Jumat, 19 Juni 2020

ELAN VITAL CHANDRA JOHAN

Maman S. Mahayana *

Chandra Johan: pelukis yang saya kenal ketika kami bersama di Dewan Kesenian Jakarta (2003—2005). Suatu saat, dalam sebuah obrolan santai, ia memperkenalkan sejumlah koleksi lukisannya. Amboi! Lukisan apakah gerangan? Bagaimana mungkin, sesuatu—lukisan-lukisan itu— yang belum saya pahami maknanya, tiba-tiba menciptakan serangkaian keterpanaan. Saya benci lukisan-lukisan itu. Sebab, tanpa kompromi seketika ia membelit saya pada ketakberdayaan: saya tak berdaya menghindar aura pesonanya.

Chandra Johan, lukisan-lukisanmu itu selalu saja menggagalkan saya menyembunyikan decak kagum! Sungguh. Lukisannya memukau, menyihir, dan menghamparkan lautan tafsir. Boleh jadi lantaran itulah saya tak pernah jera menempatkan diri sebagai mualaf seni lukis. Cukuplah saya merasakan sesuatu yang aneh menyelusup-menyirami inspirasi saat saya memeloti setiap goresan halus, bergerinjul, akas, kencang, berlari-berderap, dan kadang kala tampak sempoyongan memainkan jurus-jurus dewa mabuknya. Entahlah. Saya membayangkan sosok pelukis yang hanyut-tenggelam, blep! Ia dibelit-bekap ekspresi kreatifnya sendiri; mengalami ekstase, memasuki wilayah manunggal ing kawula gusti!

Ketika saya coba lagi dan coba lagi menikmati lukisan-lukisan Chandra Johan, selalu saja situasi itu yang tiba-tiba menyerobot usaha saya untuk memahami maknanya. Kesimpulan sederhana saya begini: lukisan-lukisan sejenis Tryptych, S-Before the Storm, atau Ironic, dan beberapa karya Chandra Johan lainnya, kerap memancarkan sihirnya dan menyedot saya memasuki warna-warna imajinatif, ketika saya tak peduli pada makna! Itu lukisan, dan bukan karya sastra! Jadi, nikmati saja, lantaran kau akan sia-sia ketika memaksakan diri mengejar makna. Maka, ketika kau masuk ke dalam warna-warna imajinatif itu, di situlah seketika terbentang lautan tafsir.

Begitulah manakala sentuh estetik (aesthetic contact) datang menawarkan lanskap imajinasi, saya membiarkan logika formal berhenti untuk sementara. Ketika saya coba berenang di tengah lautan tafsir itu menuju pantai yang entah di mana, ombak besar makin dahsyat mengombang-ambing hukum kausalitas. Di sana, logika berantakan. Begitu saya melepaskan diri dari segala beban makna, membayangkan diri bercengkerama dengan segala gerak yang menghempas, yang melambungkan saklar imajinasi, situasinya menjadi lain. Saya mulai merasakan keasyikan yang mempesona dan pesona yang mengasyikkan Mungkin tafsir saya salah. Tetapi, saya tak bakal menyesal dengan kesalahan itu.

Bagi saya, seni lukis adalah dunia asing yang menghanyut-asyikkan. Meski saya tak cukup pandai untuk menjelaskan argumennya, saya dapat merasakan perbedaan antara gambar dan lukisan. Pada gambar-gambar pemandangan yang dipajang berjejer di pinggir jalan, tak ada aura yang berhasil menyedot saklar imajinasi. Pada gambar-gambar itu, mata hanya berfungsi melihat, dan selalu gagal membayangkan, menciptakan asosiasi, membangun dunia metaforis. Tidak ada peristiwa kemanusiaan di sana. Ia seperti berwarna yang mungkin hanya dapat memukaukan mata, tetapi tak menggelisahkan rasa kemanusiaan dan pemikiran tentang problem manusia dan kemanusiaan.

Pada lukisan para maestro macam karya Affandi, termasuk juga lukisan-lukisan Chandra Johan itu, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja, saya seperti disergap aura yang memancar dari sana. Itulah –barangkali—yang disebut misteri karya-karya agung. Ia serempak—seketika, tanpa sadar, seperti menyedot ruh saya memasuki sebuah wilayah yang penuh misteri. Beberapa penyair macam Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM atau Agus R Sarjono, menyebutnya: Itulah karya “wahyu”.

Saya meyakini pernyataan: karya “wahyu”. Pernyataan itu bagai memperoleh pembenaran manakala saya coba beberapa kali menikmati komposisi musik Beethoven atau Mozart. Berulang kali saya terjebak pada berbagai jenis bunyi yang melengking, mengalun, menyedot gendang telinga yang seketika membawa pikiran saya ke dunia asyik—masyuk. Bagaimana sebuah bunyi yang keluar dari alat musik tertentu, tiba-tiba disalip bunyi lain, ditimpali suara lain yang berbeda, disambut denyit gesekan, lengkingan, denyar resiprokal, dan gemuruh yang datang entah dari alat musik mana. Komposisi musik itu memperlihatkan kekayaan warna-warna bunyi, keberbedaannya yang saling bersahutan, melengkapi, komplementer. Komposisi musik itu bagai sengaja hendak membangun sebuah narasi agung tentang panorama bunyi!

Segalanya melenakan gendang telinga dan sekaligus menggelisahkan imajinasi. Ada serangkaian keindahan estetik dalam simpang-siur, timbul tenggelam, segala bunyi komposisi musik itu. Tiba-tiba, ada semacam pleasure yang terpuaskan. Nikmat yang ajaib! Itulah seni adiluhung! Itulah karya “wahyu”. Perkaranya menjadi makin jelas manakala saya mendengar musik pop. Kaki memang tanpa terasa ikut menghentak, jemari mengetuk sesuatu, dan kepala bergoyang ke kiri-kanan atau depan. Asyik sungguh. Tetapi, hanya sebatas itu. Tak inspiring, tak imajinatif! Kembali, saya tak cukup pandai menjelaskan sebab-musababnya. Syaraf estetik saya cukup membuat garis tegas memposisikan karya-karya agung yang memancarkan aura, yang memberi pencerahan batin, dan menceburkan penikmatnya pada denyar asosiasi yang tak berbatas. Berbeda dengan karya populer yang sekadar enak bergoyang, tetapi tak memberi pencerahan pada penikmatnya!
***

Sebagai orang yang mengagumi kegelisahan, sesungguhnya ada rasa cemas di balik keterpukauan saya pada lukisan-lukisan Chandra Johan ketika itu. Selesaikah capaian estetiknya? Melihat posisinya dalam peta seni lukis Indonesia, boleh jadi, gerak langkahnya belum selesai. Jalan panjang masih terbentang. Saya ingin melihatnya menancapkan sebuah monumen.

Dalam dunia sastra, bahkan juga dalam perjalanan panjang kehidupan seni, hampir setiap monumen dipuja pada zamannya, tetapi sekaligus juga digugat, coba ditumbangkan, dan dibangun kembali monumen lain sambil sekalian memahatkan nama-nama. Semodel dengan gagasan Thomas Kuhn perihal paradigma ilmu pengetahuan. Sekadar contoh, Gustave Flaubert adalah salah satu nama yang merobohkan kemapanan romantisisme. Ia membangun monumen lain yang bernama realisme. Gustave Flaubert, Sang Bapak Realisme itu pun coba digugat lagi oleh Emile Zola yang belakangan kemudian dianggap sebagai Bapak Naturalisme. Begitulah seterusnya, selalu muncul nama-nama baru sampai pada Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Tentu saja sebelumnya, dari belahan lain, Friedrich Nietzsche tidak dapat diabaikan begitu saja ketika orang berbicara tentang eksistensialisme dan absurdisme.

Nama-nama itu adalah representasi riwayat kecamuk kegelisahan pemikiran—filsafat yang membangun sebuah monumen yang bernama paradigma. Dalam dunia sastra, bahkan juga dalam kesenian (modern), itulah yang dimaksud batas tipis ketegangan konvensi—inovasi. Secara kasat mata, tidak jelas di mana titik bentangan garis demarkasi berada. Tetapi, secara konseptual, ia berpadu, luluh-menyatu, berkelindan, menjadi bagian integral dan tumplek dalam karya yang di belakangnya mendekam capaian estetik. Semangat meraih capaian estetik itu, tak banyak disadari para seniman kebanyakan. Hanya Seniman (dengan S-Besar) Sejati (juga dengan S-Besar) yang mempunyai kesadaran itu. Ia menjauh dan menistakan dunia epigonisme, bebekisme dan kubangan para pengekor. Ia berada jauh lebih tinggi di atas kepala para penjiplak nista. Bahkan, ia mempersetankan dan mengharamkan berada dalam bayang-bayang, meski dalam sekejap waktu.

Tak pelak lagi, Seniman Sejati adalah Manusia (juga dengan M-Besar) dengan kesadaran cogito ergo sum—Descartes, atau uebermensch—Nietzsche. Manusia yang tak pernah berhenti mencari, yang gemar memelihara kegelisahan, dan terus-menerus berburu capaian estetik. Jangan lupa, yang dilakukannya tidaklah sekadar berbuat—bertindak an sich, melainkan lahir dari sebuah kesadaran sejarah. Ia coba memahami masa lalu, mempelajarinya, mencatat cermat kelebihan—kekurangannya, mencantelkan dengan konteks sekarang, dan segera menghancurkannya untuk menawarkan paradigma baru, membangun monumen lain untuk menancapkan capaian estetik yang diyakininya.

Chairil Anwar adalah penyair yang memahami betul Amir Hamzah, para penyair Pujangga Baru, bahkan juga sejumlah penyair dunia. Ia mengetahui dengan sangat baik segala ceruk lorong estetika karya para penyair sebelumnya. Itulah senjata Chairil Anwar untuk menumbang-hancurkan mereka dan mengusung estetika baru. Hal itu pula yang dilakukan Sutardji Calzoum Bachri pada Chairil Anwar dan penyair seangkatannya dan terus kebelakang pada Amir Hamzah, Hamzah Fansuri, bahkan juga pada khazanah puisi tradisional (Melayu), seperti pantun, gurindam, dan mantera.

Apa maknanya kedua penyair itu –Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri—menyampaikan sikap kepenyairannya sambil mengibarkan panji konsep estetik yang menjadi landasan proses kreatif penciptaan. Inilah yang dimaksudkan Chairil Anwar sebagai kebebasan dan kebertanggungjawaban seniman pada kebudayaan, pada kemanusiaan: “Kemerdekaan dan Pertanggungan Jawab adalah harga manusia, harga Penghidupan ini….”
***

Membaca konsep estetik Chandra Johan dan sikap berkeseniannya, saya menangkap adanya semangat menggelegak yang lahir atas kegelisahan yang tak dapat dibendungnya. Ia tidak sekadar menempatkan profesinya sebagai pelukis dalam dimensi kerja kuantitatif dengan segala konsistensi menanamkan kualitas estetik, melainkan sebuah totalitas kesadaran cogito ergo sum—uebermensch! Chandra Johan berbuat—bertindak dengan segala kesadaran itu. Ia telah menunjukkan elan vitalitasnya dalam berkesenian, dan secara luas, dalam berkebudayaan. Maka, apa pun realitas yang dipahaminya dan coba diterjemahkan lewat serangkaian eksplorasi tentang hakikat realitas, di dalamnya ada pemikiran atas kesadaran sejarah panjang seni lukis, ada kesadaran menancapkan sikap berkeseniannya sebagai totalitas ekspresi kreatif, dan semangat membuncah membangun monumen, merayakan capaian estetik.

Lihat saja, dari mana datangnya gagasan hendak menempatkan tokoh rekaan –fiksional Rafilus, tokoh utama novel Rafilus karya Budi Darma sebagai objek realitas, jika bukan dari sebuah kegilaan Manusia dengan kesadaran cogito ergo sum—uebermensch itu. Rafilus adalah tokoh fiksi yang berada dalam lingkaran absurditas. Rafilus lahir dari sebuah gagasan gila Budi Darma. Gagasan gila itu ditafsirkan Chandra Johan dengan segala kegilaannya lagi, sebab ia mereka-ulang dan menerjemahkannya dalam bentangan kanvas, sapuan warna-warna lalu wujud menjadi lukisan. Jadi, gagasan gila itu patutlah ditempat-kan dalam konteks pandangan Pascal: “Manusia pastilah demikian gilanya, sehingga –kalaupun ia tidak gila—tetap dianggap gila dari sudut pandang kegilaan yang lain.”

Begitulah Seniman Sejati adalah Manusia dengan segala gagasan gilanya yang tidak hadir begitu saja, asal beda. Kesadaran pada sejarah dan usaha untuk mempelajari—memahami deretan monumen, kesadaran pada totalitas atas sikap berkesenian, dan kesadaran pada semangat merayakan capaian estetik, telah menghanyutkannya pada tindak eksploratif yang tak pernah berhenti untuk mencari, menemukan, dan menawarkan berbagai-bagai alternatif. Dengan cara itu, seni akan terus menggelinding, dan seniman makin kokoh membangun fondasi legitimasi jati dirinya, eksistensinya, di atas pegunungan manusia dan kemanusiaan.

Melukis bagi Chandra Johan adalah harga kebudayaan, harga kemanusiaan, dan harga kehidupan ini. Maka, hidup berkesenian adalah pertanggungjawabannya pada harga kehidupan ini. Itulah Semangat Seniman Sejati: kiprah berkeseniannya adalah tanggung jawab untuk memberi ruh pada kehidupan. Dan Chandra Johan –bagi saya—telah menunjukkan kualitas kesadaran itu: Semangat Seniman Sejati!

Bojonggede, 9 Juli 2008

_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2012/05/elan-vital-chandra-johan/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi