Jumat, 19 Juni 2020

Dilarang Membawa Pulang Apapun Kecuali Kenangan

Gusti Eka *
Pontianak Post, 8 Des 2019

Ini adalah tanah yang tak kukenal. Ketika meninggalkan desa terakhir bau tanahnya merasuk. Entah kenapa setiap kali melangkah aku merasa arah langkah menjadi asing pada jalan berbatu ini. Ini akan menjadi perjalanan melelahkan yang pernah kulakukan, sebab aku mesti menyiapkan mental karena di kiri dan kanan jalan pohonpohon melambai dengan curiga, seperti menanyakan sesuatu: apa maumu datang ke sini? Jangan pernah kau bawa pulang kecuali kenangan.

Namun kau datang mengusir perasaan ganjil. Saat itu kau sudah berdiri di depanku. Mengenakan baju putih setengah lengan, dengan celana pendek hitam. Kau menyapa dengan nada yang empuk di telinga dihias senyum ramah, kemudian kau menyuruh kami menunggu. Sedangkan kau pergi ke suatu tempat yang kami tak ketahui. Kemudian kau menghilang, berjalan dengan langkah yang gopoh, kau membawa serupa sebuah tas di punggungmu dengan penuh isi, memakai ikat kepala putih serta berjalan tanpa alas kaki. Itulah pertama aku melihatmu dan mengingatmu hingga hari ini: Pak Komong.
***

“Apakah masih mampu,” katamu.

Aku mengangguk, tak ingin kehilangan muka di depanmu. Sebelum memulai perjalanan ini sebenarnya aku sudah menyiapkan diri. Sebab, perjalanan ke kampung Baduy Dalam harus siap berjalan kaki enam jam. Tak hanya menyiapkan fisik, aku juga sudah menyiapkan mental untuk melakukan perjalanan ini.

Sebagai pemimpin jalan, kau kemudian menghentikan langkahmu. Kau berbalik melihatku dan lima orang di belakangku serta memandangi kami satu persatu.

“Katakan saja, kalau kalian lelah, kita bisa istirahat sejenak.”

“Baik,” jawab kami serentak sambil menghela napas dan mengirup bau tanah Baduy.

“Apakah pohon-pohon di sini boleh ditebang,” tanyaku memecah sunyi.

“Boleh,” jawabmu, “Tapi tidak semua jenis pohon bisa ditebang, dan menebang pohon ada batasnya.”

Kau kemudian melanjutkan jalanmu. Kami mengikuti langkah kakimu. Di kepalaku tumbuh pertanyaan tentang pohon-pohon. Barangkali dalam perjalanan aku akan menanyakan nama pohon-pohon yang ada di tanah Baduy ini. Tapi setelah melihatmu, aku merasa kau masih hati-hati dengan orang yang baru kau kenal. Kendati demikian, kau tetap menyambut kami ramah.

“Di sini, kami hidup dari alam, dari pohon-pohon ini. Jadi kami tidak boleh mengambil semuanya, kami harus menyisakan untuk anak cucu kami. Jika itu terjadi anak cucu kami bisa kelaparan,” kau mengatakan itu tanpa melihat kami.

“Apakah semua anak Baduy Dalam mengenal pohon-pohon?”

“Sejak kecil, anak-anak Baduy Dalam sudah dikenalkan dengan alamnya, termasuk dengan pohon-pohon. Kami mesti paham bertani, itu adalah pendidikan paling dasar bagi orang-orang Baduy Dalam. Makanya kami tidak pergi ke sekolah.”

Aku terkejut mendengarnya. Kemudian pertanyaan-pertanyaan dari kepalaku berdesak-desakan ingin keluar. Secara spontan aku bertanya: Mengapa tidak pergi ke sekolah?

Kau kemudian menghentikan langkah, dan berbalik ke arah kami. Kau menatapku dalam. Aku merasa tidak nyaman dipandangmu dengan cara begitu. Apakah ada yang salah dengan pertanyaanku? Kemudian rasa bersalah lahir dalam benakku, mungkin saja aku telah lancang menanyakan begitu.

Tapi tanpa kuduga, merekah senyum dari wajahmu dan melanjutkan jalanmu.

“Leluhur kami melarang kami menjadi pintar, sebab jika pintar, kami bisa keblinger,” katamu.

Kau kemudian memulai kisahmu. Itulah yang membuatku terus mengingatmu.
***

Seorang anak remaja seperti anak-anak Baduy Dalam lainnya harus pergi ke kota untuk menjual hasil alam bersama orangtuanya. Hari itu, satu kantong sebesar bola basket sudah digendong anak itu dengan dilapisi kain putih yang sudah terikat ke bahu dan punggungnya. Mereka akan berjalan kaki sampai ke kota.

“Itu adalah kali pertama lelaki itu pergi ke kota,” katamu memotong cerita.

“Oh,” kataku. Mengisyaratkanmu agar melanjutkan cerita.

Anak remaja itu sumringah karena di kota dia bisa melihat mobil, sepeda motor, dan gedunggedung tinggi serta hal-hal yang tak pernah dia temui di kampung.

Itu adalah alasan mengapa dia sangat menyukai suasana di kota, maka sejak saat itu kemudian dia lebih sering ke kota, lebih sering berjalan kaki ke kota, lebih sering menginjak jalan aspal panas yang tak pernah membuat kakinya melepuh, dan lebih sering menyaksikan orang-orang kota dengan segala kehidupannya. Dia semakin terjangkit kehidupan kota, mulai menginginkan alas kaki, menggunakan baju kaos bergambar dan memakan makanan yang ada di kota.

“Ayah, apakah aku boleh membawa semua ini pulang?”

“Tidak, jangan pernah kau kotori kampung dengan membawanya pulang.”

“Kenapa aku tidak bisa membawanya? Aku ingin memakai alas kaki, dan baju bergambar ini.”

“Sekali kau membawa pulang, adat menghukummu.”

Remaja itu kemudian menuruti ayahnya, dia melupakan semua keinganannya dan mulai mencari cara agar bisa mengenakan alas kaki dan baju bergambar. Setelah pertama kali dia pergi ke kota, pada hari-hari berikutnya dia lebih sering ke kota bersama ayahnya.

“Itu adalah caranya, agar bisa memakai alas kaki, baju bergambar,” katamu. “Itupun ia kenakan secara diam-diam dari ayahnya.”

Kehidupan kota menawarkan hidup yang berbeda untuknya, dia diam-diam merencanakan untuk hidup di luar adat dan kampungnya. Menjadi Baduy Luar adalah jalan satu-satunya agar dapat merasakan kehidupan kota.

“Ayah, saya mohon ampun. Saya ingin keluar dari kampung dan adat,” katanya suatu hari.

Ayahnya kaget. Dia tidak habis pikir bahwa anaknya ingin keluar adat.

“Kenapa kau ini?”

“Saya ingin tinggal di Baduy Luar.”

Mula-mula Ayahnya tidak mengizinkan anaknya pindah ke Baduy Luar. Sebagai seorang ayah, merupakan sebuah kegagalan jika anak tidak dapat melanjutkan tradisi, dia seperti gagal mewarisi tradisi kepada anaknya.

“Kau perlu ingat, jika kau memutuskan keluar dari adat, jangan sesekali merendahkan orang-orang kita, apalagi orangtuamu. Ingat pesanku itu,” geram lelaki paruh baya itu.

Remaja itu sudah bulat untuk meninggalkan Baduy Dalam sehingga Ayahnya tak mampu membendung lagi. Dia hanya mengizinkan pindah ke Baduy Luar, meski dengan hati yang terkoyak.

“Tidak mudah ayahnya menerima itu semua, bukan hanya gagal mewarisi tradisi, tapi itu bisa mencoreng nama baik ayahnya dalam adat,” katamu dengan nada yang menurun. “Ayahnya adalah tokoh adat,” tegasmu.

Memasuki sebuah pemukiman terakhir menuju Baduy Dalam, kau menghentikan ceritamu. Lalu kau mengisyaratkan kami untuk beristirahat sejenak di sebuah rumah warga. Di rumah yang berdinding dan atap jerami itu terdapat berbagai barang dagang, ada mie instan, snack, dan air minum. Kami disambut ramah seorang pemuda bersama istri dan anaknya.
***

“Apakah semua sudah siap?” kau memulai membuka suara, ketika baru saja kita tenggelam setelah makan siang. Kau makan nasi putih dengan ikan asin serta gula aren. Sedangkan kami memakan nasi putih dan mie instan. Ini belum setengah jalan, masih ada beberapa jam lagi untuk sampai ke Baduy Dalam, kau menyarankan makan siang di sini sebelum menempuh jalan yang lebih melelahkan lagi.

Perjalanan ini seperti kembali ke alam. Kami dilarang mengeluarkan kamera, handphone bahkan sabun mandi. Kami semua dilarang sesuai dengan adat Baduy Dalam.

Jika dilanggar, kami akan di hukum adat. Kami akan menuju ke belahan dunia, di mana orangorang yang hidup di sini menyatu dengan alam, seperti kodrat manusia dari rahim alam.

Namun di Badui Luar, kami masih bisa mengambil gambar dan aku berkali-kali memotret lelaki kurus baju gelap bergambar itu sedang menggendong anaknya.

Aku meminta waktu kepadamu, untuk berkeliling sesudah makan dan mengambil gambar rumah rumah yang ada di sekitar. Melihat dari rumah saja, tidak ada perbedaan yang mencolok, semua dibuat seragam seperti tidak ada kesenjangan yang terjadi.

Begitupula pakaian, aku langsung akrab dengan pakaianpakaian yang orang-orang Baduy kenakan. Baduy Dalam memakai baju putih serta ikat kepala putih, orang-orang Baduy Luar dengan pakaian gelap serta ikat kepala dengan warna yang sama.

“Dia kemudian menikah dan hidup di Baduy Luar, dia menghidupi anak istrinya dengan membuat gula aren yang dijual di kota,” kau melanjutkan cerita dalam perjalanan menuju tanjakan.

“Ini namanya tanjakan cinta,” selamu.

Kami mengangguk, menyimak suara yang keluar dari mulutmu dan melirik kanan kiri, sambil berkali-kali menarik napas.

Seminggu sekali remaja itu pergi ke kota untuk menjual gula aren. Gula aren yang sudah beku dicetak dalam sebuah cetakan kayu. Dua buah hasil cetakan seperti gula aren itu kemudian dibungkus menggunakan daun kering. Setiap bungkus dijual tujuh ribu rupiah.

Aku terkaget mendengarnya. Mengapa menjual gula aren sangat murah? Padahal itu menjadi bahan bagi banyak bumbu masak. Tapi kau mengatakan bahwa itu adalah harga normal.

“Orang-orang kota kerap membeli gula aren dengan harga yang sangat murah, ada yang mengambil lima ribu rupiah per bungkus, bahkan ada yang pernah menawarkan dengan harga tiga ribu rupiah,” lanjutmu.

Tak hanya itu, gula arennya juga sering ditukar dengan mie instan atau gula dan kopi. “Jika sudah berhadapan dengan orang kota, dia seperti tak berdaya,” cetusmu.

“Mungkin dia mudah dibodohbodohi, padahal untuk sampai ke kota dari kampungnya itu sangat jauh, masa pulang dengan tangan hampa, atau uang yang tak seberapa.”

“Pak Komong,” kataku menghentikan cerita. Kau kemudian berhenti lalu memandangku. Agak lama juga aku tak bersuara, kau sudah menungguku mengeluarkan suara. Tapi kau kemudian memecah keheningan.

“Sebentar,” katamu. Kau lalu pergi seperti mengendus sesuatu.

Kau datang dengan dua buah durian segar sepertinya buah ini baru saja jatuh dari pohonnya. Kami lalu membukanya dan memakan durian itu.

“Di sini, durian jatuh bisa kita ambil, meski bukan punya kita pohonnya,” cetusmu.

“Sebab di sini kita saling berbagi hasil alam termasuk buah durian yang ada di Tanah Baduy ini.”

Kami melanjutkan perjalanan, kau tak melanjutkan cerita. Kau lalu masuk ke sungai kecil, membasuh kaki, dan tanganmu dengan beberapa helai daun. Menurutmu, daun-daun itu sering digunakan oleh orangorang Baduy sebagai sabun atau shampo.
***

Kita memang berjalan ke depan, tapi kenangan selalu berjalan ke belakang. Kau seperti ingin menyampaikan sesuatu. Tapi aku ragu menanyakan hal itu. Aku menangkap raut wajahmu, tapi aku menunggu kau yang sendiri menyampaikannya. Barangkali ada sesuatu yang ingin kau sampaikan kepadaku, aku masih menunggu, sampai kita memasuki perkampungan Baduy Dalam. Kau mengantarkan kami pada sebuah rumah sederhana dari lantai kayu dan daun jerami.

“Kalian tidak diperkenankan mengambil sesuatu dari sini,” pesannya pada kami.

“Niko, apakah kau tahu sesuatu?”

Aku menggeleng.

“Orang yang kucerita tadi itu Neldi, tempat kita makan siang di rumahnya tadi,” cetusmu.

“Dan dia adalah anakku,” sambungmu.

Kau lalu berpamitan kepada kami dan pergi.
***

________________
*) Gusti Eka lahir di Sekadau, 27 April 1993. Menamatkan kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruaan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Tanjungpura, Pontianak, tahun 2018. Semasa menjadi mahasiswa, kerap terlibat dalam gerakan literasi kampus, jalanan, dan desa. Saat ini mengelola warung kopi sebagai tempat berkisah:  Lawang Kopi, di Kab. Sekadau, Kalimantan Barat.
Menulis cerita pendek, puisi, esai, dan feature. Kumpulan cerpennya “Memilih Jalan Sunyi” (Enggang, 2019), merupakan karya pertamanya. Cerpennya pernah terbit bersama 10 penulis Kalbar lainnya pada Antologi Cerita Pendek: Orang-Orang Untuk Masa Depan (Pustaka Rumah Aloy; 2019), dan puisinya terbit bersama 44 penulis Kalbar lainnya, dalam Antologi Puisi Penulis Kalimantan Barat: Bayang-Bayang Tembawang (Pijar Publishing; 2015). Pada Januari 2020, cerpennya terbit bersama 14 penulis Kalbar lainnya di Antologi Cerita Pendek: Rendezvous Di Barat Borneo (Pustaka Rumah Aloy; 2020).
https://lakonhidup.com/2019/12/08/dilarang-membawa-pulang-apapun-kecuali-kenangan/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi