Sjifa Amori
http://www.jurnalnasional.com/
Pernah jadi acuan karya sastra di Indonesia. Kini, berusaha lagi menjadi barometer penerbitan sastra di Indonesia.
Jika sudah sejak 1995 kalangan seniman gusar akan peran Balai Pustaka yang semakin minim dalam mengangkat harga diri dunia sastra, apalagi saat ini? Jangan-jangan benar kata sastrawan Ibnu Wahyudi. Bahwa, kegusaran itu sudah digantikan sinisme tentang kemampuan Balai Pustaka sebagai pembangkit ruh sastra Indonesia.
Gedung Balai Pustaka boleh jadi masih tegak berdiri. Tapi pesonanya telah lama runtuh. Tak perlu jeli, melangkahkan kaki ke pelataran parkirnya saja, sudah terasa kesan "ditinggalkan". Terasa usang dan jauh dari menarik. Ibarat sebuah kapal, menurut, Direktur Utama Balai Pustaka, Zaim Uchrowi, memang sudah karam. Meski tak berarti tak bisa kembali berlayar dengan segala kemegahannya.
Meski di dalam gedungnya bercokol pula lembaga bergengsi American - Indonesian Exchange Foundation (AMINEF) yang menawarkan beasiswa sangat bergengsi, Fulbright. Toh dekorasi di lantai 6 yang ditempati lembaga itu jauh berbeda dengan lantai 3 di mana sang Dirut Balai Pustaka berkantor. Juga jauh berbeda dari toko buku Balai Pustaka di bagian terluar lantai dasar yang menjual buku-buku terbitan Balai Pustaka.
Tak mesti gedung mewah memang untuk menguatkan image yang positif. Tapi tampil baik, bersih dan asri, kan harus. "Setidaknya untuk menimbulkan rasa bangga bagi pembaca sastra yang khusus datang ke Balai Pustaka, baik karena harus membaca, karena terpaksa membaca, ataupun yang memang ingin membaca buku-bukunya," kata Ibnu Wahyudia saat dihubungi Jurnal Nasional usai mengajar di Fakultas Ilmu Budaya kampus Universitas Indonesia, Depok.
Gejala penurunan popularitas Balai Pustaka ini, menurut Zaim, mulai terjadi sejak akhir 80-an. Yaitu ketika Balai Pustaka tidak lagi dikawal para penulis. Namun dimanajeri pekerja biasa yang tidak besar dalam kultur tulis menulis. "Akhir 80-an, Balai Pustaka sempat dipimpin oleh Subagio Sastrowardoyo." Subagio yang merupakan penyair, penulis cerita pendek dan esei, serta kritikus sastra Indonesia ini dianggap mampu mempertahankan peranan Balai Pustaka dalam dunia sastra Indonesia.
Mulai bangkit
Pada pertengahan 90-an pun, masih menurut Zaim, Balai Pustaka terbilang bangkit secara bisnis. Tapi tetap ada yang hilang. Secara substantif, jiwa penerbit sastra dan budayanya menurun sekali. Diakhiri dengan ketidaksiapan institusi dan timnya menghadapai status Persero yang harus sigap menghadapi perubahan zaman beserta kesulitan kompetisinya.
Dan Balai Pustaka pun resmi makin terpuruk ketika pemerintah mencabut dukungannya. Sampai-sampai posisi direktur utamanya kosong dan hanya jadi bahan tertawaan jika ditawarkan. Apalagi, Balai Pustaka mengemban beban rugi, sampai minus 55 milyar. Tapi Zaim yang diangkat sebagai Direktur Utama PT. Balai Pustaka persero pada 14 Juni 2007, percaya akan kekuatan Balai Pustaka jika berjalan tepat pada track yang pernah dilaluinya.
"Kalau mencoba mengambil kesempatan bisnis di track lain, banyak penerbit lain yang sudah lebih jago. Kita tidak punya modal internal dan jiwa serta spirit ke sana. Jadi biarkan itu digarap penerbit lain. Sementara Balai Pustaka fokus sebagai penerbit pengembang karakter bangsa. Kita merasa bidang itu sebenernya masih kosong," ujar Zaim saat disambangi di kantornya, di Jl. Gunung Sahari Raya No. 4, Jakarta Pusat, Senin (9/6).
Soal keterkaitan sastra dan perkembangan karakter bangsa, J.J. Kusni juga pernah mengutarakannya. Dalam literatur Karya Sastra dan Pembangunan Karakter Bangsa itu, J.J. Kusni menyinggung kembali pendapat Max Lane, pemerhati masalah Indonesia dan eseis Australia, yang pernah menuliskan artikel Post-New Order Literature and the Country's Nation Building di harian The Jakarta Post, Jakarta ( 31 Agustus 2002). Max Lane mendasari artikel tersebut pada premis bahwa "salahsatu ciri bangsa modern terletak pada tubuh sastra nasionalnya. Pada titik tertentu dalam perkembangannya bangsa- bangsa sebagai suatu kolektif massa rakyat yang menyepakati perspektif budaya bersama, sebuah sastra nasionalmuncul kekehidupan dan diakui. Di Indonesia, adanya sastra nasional modern, sejak awal merupakan salah satu komponen sentral perjuangan nasional".
J.J .Kusni yang memiliki gelar doktor sejarah pada I'Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (I'EHESS), Paris, ini, mengatakan sastra nasional berkembang sejajar dengan perkembangan bangsa ini untuk menjadi Indonesia. Gagasan dan debat tentang nasionalisme, tentang keindonesiaan, justru telah mendahului kelahiran organisasi-organisasi politik bertingkat nasional, seakan-akan memperlihatkan bahwa sastra-seni sebagai "republik merdeka", merupakan tenaga pembidas yang kemudian disusul usaha pelaksanaannya oleh rupa-rupa organisasi.
Karena itulah Balai Pustaka harus mampu menghidupkan ruh ini lagi dalam kegiatan penerbitannya. Menjadi pembangun dan pengembang karakter bangsa. Tanpa mengabaikan maraknya persaingan bisnis dan unsur profit. Tentu ini perlu kecakapan dalam hal manajerial yang business oriented. Dan perlu solusi yang konkret dalam hal meraih untung. Atau paling tidak menambal "lubang" kerugian yang dideritanya.
Dalam tulisan yang dipresentasikan pada Seminar Internasional Kesastraan 2007, Ibnu yang pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan, mengemukakan jalan keluar konkret dengan sangat optimistis. Optimisme ini muncul karena kini Balai Pustaka sudah dipimpin orang yang tepat. Dengan catatan, pola kerja mengejar proyek tanpa memikirkan untung rugi harus ditiadakan. "Termasuk korupsinya."
Kiblat sastra
Menurut Ibnu, dengan posisi Balai Pustaka yang masih selamat dan hidup hingga saat ini, masih besar harapan menjadikannya sebagai kiblat sastra. Seperti juga Dewan Bahasa dan Pustakanya Malaysia.
"Kalau di Indonesia ada Gramedia dan Mizan ya nggak apa-apa. Tapi Balai Pustaka yang usianya hampir 100 tahun mestinya harus mempunyai peran yang lebih strategis dan jelas. Dan memang harus dikelola dengan profesional agar bisa bersaing. Kalau Saman lahir dari Kepustakaan Populer Gramedia, artinya Balai Pustaka kan bisa melahirkan karya monumental juga dengan cara lain. Macam-macamlah jalannya. Sayembara dengan imbalan kontrak dan bayaran sangat tinggi. Atau cara lain agar naskah bagus jatuhnya ke Balai Pustaka. Yang pasti harus punya tim atau orang yang tugasnya mengamati dan memburu bakat, jadi bukan hanya menerima naskah dan mempertimbangkan untuk diterbitkan atau tidak. Tapi memiliki tenaga yang jeli dan peka untuk tahu siapa penulis yang pada 5 hingga 10 tahun ke depan akan jadi sastrawan hebat," ujar Ibnu yang juga pernah menyunting karya terbitan Balai Pustaka pada 1980-an. Seperti Lembar-lembar Sajak Lama (kumpulan sajak P. Sengodjo) tahun 1982 dan Pahlawan dan Kucing (kumpulan cerpen Suripman) tahun 1984.
Eksistensi Balai Pustaka saat ini, meskipun dengan semua ketidakpopulerannya adalah sebuah point yang baik untuk memulai. Belum lagi, statusnya sebagai alat dan saksi perjuangan sastra kemerdekaan, membuatnya jadi lembaga pemilik kekayaan negara yang berlimpah.
"Di perpustakaaan kita masih banyak sekali buku-buku zaman Belanda. Itu semua harta kekayaan Balai Pustaka. Dan banyak orang, sastrawan, termasuk saya sendiri yang berhutang karena dibantu dibesarkan oleh Balai Pustaka. Itu bisa dimobilisasi jadi kekuatan yang akan bagus. Seluruh karya klasik kita sampai sekarang masih laku keras. Seperti Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, Layar Terkembang, dan banyak lagi. Kamus kita juga masih jadi andalan," kata Zaim yang pernah bergabung dengan majalah Tempo dan memprakarsai berdirinya Republika hingga pernah menjadi pimpinan redaksi koran tersebut.
"Kita yang mengawali buku-buku budaya. Buku babon induk sejarah nasional juga adanya di Balai Pustaka," tambah Zaim.
Sejarawan Ceko, Milan Hubl, pernah mengatakan, langkah pertama menaklukkan sebuah bangsa adalah dengan memusnahkan ingatannya. Hancurkan buku-buku, kebudayaan, dan sejarahnya. Lalu, perintahkan seseorang untuk menulis buku-buku baru, membangun kebudayaan baru, dan menyusun sejarah baru. Tak akan lama, bangsa itu mulai lupa pada masa kini dan masa lampaunya. M. Hasan Basri mengungkapkan itu semua dalam bukunya Buku dan Karakter bangsa. Dalam rangkuman buku tersebut di situs id.shvoong.com, diutarakan juga pernyataan bahwa buku tidak hanya menjadi kekuatan yang mampu mengubah sebuah bangsa lebih baik, namun buku juga bisa membuat suatu bangsa lupa ingatannya-seperti yang dikatakan Hubl, lupa akan sejarah bangsanya,
tidak ingat akan budayanya serta kehilangan karakter dan identitas bangsanya. Peran ini jelas sangat bisa dimainkan Balai Pustaka.
Pembuktian identitas
Apalagi, di awal pendiriannya, Balai Pustaka ditujukan untuk pembuktian identitas juga. Yaitu pengembangan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia-Belanda. Seperti bahasa Jawa, Sunda, Melayu, dan Madura. Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau. Era itu kemudian jadi penanda penyebaran sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu.
Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Di tahun ini pula lahir novel Serat Rijanto karangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.
Dengan modal dan tujuan identitas bangsa itulah, Balai Pustaka di bawah Zaim bertujuan berkembang sampai ke wilayah Asia Tenggara. Kita bisa mainkan betul pada level Asia Tenggara. "Saya pernah ke Mindanao, Filipina. Ternyata masyarakat di sana bisa berbahasa Melayu. Mereka menyebutkan buku-buku Indonesia. Kemudian di Vietnam dan Kamboja, ada perkampungan Cham dengan masyarakat berbahasa Melayu. Di Thailand juga demikian. Kalau Balai Pustaka bisa menjangkau mereka dan melayani kebutuhan masyarakat nusantara lama ini, akan sangat berarti bagi kita untuk masuk ke tataran regional.
Tapi ini harus diawali dari tingkat nasional dulu. Dari sudut pandang pembaca dan penulis, Ibnu lalu menambahkan, "Setidaknya menimbulkan rasa bangga orang terhadap Balai Pustaka. Apalagi setengah mati susahnya mencari buku-buku Balai Pustaka. Begitu dapat desainnya kuno. Jadi harus memikirkan agar buku-bukunya dikemas dengan desain yang menyebabkan orang bangga membawanya kemana-mana. Harus ada revolusi desain. Tinggal bagaimana Zaim mampu membenahi dan menunjukkan bahwa Balai Pustaka bukan tempat pembuangan naskah yang nggak dimuat di penerbit lain. Tapi kalau bisa, Balai Pustakalah yang pertama kali dikirimi. Makanya harus ada imbalan yang layak. Harus tranparan mengenai jumlah dana kalau ada proyek. Dan kalau ada naskah tidak dimuat, alasannya juga harus jelas."
Memang sampai saat ini belum ada rencana Balai Pustaka untuk "menagih utang" pada sastrawan yang pernah turut dibesarkannya. Karena masih muda usia kepemimpinan Zaim, ia mengaku masih bebenah di dalam. "Cuci piring" bekas pesta yang lalu, baru mulai stratgei ke luar. Supaya pengarang juga tidak kecewa bekerjasama dengan Balai Pustaka.
Dalam waktu dekat ini, Balai Pustaka berencana menerbitkan ulang karya lama. Misalnya Polemik Kebudayaan (1948) karya Achdiat Karta Miharja, karena dirasa relevan dengn kondisi Indonesia saat ini. Belum ada buku baru pun, Balai Pustaka takkan kekurangan bahan. Ia tentu takkan kering dengan harta kekayaan sastra dan budaya yang, sebenarnya, bisa diolah, dikemas, dan dimanajeri kembali dengan pendekatan yang disesuaikan perkembangan zaman.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar