Sabtu, 09 Agustus 2008

Lamongan: Gerakan Sastra dan Buku “Indie”?

Abdul Azis Sukarno

Ada yang menarik ketika dengan tidak sengaja saya berkunjung ke kota kecil di sebelah utara Surabaya akhir Maret 2007 lalu, di mana sosok Amrozi si pelaku salah satu kasus bom Bali berasal. Tapi, tentu bukan dalam masalah di mana kota tersebut akhir-akhir ini akrab dengan kata-kata ‘teroris’, ‘bom’, atau semacamnya, dan diam-diam menjadi bahan perhatian pihak keamanan baik dalam maupun luar negeri. Melainkan, peranannya dalam bidang kesusastraan Indonesia, khususnya di Jawa Timur.

Lamongan, demikian nama kota tersebut, tiba-tiba menggelitik ‘adrenalin’ saya (istilah ini senang sekali digunakan kawan saya Fahrudin Nasrulloh dalam tulisan-tulisannya yang konon biar terkesan gagah, he-he…), untuk minta ditulis perihal anak-anak mudanya yang bersastra dengan gerakan “aneh” dan semangat yang lumayan tidak kalah dengan kawan-kawan seperjuangannya di kota-kota lain seperti Malang dan Surabaya, barangkali.

Ya, gerakan “aneh”, jika kita mengamati perkembangan sastra kontemporer Indonesia. Di mana, ketika era sastra buku dan sastra majalah beralih ke sastra koran dan kini malah sebagian melirik sastra “cyber”, para kreator muda Lamongan malah bergerak sebaliknya. Seperti satu pasukan barisan yang mendapat aba-aba, “balik kanan jalan terus”. Itu pun masih ditambah tidak lewat jalur resmi pada umumnya. Tentu saja tepat sekali jika saya menyebutnya gerakan sastra dan buku “indie”.

Yang lebih detailnya adalah, karena di samping mengarang atau berposisi sebagai penulisnya, mereka juga berusaha untuk menerbitkan sendiri, bahkan ada juga yang sampai pada fase mendistribusikan sendiri. Sehingga, otomatis tak ada seleksi penilaian di sini seperti kalau kita menyerahkan naskah ke penerbit-penerbit resmi, yang masing-masing pastinya dalam memilih naskah, punya selera dan cara meyeleksi yang berbeda. Bahkan, soal kualitas atau tidak bagi mereka adalah nomor sepuluh alias yang penting terbit dahulu. Masalah penilaian terserah pembaca.

Soal penggarapan format bukunya juga beragam, dari mulai yang masih stensilan kuno (fotokopi, streples, selesai) hingga yang “lux” seperti buku pada umumnya yang kini dijajakan di toko-toko buku juga ada. Sebut saja untuk contoh terakhir seperti dua karya Nurel Javissyarqi yang berjudul Takdir Terlalu Dini (edisi revisi) dan Trilogi Kesadaran-nya, serta Rodli TL lewat novel Dazelove-nya. Dengan jumlah untuk cetakan pertamanya yang hanya berkisar antara 500-1000 eksemplar, tidak lebih.
Begitupun dalam menyikapi media massa atau lomba-lomba penulisan sastra, hampir 95 persen karya-karya mereka (puisi, cerpen dan esei) belum teruji di sana.

Sebuah pemberontakan yang sungguh berani!
Tentu saja, karena gerakan yang dilakukan adalah melawan arus besar.
Pertanyaan kemudian, faktor-faktor apakah yang membuat hal tersebut dapat terjadi? Dari beberapa pengamatan dan obrolan saya dengan mereka, memang banyak hal yang bisa dijadikan alasan:

pertama, masalah kesulitan mengakses media massa dan jaringan internet. Di sana hanya ada 3 koran (Jawa Pos, Kompas, dan Surya) yang bisa dijangkau. Itu pun 2 di antaranya harus mendapatkannya di kota. Sementara jarak yang mesti ditempuh dari teman-teman saya ke kota lumayan jauh. Bahkan, dari teman tempat menginap saya saja (±10 km atau lebih, barangkali). Begitupun warnet yang menurut A. Syauqi Sumbawi jumlahnya tidak lebih dari 4 buah (di mana dua atau tiga atau bahkan semuanya tidak mempunyai jam kerja 24 jam). Padahal untuk mendekati koran saat ini, akses kedua media tersebut jelas harus dekat.

Kedua, ketidaksabaran untuk segera memiliki karya yang dibukukan. Pernyataan ini awalnya saya kutip dari jawaban saudara Rodli TL ketika saya tanya, mengapa tidak berproses kreatif di koran dahulu sebagaimana teman-teman kreator pada umumnya, yang kemudian ia jawab dengan kalimat begini, “Saya sudah mencobanya, Mas, ngirim naskah ke beberapa koran tapi karena enggak dimuat, ya langsung saja saya bikin naskah yang bisa segera diterbitkan sendiri.”

Ketiga, pengaruh dari teman-teman yang telah mengawali sebelumnya. Dalam hal ini, tentu saja, nama Nurel Javissyarqi tidak bisa dilewatkan. Bahkan, saya kira di Lamongan yang melakukan hal tersebut cuma dia sendiri—maklum waktu di Yogya ia sempat me-lounching salah satu buku “indie”-nya tersebut yang berjudul Kajian Budaya Semi (2005) bahkan tahun-tahun sebelumnya sempat juga menyosialisasikan karya perdana-nya, Takdir Terlalu Dini (2001)—, eh tak tahunya merembet juga ke teman-teman lainnya. Terutama Alang Khoeruddin, lewat penerbit Ilalangnya yang tak kalah produktif, telah banyak pula karyanya yang diterbitkan, ditambah beberapa antologi puisi bersamanya. Menyusul kemudian AS Sumbawi, Rodli TL, Javid Paul Syatha, Imamuddin SA, Imam Qodim Al-Haromain, dan lain-lainnya. Belum lagi mereka yang hanya ikut antologi bareng.

Keempat atau terakhir adalah idealisme dan kepercayaan diri yang tinggi. Di mana tentu saja tanpa point ini, tak akan berlahiranlah karya-karya mereka tersebut.

Dari fenomena di atas, wajah Lamongan memang terkesan menjadi lain sekarang, dibanding daerah-daerah tetangganya semacam Gresik, Tuban, atau Bojonegoro. Kehidupan apresian sastra anak mudanya terus menggeliat di antara banyak keterbatasan-keterbatasan. Meski gerakan mereka jelas tidak sama dengan gerakan ala RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman) yang dulu salah satunya dimotori Kusprihyanto Namma dari Ngawi, dan sempat menggegerkan publik sastra kita awal tahun 1990-an, melalui polemiknya di beberapa surat kabar terbitan pusat dan daerah dan diskusi-diskusinya di beberapa wilayah.

Namun lewat ‘pemberontakan’ seperti penerbitan buku, tidak mustahil—karena sifatnya lebih konkrit—bisa jadi hal itu akan lebih ‘berbekas’. Asal ‘api’-nya (meminjam bahasa almarhum pelukis Nashar untuk menyatakan semangat) tidak cepat padam. Toh, mereka perlu waktu kalau benar-benar ingin membuktikannya.

Selain itu, mungkin yang perlu menjadi catatan adalah bahwa gerakan mereka tidak ada sangkut pautnya secara politis dalam konteks dunia kesusastraan sebagaimana gerakan yang saya sebutkan tadi. Di mana mereka tumbuh begitu saja tanpa adanya perlawanan terhadap sebuah hegemoni. Hal ini bisa dilihat langsung dari cara bergerak mereka yang sepertinya berjalan “serempak” padahal kenyataannya tidak alias “berkumpul tapi tidak berkumpul”.

Sayang, di sini saya tidak bisa menjelaskan jumlah secara rinci karya-karya sastra mereka yang telah diterbitkan tersebut, di samping karena ada beberapa penulis yang malu menyebutnya, singkatnya waktu pengamatan saya saat berkunjung ke sana. Tapi, untuk nama-nama penerbitnya selain PUstaka puJAngga (PuJa) dan Pustaka Ilalang, ada juga SastaNesia dan beberapa lainnya.

PUstaka puJAngga sendiri telah memproduksi sepuluh lebih judul sastra karya direkturnya Nurel Javissyarqi. Belum lagi Pustaka Ilalang mengikutinya, disusul SastaNesia & LaRoss. Lamongan dengan kegiatan sastranya semacam itu akhir -nya layak dijadikan contoh bahwa daerah-daerah lain bisa juga mengikuti jejaknya. Terutama bagi daerah-daerah yang merasa kesepian dalam soal akses media massa, internet, atau hiruk pikuk dunia penerbitan ala Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung.

“Tak ada rotan akar pun jadi.” Mungkin pepatah ini cukup tepat untuk mengatakannya. Ya, di tengah keterbatasan-keterbatasan dalam hal media sosialisasi berkarya mereka sanggup menunjukkan identitasnya lewat penerbitan buku “indie” tersebut.

Sebagai catatan pamungkas, semoga setelah fase ini masih ada fase lain: produktivitas dan kualitas secara materi bisa terus ditingkatkan lagi agar kegiatan sastra mereka tidak bisa dilirik sebelah mata oleh publik sastra Indonesia. Agar arwah almarhum Satriagraha Hoerip bisa tersenyum puas dengan kota kelahiran tercintanya. Agar teman-teman sastra yang namanya telah mencuat ke permukaan nasional dan konon ada yang malu menyebutkan kota asalnya jadi kembali insaf. Agar Abdul Wachid BS yang kini aktivitas sastranya lebih dikenal di Purwokerto bisa sering-sering mudik ke kampung halamannya (he-he...). Agar Heri Lamongan tergerak untuk menerbitkan antologi tunggalnya (he-he, lagi). Agar gemanya tidak kalah dengan kasus Amrozi. Trims. Salam sastra.

Yogyakarta, April 2007
Abdul Azis Sukarno, Penyair, tinggal di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi