Oyos Saroso HN *
lampungpost.com
W.S. Rendra, sang fambloyan yang akrab disapa Si Burung Merak, wafat Kamis malam, setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit. Ia meninggal dengan tenang, Kamis malam (6-8) dalam keadaan Islam.
Bagi sebagian seniman dan masyarakat Indonesia, Rendra--lebih akrab disapa Mas Willy--adalah tokoh besar yang sangat dihormati. Ia bak magnet atau sihir yang membuat orang berbondong-bondong mendekat padanya, ingin menjadi bagian dari hidupnya. Ia tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sahabat yang menenteramkan. Bengkel Teater Rendra yang ia kelola bersama istrinya di atas areal sekitar 2 hektare di Citayam, Depok, tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlatih teater, tetapi juga menjadi "universitas kehidupan" bagi banyak orang.
Saya termasuk bagian kecil dari kelompok yang berbondong-bondong itu. Saya merasa beruntung karena bisa menuntaskan ambisi saya untuk bisa bertemu Rendra, belajar padanya, dan mengenalnya lebih banyak. Saya memang tidak seberuntung Sitok Srengenge, kawan lama yang sama-sama berasal dari Jawa Tengah dan menjadi kakak kelas saya di Universitas Negeri Jakarta. Pasangan Sitok dan Farah Maulida (Farah juga kakak kelas saya di UNJ) pernah sangat dekat dengan Rendra karena menjadi anggota Bengkel Teater Rendra, sementara saya hanya sesekali saja bertemu Rendra. Namun, saya banyak belajar dari dia: tentang sastra, kebudayaan, dan kehidupan.
Saya ingat pada sebuah penggal sore, saya dan Sitok datang ke rumah pribadinya di Depok pada Oktober 1991. Saya diajak Sitok untuk "merayu" Mas Willy agar mau datang ke UNJ untuk menjadi pembicara seminar dalam rangka Bulan Bahasa yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mas Willy harus dirayu karena bukan perkara mudah meminta dia menjadi pembicara. Maklum, saat itu merupakan "zaman gawat": Mas Willy dicekal di banyak tempat karena kevokalannya mengkritik Orde Baru.
Ketika Mas Willy memastikan bisa hadir, persoalan baru muncul: berapa saya harus memberi honor Mas Willy. Kata Sitok, "Beri saja yang dibutuhkan dia saat ini! Kalau bisa memberi dia sapi dan kerbau dia akan lebih senang!"
Setelah konsultasi dengan Sitok, akhirnya saya putuskan kami (para mahasiswa jurusan) akan memberi Mas Willy mesin ketik merek Brother! Kalau tidak salah harga mesin ketik itu pada saat itu Rp300 ribu.
Persoalan muncul kembali ketika pihak kampus tidak mau menanggung risiko jika "ada apa-apanya" berkaitan dengan kedatangan Mas Willy. Sebagai ketua panitia, saya harus minta izin kepada Polres dan Kodim Jakarta Timur. Saya menolak dengan alasan seminar merupakan kebebasan mimbar yang menjadi otoritas rektor.
Saya tetap nekat mendatangkan Mas Willy dengan risiko apa pun. Akhirnya Mas Willy pun benar-benar datang. Gedung Teater Besar UNJ penuh pengunjung. Rektor UNJ Prof. Dr. Conny R. Semiawan pun hadir. Bahkan Bu Rektor menjadi peserta aktif. Itulah kali pertama, seingat saya, Mas Willy kembali bisa datang ke kampus setelah beberapa waktu lamanya dicekal dan dilarang berbicara di kampus-kampus di Indonesia.
Saya lebih mengenal Mas Willy ketika saya menyusun skripsi. Karena yang saya teliti adalah drama Panembahan Reso karya Rendra, mau tak mau saya harus sering konsultasi dengannya. Selebihnya saya mengenal dia dari buku-buku yang ditulisnya dan dari para muridnya. Salah satunya yang terpenting adalah dari Jose Rizal Manua, guru teater saya. Mas Jose, orang Padang yang fasih berbahasa Jawa, adalah guru teater yang baik. Ia menurunkan banyak ilmu dari Rendra kepada para anak asuhnya.
Saya merasa berutang budi kepada Mas Willy karena berkat dorongannyalah saya menekuni dunia jurnalisme dan sastra. "Jadi apa pun asal ditekuni dan konsisten pasti akan ada hasilnya," kata dia.
Salah Sangka Tentang Rendra
Rendra lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra, di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Lahir dalam keluarga Jawa lingkungan keratun dan agama Katolik, Rendra akhirnya menempuh hidup "urakan" sebagai seniman teater. Sepulang dari Amerika Serikat, pada 1961 ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta.
Namun, grup ini tak lama kemudian terhenti karena ditinggal Rendra pergi belajar ke Amerika Serikat. Setelah Rendra pulang belajar dari Amerika, pada 1967 Bengkel Teater kembali hidup. Beberapa tahun kemudian Bengkel Teater pindah ke Citayam, Depok, dan lebih dikenal menjadi Bengkel Teater Rendra.
Selain sebagai seorang seniman--yang melahirkan banyak karya puisi dan naskah drama--publik mengenal Mas Willy sebagai seorang budayawan tangguh. Pemikirannya tentang kebudayaan termasuk brilian. Ia juga terkenal sebagai pribadi yang terbuka dan penolong. Pada era 80-an hingga 90-an, seniman rasanya belum menjadi seniman jika belum pernah mengunjungi Bengkel Teater. Grup teater pun sering akan merasa "absah" jika sudah bisa pentas di Bengkel Teater Rendra. Bengkel Teater Rendra pada masa itu benar-benar menjadi oase bagi para seniman, selain Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
Sebagai seniman dan budayawan, tak ada orang yang meragukan konsistensinya. Mas Willy adalah sedikit dari penyair-dramawan Indonesia yang mendedikasikan hidupnya untuk sastra dan drama. Meski begitu, seiring dengan popularitasnya yang tidak pernah pudar sepanjang lebih dari 40 tahun, ada juga sisi hidup Mas Willy yang dinilai minor. Di antaranya soal poligami yang dilakukannya. Tiga istrinya: Sunarti, Sitoresmi, dan Ken Zuraida pernah tinggal satu atap. Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
Ketika menikahi Sitoresmi pada 1970, Mas Willy masuk Islam. Nama W.S. Rendra yang sebelumnya kepanjangannya Wilibrordus Surendra Broto Rendra diubah menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Belakangan, ia lebih senang disebut Rendra saja. Proses menjadi mualaf juga menjadi cibiran banyak orang. Banyak orang ketika itu menuding Rendra masuk Islam demi bisa mendapatkan Sitoresmi. Namun, publik akhirnya bisa menilai Rendra tetap Muslim sampai wafatnya. Bahkan, Mas Willy tampak makin zuhud setelah naik haji.
Saya tersenyum simpul ketika membaca penuturan Mas Willy yang minta ampun pada Tuhan karena semua yang dia minum saat berhaji "air zamzam sekalipun" rasanya seperti minuman keras merek Chevas Regal. Itu karena meskipun sudah bergelar haji kebiasaan lama Mas Willy minum minuman beralkohol masih jalan terus.
Kata dia, "Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah." Menurutnya, ia betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga ia ingin berteriak, "Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!"
"Saya baru merasakan air lagi dalam penerbangan dari Jedah ke Amsterdam. Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi." (Albaz-dari buku Saya memilih Islam Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press, website : http://www.gemainsani.co.id oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com).
Sepak terjang Rendra memang sering membuat orang salah sangka tentangnya. Ketika ia menikahi Sitoresmi, banyak orang menyangka ia gila popularitas. Ketika mahasiswa menduduki gedung DPR dan Rendra datang untuk meneriakkan dukungan dan membacakan puisi, banyak orang menilai ia sedang cari muka. Ketika ia membaca puisi saat deklarasi pasangan capres-cawapres Megawati-Prabowo di TPA Bantargebang, banyak yang menyangka Rendra sudah partisan. Saya pun termasuk yang salah sangka dan ikut jengkel dalam hati ketika Rendra runtang-runtung dengan Setiawan Jody saat acara konvensi Golkar menjelang Pemilu 2004 lalu.
Setelah saya renungkan, inti dari salah sangka itu lantaran Mas Willy ingin menjadi manusia merdeka yang memiliki moralitas otonom (dalam pengertian Kantian). Ia ingin menjadi dirinya sendiri yang selalu memihak si lemah. Ia tidak ingin berada dalam arus kekuasaan. Makanya, dalam pelbagai kesempatan ia selalu lontarkan ide perlunya daulat rakyat dan mengkritik keras setiap kekuasaan yang mengedepankan daulat raja.
Ya, Mas Willy tetap Mas Willy. Ia tak perlu lagi membuat orang salah sangka terhadapnya. Ia pun tak perlu lagi mengkritik daulat raja. Ia kini dengan tenang dalam daulat Tuhan. Selamat jalan, Mas Willy.
*) Sastrawan, tinggal di Bandar Lampung.
http://sastra-indonesia.com/2009/08/rendra-dan-salah-sangka-tentang-dia/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar