Maman S. Mahayana *
Chandra Johan: pelukis yang saya kenal ketika kami bersama di Dewan Kesenian Jakarta (2003—2005). Suatu saat, dalam sebuah obrolan santai, ia memperkenalkan sejumlah koleksi lukisannya. Amboi! Lukisan apakah gerangan? Bagaimana mungkin, sesuatu—lukisan-lukisan itu— yang belum saya pahami maknanya, tiba-tiba menciptakan serangkaian keterpanaan. Saya benci lukisan-lukisan itu. Sebab, tanpa kompromi seketika ia membelit saya pada ketakberdayaan: saya tak berdaya menghindar aura pesonanya.
Chandra Johan, lukisan-lukisanmu itu selalu saja menggagalkan saya menyembunyikan decak kagum! Sungguh. Lukisannya memukau, menyihir, dan menghamparkan lautan tafsir. Boleh jadi lantaran itulah saya tak pernah jera menempatkan diri sebagai mualaf seni lukis. Cukuplah saya merasakan sesuatu yang aneh menyelusup-menyirami inspirasi saat saya memeloti setiap goresan halus, bergerinjul, akas, kencang, berlari-berderap, dan kadang kala tampak sempoyongan memainkan jurus-jurus dewa mabuknya. Entahlah. Saya membayangkan sosok pelukis yang hanyut-tenggelam, blep! Ia dibelit-bekap ekspresi kreatifnya sendiri; mengalami ekstase, memasuki wilayah manunggal ing kawula gusti!
Ketika saya coba lagi dan coba lagi menikmati lukisan-lukisan Chandra Johan, selalu saja situasi itu yang tiba-tiba menyerobot usaha saya untuk memahami maknanya. Kesimpulan sederhana saya begini: lukisan-lukisan sejenis Tryptych, S-Before the Storm, atau Ironic, dan beberapa karya Chandra Johan lainnya, kerap memancarkan sihirnya dan menyedot saya memasuki warna-warna imajinatif, ketika saya tak peduli pada makna! Itu lukisan, dan bukan karya sastra! Jadi, nikmati saja, lantaran kau akan sia-sia ketika memaksakan diri mengejar makna. Maka, ketika kau masuk ke dalam warna-warna imajinatif itu, di situlah seketika terbentang lautan tafsir.
Begitulah manakala sentuh estetik (aesthetic contact) datang menawarkan lanskap imajinasi, saya membiarkan logika formal berhenti untuk sementara. Ketika saya coba berenang di tengah lautan tafsir itu menuju pantai yang entah di mana, ombak besar makin dahsyat mengombang-ambing hukum kausalitas. Di sana, logika berantakan. Begitu saya melepaskan diri dari segala beban makna, membayangkan diri bercengkerama dengan segala gerak yang menghempas, yang melambungkan saklar imajinasi, situasinya menjadi lain. Saya mulai merasakan keasyikan yang mempesona dan pesona yang mengasyikkan Mungkin tafsir saya salah. Tetapi, saya tak bakal menyesal dengan kesalahan itu.
Bagi saya, seni lukis adalah dunia asing yang menghanyut-asyikkan. Meski saya tak cukup pandai untuk menjelaskan argumennya, saya dapat merasakan perbedaan antara gambar dan lukisan. Pada gambar-gambar pemandangan yang dipajang berjejer di pinggir jalan, tak ada aura yang berhasil menyedot saklar imajinasi. Pada gambar-gambar itu, mata hanya berfungsi melihat, dan selalu gagal membayangkan, menciptakan asosiasi, membangun dunia metaforis. Tidak ada peristiwa kemanusiaan di sana. Ia seperti berwarna yang mungkin hanya dapat memukaukan mata, tetapi tak menggelisahkan rasa kemanusiaan dan pemikiran tentang problem manusia dan kemanusiaan.
Pada lukisan para maestro macam karya Affandi, termasuk juga lukisan-lukisan Chandra Johan itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja, saya seperti disergap aura yang memancar dari sana. Itulah –barangkali—yang disebut misteri karya-karya agung. Ia serempak—seketika, tanpa sadar, seperti menyedot ruh saya memasuki sebuah wilayah yang penuh misteri. Beberapa penyair macam Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM atau Agus R Sarjono, menyebutnya: Itulah karya “wahyu”.
Saya meyakini pernyataan: karya “wahyu”. Pernyataan itu bagai memperoleh pembenaran manakala saya coba beberapa kali menikmati komposisi musik Beethoven atau Mozart. Berulang kali saya terjebak pada berbagai jenis bunyi yang melengking, mengalun, menyedot gendang telinga yang seketika membawa pikiran saya ke dunia asyik—masyuk. Bagaimana sebuah bunyi yang keluar dari alat musik tertentu, tiba-tiba disalip bunyi lain, ditimpali suara lain yang berbeda, disambut denyit gesekan, lengkingan, denyar resiprokal, dan gemuruh yang datang entah dari alat musik mana. Komposisi musik itu memperlihatkan kekayaan warna-warna bunyi, keberbedaannya yang saling bersahutan, melengkapi, komplementer. Komposisi musik itu bagai sengaja hendak membangun sebuah narasi agung tentang panorama bunyi!
Segalanya melenakan gendang telinga dan sekaligus menggelisahkan imajinasi. Ada serangkaian keindahan estetik dalam simpang-siur, timbul tenggelam, segala bunyi komposisi musik itu. Tiba-tiba, ada semacam pleasure yang terpuaskan. Nikmat yang ajaib! Itulah seni adiluhung! Itulah karya “wahyu”. Perkaranya menjadi makin jelas manakala saya mendengar musik pop. Kaki memang tanpa terasa ikut menghentak, jemari mengetuk sesuatu, dan kepala bergoyang ke kiri-kanan atau depan. Asyik sungguh. Tetapi, hanya sebatas itu. Tak inspiring, tak imajinatif! Kembali, saya tak cukup pandai menjelaskan sebab-musababnya. Syaraf estetik saya cukup membuat garis tegas memposisikan karya-karya agung yang memancarkan aura, yang memberi pencerahan batin, dan menceburkan penikmatnya pada denyar asosiasi yang tak berbatas. Berbeda dengan karya populer yang sekadar enak bergoyang, tetapi tak memberi pencerahan pada penikmatnya!
***
Sebagai orang yang mengagumi kegelisahan, sesungguhnya ada rasa cemas di balik keterpukauan saya pada lukisan-lukisan Chandra Johan ketika itu. Selesaikah capaian estetiknya? Melihat posisinya dalam peta seni lukis Indonesia, boleh jadi, gerak langkahnya belum selesai. Jalan panjang masih terbentang. Saya ingin melihatnya menancapkan sebuah monumen.
Dalam dunia sastra, bahkan juga dalam perjalanan panjang kehidupan seni, hampir setiap monumen dipuja pada zamannya, tetapi sekaligus juga digugat, coba ditumbangkan, dan dibangun kembali monumen lain sambil sekalian memahatkan nama-nama. Semodel dengan gagasan Thomas Kuhn perihal paradigma ilmu pengetahuan. Sekadar contoh, Gustave Flaubert adalah salah satu nama yang merobohkan kemapanan romantisisme. Ia membangun monumen lain yang bernama realisme. Gustave Flaubert, Sang Bapak Realisme itu pun coba digugat lagi oleh Emile Zola yang belakangan kemudian dianggap sebagai Bapak Naturalisme. Begitulah seterusnya, selalu muncul nama-nama baru sampai pada Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Tentu saja sebelumnya, dari belahan lain, Friedrich Nietzsche tidak dapat diabaikan begitu saja ketika orang berbicara tentang eksistensialisme dan absurdisme.
Nama-nama itu adalah representasi riwayat kecamuk kegelisahan pemikiran—filsafat yang membangun sebuah monumen yang bernama paradigma. Dalam dunia sastra, bahkan juga dalam kesenian (modern), itulah yang dimaksud batas tipis ketegangan konvensi—inovasi. Secara kasat mata, tidak jelas di mana titik bentangan garis demarkasi berada. Tetapi, secara konseptual, ia berpadu, luluh-menyatu, berkelindan, menjadi bagian integral dan tumplek dalam karya yang di belakangnya mendekam capaian estetik. Semangat meraih capaian estetik itu, tak banyak disadari para seniman kebanyakan. Hanya Seniman (dengan S-Besar) Sejati (juga dengan S-Besar) yang mempunyai kesadaran itu. Ia menjauh dan menistakan dunia epigonisme, bebekisme dan kubangan para pengekor. Ia berada jauh lebih tinggi di atas kepala para penjiplak nista. Bahkan, ia mempersetankan dan mengharamkan berada dalam bayang-bayang, meski dalam sekejap waktu.
Tak pelak lagi, Seniman Sejati adalah Manusia (juga dengan M-Besar) dengan kesadaran cogito ergo sum—Descartes, atau uebermensch—Nietzsche. Manusia yang tak pernah berhenti mencari, yang gemar memelihara kegelisahan, dan terus-menerus berburu capaian estetik. Jangan lupa, yang dilakukannya tidaklah sekadar berbuat—bertindak an sich, melainkan lahir dari sebuah kesadaran sejarah. Ia coba memahami masa lalu, mempelajarinya, mencatat cermat kelebihan—kekurangannya, mencantelkan dengan konteks sekarang, dan segera menghancurkannya untuk menawarkan paradigma baru, membangun monumen lain untuk menancapkan capaian estetik yang diyakininya.
Chairil Anwar adalah penyair yang memahami betul Amir Hamzah, para penyair Pujangga Baru, bahkan juga sejumlah penyair dunia. Ia mengetahui dengan sangat baik segala ceruk lorong estetika karya para penyair sebelumnya. Itulah senjata Chairil Anwar untuk menumbang-hancurkan mereka dan mengusung estetika baru. Hal itu pula yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri pada Chairil Anwar dan penyair seangkatannya dan terus kebelakang pada Amir Hamzah, Hamzah Fansuri, bahkan juga pada khazanah puisi tradisional (Melayu), seperti pantun, gurindam, dan mantera.
Apa maknanya kedua penyair itu –Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri—menyampaikan sikap kepenyairannya sambil mengibarkan panji konsep estetik yang menjadi landasan proses kreatif penciptaan. Inilah yang dimaksudkan Chairil Anwar sebagai kebebasan dan kebertanggungjawaban seniman pada kebudayaan, pada kemanusiaan: “Kemerdekaan dan Pertanggungan Jawab adalah harga manusia, harga Penghidupan ini….”
***
Membaca konsep estetik Chandra Johan dan sikap berkeseniannya, saya menangkap adanya semangat menggelegak yang lahir atas kegelisahan yang tak dapat dibendungnya. Ia tidak sekadar menempatkan profesinya sebagai pelukis dalam dimensi kerja kuantitatif dengan segala konsistensi menanamkan kualitas estetik, melainkan sebuah totalitas kesadaran cogito ergo sum—uebermensch! Chandra Johan berbuat—bertindak dengan segala kesadaran itu. Ia telah menunjukkan elan vitalitasnya dalam berkesenian, dan secara luas, dalam berkebudayaan. Maka, apa pun realitas yang dipahaminya dan coba diterjemahkan lewat serangkaian eksplorasi tentang hakikat realitas, di dalamnya ada pemikiran atas kesadaran sejarah panjang seni lukis, ada kesadaran menancapkan sikap berkeseniannya sebagai totalitas ekspresi kreatif, dan semangat membuncah membangun monumen, merayakan capaian estetik.
Lihat saja, dari mana datangnya gagasan hendak menempatkan tokoh rekaan –fiksional Rafilus, tokoh utama novel Rafilus karya Budi Darma sebagai objek realitas, jika bukan dari sebuah kegilaan Manusia dengan kesadaran cogito ergo sum—uebermensch itu. Rafilus adalah tokoh fiksi yang berada dalam lingkaran absurditas. Rafilus lahir dari sebuah gagasan gila Budi Darma. Gagasan gila itu ditafsirkan Chandra Johan dengan segala kegilaannya lagi, sebab ia mereka-ulang dan menerjemahkannya dalam bentangan kanvas, sapuan warna-warna lalu wujud menjadi lukisan. Jadi, gagasan gila itu patutlah ditempat-kan dalam konteks pandangan Pascal: “Manusia pastilah demikian gilanya, sehingga –kalaupun ia tidak gila—tetap dianggap gila dari sudut pandang kegilaan yang lain.”
Begitulah Seniman Sejati adalah Manusia dengan segala gagasan gilanya yang tidak hadir begitu saja, asal beda. Kesadaran pada sejarah dan usaha untuk mempelajari—memahami deretan monumen, kesadaran pada totalitas atas sikap berkesenian, dan kesadaran pada semangat merayakan capaian estetik, telah menghanyutkannya pada tindak eksploratif yang tak pernah berhenti untuk mencari, menemukan, dan menawarkan berbagai-bagai alternatif. Dengan cara itu, seni akan terus menggelinding, dan seniman makin kokoh membangun fondasi legitimasi jati dirinya, eksistensinya, di atas pegunungan manusia dan kemanusiaan.
Melukis bagi Chandra Johan adalah harga kebudayaan, harga kemanusiaan, dan harga kehidupan ini. Maka, hidup berkesenian adalah pertanggungjawabannya pada harga kehidupan ini. Itulah Semangat Seniman Sejati: kiprah berkeseniannya adalah tanggung jawab untuk memberi ruh pada kehidupan. Dan Chandra Johan –bagi saya—telah menunjukkan kualitas kesadaran itu: Semangat Seniman Sejati!
Bojonggede, 9 Juli 2008
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2012/05/elan-vital-chandra-johan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar