Budi Hutasuhut
facebook.com/budiphatees
SEJAK polemik soal proyek buku puisi esai Denny JA
berlangsung di jejaring media sosial, dimana saya pernah menulis status yang
intinya mempertanyakan isi kepala sastrawan Sumatra Utara yang memposisikan
diri sebagai “anjing penjaga atas gagasan Denny JA”, saya menerima ajakan
pertemanan dari sebanyak 500 orang di Facebook. Mereka berasal dari seluruh
Indonesia, dan saya mengenali sebagian dari mereka sebagai intelektual sastra
(saya pakai istilah ini untuk menyebut orang yang punya minat khusus terhadap sastra),
sebagian lannya adalah orang-orang yang tertarik tentang sastra.
Para teman baru di Facebook itu mengajukan pertanyaan
yang hampir seragam tentang “siapa sebetulnya Denny JA dan kejahatan apa yang
telah dilakukannya terhadap rumah tangga sastra Indonesia”. Ada juga yang
mengajukan pertanyaan, kenapa saya—juga para sastrawan yang menentang Denny
JA—suka memakai kata-kata kasar setiap kali menanggapi kalangan yang pro
terhadap Denny JA.
Pertanyaan itu membuat saya berpikir ulang bahwa
sebetulnya masyarakat belum tahu duduk persoalan terkait apa sebetulnya yang
telah dilakukan Denny JA, sehingga orang itu layak untuk tidak mendapat tempat
dalam kesusastraan Indonesia. Sebab itu, saya akan membicarakan karya Denny JA,
terutama terkait pembelaannya yang luar biasa terhadap kaum gay sekaligus
penghinaanya yang luar biasa terhadap agama Islam.
Saya membicarakan film pendek “Cinta Terlarang Batman dan
Robin” garapan Hanung Bramantiyo. Film ini bercerita tentang kisah cinta antara
Amir dan Bambang. Amir digambarkan seorang yang rajin beribadah, digambarkan
punya “kelainan seksual genetis” menyenangi pria. Amir menikahi dua wanita
–sesuai pesan ibunya agar segera menikah—dan pernikahannya kandas, karena dia
mencintai Bambang, seorang gay yang akhirnya menjadi aktivis gay internasional.
Naskah “Cinta Terlarang Batman dan Robin” ini ditulis
Denny JA. Naskah ini menjadi salah satu kisah yang bisa ditemukan dalam
bukunya, Atas Nama Cinta (2012), yang oleh Denny JA disebut sebagai “puisi
esai”. Bagi Denny, “puisi esai” ini sebuah inovasi dalam kesusastraan
Indonesia, karena “puisi esai” memungkinkan pengarang menulis semua hal dalam
kehidupan manusia dengan lebih mudah dan pembaca lebih bisa menikmatinya.
Denny JA meyakini, sastra harus dimengerti oleh
masyarakat dengan asumsi bahwa selama ini masyarakat tidak mengerti tentang
sastra. Dia memperkuat asumsinya dengan melakukan riset tentang apakah
masyarakat memahamkan karya-karya Chairil Anwar dan Rendra, yang kemudian
memperoleh hasil bahwa masyarakat sulit memahamkan karya para sastrawan itu.
Dengan asumsi seperti itu, Denny JA mengaku merumuskan
sebuah teknik menulis karya sastra yang dia sebut “puisi esai”. Dengan teknik
itu, seorang sastrawan bisa menulis puisi bergaya esai, atau menulis esai
beraroma puisi. Tapi, bagaimana Denny JA mendefenisikan apa yang dia sebut
“puisi esai” menjadi satu kesatuan yang utuh tanpa memilah-pilah menjadi
defenisi “esai” dan defenisi “puisi”.
Yang jelas, Denny JA langsung menunjukkan contoh “puisi
esai”, yakni tulisan-tulisan yang ada dalam bukunya, Atas Nama Cinta, itu.
Sebelum Denny JA menerangjelaskan defenisi “puisi esai”, dia membayar sejumlah
intelektual sastra untuk menanggapi buku Atas Nama Cinta itu.
Sudah tentu, para intelektual sastra lebih melihat
persoalan teks, dan terjebak dalam garairah memuji teks itu. Dari aspek teks,
cerita-cerita dalam Atas Nama Cinta bukan teks yang njilemet, tapi terang jelas
membicarakan tema yang dipersoalkan. Sebagai wacana, teks-teks itu lebih mirip
laporan jurnalistik dalam teknik jurnalisme sastrawi.
Disebut begitu, karena kisah-kisah itu berpretensi
sebagai memimesis alam semesta (kejadian yang sedang terjadi di masyarakat),
yang didukung fakta-fakta otentik dengan daftar referensi. Itu sebabnya, “puisi
esai” memiliki catatan kaki, dan Denny JA menganggap keberadaan catatan kaki
itu sebagai hal baru dalam sastra Indonesia.
Kembali kepada film “Cinta Terlarang Batman dan Robin”,
Denny JA ingin menegaskan bahwa nilai-nilai agama Islam yang melekat dalam diri
Amir tidak mampu menyelamatkannya untuk terbebas dari siksaan sebagai penderita
gay. Bagi Denny JA, gay adalah penyakit keturunan dan tidak akan bisa
disembuhkan, seolah-olah Denny JA adalah penderita penyakit keturunan bernama
gay. Artinya, Denny JA membuat simpul bahwa gay itu penyakit yang diwariskan
secara turun-temurun, sehingga mereka yang menderita penyakit gay itu harus
diberi perhatian khusus dan diperlakukan manusiawi.
Denny JA mengajak masyarakat menerima para gay dengan
terbuka. Ajakan yang lebih menunjukkan ketidakpahamannya tentang gay. Tapi,
saya pikir, Denny bukan tidak paham tentang gay, melainkan memang ingin merusak
pengetahuan dan pemahaman pembaca bahwa gay harus diterima dalam masyarakat
Indonesia. Ajakan menerima gay apa adanya itu sebagai pengabaian atas kitab
suci Quran, karena orang yang alim seperti Amir saja tidak bisa tertolong oleh
kealimannya.
Gay bukan persoalan gen. Denny JA tahu soal itu. Tapi,
Denny JA menulis “Cinta Terlarang Batman dan Robin” bukan sekadar menyajikan
bahan bacaan yang bisa dinikmati masyarakat tanpa perlu mengirutkan kening
seperti ketika mereka membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, tapi memilih
karya sastra sebagai medium menyampaikan gagasan tentang liberalisme,
sekularisme, dan menjauhkan bangsa Indonesia dari nilai-nilai agamanya.
Denny JA tampaknya memiliki kebencian terhadap Islam.
Pasalnya, cerita-cerita dalam Atas Nama Cinta berisi kisah tentang orang-orang
yang menderita karena menganut agama Islam. Dia menulis tentang kisah cinta
Romi dan Yuli dari Cikeusik yang merupakan komunitas Ahmadiyah, yang bertarung
dengan masyarakat anti-Ahmadiyah. Pertarungan yang dijadikan alasan faktual
untuk menghina para penganut agama Islam sebagai masyarakat yang tidak
menghargai kemerdekaan dan kebebasan.
Meskipun Denny JA menghina Islam secara vulgar, namun
pilihan strategi teks lewat puisi esai membuat dia terselamatkan. Segala bentuk
protes terhadap Denny JA akan berhenti ketika dia bicara tentang puisi sebagai
karya fiksi. Tapi, dia akan memakai istilah “esai” untuk membenarkan bahwa
seluruh karyanya bicara tentang fakta. Dengan kata lain, Denny JA memilih
menyebut “puisi esai” sebagai tameng untuk melindungi dirinya dan gagasan
liberalnya sehingga dia bebas melecehkan agama Islam dan mengajak orang-orang
Islam itu sendiri untuk menjadi pengikutnya.
Betapa bodohnya muslim yang menghina agamanya sendiri.
Dan, bagi saya, terhadap siapa saja yang menghina agama Islam--atau menghina
agama apa saja di negara--layak dipakai kata-kata kotor untuk menghajar mereka.
25 Jan 2018
*) Budi Hutasuhut atau Budi P. Hatees
Tidak ada komentar:
Posting Komentar