Ribut Wijoto
beritajatim.com
ARIS RAHMAN PUTRA membuka cerita pendek (cerpen) berjudul ‘Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive’ dengan adegan perampokan di sebuah kafe. Perampokan yang berujung kematian.
Dum, berusia 21 tahun, seorang mahasiswa, menodongkan pistol ke arah kasir kafe. Bukan uang yang didapat, dia justru terpaksa berhadapan dengan Rak, lelaki berperawakan agak besar dengan luka codet di pelipis, yang biasa keluar masuk penjara. Dengan sedikit gerakan, pistol Dum direbut Rak. Sesaat kemudian, Rak menembak Dum. Ditembak juga oleh Rak salah seorang pengunjung kafe yang lain.
Melangkah keluar membawa pistol, Rak diserang Rem, seekor anjing. Rak mengaduh-aduh sembari bergulingan ke tanah karena alat vitalnya digigit oleh Rem. Selesi menggigit, Rem membawa masuk pistol ke dalam rumah dengan moncongnya.
Pistol yang ditaruh Rem menarik perhatian seorang balita. Sama seperti memegang mainan, si balita menarik pelatuk pistol. Dor. Peluru menembus badan Rem. Anjing yang membawa penderitaan bagi Rak itu akhirnya terjengkang tewas.
Bunyi letusan peluru membuat kaget orang tua si balita. Si suami menyalahkan istri, si istri memaki suami. Keduanya bertengkar. Si suami bernama Wiw itu menyambar pistol dari tangan anaknya. Dor, dor. Istri dan anak tewas ditembus peluru.
Polisi datang mengendap-endap. Begitu mendapati Wiw yang memegang pistol, sang polisi dengan sigap menembaknya. Dor. Nyawa Wiw melayang.
Tempat peristiwa (setting) lantas berpindah secara aneh. Sang polisi memergoki calon istrinya bersama laki-laki lain. Suara pistol kembali menyalak. Tiga orang itu tewas.
Kejadian menjadi lebih aneh lagi. Tewasnya tiga orang itu ternyata menjadi latar belakang dari pembukaan cerpen dari Aris Rahman Putra. Yakni, Dum datang. Dum mendapati tiga mayat, yang salah satunya polisi. Dum lantas mengambil pistol polisi dan memakainya untuk merampok di kafe.
“Si lelaki, seperti yang kita tahu, kelak akan membawa pistol itu ke sebuah kafe, dan kita juga tahu bahwa ia memiliki nama yang agak aneh, yakni Dum,” begitu Aris mengakhiri cerpennya.
Serangkaian pembunuhan dalam cerpen Aris diikat oleh satu benda mematikan, yaitu pistol. Sebuah pistol yang menewaskan 7 nyawa manusia dan 1 nyawa anjing. Dalam sejarah Jawa (awal berdirinya kerajaan Singasari) yang mirip mitos, pembunuhan dengan 1 benda yang sama ini mengingatkan pada kisah keris Mpu Gandring.
Ken Arok memesan keris pada Mpu Gandring. Begitu selesai dibikin, keris dipakai Ken Arok untuk membunuh Mpu Gandring. Rangkaian pembunuhan terus bergulir. Keris penuh tuah itu lantas dipakai untuk mencabut nyawa Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Arok, Ki Pengalasan, Anusapati, dan terakhir Ken Dedes.
Kembali ke soal cerita pendek ‘Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive’. Aris Rahman membuat lingkaran kisah tanpa putus. Pistol yang membunuh tokoh terakhir diambil oleh tokoh yang pertama terbunuh. Plot cerpen Aris yang tampaknya linier tersebut ternyata melingkar. Perputaran kehidupan dan kematian yang berulang. Semacam reinkarnasi.
Konsep reinkarnasi atau ‘kelahiran kembali’ tedapat dalam kepercayaan agama Hindu. Reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Manusia yang telah meninggal diberi kesempatan untuk lahir kembali untuk penebusan dosa, untuk berbuat kebaikan, dan untuk menikmati kehidupan yang lebih sempurna.
Tapi mungkin saja Aris tidak sedang berkisah tentang reinkarnasi atau mitologi keris Mpu Gandring. Bisa jadi pria berkacamata dan murah senyum itu tengah mengadopsi pola penceritaan film thriller atau film science fiction. Cara bercerita cerpen Aris itu memang bisa dipahami melalui struktur film. Yakni, kisah yang disajikan melalui scene-scene.
Dalam film, scene sering diartikan sebagai tempat atau setting di mana cerita dimainkan. Scene juga diartikan sebagai adegan. Sebuah film dibangun melalui rangkaian scene sehingga membentuk cerita utuh.
Dalam cerpen Aris, scene pertama adalah adegan pembunuhan di kafe. Scene kedua halaman rumah tempat adegan anjing menggigit alat vital Rak. Scene ketiga rumah tempat adegan pembunuhan anjing. Masih di tempat yang sama, ada scene ketiga adegan pembunuhan istri – anak dan scene keempat adegan pembunuhan suami oleh polisi. Scene kelima adalah ruang tempat adegan polisi menembak calon istri beserta selingkuhan, termasuk kematian dirinya sendiri. Di tempat yang sama pula, scene terakhir, adegan Dum datang mengambil pistol.
Aris memang wajah dari generasi milenial. Dia lahir di Sidoarjo, 12 Juli 1995. Mahasiswa Universitas Airlangga Jurusan Antropologi. Sehari-hari Aris akrab dengan media sosial, game online, komik, download film kartun hingga film detektif. Maka wajar ketika mencipta karya sastra (cerpen), dia mencoba dengan sesuatu yang baru, yang kekinian, dan milenial.
Jika benar cerpen Aris mengakomodasi struktur film, Aris bisa dibilang melakukan representasi atas representasi. Atau, dalam pengertian Jean Baudrillard, cerpen Aris masuk ke ranah hiperrealitas dan simulakra.
Adegan pembunuhan-pembunuhan pada cerpen Aris terlalu mudah dan sempurna dalam ukuran realitas. Bayangkan tentang seseorang yang berjalan tenang lalu pipis di halaman usai menembak kepala dua orang di kafe. Bayangkan seorang balita yang menembak anjing. Atau suami yang begitu mudahnya menembak istri dan anaknya. Bayangkan seorang polisi yang tiba-tiba menembak calon istri beserta selingkuhannya lalu bunuh diri. Terlebih, cerita lantas berputar, korban pembunuhan pertama dihidupkan kembali oleh Aris.
Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya. Simulakra hadir bukan untuk melukiskan realitas yang diwakilkannya tetapi hadir untuk melampaui realitas aslinya.
Artinya, melalui cerpen, Aris menciptakan adegan pembunuhan yang berkembang biak tanpa kunjung selesai. Bergulir dan berputar. Histeria. Tidak ada nilai transendensi di situ. Yang ada adalah pemenuhan emosi dan ambisi manusia. Kenikmatan semu. Kenikmatan yang berujung pada kematian. Bahkan, Aris menumpuk kematian dengan kelahiran.
Tokoh-tokoh cerpen Aris begitu murah menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Mereka tergiring oleh energi berlebihan dalam menuruti hawa nafsu sesaat. Dorongan emosi tanpa kendali. Sebuah tindakan yang diambil tanpa pertimbangan mendalam. Dor. Begitu mudahnya suami menembak istri. Begitu gampangnya polisi bunuh diri.
Apakah dengan begitu Aris Rahman Putra terjebak dan larut dalam arus hiperrealitas dan simulakra? Bisa jadi, tidak. Cerpen Aris justru bisa dipahami sebagai sebuah kritik. Bahwa, segala yang berbau hiperrealitas dan simulakra hanya akan berujung pada kematian. [but]
Catatan:
Cerpen Aris Rahman Putra ini saya ambil dari draft buku ‘Beberapa Mimpi yang Harus Kamu Alami Sebelum Menjadi Nabi’, terbitan Majelis Sastra Urban, Dewan Kesenian Surabaya, tahun 2018. http://beritajatim.com/sorotan/345658/cerpen_milenial,_kematian_yang_berkembang_biak_dan_berputar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar