukan oleh kebanyakan kritikus sekolahan dalam perlakuan mereka atas suatu teori, yakni, melulu teori untuk teori. Meski pascakolonialitas dipahami sebagai metode kritik yang menyaran pada kesadaran praksis demi membongkar idelogi kuasa di balik wacana yang dominan, namun umumnya mereka berupaya steril dari berbagai intensi di luar semangat mempraktikan teori untuk teori.

Intensi serupa inilah yang sebaliknya secara terang-terangan dihadirkan dalam tulisan-tulisan Katrin; pascakolonialitas yang dibawa masuk ke dalam berbagai isu dan perdebatan sastra Indonesia kontemporer, dioperasikan ke dalam isu politik sastra sebagai bentuk perlawanan atas wacana yang dominan, bahkan dibawanya ke dalam kesehari-harian untuk mendeskripsikan bagaimana, pinjam istilah Frantz Fanon, rasialisasi pikiran hidup dan dirawat dalam masyarakat pascakolonial.

Pilihan berada di luar “jarak aman”, bahkan terkesan menjadi oposisi, tentu saja membuat Katrin menjadi tak aman dari berbagai tudingan. Sebagai kritikus sastra dan indonesianis ia dianggap sudah terlibat masuk kelewat jauh ke dalam “rumah tangga” sastra Indonesia—yang semestinya ia duduk manis saja di ruang tamu sebagai pengamat yang netral dan berjarak. Sebagai kritikus, kritiknya—terutama terhadap “keberhasilan” Ayu Utami —dinilai sebagai praktik orientalisme dalam bentuknya yang buruk. Di hadapan tudingan inilah dalam esainya “Jerman-Indonesia: Pertukaran Budaya dan Pascakolonialitas”, Katrin ada menulis, “Sebagai orang asing, khususnya orang Barat, sebaiknya saya memosisikan diri di mana?”

Alih-alih dibaca sebagai curhat yang sedih dari orang yang merasa serba salah, pertanyaan itu terasa lebih menekan sebagai bukti dari kondisi sastra Indonesia di tengah psiko-kultural masyarakat pascakolonial yang penuh ambivalensi. Penuh dengan orang sekolahan yang menjadi mimikri dan masih dirawatnya rasialisasi pikiran.

/2/
BERISI duapuluh esai dalam rentang waktu tujuh tahun (2006-2013), buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas (pustaha hariara, 2013) cukup memberi gambaran yang utuh ihwal perspektif pemikiran Katrin Bandel dalam sejumlah isu sastra (di) Indonesia. Termasuk gagasan dan perpektif pemikirannya dalam wacana pascakolonial; bagaimana mengoperasikannya dalam semangat gerakan politik sastra sebagai bentuk praksis perlawanan yang tidak sekadar membingkai-bingkai teori untuk teori. Tetapi, yang seraya itu pula memaktubkan beragam jejak pemikiran mereka yang berdiri di belakang teori pascakolonial; sebutlah, Deridean Gayatri Spivak, pascastrukturalis Foucault, atau ingatan pada relasi teori dan kesadaran kritis Edward Said .

Meski beberapa tulisan Katrin dalam buku ini membahas persoalan yang kini mulai surut, namun jejak pemikiran di dalamnya masih tetap aktual untuk diperbincangkan. Lebih dari sekadar memanggil ingatan pada ihwal ramainya perdebatan seksualitas dalam novel-novel pengarang perempuan Indonesia yang dirayakan dibawah label “sastra feminis, atau politik jaringan dalam medan sastra yang dimainkan Komunitas Utan Kayu (KUK) hingga ke Eropa.

Sejumlah esai Katrin tentang hal tersebut tetap menawarkan cara pandang dan argumen yang menarik. Terutama bila dipakai untuk menelaah bagaimana suatu objek wacana dirancang demi meneguhkan mekanisme dominasi. Sebutlah, seksualitas dan feminisme agar diimani dengan kerangka penafsiran ihwal kemajuan yang universal. Generalisasi dan kerangka penafsiran yang menggunakan standar tunggal, yang monolitik, dan mengabaikan kompleksitas gender dalam konteks historis, budaya, dan kelas.

Di antara duapuluh esai dalam buku ini, lebih dari separuhnya menyinggung novel Saman dan Larung Ayu Utami. Katrin mengepung kedua novel itu dari berbagai sudut; mulai dari teks, gagasan seksualitas dan politik tubuh perempuan, politik jaringan yang membesarkannya hingga ke Eropa, pelabelannya sebagai karya sastra feminis dan pascakolonial, hingga telaahnya ke dalam gaya hidup dan pandangan Ayu Utami terhadap pembebasan seks.

Mengapa Katrin begitu nyinyir dan bersemangat menghabisi, bahkan menguliti Ayu Utami sehingga seakan tak ada seinci pun sesuatu yang berhubungan dengan novel Saman, Larung, dan sosok Ayu Utami yang luput dari hasrat Katrin untuk menghakiminya? Apakah ada yang salah ketika sebagai pengarang perempuan Ayu Utami menating pengalaman tubuh perempuan dalam seksualitas sebagai suatu pembebasan? Apakah itu hanya menjadi hak para pengarang lelaki sebagaimana Linus Suryadi AG mengangkatnya dalam novel yang begitu erotis Pengakuan Pariyem?

Pertanyaan itu lumrah mengemuka namun sekaligus mudah menggiring orang pada sejenis prasangka buruk, terlebih tanpa adanya pemahaman bahwa setiap dominasi akan senantiasa melahirkan penentangan. Dan penentangan dimaksud memiliki haknya yang lebih besar untuk menjadi lumrah, manakala dominasi ditegakkan dengan wacana yang sesungguhnya sedang meneguhkan wacana kolonial. Dan sebagaimana wataknya wacana kolonial, dominasi selalu bekerja dengan sayup dan diam-diam.

Alih-alih melakukan penentangan atau penghakiman dengan bahasa moral dan agama, Katrin masuk menelisik ke dalam teks kedua novel. Pada bagian inilah, dengan menghampiri teks dalam adegan tokoh Shakuntala—yang oleh pula banyak kritikus ditaruh sebagai representasi gagasan Ayu Utami ihwal tubuh, seksualitas, relasi Timur-Barat—Katrin tak menemukan fakta dari pelabelan tersebut. Dengan pendekatan pascastrukturalis yang ketat, ia tak menemukan konteks apa pun dalam pemaknaan pembebasan hasrat tubuh serta seksualitas perempuan sebagai subjek otonom, yang melainkan dirinya dari konteks sosial-historis yang dianggapnya mengekang.

Reduksi atas konteks sosio-historis semacam ini dilakukan demi pembesaran pada satu-satunya ukuran yang ditaruh sebagai kesadaran yang universal. Kesadaran semacam inilah yang oleh Katrin dihadapkan pada apa yang sesungguhnya telah lama dikritisi oleh para pemikir pascakolonial, seperti kritikus feminis Chandra Talpande Mohanthy. Kesadaran yang meletakan perempuan dalam kenyataan yang monolitik, entitas yang homogen, seakan semua perempuan di muka bumi ini menghadapi persoalan yang sama. Kesadaran semacam inilah yang menindas kompleksitas dan menyembuyikan heteregonitas. Kesadaran yang dikontruksi oleh wacana kolonial. Dari konteks inilah Katrim sampai pada kesimpulan untuk menghakimi bahwa kedua novel Ayu Utami tersebut bukanlah karya pascakolonial.

Sebaliknya, ia menilai kedua novel itu justru sedang melanggengkan kuasa kolonial yang menumpang ke balik wacana feminisme. Kedua novel itu seakan tengah menawarkan sugestifikasi kemajuan perempuan yang melulu mendasar pada pembebasan seksual sebagaimana diajarkan oleh feminisme Barat. Kuasa wacana kolonial di situ sedang ditegakkan sebagai mekanisme dominasi lewat selubung feminisme yang diimani oleh para perempuan kelas menengah perkotaan.

Katrin juga menghadapkan kedua novel Ayu Utami sebagai perbandingan dengan karya Pramoedya Ananta Toer (Gadis Pantai), Martin Alaida (Jamangilak Tak Pernah Menangis), Clara Ng (Dimsum Terakhir). Dalam pembahasan karya tersebut Katrin mendekripsikan keluasan karya pascakolonialitas, atau yang berpotensi ke arah itu, yang bisa ditemukan lewat keberagaman konflik, identitas, dan setting budaya yang berhadapan dengan relasi global—yang artinya tidak melulu ihwal perempuan urban dan apa yang mereka puja sebagai pembebasan seksualitas.

Sayangnya, kecuali di Mailling-List, kritik Katrin terhadap kedua novel Ayu Utami tersebut luput menjadi polemik yang berpotensi meluaskan diskursus pascakolonial. Agak aneh, memang, mengapa di antara sekian banyak kritikus sastra yang ramai memberi saweran pujian pada novel Ayu Utami tidak tertarik menanggapi Katrin. Setidaknya meladeninya dalam konteks cara pandang terhadap wacana dan praktik pascakolonial sebagai metode kritik. Bila pun ada Katrin berpolemik itu terjadi dengan dua orang indonesianis di Majalah Orientierungen yang sulit diakses oleh publik sastra Indonesia

/3/
KEDUA novel Ayu Utami dan karya para pengarang perempuan yang mengangkat soal seputar seksualitas sebagai modus produksi baru yang dilekatkan pada isu feminisme—perempuan yang menjadi subjek otonom bagi pembebasan tubuhnya—agaknya menjadi bukti bagaimana sastra Indonesia begitu gugup berhadapan dengan kuasa wacana kolonial. Alih-alih mendaku memproduksi teks pascakolonial, yang terjadi adalah kesepakatan pada pembesaran wacana kolonial yang bergerak secara halus. Musababnya mungkin sederhana, kepercayaan yang kelewat besar pada mitos-mitos kemajuan yang diajarkan oleh produksi pengetahuan negara-negara kolonial. Dan inilah yang turut menjadi pangkal terus berlangsung ketidakadilan dalam relasi global.

Katrin Bandel, dengan pilihannya berada di luar “jarak aman”, di luar kerumunan kritikus sekolahan yang menjadi pemuja teori untuk teori, di luar kebiasaan para indonesianis yang duduk manis di ruang tamu rumah tangga sastra Indonesia; mewanti-wanti bagaimana idelogi kolonial itu bekerja dan menanamkan dominasi, bahkan otoritasnya, terhadap objek suatu wacana ke dalam masyarakat pascakolonial. Termasuk yang dilakukannya melalui lembaga-lembaga yang menjadi inventarisasi simbolik ideologi kolonial juru bicaranya. Lembaga yang bekerja secara halus mengkonversi modal ekonomi menjadi modal simbolik dan modal kultural.

Buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas menjadi menarik bukan hanya untuk melihat bagaimana sejumlah karya sastra Indonesia dengan beragam isunya di hadapkan pada wacana dan kritik pascakolonial, atau bagaimana pascakolonialitas itu dioperasikan sebagai suatu metode kritik yang praksis demi membongkar berbagai hasrat yang bersembunyi di balik produksi pengetahuan yang dianggap seksi—feminisme, politik identitas, tubuh dan seksualitas. Melainkan pula, bagaimana Katrin Bandel, seorang perempuan kulit putih yang terdidik sedang meluapkan “kemurkaannya”—sebagaimana diserukan Spivak—demi menghentikan “naskah keji” yang dilekatkan padanya sebagai keturunan bangsa penjajah.

Oleh sebab itulah, alih-alih memenuhi tugasnya sebagai seorang indonesianis yang seharusnya menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada orang sebangsanya (Barat), Katrin lebih memilih membocorkan “rahasia-rahasia” idelogi kolonialisme global (Barat) itu bekerja lewat produksi pengetahuan, dan bagaimana cara melawan mereka.***

Cilame, 19 Maret 2014

**) Ahda Imran, penyair dan eseis, tinggal di Bandung
*) Esei ini merupakan makalah Ahda Imran dalam acara diskusi buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada 20 Maret 2014
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2014/05/30/pascakolonialitas-katrin-bandel/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi