Sabtu, 21 November 2020

“PERCERAIAN” PROSA DAN PUISI

Makalah Kemah Sastra Medini 23 April 2016
 
F. Rahardi *
 
Sebenarnya Panitia Kemah Sastra minta saya mengulas tentang “Perkawinan” Prosa dengan Puisi. Sebab belakangan memang ada kecenderungan seperti itu. Puisi makin bernarasi, prosanya menjadi puitis. Tapi ternyata prosa dan puisi itu sebenarnya  tidak pernah kawin. Mereka sekadar rindu pada masa lalu saat prosa dan puisi merupakan satu kesatuan.
 
Dalam sastra purba, prosa dan puisi memang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Contohnya dalam Epik Gilgamesh, yang ditulis tahun 2.100 SM di Sumeria (lembah Sungai Tigris dan Euphrat), yang sampai sekarang masih dianggap sebagai salah satu karya sastra tertua di dunia. Epik ini jelas berbentuk puisi, tetapi di sana ada tokoh, ada latar, dan ada alur cerita. Aslinya Epik Gilgamesh ditulis menggunakan salah satu dialek Bahasa Akkadian, dengan Huruf Paku (yang sudah menjadi lambang bunyi, bukan piktograf seperti hieroglyp), di atas tablet tanah liat. Teks Gilgamesh tulisan latin, baik dalam bahasa aslinya maupun Bahasa Inggris, bisa diakses melalui situs <http://etcsl.orinst.ox.ac.uk/cgi-bin/etcsl.cgi?text=c.1.8.1*#&gt;.
 
Tulisan paling tua yang saat ini diketahui manusia dibuat tahun 2.600 SM (juga berasal dari Sumeria), bukan fiksi sastra. Tulisan itu berupa semacam petuah atau kebijaksanaan, berjudul Instruksi Shuruppak, juga ditulis menggunakan Bahasa Akkadian, berhuruf Paku. Karena bukan fiksi, dalam Instruksi Shuruppak tak ada dikotomi puisi dengan prosa. Karya-karya sastra yang lebih muda, seperti Iliad dan Odyssey (Homerus) 800 SM; Mahabharata (Vyasa) 400 SM; Ramayana (Valmiki) 500 SM; La Galigo (anonim) 1200; Legenda Ular Putih (anonim) 1300an; Babad Tanah Jawi (anonim) tahun 1500an; masih setia menggunakan bentuk puisi epik. “Perceraian” prosa dari puisi, diawali dari Mesir dan tak dilakukan oleh karya sastra, melainkan karya jurnalistik.
 
Tersebutlah pada tahun 1400an SM, Thutmose III dinobatkan sebagai Firaun Mesir tatkala masih berusia remaja. Praktis yang berkuasa di Mesir Kuno pada waktu itu sebenarnya para tetua kerajaan. Dengan niat jahat, mereka minta Thutmose III yang sama sekali tak punya pengalaman, untuk berperang menaklukkan Negeri Kanaan (sekarang Israel). Megiddo yang terletak dekat Gunung Karmel, selama ini merupakan kota yang teramat sangat sulit ditaklukkan. Para tetua kerajaan, berharap Thutmose III gugur, lalu mereka akan menobatkan Firaun yang waktu itu masih bayi, hingga mereka tetap bisa berkuasa untuk jangka waktu lama. Harapan para tetua kerajaan ini tak kesampaian.
 
Thutmose III yang masih remaja itu ternyata jago perang dan ahli strategi. Megiddo berhasil ditaklukkan. Detil peperangan itu terekam dalam pahatan huruf hieroglyp di dinding Kuil Amun-Re, di Karnak, Thebes (sekarang Luxor, Mesir). Thutmose III tak hanya jago perang tetapi juga cerdas. Ia mengajak seorang penulis muda bernama Tjaneni. Penulis inilah yang melihat langsung peperangan, sambil mencatat di atas lembaran pelepah papyrus menggunakan huruf hieroglyp. Catatan Tjaneni ini merupakan karya jurnalistik (reportase) pertama di dunia, dan sepenuhnya menggunakan bentuk prosa. Pahatan dinding Kuil Amun-Re, merupakan “hard copy” dari catatan Tjaneni di lembaran papyrus.
 
Dari Prosa ke Retorika
 
Sesuai kodratnya, puisi lebih tepat digunakan untuk melukiskan perasaan yang paling mendalam. Meskipun dalam puisi epik ada tokoh, ada latar, dan ada alur cerita, kedalaman perasan itu tetap bisa terasakan dalam bait dan rima yang tersusun. Dalam Puisi Jawa “kedalaman” itu menjadi lebih rumit karena persyaratan jumlah baris, jumlah suku kata, dan persamaan vokal/konsonan pada akhir kata tiap baris (guru gatra, guru wilangan, guru lagu). Ketika berada di tengah peperangan di Megiddo, Tjaneni tak sempat menjadi mellow lalu menuliskan jalannya peperangan berupa puisi epik sesuai dengan kecenderungan saat itu. Ia mencoba mematikan perasaan, dan cepat mencatat jalannya peperangan dengan data-data akurat. Sejak itulah, manusia mulai mengenal prosa meskipun bukan berupa karya sastra.
 
Musa, yang diperkirakan hidup pada pergantian abad XIII ke abad XII SM, menggunakan bentuk prosa untuk menulis Taurat Yahudi. Sama dengan catatan reportase Tjaneni, Taurat Yahudi juga dingin tanpa emosi. Pada abad VI Pherecydes dari Syros dan Cadmus dari Miletus memperkenalkan bentuk prosa dalam penulisan ke Yunani. Tapi di negeri ini, prosa tak berkembang, yang tumbuh malahan drama. Sophocles (497 – 406 SM), dengan karya-karyanya seperti Oedipus Sang Raja, Oedipus di Colonus dan Antigone, merupakan puncak dari drama klasik dunia. Para filsuf Yunani, terutama Aristotélēs (384–322 SM), kemudian mengembangkan sistematika berbahasa dalam prosa yang dikenal sebagai retorika (narasi, diskripsi, eksposisi, argumentasi dan persuasi).
 
Awalnya retorika lebih banyak diterapkan dalam seni berpidato. Kemudian Gorgias (485 – 380 SM), mencoba menerapkan retorika dalam penulisan. Tampaknya Eropa “purba” (Yunani dan Romawi), memang tak terlalu berjodoh dengan fiksi berbentuk prosa. Lain halnya dengan Asia (Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Timur dan  Asia Tenggara). Di kawasan ini fiksi berbentuk prosa berkembang sangat baik berupa cerita rakyat, dongeng, fabel, dan legenda. Di antara sekian banyak fiksi berbentuk prosa ini, satu dua ada yang menjadi klasik dan abadi. Misalnya Kisah 1001 malam, Dongeng Kancil, Bawang Merah dan Bawang Putih. Umumnya, cerita rakyat dan lain-lain ini disampaikan secara lisan dari generasi ke generasi. Ketika prosa ini dicatat dalam bentuk tulisan, biasanya si penulis tak mencantumkan nama dirinya.
 
Perceraian puisi dari puisi epik hingga menjadi puisi murni, terjadi jauh di negeri Tiongkok. Para pertapa yang diam dalam kesunyian, mampu membebaskan diri dari gerak dan peristiwa, lalu melukiskan penyatuan mereka dengan alam dan Allah dalam bentuk puisi. Kalau prosa dihasilkan dari gerak dan peristiwa, maka puisi merupakan hasil kontemplasi. Puisi-puisi klasik Tiongkok ini umumnya anonim. Konghucu (551 – 479 SM) filsuf dan guru kebijaksanaan, telah menyeleksi puisi-puisi anonim ini,  termasuk puisi-puisi rakyat yang sudah ditulis pada abad VII SM, untuk dikumpulkan. Puisi-puisi murni Tiongkok ini disebut Shijing. Tradisi menulis puisi murni di tiongkok ini terus berlanjut dari tahun 475 – 221 SM dan seterusnya. Puisi-puisi dari zaman ini disebut Chu Ci. Setelah itu, mulailah muncul puisi-puisi klasik Tiongkok yang ditulis oleh penyair dengan mencantumkan nama mereka.
 
Novel dan Cerita Pendek
 
Meski sudah tidak anonim, puisi klasik Tiongkok tetap merupakan cermin keberhasilan penyatuan diri penyair dengan alam dan Allah. Dari daratan Tiongkok, konsep penulisan puisi klasik ini, menyebar ke Jepang dan dikenal sebagai haiku. Maka Haiku sebenarnya bukan sekadar bentuk puisi, yang kalau kita patuhi, akan secara otomatis melahirkan karya hebat. Haiku bahkan hampir identik dengan Jepang, sama halnya dengan bonsai, ikan koi, judo, sumo, dan sashimi. Maka juga hampir mustahil penyair yang bukan orang Jepang bisa menulis Haiku sebaik para penyair Jepang. Baik di Jepang, Tiongkok, maupun Korea, tradisi menulis puisi murni ini kemudian juga menyatu dengan seni kaligrafi.
 
Sebenarnya, Jepang tak hanya melahirkan Haiku, melainkan juga “novel pertama” di dunia.  Hikayat (Kisah) Genji (Genji Monogatari), yang ditulis oleh Murasaki Shikibu pada abad XII, acap kali dianggap sebagai novel pertama di dunia. Murasaki Shikibu sebenarnya merupakan nama samaran. Nama sebenarnya diduga Fujiwara Takako. Sama dengan Epik Gilgamesh, versi Bahasa Inggris Hikayat Genji juga bisa dibaca publik dalam berbagai bentuk di beberapa situs. Karya klasik Jepang ini juga pernah difilmkan oleh Kadokawa Pictures dengan sutradara Yasuo Tsuruhashi, dengan judul Genji Monogatari: Sennen no Nazo. Film berdurasi 136 menit ini diputar perdana 10 Desember 2011.
 
Selain Hikayat Genji, karya Miguel de Cervantes (1547 – 1616) berjudul Don Quixote (El ingenioso hidalgo don Quijote de la Mancha) juga dianggap sebagai novel (kadang disebut roman) pertama di dunia. Tahun 1923, karya Miguel de Cervantes ini pernah diterjemahkan Abdul Muis (penulis Salah Asuhan), dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, dengan judul Don Kisot.  Don Quixote memang telah menginspirasi banyak seniman untuk menciptakan berbagai karya. Antara lain opera (Jules Massenet), balet (Léon Minkus), dan komposisi (Richard Strauss). Dalam rangka merayakan HUT ke 70 pada tahun 2011, terbit kumpulan puisi Goenawan Mohamad berjudul Don Quixote (Tempo/PT Grafiti Pers 2011).
 
The Poisoner of Montremos (1791), karya penulis Inggris Richard Cumberland (1732 – 1811), sampai saat ini masih dianggap sebagai cerita pendek pertama di dunia. Perkembangan Novel dan cerita pendek, tak lepas dari pertumbuhan kultur media massa cetak, berupa buku, majalah, dan koran. Media massa cetak merupakan kultur hibrida antara budaya timur karena kertas diketemukan di China pada abad II, sementara mesin cetak ditemukan di Eropa pada abad XV. Dengan adanya buku, majalah dan koran; karya sastra, buku agama, dan terutama ilmu pengetahuan bisa dibaca oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja. Kalau prosa tumbuh melalui media massa cetak; puisi (sebagai teks lagu) ikut terangkat oleh pentas musik klasik, dan kemudian pentas serta rekaman musik modern. Sementara puisi murni menjadi lebih melekat ke kedalaman berpikir sebagai ekspresi pribadi.
 
Perkembangan di Indonesia
 
Dibanding sastra “daerah” terlebih dengan sastra dunia; sastra Indonesia tergolong masih sangat muda. Sama halnya dengan Bahasa Indonesia yang sampai sekarang masih terus bertumbuh sejalan dengan perkembangan Bangsa dan Negara Indonesia. Ketika timbul kesadaran menggunakan Bahasa Indonesia, yang disertai pula dengan kesadaran untuk menulis karya sastra menggunakan Bahasa Indonesia; sastra daerah; terutama Sastra Melayu, Sastra Jawa dan Sastra Bali masih sangat kuat. Sastra Indonesia yang lahir sebelum kemerdekaan, sangat dipengaruhi oleh karya sastra berbahasa daerah. Novel Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Salah Asuhan (Abdoel Moeis), dan Siti Nurbaya (Marah Rusli); merupakan puncak-puncak “gunung es” yang sarat berisi novel Berbahasa Melayu karya para penulis keturunan Tionghoa.
 
Demikian pula halnya dengan puisi. Karya-karya  Armin Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana; masih tampak sangat sulit untuk bisa lepas dari pengaruh puisi Melayu lama. Keputusan Bangsa Indonesia, untuk menggunakan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional, mengakibatkan para sastrawan pengguna Bahasa Melayu sebagai bahasa ibu, bisa tampil lebih cepat dibanding dengan sastrawan pengguna bahasa ibu bukan Bahasa Melayu. Maka, meskipun Etnisitas Jawa paling besar di negeri ini, sastrawan dari etnisitas ini muncul lebih belakangan dibanding sastrawan dari Sumatera, yang menggunakan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Ibu. Karya prosa berupa novel dan cerita pendek, serta puisi yang lahir pada awal kelahiran Bahasa Indonesia, pada umumnya masih sangat setia pada kaidah prosa dan puisi.
 
Novel dan cerita pendek Indonesia menjadi puitis (mellow), karena pengaruh genre chik literature (chick lit), yang booming di AS pada dekade 1990an. Di Indonesia, gelombang chick lit ini dipelopori oleh novel Saman (Ayu Utami), dan kemudian disusul oleh para pengikutnya. Genre chick lit sebenarnya merupakan kelanjutan dari genre roman (romance novel), yang menjadi trend abad XVIII. Dalam roman, perempuan (dan cinta) dieksplorasi (dan dieksploitasi), oleh para penulis laki-laki. Pada chick lit, perempuan (dan seks), dieksplorasi (dan dieksploitasi) oleh para penulis perempuan sendiri. Eskplorasi ini antara lain dilakukan dengan revitalisasi penggunaan idiom, frasa, kalimat, dan paragraf yang cenderung puitis. Tokoh, latar dan alur cerita memang masih diutamakan, tetapi ada sajian baru berupa eksplorasi linguistik.
 
Dalam puisi juga terjadi hal yang sama, yakni kecenderungan untuk memrosa. Beda dengan prosa yang menjadi puitis dari akar romantisme, puisi memrosa bukan karena pengaruh romance poetry abad XIX, melainkan dari absurditas dan surealitas, yang juga melanda cabang kesenian lain pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Dalam seni rupa dan teater, absurditas dan surealitas lebih kentara pengaruhnya. Di Indonesia memrosanya puisi ditandai oleh karya Afrizal Malna dan Joko Pinurbo. Meski mereka bicara tentang hal-hal konkrit: mikrofon, celana, sarung; tapi sebenarnya hal yang ingin mereka kemukakan absurditas dan surealitas di balik benda-benda itu. Inilah yang tak ditangkap oleh generasi penerus mereka, dengan menghasilkan puisi yang asal panjang dan memrosa.
 
Dengan fakta-fakta yang saya kemukakan di atas, saya melihat bahwa gejala prosa yang makin puitis dan puisi yang menjadi naratif, bukan menandakan perkawinan prosa dengan puisi; melainkan sekadar “kerinduan” akan masa kejayaan puisi epik yang dipelopori oleh Gilgemesh, dan terus berlanjut ke  Odyssey, Mahabharata, Ramayana, sampai ke Babad Tanah Jawi.
 
Cimanggis, 8 April 2016. 
 
*) F. Rahardi, lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah; 10 Juni 1950. Penulis puisi, cerita pendek, artikel, esai, kritik sastra, novel dan buku-buku non fiksi sejak tahun 1969. Kumpulan Puisi Tuyul (Pustaka Sastra 1990) mendapatkan Penghargaan Badan Bahasa 1995. Prosa lirik Negeri Badak (Visi Media 2007) mendapatkan penghargaan SEA Write Award 2009. Novel Lembata (Lamalera 2008) mendapatkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2009. Email: frahardi@yahoo.com Situs: frahardi.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2020/11/perceraian-prosa-dan-puisi/

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi