Awalludin GD Mualif
Seorang bijak pernah dalam doanya senantiasa meminta kepada Sang Penguasa Alam agar ia tidak di takdirkan hidup disuatu masa yang memiliki arti penting. Sebab kita bukan orang bijak, Yang Maha Kuasa pun tidak mengindahkan kita dan kita pula hidup pada masa yang memiliki arti penting. Dalam segala aspek bidang, jaman kitalah yang mendorong kita untuk menjadikan dan mengenalkan arti masa yang penting ini. Bagi seorang kreatif saat ini paham akan fenomena ini. Saat waktunya mereka membuka suara, kritikan dan serangan akan menghantam, ketika mengambil sikap santun dan apatis, mereka dicela/dihina tanpa ampun.
Kata “seni” juga digunakan dalam metabolisme tubuh, yaitu aktivitas mengeluarkan cairan melalui saluran kemih, yakni air seni. Sudah barang tentu, pengertian kata “seni” dengan “air seni”, keduanya berbeda makna, tetapi dalam arti lain bisa jadi mempunyai kesamaan. Seniman demi menuntaskan hasrat dalam diri melalui karya menggapai kepuasaan, sedang orang yang kencing pun sama. Benang merah diantara kedua kata bermakna berbeda ini adalah: keduanya sama-sama melepaskan sebuah hasrat, dimana ketika dalam proses pembuangan/pelepasan ide karya bagi seniman dan gangguan saluran air kencing terjadi sumbatan-sumbatan bisa jadi ketidaknyamanan dan rasa sakit akan hadir memeluk.
Di tengah-tengah kahanan yang semakin kacau balau semacam ini, seorang kreatif tidak dapat berpangku tangan demi mengejar pantulan bayangan kebanggaannya. Sampai detik ini, berdiri diatas kaki keyakinan diri selalu tercatat dalam sejarah. Jika ada tidak ada persetujuan akan sebuah gagasan yang dilemparkanya pilihanya selalu diam atau mengkaburkannya dengan hal-hal lain. Jaman sudah beranjak bertambah semakin menua dan berdiam diri pun akan menimbulkan mara bahaya. Sebenarnya saat tidak menjatuhkan sebuah pilihan pun sesungguhnya dianggap telah memilih, dan dinilai atau dihormati sebagaimana halnya sikap lainya, maka para seniman akan mau tidak mau dipaksa atau terpaksa untuk berkarya. “Terpaksa atau “dipakasa” lebih bijak dibandingkan “melibatkan diri”. Seniman tak lagi menciptakan sebuah karya berdasarkan kontemplasi dan kedalaman perenungan yang terpancar melalui karyanya, tetapi lebih cenderung mirip melaksanakan sebuah kewajiban. Hampir sebagian besar seniman masa kini tampaknya lebih terikat pada teori tuan dimana ada budak yag selalu siap menerima perintah dari sang tuan. Mereka seolah-olah dipaksa pada sebuah kenyataan yang jauh dari alam imajinasi dan kata hati. Kalaupun tersisa alam-alam itu telah terkontaminasi sisa-sisa kotoran masa lalu. Sedang pemilik budak berlomba-lomba dengan sang tuan dengan kenyataan yang tersembunyi dari balik kegagahan yang tampil di panggung depan. Pemilik budak sudah sangat terlampau banyak dan mereka sulit untuk dikendalikan. Jaman seolah menghamparkan jalan penuh duri dan kita berada diperjalanan yang sakit. Seniman, seperti juga yang lainya harus terus berjalan tanpa perlu merasa sakit-dengan kata lain, terus hidup dan berkarya atau hilang ditelan jaman.
Jika kita semua mau jujur tentu saja fenomena seperti ini bukanlah hal mudah, dan kita mencoba untuk dapat memahami mengapa para seniman seringkali mencari dari masa-masa lalu yang penuh kenyamanan. Roda perubahan jaman tidak mengenal ampun ia menggilas apapun yang dilewatinya. Memang panggung sejarah bisa jadi berisikan laras panjang dan binatang buas. Yang pertama memimpikan kenyamanan kekal, yang kedua bersuka cita dengan daging, tulang dan bangkai sejarah. Para seniman lebih berada ditepi panggung. Bisa jadi mereka berdendang untuk menghibur diri, atau stidak-tidaknya menyemangati laras panjang dan membuat hewan buas kehilangan nafsu makan. Kini seniman berdiri dipanggung utama, namun genderang suara yang di gemakan sudah berbeda: tidak kuat dan lantang seperti sebelumnya.
Akankah seni menjadi hilang dengan kewajiban berkarya serupa itu. kebebasan, misalnya, terasa sangat nampak nyata pada karya-karya The Beatles. Akan begitu mudah dimegerti mengapa karya-karya seni sekarang seolah tampak monoton dan tidak bertahan lama. Jika kita amati secara sederhana tampak jelas sepertinya sekarang ini lebih banyak jurnalis dari pada pengarang kreatif, pelukis pop daripada potret dirinya Afanndi, novel-novel iklan dan cerita roman picisan lebih melimpah dibandingkan karya setaraf Triloginya Pramodya Ananta Toer. Sudah barang tentu orang akan meratapi masa lalu. Hal yang sangat manusiawai. Pengalaman yang mendebarkan dalam sejarah perjalanan manusia adalah nasib yang tak pasti. Nasib kadang serupa papasan ditangah jalan, tanpa direncanakan. Setiap orang mempunyai pertimbangan sediri-sendiri dan terkadang akal sehat seringkali menjadi lumpuh, tak berdaya seperti tidak berdayannya tokoh “Aku” dalam cerpen Relung Telinga Kurnia, yang mengolah selingkuh tak sampai. Juga Ihsan, tokoh cerpen Iwan Kelana dalam “Mobil Impian” yang sepanjang hidupnya berjuang untu memiliki mobil, tetapi begitu mobil terbeli, Ibunya pun mati. Sehingga Ihsan hanya bisa merintih, “Ibu, akhirnya aku berhasil mengajakmu naik mobil impian kita, walaupun sekarang ibu telah tiada…”
Seperti itulah nasib seniman dan atau pelaku bidang liyan, sebuah tikungan yang tak diketahui ujungnya. Karena hanya satu nasiblah yang telah memilih, kita tak bisa menghindar. Kita mengikuti alur nasib itu. “Perkaraku mengikuti alurnya,” bisik Mersault, tokoh Albert Camus dalam novel Orang Asing. Alur nasib itu juga yang membuat Kamalludin Armada berjalan ke kuburnya sendiri. Dalam cerpen Malam Kelabu, Martin Aleida mengisahkan Armada yang melangkah berbunga-bunga, ke kampung gadis pujaanya-mereka hendak menikah. Tapi “Malang tak dapat ditolak, untung pun kamu tetap mati,” Kata Agus Noor dalam cerpennya Pesan Seorang Pembunuh. Dan malanglah yang datang pada Armada: kekasih dan keluarganya tumpas, karena ber-ayah PKI. Kamalludin merasa dihempaskan, direnggut dari harapaya. Ya, nasib meliuk dari kedua tanganya. Lalu sikap yang manakah yang bisa kita jadikan alternatif bagi sebuah keberlangsungan, menyesuaikan diri pada jaman? Sebab demikianlah yang dituntut oleh jaman, dan dengan lapang dada serta penuh ketenangan bahwa periode seniman sebagai jenius, sudah lewat. Saat sekarang, bisa “jadi” berkarya berarti berkarya dalam bahaya. Setiap Pengenalan adalah tindakan dan setiap tindakan memaksa orang untukk berhadapan dengan gairah jaman yang tak mengenal ampun. Oleh karenanya pertanyaannya, bukan lagi apa tindakan demikian seni atau tidak? Dan dapat lahir pertanyaan bagi semua orang yang tidak bisa hidup tanpa seni dan maknanya bisa jadi, bagaimana mungkin banyaknya aturan dan bertaburanya ideologi (juga agama) kebebasan mencipta bisa terwujud?
Dalam kontek ini tidak hanya cukup mempertanyakan bahwa seni terancam oleh sebuah kekuasaan suatu Negara. Jika memang demikian, soalnya jadi sederhana: seniman harus berontak atau menyerah. Tetapi permasalahanya lebih komplek dan berat, apalagi jika disadari pertarungan itu ada dan terjadi dalam diri seniman itu sendiri. Kebencian pada seni seperti yang terjadi pada tahun 1966 “Pengadilan seniman” di kota Bandung atau yang terdapat di masyarakat kita tentang, dan atau kurang memahaminya mereka pada sebuha karya seni serta senimannya. Pertanyaan terhadap seni oleh seniman memiliki banyak sebab. Tetapi hanya yang paling penting yang seyogyannya menjadi bahan pertimbangan, yakni perasaan berdusta dan mengobral kata-kata tanpa makna/arti, yang ada pada seniman masa kini bila tidak mengabaikan kemalangan sejarah. Berbagai cara yang ditempuh oleh massa berserta keadaan buruknya seolah menjadi ciri jaman ini. Dan ketika menjadi lebih sadar hal itu bukanlah karena kasta (keningratan) kita, entah artistik atau tidak, menjadi lebih baik-bukan, bukan itu-namun karena massa sudah mempunyai sudut pandang tesendiri, mejadi rem, “hakim” serta penginggat supaya orang tidak lalai akan hal itu.
Masih banyak alasan lainya, beberapa diantaranya masih bisa diabaikan, tidak begitu penting dan bergantung pada senimannya sendiri. Tetapi perlu digaris bawahi, apapun alasanya semua bermuara pada satu titik; mencegah penciptaan karya bebas dengan mengabaikan prinsip-prnsip dasarnya, yakni kepercayaan diri sang pencipta. “Kepatuhan seseorang pada kejeniusanya adalah keyakinan yang paling murni” kata emerson. Dan seorang penulis Amerika menulis “Sepanjang manusia setia pada dirinya sendiri, semua akan patuh kepadanya-pemerintah, masyarakat, matahari, bulan, dan bintang” lalu dimanakah optomisme hebat ini sekarang? Sudah punahkah? Tidak sedikit seniman malu terhadap dirinya dan kemampuannya, bagaimana jika diajuka pertanyaan pada dirinya sendiri: apakah seni itu kemewahan yang terselubung?
Jawaban sederhana yang mungkin bisa dijadikan sebuah refleksi adalah: pada suat masa seni memang kemewahan terselubung, ia berdiri gagah di dinding-dinding indah para hartawan, menggema di ruang kedap suara penuh dengan aroma parfum berkelas. Bisa saja mereka berbicara tentang masalah sosial, sambil ditemani segelas anggur sementara para budak masih berkeluh keringat, telinganya mendengar tetapi hanya sebatas dari kejahuan. Sebagaian lainya bertarung demi sesuap nasi hingga memenuhi ruang penjara, sementara transaksi jutaan, hingga milliar rupiah berlangsung penuh tawa di ruang berbeda. Apakah dihadapan banyak penderitaan, seni hendak tetap bersikap mewah. Itu sama saja dengan omomg kosong.
Lalu apa yang harus disuarakan oleh seni? Jika seni menyesuaikan diri dengan mayoritas keinginan masyarakat, ia hanya akan menjadi reaksi tanpa arti. Jika seni membabi buta saja dan menolak keinginan masyarakat, senimanya hanya mengutamakan mimpi, ia hanya jadi penentang segala sesuatu. Dengan sebab beginilah kita hanya akan memiliki “kumpulan penghibur dan ahli bahasa resmi”. Keduanya menyingkirkan seni ke suatu tempat yang asing dari yang terasing (kenyataan hidup).
Masyarakat kita saat ini menuhankan Uang sebagai sebagai lambang yang abstrak dari kekayaan, bukankah hal yang seperti ini bisa dikatakan sebagai masyarakat yang mengubah benda menjadi isyarat dan tanda belaka. Jika kelompok pemilik modal telah mengukur kekayaannya dengan luasan tanah dan tumpukan rupiah melimpah, ini sama halnya seorang bodoh berkotbah di hamparan semesta. Masyarakat yang dibangun dengan model seperti ini hanyalah masyarakat jasmaniyah semata yang menganggap kebenaran diukur dari sesuatu yang nampak dengan mata kepala. Jadi bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila pola semacam ini melahirkan sebuah aturan-aturan formal sebagai keyakinannya mencari Tuhan dan memilih kata-kata “kebebasan” dalam sekat dan atau penjara-penjara di gedung lembaga penghasil harta kekayaannya. Kata-kata kebebasan dijadikan landasan untuk menindas dan berlaku sewenang-wenang untuk membenarkan tindakannya. Hal ini berakibat masyarakat yang membutuhkan seni sebagai alat kebebasan hanya menjadikannya alat hiburan saja. Bukankah ini menghawatirkan? Masyarakat mapan hanya menyibukan dirinya dengan kesulitan finansial dan sentimental, sedang disisi lain masyarakat menengah terkantung-kantung mengikuti arusnya dan masyarakat bawah hanya dijadikan penonton yang sewaktu-waktu bersorak-ria dan bertepuk sebelah tangan.
Dengan demikian tidak mengherankan juga jika para pencipta seni di Indonesia pada era 1900 memilih sikap tanpa tanggung jawab, sebab sikap itu akan membuatnya terbuang dan dikucilkan dari lingkunganya bahkan oleh Negara seperti halnya Pram, Ws. Rendra, Muchtar Lubis, Sapardi DJoko Darmono dll. Akibatnya lahirlah UUD Pornografi dan Pronoaksi. Atas hal inilah bisa jadi salah satu faktor penyebab seni yang tercipta dari seniman adalah semu belaka bagi masyarakat yang tersekat-sekat dan lebih memilih individualistik. Akibat darinya seni yang berkualitas tinggi/bermutu dapat dinikmati orang. Sementara karya-karya yang mengenyangkan perut pemilik modal yang terus menyuapi industri dari apa yang telah dirancangnya justru semakin diminati khalayak banyak.seolah-olah seni tercerabut dari akarnya. Dalam sebuah perjumpaan di sebuah ruang diskusi ST Sunardi mengungkapkan kegelisaahanya, “apakah kita semua berani untuk kembali mengkoreksi kalau yang seniman ternyata bukan seniman dan yang bukan seniman ternyata seorang seniman” secara perlahan seorang seniman, bahkan yang sudah ternama akan terasing, atau paling banter dikenal oleh masyarakat umum melalui media-media, baik massa ataupun eletronik yang bisa dapat dipastikan akan sangat menyederhanakan gagasan sang seniman sebagai bumbu penikmat bagi para pembaca dan pendengarnya. Seniman dengan karyanya semakin dijauhkan dari apa yang telah ia idekan. Sebab jutaan penonton, pembaca atau pendengar mengenalnya karena memiliki istri lebih dari satu dan atau seorang seniman tersebut membangun rumah besar dan beritindak diluar seni dengan dan atau mengatasnakaman karya seninya seolah inilah konsep dikenalnya seniman. Bukan dari karya-karya yang dihasilkanya. Dan ia dituntut untuk mengikuti apa kata media yang tidak hanya jadi konsumsi seluruh lapisan masyarakat tetapi telah jadi suatu kebenaran bagi sebagian besar masyarakat. Apakah pernah terlintas, sebenarnya alam pikiran masyarakat, saraf-saraf otak yang bekerja dan dalam hati rakyat sangat bergantung pada apa yang dilihatnya setiap hari. Jika diatas langit ada lauhul Mahfudz di bumi ada media massa. Oleh karenanya seniman bisa menyerahkan dirinya pada pada para pemilik media tersebut.
Kerinduan akan sosok seniman yang mampu melahirkan karya besar dan mampu memberikan sebuah peran penting pada kehidupan bermasyarakat mungkin hanya tinggal sebuah angan-angan yang terbang ke atas awan dan dengan satu kali sapuhan angin terhempas entah, sejarah mencatat mahakarya seniman Nusantara yang tidak hanya lahir dari sebuah perenungan, daya cipta, kreativitas dan imajinasi tinggi tapi juga mempunyai nilai bagi kehidupan. Wayang misal: yang sudah ada sejak abad ke 15 misal, yang memadukan bentuk seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan. Kolaborasi dalam satu bentuk sajian yang menggugah keasadaran bagi masyarakat. Hanya ingin mengatakan apa yang disampaikan ST. Sunardi dalam sebuah ruang diskusi bertemakan “Seni sebagai Peristiwa” seniman: berangkat dari kekosongan menuju kepenuhan (emptiness) dan menjadi sumber inspirasi bagi siapapun penikmatnya tidak mengambarkan dan atau “kesakitan” dalam proses hingga turun dalam bentuk karya. Masih akan menjadi pertanyaan tentang ke-senimanannya jika karya-karyanya melahirkan kesakitan. Semakin terbangun dinding tinggi diantara seniman dengan masyarakat dalam sekat-sekat yang dihadirkan tanpa atau disadari oleh pelaku dunia kreativ. Jika kita menengok ke catatan sejarah yang ada karya seni yang dihasilkan oleh seniman mampu berbaur dengan masyarakat umum dengan cara-cara berbeda dan interaksi dalam bentuk estetis.
Lalu abu-abu dunia seni bertumpuh pada yang mana? “kepalsuan” telah menjelma menjadi ide seniman atas tuntutan keadaan yang semakin tak terkendali atau masih tersisa sebuah kejujuran darinya? Sejatinya hanya seniman yang mengetahui karyanya, sedang lainya hanya mampu menjangkau dalam persepsi sesuai batas kemampuan masing-masing. Seperti halnya film. Apa yang disajikan bukanlah kebenaran sesungguhnya. Ia hanya refleksi dari ide yang hanya mewakili sebagian kenyataan yang coba untuk dihidangkan. Sedang film sesungguhnya adalah dunia berserta isinya dengan camera tersebar dimana-mana dengan sutradara Sang Maha Seni.
***
June 21, 2016.
http://sastra-indonesia.com/2017/09/sangkar-emas/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 20 September 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar