Goenawan Mohamad
Catatan Pinggir, Tempo, 15 Mar 1986
PKI dibubarkan, 12 Maret 1966. Hari itu
ribuan, mungkin ratusan ribu, manusia menghambur ke jalan-jalan Jakarta.
Kemenangan macam apakah yang mereka rayakan? Karena satu lawan politik kalah?
Karena suatu ancaman tersingkir?
Jawaban pasti bermacam ragam. Bahkan mungkin
tak setiap alasan cukup jelas bagi diri sendiri. Tapi saya bisa membayangkan
setidaknya satu sebab: ada yang berbahagia karena, akhirnya, Partai Komunis
Indonesia tak lagi berkerumuk di punggung kita.
Bukan karena partai itu partai yang berkuasa
dalam status resmi. PKI mencengkam bukan karena ia menguasai kursi-kursi di
kabinet. Bukan karena ia bisa memerintah bedil. PKI, menjelang 30 September
1965, mencengkeram karena ia berada di baris terdepan dalam upaya besar
totaliter yang waktu itu menelan, melulur, Indonesia.
Upaya besar totaliter: orang-orang banyak yang
digerakkan dalam barisan. Bendera dan panji-panji galak yang dikibarkan.
Teriakan yang terdengar benci dan bersemangat. Tinju yang diacungkan ke langit.
Pengerahan massa yang tak henti~henti. Pidato-pidato yang selalu bergelora, dan
”Revolusi” yang jadi satu-satunya pesan yang gemuruh dan melindas, seakan-akan
kendaraan seorang dewa sakti yang harus disembah.
Di tiap sudut, di tiap kesempatan, slogan-slogan
terlontar seperti anak panah berpuluh-puluh, menembak jatuh tiap keinginan
untuk membantah. Bahkan telah lumpuh pula kapasitas kita untuk sekadar
menggunakan cara bertutur yang lain. Tiap pembicara, tiap penulis, merasa perlu
menyebut kata ”Revolusi”, dengan khidmat. Tiap argumen merasa perlu mengutip
ideologi negara dari Tajuk Baban Pokok Indoktrinasi. Kita, secara
terus-menerus, harus kasih unjuk kita setia, kepada Revolusi, kepada Pemimpin
Besar Revolusi.
A continuous frenzy, kata George Orwell dalam novel
1984. Suatu kegalauan yang tak kunjung henti, karena selalu diserukan ada musuh
dari luar dan pengkhianat dari dalam, karena selalu ada yang harus ”diganyang”.
Kita selalu harus waspada kepada yang ”plintat-plintut”, dan yang ”munafik” dan
yang ”gadungan”. Revolusi tak kenal istirahat. Di baris terdepan itulah PKI
tegak, dengan telunjuk paling panjang dan paling keras untuk menuduh. Di baris
depan itu pula PKI yang paling santer berseru, agar kekuatan-kekuatan politik
terjun dalam ”kompetisi Manipolis”: suatu persaingan untuk membuktikan siapa
yang paling murni melaksanakan ideologi negara dan pedoman Pemimpin Besar
Revolusi.
Dan yang lain-lain pun ikut menurut. Mungkin
karena mereka setengah ketakutan kena dakwa. Mungkin pula karena mereka mencoba
meyakin-yakinkan diri bukan plin-plan. Dan semua tercekam.
Lalu, tiba-tiba, pada malam 1 Oktober 1965,
sejumlah pembunuhan politik terjadi. Indonesia pun setelah itu meledak dalam
pertumpahan darah yang mengerikan sampai ke desa-desa yang jauh. Kita bisa berdebat
panjang tentang bagaimana persisnya semua peristiwa itu bisa terjadi. Tapi saya
kira klimaks itu sudah tak terelakkan. Suasana telah lama dibangun untuk
kekerasan pada satu saat nanti: dalam usaha saling mengunggulkan diri sebagai
”revolusioneri siapa yang kalah akan jadi ”kontrarevolusioner”, dan siapa yang
”kontrarevolusioner” sah untuk dihabisi.
Upaya totaliter secara besar-besaran memang
tak bisa bicara tentang rekonsiliasi clan harmoni. Masyarakat harus diubah,
yang ”lama” harus dijebol, dan tiap pribadi harus diperbarui, dengan aktif.
Pengawasan yang intensif berlaku, dan sikap saling curiga jadi punya fungsi
politik. juga pembersihan. Setelah Robespierre memenggal banyak leher dalam
Revolusi Prancis, setelah Stalin membasmi dalam Revolusi Oktober, kita
menyaksikan hal yang sama di Cina dengan Revolusi Kebudayaan-dan barangkali,
seandainya PKI tidak gagal, di Indonesia.
Tapi PKI gagal, dan 12 Maret 1966 partai itu
dibubarkan. Barangkali itulah salah satu sebab kegembiraan yang menggelegak di
hari itu: orang tidak lagi merasa dalam posisi defensif, orang tak lagi berada
dalam sudut untuk sewaktu-waktu dituding ”kontrarevolusi”. Entah di mana
persisnya, satu kekuatan pendorong upaya totaliter telah runtuh.
Adakah selebihnya hanya sepi? Entahlah. Pada saat
jalan-jalan tak lagi ramai dengan panji dan barisan massa yang bergerak,
terkadang ada yang merasa ruang hanya hampa. Sesuatu yang seakan-akan jadi
tanda kolektivitas seperti punah. Tujuan bersama seakan-akan kehilangan
dinamika karena kini tak ada lagi mobilisasi. Arah bersama seakan-akan hambar
karena tak ada lagi kegairahan ideologi.
Mungkin itulah sebabnya sekarang ada yang
seperti kangen. Siapa tahu segera akan ada yang bertingkah seakan Indonesia
membutuhkan upaya totaliter segera akan ada yang baru: mengubah total
masyarakat, memperbarui tiap pribadi, dan membersihkan, membersihkan,
membersihkan,… Seperti PKI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar