Ahda Imran **
http://boemipoetra.wordpress.com
/1/
Pascakolonialisme bukan sekadar sebuah deskripsi keadaan, tapi sebentuk perlawanan
BEGITU tulis Katrin Bandel. Perempuan kulit putih yang suatu hari membaca anekdot Gayatri Spivak tentang lelaki borjuis kulit putih yang tak mau bicara sebab sterotip yang telah dilekatkan padanya sebagai keturunan bangsa penjajah. Katrin Bandel, perempuan kulit putih kelas menengah Eropa itu, tiba-tiba merasa menjadi orang yang oleh Spivak diseru, “Kenapa Anda tidak mencoba untuk, sampai tingkat tertentu, menumbuhkan kemurkaan dalam diri Anda terhadap sejarah yang telah menuliskan naskah yang begitu keji, sehingga Anda tidak dapat bicara?”
Dari “kemurkaan” yang dimaksud oleh pemikir pascakolonial termasyhur itu, Katrin meyakini bahwa pascakolonialisme lebih dari sekadar sebuah teori. Melainkan juga instrumen kesadaran untuk melawan. Bukan hanya melawan dan murka atas “naskah keji” yang dilekatkan padanya sebagai perempuan kulit putih—sebagaimana yang terkesan kuat dari apa yang dilontarkan Ulil Absar Abdallah (31 Maret 2010) dalam sebuah mailling-list yang menyebut esai Katrin, “Politik Sastra Komunitas Utan Kayu di Eropa”, sebagai praktik orientalisme dalam bentuknya yang sangat buruk. Tetapi juga pascakolonialisme yang dipakainya untuk melawan dan menguliti segenap produksi budaya yang dicurigai menjadi selubung berbagai hasrat kuasa dan dominasi, sebagaimana ditenggarainya terjadi dalam berbagai fenomena sastra di Indonesia.
Dengan meyakini pascakolonialitas semacam itu, menjadi lumrah bila Katrin lalu mengambil jalan yang berlainan dari kebanyakan kritikus sastra sekolahan lainnya dalam mempraktikan pascakolonialitas sebagai sebuah metode kritik. Di tangan Katrin, pascakolonialitas tidak melulu diperlakukan sebagai pewarta yang mesti berjarak dan bersikap netral dalam mengungkap berbagai situasi pascakolonial; dampak atau jejak kolonialisme dalam politik identitas, relasi kuasa global, atau berbagai intensi kuasa di balik produksi pengetahuan.
Setidaknya inilah yang agaknya menyendirikan pemikiran Katrin dari sejumlah tulisan para kritikus sastra dan indonesianis yang termaktub dalam buku yang dieditori Keith Foulcher dan Tony Day, Clearing a Space: postcolonial of modern Indonesian literature (2002). Meski dalam pengantar Edisi Indonesia Sastra Indonesia Modern Kritik Postkolonial (2008), Manneke Budiman ada menyebut perlunya kritik postkolonial diposisikan sebagai bagian dari praksis dan bukan elitisme akademik baru, namun disebutkannya juga betapa tulisan-tulisan dalam buku itu diasumsikan mengambil “jarak aman” dari subjek kajian untuk menghindari terjadinya bias yang dapat melemahkan objektivitas kajian.
Dan Katrin Bandel tampaknya memilih berada di luar apa yang disebut Manneke dengan “jarak aman” itu, demi memosisikan pascakolonial sebagai bagian dari praksis dan melucutinya dari elitisme orang sekolahan yang kerap penuh ambivalensi—simpati pada mereka tersisihkan oleh sistem yang mendominasi sambil menikmati posisinya yang sejuk-nyaman yang disediakan oleh sistem itu. Kritik sastra pascakolonial yang diyakininya bisa menjadi suatu bentuk perlawanan lebih diartikulasikannya lagi lewat isu yang—bersama Saut Situmorang dan Joernal boemipoetra—selalu disuarakannya, yakni, politik sastra. Sebuah isu yang bersemangat menggugat hasrat dominasi dan kuasa yang berkerja dalam medan sosial sastra lewat berbagai strategi politik jaringan, produksi wacana, atau kecenderungan estetis. Sesuatu yang niscaya ada namun sebaliknya selalu disangkal.
Akhirnya, sebagai kritikus sastra sekaligus indonesianis perempuan, posisi Katrin Bandel menjadi unik sekaligus genting. Sulit ditemukan tulisannya yang tidak sekadar menggugat basa-basi relasi global yang dianggapnya menyelubungi berbagai ketidakadilan. Namun pula yang selalu menaruh kecurigaan besar setiap produksi wacana yang hanya hendak menjadi perayaan. Atau perspektifnya yang kritis dalam kerumunan yang mengelilingi wacana dominan, bak seorang tokoh partai oposisi.
Termasuk ketika kerumunan itu terdiri dari para indonesianis. Di tengah para indonesianis yang berkerumun itu, Katrin seakan sedang membuktikan kebenaran yang menjadi telaah kritis Shelley Walia (Edward Said and the Writing of History, 2001) atas pemikiran Edward Said terhadap Proyek Pencerahan, yakni, keluasan ilmu kolonialisme; produksi kebudayaan yang dirancang agar beroperasi dengan tujuan memeroleh kesepakatan dari si terjajah.
Pilihan Katrin untuk berada di luar “jarak aman”—tak berjarak bahkan ia berpihak—dalam mengoperasikan kritik sastra pascakolonial, tampaknya minta dimaknai sebagai bentuk penolakannya untuk mempraktikan apa yang lazimnya dilakukan oleh kebanyakan kritikus sekolahan dalam perlakuan mereka atas suatu teori, yakni, melulu teori untuk teori. Meski pascakolonialitas dipahami sebagai metode kritik yang menyaran pada kesadaran praksis demi membongkar idelogi kuasa di balik wacana yang dominan, namun umumnya mereka berupaya steril dari berbagai intensi di luar semangat mempraktikan teori untuk teori.
Intensi serupa inilah yang sebaliknya secara terang-terangan dihadirkan dalam tulisan-tulisan Katrin; pascakolonialitas yang dibawa masuk ke dalam berbagai isu dan perdebatan sastra Indonesia kontemporer, dioperasikan ke dalam isu politik sastra sebagai bentuk perlawanan atas wacana yang dominan, bahkan dibawanya ke dalam kesehari-harian untuk mendeskripsikan bagaimana, pinjam istilah Frantz Fanon, rasialisasi pikiran hidup dan dirawat dalam masyarakat pascakolonial.
Pilihan berada di luar “jarak aman”, bahkan terkesan menjadi oposisi, tentu saja membuat Katrin menjadi tak aman dari berbagai tudingan. Sebagai kritikus sastra dan indonesianis ia dianggap sudah terlibat masuk kelewat jauh ke dalam “rumah tangga” sastra Indonesia—yang semestinya ia duduk manis saja di ruang tamu sebagai pengamat yang netral dan berjarak. Sebagai kritikus, kritiknya—terutama terhadap “keberhasilan” Ayu Utami —dinilai sebagai praktik orientalisme dalam bentuknya yang buruk. Di hadapan tudingan inilah dalam esainya “Jerman-Indonesia: Pertukaran Budaya dan Pascakolonialitas”, Katrin ada menulis, “Sebagai orang asing, khususnya orang Barat, sebaiknya saya memosisikan diri di mana?”
Alih-alih dibaca sebagai curhat yang sedih dari orang yang merasa serba salah, pertanyaan itu terasa lebih menekan sebagai bukti dari kondisi sastra Indonesia di tengah psiko-kultural masyarakat pascakolonial yang penuh ambivalensi. Penuh dengan orang sekolahan yang menjadi mimikri dan masih dirawatnya rasialisasi pikiran.
/2/
BERISI duapuluh esai dalam rentang waktu tujuh tahun (2006-2013), buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas (pustaha hariara, 2013) cukup memberi gambaran yang utuh ihwal perspektif pemikiran Katrin Bandel dalam sejumlah isu sastra (di) Indonesia. Termasuk gagasan dan perpektif pemikirannya dalam wacana pascakolonial; bagaimana mengoperasikannya dalam semangat gerakan politik sastra sebagai bentuk praksis perlawanan yang tidak sekadar membingkai-bingkai teori untuk teori. Tetapi, yang seraya itu pula memaktubkan beragam jejak pemikiran mereka yang berdiri di belakang teori pascakolonial; sebutlah, Deridean Gayatri Spivak, pascastrukturalis Foucault, atau ingatan pada relasi teori dan kesadaran kritis Edward Said .
Meski beberapa tulisan Katrin dalam buku ini membahas persoalan yang kini mulai surut, namun jejak pemikiran di dalamnya masih tetap aktual untuk diperbincangkan. Lebih dari sekadar memanggil ingatan pada ihwal ramainya perdebatan seksualitas dalam novel-novel pengarang perempuan Indonesia yang dirayakan dibawah label “sastra feminis, atau politik jaringan dalam medan sastra yang dimainkan Komunitas Utan Kayu (KUK) hingga ke Eropa.
Sejumlah esai Katrin tentang hal tersebut tetap menawarkan cara pandang dan argumen yang menarik. Terutama bila dipakai untuk menelaah bagaimana suatu objek wacana dirancang demi meneguhkan mekanisme dominasi. Sebutlah, seksualitas dan feminisme agar diimani dengan kerangka penafsiran ihwal kemajuan yang universal. Generalisasi dan kerangka penafsiran yang menggunakan standar tunggal, yang monolitik, dan mengabaikan kompleksitas gender dalam konteks historis, budaya, dan kelas.
Di antara duapuluh esai dalam buku ini, lebih dari separuhnya menyinggung novel Saman dan Larung Ayu Utami. Katrin mengepung kedua novel itu dari berbagai sudut; mulai dari teks, gagasan seksualitas dan politik tubuh perempuan, politik jaringan yang membesarkannya hingga ke Eropa, pelabelannya sebagai karya sastra feminis dan pascakolonial, hingga telaahnya ke dalam gaya hidup dan pandangan Ayu Utami terhadap pembebasan seks.
Mengapa Katrin begitu nyinyir dan bersemangat menghabisi, bahkan menguliti Ayu Utami sehingga seakan tak ada seinci pun sesuatu yang berhubungan dengan novel Saman, Larung, dan sosok Ayu Utami yang luput dari hasrat Katrin untuk menghakiminya? Apakah ada yang salah ketika sebagai pengarang perempuan Ayu Utami menating pengalaman tubuh perempuan dalam seksualitas sebagai suatu pembebasan? Apakah itu hanya menjadi hak para pengarang lelaki sebagaimana Linus Suryadi AG mengangkatnya dalam novel yang begitu erotis Pengakuan Pariyem?
Pertanyaan itu lumrah mengemuka namun sekaligus mudah menggiring orang pada sejenis prasangka buruk, terlebih tanpa adanya pemahaman bahwa setiap dominasi akan senantiasa melahirkan penentangan. Dan penentangan dimaksud memiliki haknya yang lebih besar untuk menjadi lumrah, manakala dominasi ditegakkan dengan wacana yang sesungguhnya sedang meneguhkan wacana kolonial. Dan sebagaimana wataknya wacana kolonial, dominasi selalu bekerja dengan sayup dan diam-diam.
Alih-alih melakukan penentangan atau penghakiman dengan bahasa moral dan agama, Katrin masuk menelisik ke dalam teks kedua novel. Pada bagian inilah, dengan menghampiri teks dalam adegan tokoh Shakuntala—yang oleh pula banyak kritikus ditaruh sebagai representasi gagasan Ayu Utami ihwal tubuh, seksualitas, relasi Timur-Barat—Katrin tak menemukan fakta dari pelabelan tersebut. Dengan pendekatan pascastrukturalis yang ketat, ia tak menemukan konteks apa pun dalam pemaknaan pembebasan hasrat tubuh serta seksualitas perempuan sebagai subjek otonom, yang melainkan dirinya dari konteks sosial-historis yang dianggapnya mengekang.
Reduksi atas konteks sosio-historis semacam ini dilakukan demi pembesaran pada satu-satunya ukuran yang ditaruh sebagai kesadaran yang universal. Kesadaran semacam inilah yang oleh Katrin dihadapkan pada apa yang sesungguhnya telah lama dikritisi oleh para pemikir pascakolonial, seperti kritikus feminis Chandra Talpande Mohanthy. Kesadaran yang meletakan perempuan dalam kenyataan yang monolitik, entitas yang homogen, seakan semua perempuan di muka bumi ini menghadapi persoalan yang sama. Kesadaran semacam inilah yang menindas kompleksitas dan menyembuyikan heteregonitas. Kesadaran yang dikontruksi oleh wacana kolonial. Dari konteks inilah Katrim sampai pada kesimpulan untuk menghakimi bahwa kedua novel Ayu Utami tersebut bukanlah karya pascakolonial.
Sebaliknya, ia menilai kedua novel itu justru sedang melanggengkan kuasa kolonial yang menumpang ke balik wacana feminisme. Kedua novel itu seakan tengah menawarkan sugestifikasi kemajuan perempuan yang melulu mendasar pada pembebasan seksual sebagaimana diajarkan oleh feminisme Barat. Kuasa wacana kolonial di situ sedang ditegakkan sebagai mekanisme dominasi lewat selubung feminisme yang diimani oleh para perempuan kelas menengah perkotaan.
Katrin juga menghadapkan kedua novel Ayu Utami sebagai perbandingan dengan karya Pramoedya Ananta Toer (Gadis Pantai), Martin Alaida (Jamangilak Tak Pernah Menangis), Clara Ng (Dimsum Terakhir). Dalam pembahasan karya tersebut Katrin mendekripsikan keluasan karya pascakolonialitas, atau yang berpotensi ke arah itu, yang bisa ditemukan lewat keberagaman konflik, identitas, dan setting budaya yang berhadapan dengan relasi global—yang artinya tidak melulu ihwal perempuan urban dan apa yang mereka puja sebagai pembebasan seksualitas.
Sayangnya, kecuali di Mailling-List, kritik Katrin terhadap kedua novel Ayu Utami tersebut luput menjadi polemik yang berpotensi meluaskan diskursus pascakolonial. Agak aneh, memang, mengapa di antara sekian banyak kritikus sastra yang ramai memberi saweran pujian pada novel Ayu Utami tidak tertarik menanggapi Katrin. Setidaknya meladeninya dalam konteks cara pandang terhadap wacana dan praktik pascakolonial sebagai metode kritik. Bila pun ada Katrin berpolemik itu terjadi dengan dua orang indonesianis di Majalah Orientierungen yang sulit diakses oleh publik sastra Indonesia
/3/
KEDUA novel Ayu Utami dan karya para pengarang perempuan yang mengangkat soal seputar seksualitas sebagai modus produksi baru yang dilekatkan pada isu feminisme—perempuan yang menjadi subjek otonom bagi pembebasan tubuhnya—agaknya menjadi bukti bagaimana sastra Indonesia begitu gugup berhadapan dengan kuasa wacana kolonial. Alih-alih mendaku memproduksi teks pascakolonial, yang terjadi adalah kesepakatan pada pembesaran wacana kolonial yang bergerak secara halus. Musababnya mungkin sederhana, kepercayaan yang kelewat besar pada mitos-mitos kemajuan yang diajarkan oleh produksi pengetahuan negara-negara kolonial. Dan inilah yang turut menjadi pangkal terus berlangsung ketidakadilan dalam relasi global.
Katrin Bandel, dengan pilihannya berada di luar “jarak aman”, di luar kerumunan kritikus sekolahan yang menjadi pemuja teori untuk teori, di luar kebiasaan para indonesianis yang duduk manis di ruang tamu rumah tangga sastra Indonesia; mewanti-wanti bagaimana idelogi kolonial itu bekerja dan menanamkan dominasi, bahkan otoritasnya, terhadap objek suatu wacana ke dalam masyarakat pascakolonial. Termasuk yang dilakukannya melalui lembaga-lembaga yang menjadi inventarisasi simbolik ideologi kolonial juru bicaranya. Lembaga yang bekerja secara halus mengkonversi modal ekonomi menjadi modal simbolik dan modal kultural.
Buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas menjadi menarik bukan hanya untuk melihat bagaimana sejumlah karya sastra Indonesia dengan beragam isunya di hadapkan pada wacana dan kritik pascakolonial, atau bagaimana pascakolonialitas itu dioperasikan sebagai suatu metode kritik yang praksis demi membongkar berbagai hasrat yang bersembunyi di balik produksi pengetahuan yang dianggap seksi—feminisme, politik identitas, tubuh dan seksualitas. Melainkan pula, bagaimana Katrin Bandel, seorang perempuan kulit putih yang terdidik sedang meluapkan “kemurkaannya”—sebagaimana diserukan Spivak—demi menghentikan “naskah keji” yang dilekatkan padanya sebagai keturunan bangsa penjajah.
Oleh sebab itulah, alih-alih memenuhi tugasnya sebagai seorang indonesianis yang seharusnya menjelaskan kebudayaan Indonesia kepada orang sebangsanya (Barat), Katrin lebih memilih membocorkan “rahasia-rahasia” idelogi kolonialisme global (Barat) itu bekerja lewat produksi pengetahuan, dan bagaimana cara melawan mereka.***
Cilame, 19 Maret 2014
**) Ahda Imran, penyair dan eseis, tinggal di Bandung
*) Esei ini merupakan makalah Ahda Imran dalam acara diskusi buku Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, pada 20 Maret 2014
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2014/05/30/pascakolonialitas-katrin-bandel/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar