D. Kemalawati
1. Sekilas Perkembangan Sastra di Aceh
Membicarakan sastra di Aceh, tentu memerlukan uraian yang sangat panjang. Karena daerah ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah, agama dan budaya di Nusantara setidak-tidaknya sejak akhir abad ke-14 terutama abad ke-16 dan 17. Terutama dalam bentuk sastra sufi (tasawuf)—salah genre sastra Melayu dalam tahap awal—yang harus diingat adalah sastra Melayu yang lahir di Aceh adalah ibu sastra modern Nusantara (dalam sekop kecil Indonesia).
Kalau ada sejarah yang berpendapat lain, dapat dikatakan hilang jasa kapak oleh jasa ketam. Kejayaan dalam bidang sastra ini dibuktikan dengan lahirnya tokoh-tokoh sufi tasawuf yang agung, sebut saja Hamzah Fansuri, Samsuddin Pasai, Abdul Jamal, Abdurauf Singkil, Bukhari al-Jauhari, Nuruddi ar-Raniri, dan lain-lain—namun sampai sekarang sastra sufi Melayu terutama dalam bentuk puisi belum dikaji dalam volume yang cukup besar, bandingkan dengan tasawuf puitik Parsi telah diselidiki secara ilmiah dalam bentuk makalah dan buku yang tidak terhitung jumlahnya.
Saya tidak akan penjang lebar membicarakan hal di atas, karena sesuai dengan tema yang diberikan kepada saya, maka saya akan membatasi kajian makalah ini dengan perkembangan sastra di Aceh dalam konteks kekinian—walaupun nantinya sedikit akan membicarakan perkembangan sastra di Aceh serta permasalahan. Saya harap akan timbul diskusi dalam forum ini, sehingga dapat menemukan solusi dalam memecahkan permasalahan tersebut. Selepas kejayaan sastra sufi di Aceh (sampai abad ke-19), maka perkembangan dunia tulis (sastra) yang telah terbina dengan baik mulai memudar. Hal ini, mungkin disebabkan jatuhnya Dalam Sultan (keraton) ke tangan Belanda (awal Januari 1874)—hanya beberapa orang saja yang aktif menulis, salah satu diantaranya Tuwanku Raja Kemala (1880-1930)—Beliau banyak mengarang, menulis, menyalin kitab-kitab agama, nadham, syair dan berbagai karya sastra yang indah serta mengumpulkan dan menelaah karya-karya ulama terdahulu—salah satunya adalah Kitab Akhbarul Karim. Setahu saya, selepas ini penulisan karya sastra di Aceh mengalami kepakuman yang panjang. Barulah muncul lagi jaman Angkatan Pujangga Baru diantaranya A. Hasjmy (saya tidak berani menyebutkan A. Hasjmy sebagai pelopor Angkatan Pujangga Baru di Aceh, karena hal ini memerlukan kajian secara mendalam dan ilmiah, walaupun pada dasarnya Beliau adalah salah seorang penyair yang menonjol dan kreatif), Acmad Rivai Nst, Agam Wispi, A.G. Mutyara, Alisyah, Bakri Siregar, Abu Kasim, Chalidin, Ashalludin, Daman, Harun Rasyid , dan lain-lain. Selepas itu, muncul angkatan pertengahan To’et, LK Ara , M.A. Iskandar, Basri Emka, Fauziah Nurdin, Free Hearty, Hasbi Burman, Barlian AW, Syamsul Kahar, Hasyim KS, Isnu Kembara, Rosni Idham, Nurdin A Rahman, dan lain-lain. Berikut angkatan konflik Fikar W Eda, Muhamad Harun al-Rasyid, Doel CP Alisyah, Helmi Hass, D. Kemalawati, Wina SW1, Wiratmadinata, Nurdin F Joes, Maskirbi, M Nurgani Asyik, Siti Aisyah , dan lain-lain. Terakhir angkatan tsunami yang dominasi oleh anak-anak muda terutama kalangan mahasiswa dan siswa SLTA.
2. Sastra di Aceh Dalam Konteks Kekinian
Sebelum saya membahas tema tulisan bagian kedua ini, terlebih dahulu saya ingin mengklasifikasi berdasarkan tema yang mendominasi setiap angkatan hal ini nantinya berguna untuk melihat kejadian-kejadian (sejarah) yang terjadi di Aceh—karena karya sastra lahir tidak pernah dalam kekosongan, ia lahir akibat refleksi keadaan yang terjadi pada jamannya—waktu karya sastra tersebut ditulis (diciptakan). Angkatan Sufi didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas . Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti . Walaupun pada jaman ini, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama persengketaan antara mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya-karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Pujangga Baru, seperti halnya penyair-penyair angkatan ini di Indonesia didominasi oleh tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu. Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi jaman tersebut. Bermula dari “pemberontakan ” DI/TI yang dipimpin oleh Daud Beureueh pada tahun 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak tahun 1976 yang dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada tahun 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer berakhir pasca tsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM. Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan.
Bencana gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah meluluh-lantakkan sebagain besar wilayah Provinsi NAD dengan menelan korban ratusan ribu jiwa manusia dan kerugian secara material yang tidak dapat dihitung. Sendi-sendi kehidupan diberbagai bidang terpuruk secara drastis, termasuk bidang humaniora yang meliputi bahasa, sastra dan budaya.
Pasca bencana tersebut dengan masuknya berbagai bantuan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri telah membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Terjadinya pembauran budaya secara global telah memberikan dampak yang lain dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Aceh berangsur-angsur mengalami krisis identitas. Padahal globalisasi seperti ini tidak serta merta berarti penggantian segala sesuatu yang lama dengan yang baru. Dalam kenyataannya, baik unsur-unsur lama maupun unsur-unsur baru hadir berdampingan dalam globalisasi.
Dalam situasi seperti ini identitas pun mau tidak mau mengalami pendefinisian ulang. Jika pada waktu lampau identitas dipahami sebagai suatu hakikat yang harus dicari dan ditetapkan dengan tujuan untuk dipertahankan. Kini dalam kondisi seperti ini, identitas barangkali harus lebih dilihat sebagai suatu proses daur ulang yang bukan hanya bertujuan untuk memapankan suatu identitas, melainkan lebih bertujuan untuk mencegah agar identitas tersebut tidak mengalami stagnasi.
Pada sisi lain, ternyata dengan kondisi di atas, orang ingin selalu berkabar pada orang lain tentang apa yang dialaminya serta kondisi lingkungannya. Salah satu cara yang tepat untuk mengungkapkan suasana hati tersebut yaitu melalui media dan media yang tepat adalah melalui karya sastra. Maka bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru—dalam hal ini saya akan menitik beratkan pembicaraan mengenai muka-muka baru tersebut. Secara subtansial tidak dinafikan bantuan-bantuan yang mengalir ke Aceh baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri telah mempengaruhi dunia sastra khususnya. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan, serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan. Mulai dari perkumpulan ibu-ibu PKK, LSM, NGO, Instansi pemerintah dan swasta sampai perkumpulan-perkumpulan yang didirikan oleh anak-anak muda. Secara abstrak kondisi seperti ini sangat mengembirakan kita, dan kita sangat berharap Aceh bisa menjadi sentral budaya dan sastra lagi seperti angkatan sufi. Dalam catatan penulis ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang dalam terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra di antaranya; Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AMuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute, dan lain-lain . Ada lebih dari 40 buku karya sastra hadir di Aceh dan dikemas dengan baik oleh lembaga yang bergerak dalam bidang sastra tersebut. Lembaga yang sebelum terjadinya bencana tsunami lebih pada kegiatan kelompok diskusi kini memperoleh sedikit kemudahan dalam mendokumentasikan karya sastra para sastrawan Aceh, baik yang menetap di Aceh maupun mereka yang di luar Aceh. Kepedulian terhadap sastrawan senior meskipun mereka telah tiada terlihat pada beberapa buku karya mereka yang telah diterbitkan kembali, seperti karya Hasyim KS, karya Maskirbi, juga karya Nurgani Asyik.
Penerbitan karya sastra ini pun beragam adanya, mulai dari antologi puisi bersama seperti: 8.9 Skala Richter Lalu Tsunami (Bangkit Aceh, 2005), Ziarah Ombak (Lapena, 2005), Lagu Kelu (ASA, 2005), Lampion (Lapena, 2007), dll. Buku puisi tunggal pun bermunculan, seperti: Surat Dari Negeri Tak Bertuan (D Kemalawati, Lapena 2006). Nyanyian Manusia ( Mohd Harun Al Rasyid, Lapena 2006), Nyanyian Miris (Doel CP Alisyah, ASA 2007), Agam Dengan 99 Nama (Wiratmadinata, Aneuk Mulieng Publishing 2007), Garis (Wina SW1, Lapena 2007), Tarian Cermin (Mustafa Ismail, ASA 2007), Suatu Malam di Rex (Hasbi Burman, ASA 2007). Beberapa Novel yang berkisah tentang konflik dan tsunami juga dapat kita temukan seperti: Tungku (Salman Yoga, Aneuk Mulieng Publishing , 2006), Malam Memeluk Intan (Sulaiman Tripa, Flp 2005), Seulusoh (D Kemalawati, Lapena 2007), Akhirnya Senja (Sulaiman Tripa, Lapena 2007), dll. Beberapa penulis novel Aceh mempercayakan penerbitan karyanya kepada penerbit di luar Aceh seperti Arafat Nur dan Ayi Yufridar.
Beberapa buku sastra Aceh juga telah dialihbahasakan ke beberapa bahasa, bahkan ada yang berani menulis dalam bahasa Aceh, Indonesia dan Inggris. Beberapa kumpulan cerpen hadir dengan memikat seperti: Pada Tikungan Berikutnya (Musmarwan Abdullah, Lapena 2007), Sarenade Senja (Nani Hs, ASA 2007), dll. Ada juga beberapa kumpulan tulisan yang dituliskan tentang budaya, Yang menarik adalah adanya beberapa kelas menulis yang dikelola oleh lembaga-lembaga swasta yang kemudian membukukan karya para siswanya seperti: Dandelion (Amuk, 2007), Gampong Dalam Goa ( Aneuk Mulieng Publishing, 2006), Biarku Bercinta Sendiri (Lapena, 2007), dll.
Penerbitan buku karya sastra justru lebih menggeliat pascatsunami. Ketika konflik memang ada beberapa buku sastra yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian baik Dewan Kesenian Aceh maupun Dewan Kesenian Kota Banda Aceh, seperti Keranda-keranda, Dendam Airmata, Remuk, dll dari Dewan Kesenian Banda Aceh (DKB). Ada juga majalah Tingkap serta antologi Putro Phang dari Dewan Kesenian Aceh (DKA), tetapi tentu tidak sebanding dengan pascatsunami yang justru penerbitan lebih banyak dari lembaga yang bergerak dibidang kebudayaan. Menarik memang, masing-masing lembaga telah bergeming dan terus berbuat meski ada diantaranya yang mengandalkan laku buku di pasaran dan dengan dana minim berani mengambil resiko menerbitkan buku sastra yang konon susah sekali terjual. Tentu ada juga lembaga yang telah punya panding besar hingga memudahkan membiayai penerbitan. Tapi yang utama dari semua ini adalah Saling mendukung antara penerbit yang notabenenya diurus oleh para sastrawan ataupun mereka yang sangat cinta terhadap karya sastra.
Penghargaan terhadap karya sastra juga kelihatannya mulai membaik dengan adanya Anugerah Sastra dari pemerintah NAD, meski kalau dinilai dari nominalnya tidak seberapa. Melalui Dinas Kebudayaan pemerintah Aceh juga memberi peluang kepada para penulis cerita anak, hikayat, pantun dll, untuk mendokumentasikan karyanya dalam bentuk buku. Ada juga peran yang meskipun tak sebanding dengan rekontruksi bidang pisik yang diberikan oleh Badan Rehabilitasi Rekontruksi (BRR NAD-Nias) dalam hal karya dan apresiasi karya sastra, seperti dukungan BRR pada kegiatan Sastrawan Masuk Sekolah (Lapena, 2006). Kegiatan ini melibatkan 37 sastrawan Aceh masuk ke sekolah di setiap kota kabupaten se Nanggro Aceh Darussalam. Kegiatan yang disambut positif di seluruh kota itu tidak hanya melibatkan sastrawan yang berdomisili di Banda Aceh sebagai ibukota Propinsi, juga melibatkan sastrawan daerah dan merupakan ajang temu penulis yang sangat bermanfaat untuk mensosialisasikan karya sastra ke daerah-daerah.
Hampir semua lembaga yang bergerak di bidang sastra menggeliat tidak hanya di Banda Aceh tetapi juga hingga ke daerah-daerah. Tikar Pandan dengan beberapa jaringannya memiliki program mengembangkan sastra tutur dengan melibatkan Agus Nuramal dengan PMTOH-nya disamping menerbitkan karya sastra baik dari hasil sayembara maupun karya para lulusan sekolah menulis Do Karim. Nampaknya sekolah menulis Do Karim telah memulai genre baru dalam penulisan sastra di Aceh.
Adapun tema yang mengalir dari angkatan tsunami ini sangat beragam, walaupun pada awalnya didominasi tema tragedi kemanusiaan (tentang korban tsunami) dan ketuhanan (kepasrahan). Namun seiring dengan waktu—dalam konteks kekinian tema-tema tersebut tidak lagi didominasi tema-tema di atas, tetapi sudah diperkaya dengan tema-tema menggugat (ketidak-adilan pemerintah), serta tema-tema umum lainnya.
3. Permasalahan yang Dihadapi
Berangkat dari catatan yang menggembirakan di atas ada beberapa kendala yang dihadapi dari lajunya perkembangan sastra di Aceh. Dan saya yakin kendala ini akan menjadi bom waktu yang suatu saat bisa meledak dan “meluluh-lantakkan” lagi perkembangan sastra di Aceh. Untuk lebih jelasnya saya akan membagi-bagi kendala yang dihadapi dan akan dihadapi oleh sastra di Aceh ;
1) Faktor pemerintahan; dengan banyaknya bantuan yang mengalir ke Aceh seperti yang telah disebutkan di atas, sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah—baik pemerintah pusat maupun daerah. Nampaknya pemerintah sampai saat ini hanya menitik-beratkan pembangunan di Aceh dalam segi fisik saja. Dan “menganak-tirikan” pembangunan batin, dalam hal ini termasuk pembangunan budaya dan sastra di Aceh. Tentu saja hal ini, merugikan perkembangan sastra khususnya. Saya yakin kalau hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka Aceh akan kehilangan jati diri dan kebudayaannya akan “dijajah” oleh kebudayaan asing.
2) Faktor ketergantungan: pada umumnya perkumpulan-perkumpulan yang eksis di atas, secara material mengalami ketergantungan pada lembaga-lembaga panding baik lembaga yang dikelola pemerintah (BRR), maupun bantuan dari luar negeri. Ketidakmandirian ini, saya rasa sangat merugikan karena suatu saat lembaga-lembaga panding tersebut meninggalkan Aceh, maka dapat kita tebak ada dua kemungkinan yang akan terjadi; (1) tetap eksis tapi berjalan dengan tersendat-sendat, dan (2) membubarkan diri.
3) Faktor media massa; kelahiran karya sastra di Aceh tidak diimbangi oleh kebijakan lokal yang diterapkan media massa padahal media massa sangat penting untuk menyalurkan (mempublikasikan) karya-karya tersebut. Hal ini, berdampak pada “mati”nya kembali bibit muda yang telah terbina karena faktor membuat mereka tidak punya wadah untuk menampung karya dan apresiasi mereka.
4. “Kemiskinan” Kritikus Sastra di Aceh
Sebenarnya pembahasan ini masuk dalam pembahasan ketiga, tetapi sengaja saya uraikan dalam pembahasan tersendiri. Dengan alasan kondisi ini tidak saja melanda sastra di Aceh tapi juga sastra di Indonesia secara umum. Kita sangat berharap lahirnya para “pembedah” sastra dari kalangan akademik. Tapi kenyataannya tidak sedikit peminat sastra yang merasa kecewa melihat perkembangan kritik sastra dewasa ini, khususnya yang berlaku dan dilakukan di lingkungan akademis. Yang diharapkan dari kritik sastra adalah suatu kritik, yakni suatu tanggapan yang mengandung penilaian tentang baik-buruk, tinggi-rendah mutu dan berhasilnya tidaknya karya sastra yang secara konkret dihadapi penelaah. Harapan tersebut tidak terkabul karena yang disibukkan para dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi adalah pemahaman berbagai teori sastra modern yang kebanyakan bersifat formalitas, yang mengandung deskripsi umum tentang kesusastraan dengan gejala-gejala khas yang melekat padanya. Ditekankan juga pada kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Derajat ilmiah ini yang menjadi sasaran pokok pada kritik sastra yang akademis.
Justru dengan menitikberatkan teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra. Yang berlalu adalah deskripsi secara ilmiah, artinya yang objektif, sistematis dan rasional, dan dikesampingkan unsur-unsur pendekatan yang biasa kita jumpai dalam kritik sastra sebelumnya, seperti kepekaan pada penelaah, penghayatan atau empati, bahkan pencarian nilai atau pelibatan masalah sosial dan budaya.
Ketika “kemiskinan” dibiarkan serta problem yang dihadapi kalangan akademis tersebut tidak dapat diatasi, maka kita jangan berharap terlalu banyak tentang penilaian mutu karya sastra kita. Dan jangan pernah disesali kalau karya sastra kita tidak akan pernah mampu bersaing secara global. Saya sebagai pelaku seni sangat “bermimpi” lahirnya kembali HB Jassin, Sastro Wardojo, Sapardi Djoko Darmono yang baru. Semoga!
Banda Aceh, Desember 2007
https://www.facebook.com/notes/raudah-jambak/konstelasi-sastra-aceh/216327385073635
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar