Kamis, 18 September 2008

KANTRING GENJER-GENJER

[dari kitab kuning sampai komunis]
Hak Cipta pada penerbit PUstaka puJAngga
Teguh Winarsho AS*

PENGANTAR: KEPADA PECANDU NOVEL
Nurel Javissyarqi*

Kantring Genjer-genjer, karya novelis Teguh Winarsho AS. Saya tidak membaca manuskripnya secara keseluruhan. Alasan pengantar, pertama; berangkat dari sini, kita menyimak secara bareng-bareng mengenai kelahiran gagasan anak manusia, sebab rasa mendahului itu, terkadang mencipta kesombongan lain, dalam ruang persidangan pembaca. Kedua; di jaman sekarang, tidaklah laku penilaian, apalagi sekadar pemanis buatan. Ketiga: pembaca tentunya lebih tahu diri.

Namun bagaimapun, saudara tentu menyadari, sebuah novel itu semacam kamus filsafat hidup, di dalamnya terkadung segala muatan keilmuan, yang tidak patut diperjelas keleluasaannya (tidak perlu menelusuri jejak-jajakannya ke dalam bidang keilmuan secara metodologis). Ya, hari-hari memang berat sekaligus ringan, lamban juga cepat. Dan sebuhul novel merangkum segala isi waktu beserta peristiwa dilahirkannya. Kondisi inilah yang digarap, sehingga waktu tampak berat membawa beban amanah, begitu ringan saat melepas satuan daripadanya. Tetapi tidakkah terketahui, kita bukan berjalan mundur, kalau menghadapi yang serba cepat, penuh lejitan dan kejutan.

Tengok Jostein Gaarden mengubah arah hayatnya menjadi novelis popular, keberangkatannya sedari menggali reracikan filsafat. Meski karya-karyanya penuh ide mengejutkan, disamping sentakan gagasannya menarik sampai dalam, lama-kelamaan kita tidak lagi menemukan kekentiran di sana, ketika gerak serba lugas, penuh kegilaan sesaat. Nilai-nilai di seluruh penjuru bumi telah bertemu, perbincangan yang sudah lancar sehingga tidak perlu didialogkan. Dan kecerdasan semakin meningkat, kesadaran seakan lewat berlesatan wawasan menjilat, melangit, mencium bumi di gapura peradaban.

Di zaman kali ini, seakan tidak perlu lagi membedakan, antara prodak akal atau imaji, segala dari otak bisa diimajinasikan, dan yang dari imaji dapat dimasukkan nalar. Ya, sekumpul-setumpukan gelombang sangat mempengaruhi perubahan cuaca juga musim perasaan, alam-alam dijangkau manusia. Penataan dan kesemrawutan seakan bertemu pada kesamaan nilai, kedudukannya tiada tinggi-rendah oleh yang tersaksikan tidak menjadi rahasia. Kita tahu, bahasa kalbu tidak bisa dibohongi, kata wanita. Kemampuannya tergantung kepekaan indra-indra lain, semakin bertambah komplit dewasa, seluruh yang jauh tidak begitu terasa, dan yang dekat seakan lebur dalam pergumulan satu tingkatan pemahaman.

Lalu sadarlah, ternyata penciptaan sewujud rindu jauh lebih dekat dari yang dekat. Inikah dunia pengada (pengarang) dengan berbagai kapasitas ingatan serta jerih dan jerit kesetiaan tidak sempat ditanggalkan. Saya sebut kepura-puraan bukan termasuk jenis mengada. Novel itu pengadaan yang pernah ada dengan bobot-ruang tidak sama. Ia mendiami suatu tempat yang berkemiripan, dan bukan termasuk realita, disaat telah menjadi kabut wacana. Lantas lebih meningkat, ternyata realitas juga bukan suatu realitas, ketika kemampuan rasa sudah melebur dalam kategorinya sebagai non realitas.

Hendak saya tekankan. Kepercayaan telah mengaktualisasikan kejujurannya dalam proses dan setiap gerak mendiami tubuh serta jiwanya tidak serupa. Namun sewaktu langit sudah mengambil birunya laut, apa yang terjadi; kesatuan tidak perlu lagi bertanya. Di sini tidak menyudutkan sesuatu dan mengangkat yang lain. Namun gugusan realita merupakan pertanyaan, sedang non realitas tiada menjawab.

Walau saya katakan begini, saudara menempati tempat duduk masing- masing, sebagaimana ketika membaca karya-karya Karl May. Dan saudara memiliki bangku bacaan tersendiri, kalau tidak ingin menunggu lama. Maka, kesadaranlah menempatkan kita, tetapi kesadaran sering pasang-surut, terpecah-belah oleh yang lain juga diri semata. Olehnya, hendak ditempuh untuk mengetahui insan, bahwa ia tidak memiliki apa-apa.

Kehadiran seorang itu semata pancangan waktu, ia terus dirindu ketika benar lekat sudah, andai sebentar, kapasitas kesadaran dunia masih mampu merekam dalam sejarah, dan walau pun lama, akan sekejap dibuatnya dalam kependekan usia atau sejenis ingatan generasinya. Hari ini terasa berat kalau menjadi penulis, kita disebut para pelayan (pelayan baik tentu kudu tahu selera tuan). Seperti sempat diutarakan Camus: Sekarang api sudah terselubung abu di dalam perapian. Saya memaknai itu selarik karya, lantas kita membongkar kembali soal ingatan sejarah, agar api dapat menyala balik, abu bisa terang kembali. Ialah bukan kesekejapan luka memori manusiawi yang berubah mendendam, tidak. Kita telah menemukan manisnya hidup setelah membongkar tumpukan kamus kehidupan, ini bukan berita tetapi kabar baru, kesadaran sebagai pembaca.

Saya titipkan pesan buat Jostein Gaarder kalau ketemu; adalah kemenangan tersendiri ketika saya mampu untuk tidak meletakkan jari-jemari tangan ini pada kertas untuk menulis. Hasrat-hasrat itu saya matikan, saya pendam dalam-dalam, biar tidak muncul lagi, dan tidak saya biarkan ia hadir dalam mimpi atau di kesambillaluan penantian. Saya buang seluruh ikatan-ikatan untuk tidak tergoda menulis, sebab menulis itu pekerjaan terhinakan, ketika sekadar mengikuti luapan hasrat semata, meski tujuan-tujuan segera tampak di tengah jalannya. Saya ingin, tidak seorang pun tahu saya menulis dalam kesendirian. Tanpa terusik, tidak seorang pun mengetahui, sebab saya bukan menuliskannya…

*) Pengelana 21 Juni 2006, Lamongan



Prolog:
Ingsun Pangeran sejati,
jejuluk Ki Sangir Hamintani



SATU

IBLIS cantik yang muncul dari balik rimbun malam telah memperkosaku, Ibu. Kukira sudah lama ia menggodaku saat mengangkut batu kali. Terangsang melihat badanku yang kekar berbulu lebat penuh gairah kerbau jantan. Terimakasih, Ibu, kau telah mengajarkan padaku hidup sebagai laki-laki sejati. Batu-batu hitam di kali yang setiap hari kuangkut ke dalam truk telah menempa tubuhku menjadi begitu keras serupa bebatuan itu sendiri. Lihatlah semua ototku meregang keras serupa tali dadung saat dua keranjang penuh batu kupikul naik lewat jalan setapak licin mendaki tebing kali. Menjaga keseimbangan tubuh adalah kunci utama di mana kamu akan mencapai puncak dengan selamat. Demikian para tetua berkata. Letakkan beban berat sama di bahu kanan dan kiri. Cengkramkan jari-jari kakimu sedalam mungkin ke dalam tanah dan mulailah berjalan penuh konsentrasi. Jangan sekali-kali menoleh ke bawah meski kamu mendengar suara perempuan memanggilmu. Itu hanya penampakkan yang akan membuat tubuhmu terbalik seratus depalan puluh derajat dan kepalamu pecah menghantam batu.

Tetapi banyak yang lengah setelah lewat siang terik matahari memanggang. Demikian kata laki-laki tua pengangkut batu di hari-hari terakhir menjelang kematiannya: Setelah matahari lingsir ke barat ditelan rimbun daun jarak dan pohon jati, para pengangkut batu mulai terjungkal. Bukan. Bukan karena perut mereka lapar sebab singkong rebus dan air batang tebu cukup untuk mengganjal perut seharian. Tetapi sesosok perempuan cantik tiba-tiba muncul dari balik bebatuan di kali menawarkan kenikmatan bersetubuh. Perempuan cantik yang akan memanggil dan melambaikan tangan padamu. Kamu akan tersirap oleh pandang matanya yang menggetarkan mengandung berahi. Maka seperti kutukkan sejarah yang terus berulang setiap tahun, satu per satu pengangkut batu tergoda. Berhenti menoleh ke bawah melihat perempuan itu. Pada saat itu tubuh mereka terpental dari ketinggian. Menggelinding cepat bersama keranjang dan batu-batu yang mereka bawa. Terus meluncur ke bawah menghantam bebatuan di dasar kali dengan berbagai macam variasi.

Jangan sekali-kali kau tanyakan padaku apakah mereka masih bernyawa. Hanya Sadikin yang mampu bertahan setelah koma tiga hari di kandang sapi, sebab pada saat bersamaan rumahnya ambruk. O, Sadikin yang malang. Setiap hari terus menghujat tuhan kenapa kepalanya lebih keras dari bebatuan kali sehingga tak langsung mati. Beberapa kali mencoba bunuh diri terjun ke kali, tapi hanya membuat kakinya perlahan-lahan remuk dan membusuk. Kepalanya tengkleng ke kiri, jalannya pincang, tapi tetap tak mati. Orang-orang kemudian menganggapnya sakti. Beberapa orang datang ingin berguru. Sadikin tak bisa menolak akhirnya mendirikan padepokan demi mendapatkan kekayaan. Terimakasih, gusti, di balik kakiku yang pincang dan kepalaku tengkleng ke kiri rejeki datang tak terduga-duga. Demikian Sadikin merasa pantas bersyukur. Tetapi ia sadar tak memiliki kesaktian apa pun, kecuali berkali-kali bunuh diri dan tidak mati. Sadikin kemudian mengangkat Ki Sangir sebagai pimpinan padepokan.

Itulah awal petaka di Panjen. Ontran-ontran penuh dendam kesumat dan angkara murka yang terus menimpa dusun Panjen di mana kau dilahirkan sebagai laki-laki pengangkut batu. Tetapi pekerjaan mengangkut batu hanya pekerjaan sementara sebab tubuhmu yang gagah mekar kabarnya mengantarmu menjadi prajurit pilihan. Seorang ksatria utama yang tangkas berperang. Maka pada satu waktu beberapa tahun silam kau pergi meninggalkan Panjen. Meninggalkan Ibumu dan segenap kenangan masa kanak-kanak dan remajamu. Juga batu-batu kali. Apakah lamat-lamat kau masih dapat mengingatnya?

Hanya dalam sebulan padepokan Sadikin berkembang pesat menyedot ratusan cantrik yang datang dari berbagai penjuru. Ilmu pati sukma yang dimiliki Ki Sangir menjadi kekuatan promosi di samping ilmu-ilmu kanuragan lain. Tak ada orang yang tak ingin tubuhnya sakti. Demikian pula para laki-laki pengangkut batu di Panjen. Dalam waktu singkat semua cantrik padepokan kebal senjata dan bahkan beberapa di antaranya kabarnya bisa menghilang atau terbang setinggi pohon kelapa. Tak ada yang muskil di dunia ini seandainya kita mau belajar dengan sungguh-sungguh. Demikian Sadikin terus berkata dengan lidah terjulur dan mulut berbusa. Orang-orang pun berduyun-duyun datang, tapi tidak semuanya langsung percaya kecuali mereka yang langsung mengendus-endus kaki pincang Sadikin serupa anjing. Kepada orang-orang yang masih ragu, Ki Sangir tak pernah berhenti menyakinkan, bahwa semua ilmu yang ia berikan atas izin Gusti Allah. Sebab semua amalan dimulai dengan kalimat suci Laaillahaillalah.

Tapi Kyai Barnawi murka. Pesantrennya hanya berjarak tiga ratus meter dari padepokan Sadikin. Pesantren tua yang merupakan rumah-rumah panggung terbuat dari papan kayu peninggalan Belanda itu kehilangan lima belas santrinya kabur mengikuti ajaran Ki Sangir. Setiap hari Kyai Barnawi murung, gelisah. Puluhan tahun mengajarkan Al-qur’an dan kitab kuning seolah sia-sia. “Ajaran Sadikin dan Ki Sangir sesat! Najis! Gusti Allah pasti mengutuk mereka. Kalian jangan percaya ilmu yang bersumber dari kekuatan iblis dan setan. Hanya Al-qur’an satu-satunya pegangan hidup yang akan menyelamatkan nasib kalian. Mengerti?!” ucap Kyai Barnawi tengah malam pada beberapa santrinya yang masih bertahan di surau yang hampir roboh. Jidat Kyai Barnawi berkerut seperti kulit jeruk kering menahan gelisah berlipat-lipat. Berjalan mondar-mandir sambil menghitung butir-butir tasbih. Sungguh sosok Kyai yang mulai kehilangan pamor karena tak bisa mengajarkan ilmu kebal dan terbang setinggi pohon kelapa. “Beri tahu Sadikin dan Ki Sangir agar menghentikan ajaran sesatnya. Ajak teman-teman kalian pulang. Suruh mereka kembali ke jalan Gusti Allah!” Pesan terakhir Kyai Barnawi sebelum keluar meninggalkan surau dengan wajah merah menahan amarah. Beberapa santri saling berpandangan heran. Belum pernah Kyai Barnawi marah sedemikian hebat.

Esoknya tiga santri Kyai Barnawi menemui Sadikin dan Ki Sangir. Di pintu gerbang padepokan, tiga santri Kyai Barnawi dihadang para cantrik yang sedang belajar ilmu kanuragan. Mereka merasa terusik melihat kedatangan tiga laki-laki berjubah putih dan bersurban. Hampir saja terjadi perkelahian seru sebelum beberapa mantan santri Kyai Barnawi yang telah menjadi cantrik di padepokan itu melerai dan menyuruh mereka masuk ke dalam. Di depan Sadikin dan Ki Sangir, tiga santri muda itu langsung menyampaikan pesan Kyai Barnawi. Tapi Sadikin justru menggebrak meja, meradang marah-marah. Kedua bola matanya hampir meloncat keluar. Sambil berjalan terpincang-pincang ia mencengkram leher salah seorang santri. “Katakan pada Barnawi, malam nanti aku mengajaknya bertarung. Jika aku kalah padepokan ini akan kububarkan. Tapi jika dia yang kalah, pesantrennya akan kubakar!” Berkata begitu, Sadikin meludah. Ki Sangir tersenyum mengangguk-angguk. Tiga santri Kyai Barnawi pulang menahan sakit hati. Mengutuk Sadikin biar lekas mampus. Tapi mereka cukup bijaksana untuk tidak menyampaikan tantangan Sadikin pada Kyai Barnawi. Mereka tidak ingin sesuatu buruk menimpa Kyai Barnawi. Diam-diam mereka mengakui kesaktian laki-laki tua pincang yang susah mati itu.

Sejak awal Ki Sangir paham Kyai Barnawi akan menjadi ancaman besar bagi padepokan. Ajaran-ajaran Kyai Barnawi bisa membuat para cantrik bubar. Itu artinya ia tak bisa makan enak dan menghisap tembakau tjap Tjitoek yang harganya cukup mahal. Maka sepulang tiga santri Kyai Barnawi, Ki Sangir mengajak Sadikin berembug mengatur siasat agar penduduk Panjen tak berpaling dari padepokan. Tapi otak Sadikin yang berulangkali membentur batu selalu buntu. Ki Sangir terus berpikir keras hingga tiba-tiba di kepalanya terbesit ide cemerlang saat melihat kaki Sadikin yang pincang dan kepalanya tengkleng ke kiri. “Perempuan iblis penunggu kali itu! Ya, ya, aku tahu! Perempuan iblis itu bisa menolong kita! Aku akan menamainya Nyi Ratu Krasak!” ucap Ki Sangir bersemangat.

Sadikin yang merasa terhina kaki pincangnya ditatap dengan cara aneh oleh Ki Sangir hampir meludahi wajah laki-laki di depannya itu. Sadikin tidak hanya terhina tapi juga tidak paham maksud perkataan Ki Sangir yang diucapkan dengan wajah sumringah. “Jaga pandanganmu atau kusumpahi matamu picak!” Sadikin mendengus hampir meludah. Ki Sangir pucat wajahnya, terbata-bata menjelaskan. “Maaf, aku tak bermaksud menghina sampean. Aku hanya dapat ide setelah melihat kaki sampean yang pincang. Begini, penduduk dusun ini sangat percaya dengan cerita perempuan iblis penunggu kali Krasak yang terus memakan korban para kuli pengangkut batu. Itu memang benar-benar ada. Dan aku berani bersumpah kepercayaan mereka pada perempuan iblis itu hampir menyamai keyakinan pada Gusti Allah. Untuk itu aku akan katakan pada mereka kalau mau selamat dari godaan perempuan iblis itu mereka harus memberi sesaji berupa potongan kepala kambing betina bunting setiap malam jum’at kliwon. Aku akan mengenalkan perempuan iblis itu sebagai Nyi Ratu Krasak. Aku tahu Kyai Barnawi benci ritual-ritual seperti ini. Dia pasti marah besar. Tapi di sinilah medan pertarungan yang sebenarnya. Ini letak kemenangan kita. Aku yakin penduduk akan percaya omongan kita dari pada ceramah-ceramah Kyai Barnawi yang hanya membual dan menjual sepotong dua potong ayat suci. Sebab aku sendiri nanti yang akan mengurus Nyi Ratu Krasak dengan melakukan ritual sirnahangenti”.

“Sirnahangenti?” Sadikin mendongak memicingkan mata. Daging di pipinya terlihat menggelambir menutupi empat gigi depannya yang rompal. “Artinya sampean akan menjadikan Nyi Ratu Krasak sebagai istri? Bersetubuh dengan makhluk gaib? Bagaimana dengan Suni istri muda sampean?” Sadikin menggeleng-geleng kepala tidak percaya. Ki Sangir menatap Sadikin tajam. Ada sedikit cemas berkelebat di matanya tapi segera disembunyikan. Ia tak mau terlihat lemah di depan laki-laki pincang itu. “Hanya ini pilihan terakhir untuk mengaburkan ajaran Kyai Barnawi. Dia membawa ajaran islam dari tanah Arab tapi lupa di mana sekarang berada. Penduduk tanah Jawa lebih percaya segala bentuk sesaji dan kekuatan mistis yang berpangkal dari alam; tanah, api dan udara. Mereka harus selalu kita ingatkan untuk tetap menjaga warisan para leluhur sebelum keturunan mereka dikutuk menjadi sekumpulan monyet atau babi!”

Sadikin terkesima mendengar penjelasan Ki Sangir yang panjang lebar. Tak salah ia mengangkat laki-laki itu menjadi pemimpin padepokan. Setiap hari upeti mengalir dari para cantrik yang ingin mendalami ilmu kanuragan. Hidup seolah menjadi begitu mudah justru setelah kakinya pincang dan kepalanya tengkleng ke kiri. Tuhan memang maha adil. Di balik bencana selalu ada hikmah tersembunyi. Demikian hati Sadikin tak pernah henti bersyukur sambil memegangi perutnya yang perlahan-lahan buncit. Tak pernah terbayangkan kemelaratan puluhan tahun lalu berbalik menempatkan dirinya menjadi orang terpandang. Tapi diam-diam Sadikin memendam gusar. Ia sadar sesungguhnya tak memiliki kesaktian apa-apa kecuali berkali-kali bunuh diri tapi tidak mati. Kesaktian dan pamor Ki Sangir bisa menjungkirkannya dalam sekejap menjadi makhluk paling hina serupa kadal. Terpikir oleh Sadikin suatu saat harus membunuh Ki Sangir agar tetap menjadi orang nomor satu di padepokan. Tapi rupanya bukan hanya itu saja yang membuat Sadikin gusar. Sebab Ki Sangir lupa satu hal. Sadikin kemudian mencoba mengingatkan. “Bagaimana dengan anakmu, Sangir? Dia menjadi santri Kyai Barnawi. Aku kawatir dia yang akan menghalang-halangi langkahmu sendiri. Apakah tidak sebaiknya dia dibunuh?” Suara Sadikin sinis membuang pandang ke halaman. Tentu ini hanya permulaan sebab tujuan akhir adalah membunuh Ki Sangir sendiri.

Ki Sangir yang baru menghisap tembakau tersedak batuk-batuk. Dadanya panas mendengar ucapan Sadikin. Ia tidak percaya laki-laki pincang itu melontarkan kalimat seperti itu. Hanya binatang yang tega membunuh darah daging sendiri. Ki Sangir diam-diam kecewa sebab Sadikin seperti lupa padepokannya bisa maju pesat semata-mata karena campur tangannya. Kini setelah kesuksesan ada di depan mata laki-laki pincang itu mulai berani lancang. Perasaan Ki Sangir semakin rusuh. Darahnya mengalir lebih cepat dari sebelumnya. Ia baru ingat ternyata bukan hanya Kyai Barnawi yang menjadi ancaman padepokan tapi justru Sadikin sendiri. Ia harus menyingkirkan semua ancaman dan itu akan lebih baik jika dimulai dari orang terdekat. Tapi ia tahu Sadikin tidak mudah mati. Sadikin seperti seekor kucing yang memiliki nyawa rangkap meski berkali-kali sekarat. Itu pula yang membuat laki-laki pincang itu disegani oleh penduduk Panjen. Ia harus mencari titik kelemahan Sadikin sebelum mengirimnya ke neraka.

“Sangir, darahmu mengalir di tubuh anakmu. Aku tahu anakmu pasti mewarisi kesaktianmu. Jika suatu hari Kyai Barnawi dan anakmu bersatu maka padepokan ini bisa habis. Jangan terlalu sombong dengan kesaktianmu, Sangir. Atas nama perang suci Kyai Barnawi bisa mendoktrin anakmu untuk menyembelih lehermu di tiang gantungan…” Suara Sadikin masih sinis membuang pandang ke halaman menatap beberapa cantrik yang sedang meloncat-loncat belajar terbang atau berdiri dengan satu kaki di pucuk pohon kelapa dan atau hinggap di daun pisang. Tubuh mereka terlihat ringan seperti kapas, sesekali bergoyang namun tidak jatuh. Untuk kedua kalinya Ki Sangir merasa dadanya panas terbakar. Darahnya berkelupuk hangat sesekali mengerjat. Tapi Ki Sangir mencoba sabar, tersenyum. Ia tak mau gegabah untuk rencana yang lebih besar. Seorang ksatria utama harus merengkuh musuh menjadi kawan sejati sebelum diam-diam menikam dari belakang. Ki Sangir menghembuskan asap tembakaunya ke udara dan dengan wajah ringan berkata: “Aku memang akan menyingkirkannya tapi bukan dengan membunuhnya. Sejak kecil ia mau jadi tentara. Aku akan segera mengirimnya menjadi prajurit yang tangkas dan trampil berperang! Tapi bukan di sini!”

Meski tidak cukup puas dengan jawaban Ki Sangir, tapi Sadikin mengangguk-angguk. Mungkin bapak dan anak memang tidak harus mati dalam waktu hampir bersamaan sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Begitu batin Sadikin menenangkan diri. Kini prioritasnya justru menyingkirkan Ki Sangir terlebih dulu sebelum para cantrik bersimpati terlalu jauh. Atau…tiba-tiba Sadikin teringat Suni, istri muda Ki Sangir. Perempuan itu tentu akan dicampakkan setelah Ki Sangir melakukan ritual sirnahangenti. Itu artinya ia bisa menjarah tubuh molek Suni sebelum membunuh Ki Sangir. Ya, ya, ia akan mendapatkan janda Suni sekaligus membunuh Ki Sangir. Ia akan merasakan tubuh Suni. Ia belum pernah bersetubuh dengan perempuan kecuali ketika masih muda sebelum pincang dengan seekor angsa yang langsung ia gorok lehernya.



DUA

O…Maaf. Maaf, Ibu. Bukan itu yang sebenarnya ingin kuceritakan padamu. Sebab mungkin kamu sudah tahu. Tapi iblis cantik itu. Iblis yang pada suatu malam memperkosaku. Kukira ia mengendap-endap lewat kebun belakang, bersijingkat menyibak rumput ilalang menghampiriku. Aku setengah tertidur kala itu, sebab malam dingin bertabur gerimis. Aku hanya pakai sarung tanpa celana --- kebiasaan kanak-kanak ketika sering tidur di surau selepas mengaji bersama teman-teman. Iblis cantik itu datang menemuiku, Ibu. Meniup jendela kamar hingga kedua daunnya terbuka lebar dan angin berembus keras serupa kemunculan hantu. Aku menggosok-gosok mata. Letih dan jengah. Kutemukan iblis cantik itu telah duduk di sampingku. Tersenyum menatapku. Sepasang matanya binar-binar menyala. “Kenapa kamu tidur di kamar Ayahmu, anak muda? Hmm… kamu tampan sekali. Tubuhmu kekar. Dadamu penuh bulu. Apakah kamu juga cukup sakti?”

Ibu, aku tergagap melihat iblis cantik itu. Tapi aku bukan Jaka Tarub yang mudah berahi melihat pantat montok dan payudara sebesar semangka merah. Aku justru takut. Bulu kudukku meremang berdiri. Senyum perempuan itu semakin lebar melihat ketakutanku. Ia sibak rambutnya yang hitam, panjang dan wangi. Saat itu aku baru sadar ia telanjang. Tak ada sehelai pakaian melekat di tubuhnya yang menguar cahaya kristal. “Aku tahu kamu belum pernah bercinta dengan perempuan secantik diriku. Jangan takut-takut. Mendekatlah padaku. Aku bisa membuat dirimu menjadi apa saja jika mau bercinta denganku…” Tapi tubuhku menggigil gemetar, Ibu. Belum pernah kulihat perempuan secantik itu kecuali dari cerita-cerita para kuli pengangkut batu.

Dan inilah kelanjutan cerita yang dituturkan seorang laki-laki tua pengangkut batu di hari ke empat sebelum napasnya menguap:

Dusun Panjen semakin kisruh. Setiap orang bisa dengan mudah meradang oleh persoalan sepele. Bertentang pandang di jalan, mengutuk dan memaki lalu berkelahi. Penduduk terbagi dalam dua kelompok. Kelompok Kyai Barnawi dan Ki Sangir. Penduduk menyakini dua orang itu memiliki kesaktian sendiri-sendiri. Tapi suatu hari Kyai Barnawi benar-benar tak bisa menahan murka melihat Sadikin dan Ki Sangir mulai terang-terangan menyuruh para cantrik mengirim sesaji berupa potongan kepala kambing betina bunting untuk perempuan iblis penunggu kali. “Agar Nyi Ratu Krasak mau berdamai dengan kalian! Ingatlah bahwa Nyi Ratu Krasak akan melindungi kalian dari setiap bencana dan musim paceklik lewat perantara Pangeran Sejati!” Begitu ucap Ki Sangir berulang-ulang. Memang benar sejak itu tak ada lagi pengangkut batu yang mati menggelinding dari ketinggian. Tak ada godaan dari perempuan iblis laknat dengan panggilan suaranya yang merdu atau lambaian tangan.

Tapi Kyai Barnawi berani bersumpah atas nama Gusti Allah bahwa semua itu hanya tipu muslihat Ki Sangir untuk menjerumuskan penduduk dalam lembah kemusyrikan. Menyekutukan Gusti Allah dengan benda-benda dan makhluk ciptaan-Nya. Kyai Barnawi semakin gencar memberi ceramah agama, tapi Ki Sangir juga tak mau kalah. Ki Sangir seperti tertantang dan dengan kalap justru menyatakan dirinya sebagai Pangeran Sejati. Kepada para cantriknya Ki Sangir mengajarkan: Ya ingsun iki Gusti Allah, dzat ingkang agung, ingkang suci, jejuluk Ki Sangir Hamintani, nyata Ingsun utusan kang sejati saking bangsa langit, tan ana liyan jatine ingkang aran bangsa Allah utawi aran sanes kejaba ingsun tiambak, awit ingsun iku wujudhing Pangeran sejati, senadyan sira kabeh ngaturana ing Pangeran kang sejati, namun ingsun ngendika ora, mangsa kalakon yekti. [ya saya inilah Gusti Allah, sifat yang maha besar, yang maha suci, yang bernama Ki Sangir Hamintani, sayalah yang benar-benar sejati utusan dari kerajaan langit, tidak ada yang lain dengan nama Ketuhanan atau nama yang lain kecuali hanya diri saya sendiri, karena sayalah wajah wujudnya Tuhan sejati, maka meskipun kamu menghadap pada Tuhan yang sejati, tapi jika aku berkata tidak, maka hal itu mustahil terjadi].

[Sementara ajaran Kyai Barnawi: Sira kabeh pada mlebuo ana sajrone Islam kanthi sempurna. Lan sira kabeh aja padha manut tingkah lakune syetan. Awit satemene syetan iku mungsuh kang nyata tumrape sira. Mula sing sapa wonge ngarep-arep ketemu karo Pangerane, wong mau supaya nindakake amal shaleh lan ora nyekutokake sajrone ngibadah marang Pangerane karo apa sapa bae. Gusti Allah iku papan gumantunge kabeh para makhluk. Ora ana sapa lan apa bae sing madhani Panjenengane!]

Beberapa hari kemudian para cantrik padepokan Sadikin bahu membahu membangun padepokan lebih megah sebagai tanda syukur atas nikmat dan karunia keselamatan para pengangkut batu kali dari gangguan Nyi Ratu Krasak lewat perantara Ki Sangir. Tiga kepala kerbau dan sembilan babi hutan ditanam untuk tumbal keselamatan padepokan. Malam harinya tarian Langgeturuk digelar tiga malam berturut-turut di atas panggung besar di halaman padepokan menghadirkan duapuluh gadis perawan yang hanya mengenakan kutang dan celana dalam. Tengah malam saat hujan turun deras satu per satu para penari diseret ke belakang panggung, ditelanjangi lalu diperkosa bergiliran sebelum dicekoki tuak dan jamur masrum. Tak ada yang merasa sedih sebab para cantrik sakti mandraguna sekaligus memiliki banyak uang.

Di antara suara mabuk meracau para cantrik mengolok-olok Kyai Barnawi sebab pesantrennya hampir ambruk sementara sebagian besar santrinya kabur menjadi pemabuk dan pezina ulung. Memang perih hidup dalam belenggu kemiskinan. Ujian terberat yang bisa membuatmu tergelincir dalam kufur --- begitu tertulis dalam sebuah kitab. Menahan sahwat lebih mudah dari pada menahan haus dan lapar. Kyai Barnawi pun menyerah, angkat tangan silau melihat padepokan Sadikin berdiri megah serupa kerajaan Sulaiman. Duh, Gusti, apakah salah jika aku menandingi padepokan Sadikin meski harus menyuruh para santriku mencuri? Jerit Kyai Barnawi berkali-kali selepas shalat malam sembari tengadah menghadap langit.

Dua hari kemudian Kyai Barnawi seperti mendapat jawaban. Wajahnya cerah, bercahaya. “Dengarkan baik-baik, pesantren ini harus lebih megah dari padepokan Sadikin agar orang-orang Panjen tahu Islam itu kaya!” Begitu ucapan awal Kyai Barnawi selepas shalat Isya’. Di hadapannya, duduk di atas tikar lusuh, sembilan anak muda dengan wajah takzim menyimak baik-baik setiap kata yang keluar dari mulut Kyai Barnawi. Sembari menghitung butir tasbih, Kyai Barnawi menatap satu per satu anak muda di depannya dengan pandangan nanar. “Mulai malam ini kalian kuizinkan mencuri! Bangunlah pesantren ini lebih megah dari padepokan Sadikin!” Dalam senyap suara Kyai Barnawi bergetar. Matanya mengerjat hangat.

“Tapi bukankah mencuri berdosa, Kyai?” Salah seorang santri bertanya ragu. Buru-buru menunduk tak ingin bertentang pandang dengan Kyai. Kyai Barnawi beralih menatap santri itu, tertawa pelan. “Gusti Allah Maha Kaya dan Pemurah,” jawab Kyai Barnawi penuh kepastian. Memutar-mutar butir tasbih, hatinya terus berdzikir: subhanallah, subhanallah, subhanallah.... Dingin malam menerobos jendela. Disusul gerimis, tiris. Namun, sembilan santri tetap tidak berpaling dari hadapan Kyai Barnawi. Mencium telapak tangan Kyai akan membuat seumur hidupmu dilimpahi keberkahan. Apalagi mendengar wejangannya yang bersumber dari kesucian hati seorang wali. “Ketahuilah, semua yang ada di muka bumi dan langit ini milik Gusti Allah. Di situ melimpah rizki Gusti Allah.” Suara Kyai Barnawi menjadi lirih, tertelan gerimis.

“Maksud Kyai?”
Kyai Barnawi lagi-lagi tersenyum. Matanya menyorot teduh dan lembut. Melilitkan surban di lehernya lebih erat, batuk-batuk kecil tertahan. “Dengarkan cerita ini baik-baik…” Kyai Barnawi berhenti sebentar menghirup napas dalam-dalam. Kembali menatap satu per satu santrinya. “Pada suatu hari para sahabat datang ke rumah Khalifah Umar mengadukan seorang pencuri yang ketahuan mengambil harta milik orang kaya. Para sahabat menginginkan agar Khalifah Umar sendiri yang memotong tangan pencuri itu. Akan tetapi Khalifah Umar tidak tega melakukan, lantaran pencuri itu hidupnya sangat miskin. Beberapa hari kemudian para sahabat datang lagi ke rumah Khalifah Umar membawa pencuri yang sama. Kembali Khalifah Umar tidak tega memotong tangan pencuri itu. Khalifah Umar justru berkata, jika dia sampai mencuri untuk yang ketiga kalinya, maka yang harus dipotong bukan tangannya, melainkan tangan si orang kaya. Jadi… kukira kalian semua mengerti maksudku!”

Blzaarr! Terdengar guntur menyambar di langit kelam diikuti hujan deras. Angin meliuk menghajar pepohonan. Kilat berlesatan serupa lidah naga. Panjen tidur lelap setelah tiga hari tiga malam suntuk mabuk disuguhi goyangan pantat para penari Langgeturuk memamerkan betis putih dan paha mulus. Hanya orang-orang yang masih ingat Gusti Allah justru mempertebal iman di situasi seperti ini. Hujan itu berkah. Bacalah Al-qur’an sekeras mungkin agar pintu rizki terbuka lebar bersama hujan yang turun. Kyai Barnawi pun khusuk berdoa di pojok surau sementara sembilan santrinya meloncat keluar menerjang hujan, mengendap-endap menghampiri rumah penduduk sambil membesarkan asma Allah dalam hati. Tidak ketinggalan gudang beras padepokan Sadikin turut dijarah. Tak ada ketakutan sebab Gusti Allah selalu menyertai langkah para hambanya yang saleh.

Apalagi Kyai Barnawi terus berdoa hingga bercucuran air mata. “Duh, Gusti Allah, berikan keselamatan pada santri-santriku yang malam ini menjarah harta penduduk untuk menegakkan agamamu di dusun Panjen yang laknat ini. Setiap hari penduduk terus menumpuk harta dengan cara menyekutukan-Mu. Menyembah batu, kepala kambing, kerbau dan babi. Kini atas izin-Mu aku ingin mengembalikan harta mereka di jalan-Mu. Mensucikan tanah Panjen sebelum adzab-Mu yang lebih besar datang menimpa kami. Duh, Gusti Allah, ampuni hambamu jika yang kulakukan ini keliru. Kelak potonglah kedua tanganku. Tapi aku juga minta keadilan-Mu untuk memotong tangan Khalifah Umar sebab aku mengikuti ajarannya. Duh, Gusti Allah, segala kebaikan hanya datang dari-Mu, sedang segala kebatilan itu semata karena kekerdilanku. Hanya kepada-Mu aku memohon dan hanya kepada-Mu pula aku berserah. Amien.” Kyai Barnawi menutup doanya sebelum bergegas hendak mengumandangkan adzan subuh. Wajahnya basah air mata.

Tapi tiba-tiba seorang santri tergopoh-gopoh datang memikul beras sekarung dan dua sak semen. “Kyai, semua kamar sudah penuh terisi beras, gandum, ubi, jagung, singkong, pisang, sepeda, pakaian, emas-emasan dan radio. Apakah beras dan semen ini boleh saya letakkan di surau?” Terengah-engah napas santri menahan beban berat di punggungnya. Kyai Barnawi tersenyum lembut menyeka bekas air mata di wajahnya. “Semulia-mulia tempat di dunia ini hanya masjid atau surau. Bawalah beras dan semen itu masuk ke dalam. Semoga berkah Gusti Allah justru semakin berlimpah di tempat ini. Oya, di mana teman-temanmu yang lain?” Kyai Barnawi mengeluarkan tasbih dari kantong bajunya.

“Masih menjarah, Kyai. Insya Allah kita bisa segera mulai membangun pesantren.” Santri itu tersenyum bangga. Giginya yang lumayan tonggos selalu terbuka. Tapi ia tidak pernah merasa minder sebab tahu Gusti Allah tidak pernah membedakan seseorang dari penampilan fisik kecuali tebal tipis iman seseorang.

“Gusti Allah menguji penduduk Panjen dengan kehilangkan harta benda semata-mata agar mereka selalu ingat Gusti Allah. Kelak jika pesantren ini selesai dibangun mudah-mudahan mereka sadar, kembali ke jalan Gusti Allah.” Suara Kyai Barnawi terdengar merdu di subuh hening sambil mengelus-elus jenggotnya yang kian panjang.

Empat jam kemudian saat matahari rekah dari balik bukit Cuwuk, dusun Panjen geger sebab semua penduduk kemalingan. Sadikin dan Ki Sangir blingsatan berkali-kali menelan ludah. Sesekali keduanya bertentang pandang dalam kerisauan yang menekan. Jelas sekali kesaktian Ki Sangir sedang mendapat cobaan maha besar. Bagaimana mungkin semua penduduk Panjen bisa kemalingan sementara ia tidur ngorok mendekap tubuh langsat istri Paijan? Di mana letak kesaktiannya? Di mana kekuatan ilmu ngenditsukma miliknya yang kabarnya mampu membentengi penduduk Panjen dari semua tindak culika? Sungguh memalukan! Ratusan makhluk gaib bisa ia usir dan tangkal, tapi gerombolan maling nista yang mengobrak-abrik Panjen luput dari pengamatannya. Ki Sangir cemas cantrik-cantriknya menghujat dan melecehkan kesaktiannya. Diam-diam Ki Sangir tahu Kyai Barnawi yang melakukan semua itu. Hanya Kyai Barnawi yang berani melakukan. Semua penduduk Panjen tak ada yang berani mengusiknya. Tapi ia tak punya cukup bukti. Ia lelap tidur seperti tersirap. Akhirnya kecurigaan itu ia pendam seorang diri sambil berpikir bagaimana menyingkirkan Kyai Barnawi sebelum penduduk Panjen berpaling dari ajaran-ajarannya.

Pada saat yang sama Kyai Barnawi merapatkan barisan santrinya yang tinggal sembilan gelintir. Selain disuruh memberi ceramah ke dusun-dusun, mengetuk pintu rumah janda-janda miskin dan para jompo, mereka juga mulai membangun pesantren yang pasti roboh seandainya tiupan angin bergerak sedikit lebih cepat dari biasanya. Juga mendirikan surau baru yang lebih besar dan kokoh dari batu bata, semen dan besi-besi yang dicuri dari rumah Ki Sangir. Tapi Ki Sangir kembali tak mau tinggal diam. Ia mengumpulkan semua cantrik di pendopo padepokan, kembali mempertegas ajarannya: Sadat, salat, puwasa, jakat, pitrah lan apa bae laku syariat iku wujudhe namung lahir. Sejatining sedaya amalan iku lumantar ingsun, Pangeran sira. Salat dikir, jengkang-jengking wonten masjid lan langgar ting krembyah ora ana ganjarane sanadyan batuk sira wus nganti ngapal ireng kaya watu lumuten.

Ki Sangir merasa senang tak ada cantrik yang protes apalagi menghujat. Ya, ya, Ki Sangir terlalu senang hingga tak sadar sepasang mata Sadikin terus menatapnya dari bilik samping pendopo dengan kecemburuan dan kecurigaan berlebihan. Terbayang di jidat Sadikin kepala Ki Sangir tiba-tiba rekah terbelah menjadi dua oleh bacokan golok lalu tersungkur tak bisa bergerak. Sungguh pemandangan yang ajaib. Dan ia tak sabar ingin segera mendekap tubuh janda Suni yang hangat dan montok dalam gairah sahwat meledak.

“Koprik, apakah bapakmu masih shalat?” tanya Ki Sangir tiba-tiba pada salah seorang cantrik.
“Masih, Ki. Tapi hanya sesekali.”
“Maksudmu?”
“Kadang sehari hanya dua kali. Padahal seharusnya kan tujuh belas kali…” Koprik tak melanjutkan kalimatnya dipotong cantrik yang duduk di sebelahnya dengan cara menyikut perutnya, keras.
“Goblok! Bukan tujuh belas kali sehari, tapi lima hari sekali. Dasar nggak ngerti tuntunan. Jangan-jangan sampean tidak hapal sahadat…” Cantrik ini ingin melanjutkan kalimatnya lebih panjang, tapi cantrik yang duduk di belakang menyahut lebih cepat.
“Hei, sampean semua sama gobloknya!” Suaranya keras mengejutkan. Para cantrik menatapnya. “Yang benar sehari lima kali. Bukan lima hari sekali! Duhur, ‘asar, maghrib, isya’ dan subuh. Bacaan iftitaf setelah takbiratul ikhram bisa menggunakan allahuma ba’it baini atau allahuma kabira… keduanya sama saja pahalanya. Maaf, maaf, Ki, dulu aku murid Kyai Barnawi…” cantrik itu tiba-tiba malu sendiri menyembunyikan wajahnya.

Sesaat suasana bergeremeng mirip lebah bubar. Beberapa cantrik ingin berbagi pendapat tapi tak punya dalil. Hanya meracau dan sesekali menepuk dada mengaku paling takwa. “Cukup! cukup!” Ki Sangir menenangkan suasana yang mulai menghangat. “Koprik, biarkan bapakmu shalat. Tapi jangan lupa terus kirim sesaji. Itu yang akan menyempurnakan amalan bapakmu. Bagaimana dengan istrimu Djoned?” Ki Sangir beralih ke cantrik lain.
“Hamdulillah, Ki. Dia bahkan tidak bisa alpatikah.” Djoned menjawab mantap, suaranya berat, besar.
“Hahaha….” Seorang cantrik tiba-tiba tertawa keras. “Hahaha…”Ludahnya sampai muncrat. “Haha…Goblok kabeh! Yang benar alfatikhah! Juga alhamdulillah!” katanya bangga. “Benar kan, Ki?”
Ki Sangir menghisap tembakaunya dalam-dalam. “Keduanya sama benarnya. Pangeran Sejati tidak pernah mempermasalahkan perbedaan ucapan. Itu hanya soal lidah. Apalagi ini tanah Jawa. Yang penting adalah niat dalam hati,” ucap Ki Sangir sambil menatap semua cantriknya.
Para cantrik mengangguk-angguk.
“Bagaimana kalau istrimu, Paijan? Kudengar dia bekas lonte?” Mata Ki Sangir tiba-tiba mengerjap ada sesuatu yang disembunyikan. Wangi tubuh istri Paijan mungkin masih melekat di ketiaknya.
“Ehm….maaf, Ki, dia Protestan sejak lahir. Bapaknya pendeta…”
“Suruh istrimu ke jalan Gusti Allah. Juga mertuamu!”
“Baik, Ki. Tapi maaf, sepertinya dia condong pada Kyai Barnawi.”
“Untuk sementara tidak masalah. Barnawi memang hanya cocok untuk mualaf seperti istrimu. Kelak selesai dari Barnawi harus ngaji denganku! Aku punya ilmu khusus yang bisa membuat istrimu serupa mendapat karomah! Hikhik…”
“Baik, Ki. Nanti akan kusampaikan…”

Sementara dari bilik samping pendopo, Sadikin terus menghentak-hentakkan kaki pincangnya menahan geram. Kepalanya yang tengkleng ke kiri berusaha tegak tapi itu sangat menguras tenaga. Keringat terus meleleh di kulit pipinya yang hitam menggelambir. Ada sesuatu yang terus menggerunjal-gerunjal di dadanya melihat keakraban Ki Sangir dengan para cantrik. Pada situasi seperti ini ia benar-benar tersisih, tak berguna. Ia tahu Ki Sangir bukan hanya mumpuni dalam ilmu kanuragan dan kebatinan tapi juga fasih bacaan dan tafsir Al-qur’an. Terbesit di kepala Sadikin untuk segera memulai beberapa rencana yang sudah tersusun rapi di kepalanya:

Mengajak Ki Sangir jalan-jalan ke bukit Cuwuk dan mendorongnya ke jurang pada saat lengah. Bebatuan lancip di dasar jurang sedalam dua ratus meter cukup untuk meremukkan kepalanya sebelum dipatuk berbagai macam jenis ular berbisa. Jika gagal,
Memberi umpan Ki Sangir seorang lonte paling menggairahkan dan menyuruhnya menggunting urat lehernya pada saat meregang orgasme. Jika gagal,
Menyergap Ki Sangir saat tidur. Memacak kedua tangan dan kakinya pada empat ekor kuda jantan lalu dilecut hingga kuda-kuda itu melesat kencang ke arah berlawanan dan sudah bisa dipastikan tubuh Ki Sangir terpotong empat bagian. Jika masih tetap gagal,
Memberi Ki Sangir tuak paling memabukkan. Jika sudah teler berat dan bicaranya ngacau, jerat lehernya dengan kawat berduri, tendang kelaminnya sampai meregang lalu kubur hidup-hidup di lubang yang telah disiapkan. Jika tetap belum berhasil,
Kerahkan dua puluh lima cantrik untuk menggorok leher Ki Sangir saat tidur lelap. Gantung potongan kepalanya di pintu padepokan, sementara tubuhnya dipanggang.

Di dalam bilik samping pendapa Sadikin manggut-manggut. Ia yakin satu dari lima rencana itu pasti berjalan mulus. Sementara itu tiga ratus meter dari tempat itu, Kyai Barnawi dibantu sembilan santrinya terlihat sibuk membangun pesantren. Bahu membahu mengusung gelondong kayu, batu, bata, semen, seng dan besi. Tak ingin pembangunan pesantren tersendat-sendat, keesokan hari Kyai Barnawi memanggil delapan tukang kuli bangunan dari kampung sebelah. Diam-diam penduduk Panjen berdecak kagum. Di tengah kemiskinan yang mulai merongrong, Kyai Barnawi justru semakin kaya, santri-santrinya makmur. Meski lantai masih berupa semen kasar, namun surau yang lebih dulu dibangun itu sudah mulai digunakan untuk shalat berjamaah. Kyai Barnawi sendiri yang selalu mengumandangkan adzan sekaligus bertindak sebagai Imam dan pengisi ceramah. “Bersyukur hanya pada Gusti Allah, bukan pada batu kali, kepala kambing atau babi. Itu musyrik dan neraka ganjarannya! Katakan pada setiap orang yang kamu temui di jalan, bahwa tiada tuhan selain Gusti Allah. Hanya Gusti Allah pangeran sejati yang wajib kita sembah! Manusia hanya khalifah penyampai risalah. Tak ada manusia yang sanggup menyamai kekuasan Gusti Allah!”

“Tapi apakah kita akan terus mencuri, Kyai?” seorang santri tiba-tiba menyela bertanya.
“Hanya dengan izin Gusti Allah. Sebab setiap kemungkaran dan kebatilan harus kita ubah menjadi kebaikan sebelum kita pasrahkan lagi pada Gusti Allah. Jangan takut membawa pedang, kelewang dan golok jika untuk menegakkan agama Allah, sebab setiap tetes darah yang muncrat dari tubuh kalian akan mengantar kalian ke surga sebagai suhada. Mencurilah kalian sampai penduduk Panjen yang kufur bangkrut!”
“Terimakasih, Kyai. Kami hanya menjalankan perintahmu. Malam ini kami kembali menjarah.”
“Jangan lupa berdoa pada Gusti Allah agar kalian diberi keselamatan.”
“Terimakasih, Kyai….”

Dan…keresahan penduduk Panjen kian buncah lantaran sudah hampir sebulan gerombolan pencuri belum tertangkap. Beberapa orang mengaku pernah melihat kelebat para pencuri, namun seperti siluman mereka tiba-tiba lenyap dalam gelap. Tak pernah terendus jejak apalagi bayangan mereka. Beberapa orang lagi pernah melihat gerombolan pencuri itu mengendap-endap masuk serambi surau, tapi begitu dilihat ke dalam hanya kelengangan yang ada. Dendam yang tak tertahan membuat laki-laki dewasa penduduk Panjen dan para cantrik Ki Sangir berjaga-jaga setiap malam. Mereka tidak lagi menjadi pengangkut batu kali, sebab tugas menumpas kejahatan jauh lebih mulia. Seorang pencuri harus dipotong-potong tangannya, dirajang-rajang kakinya! Begitu Ki Sangir berfatwa dalam berbagai kesempatan dengan mata merah nyalang. Dan entah dari mana sumbernya kasak-kusuk mulai menyebut Kyai Barnawi sebagai biang kerok pencurian selama ini dengan mengerahkan para santrinya. Begitulah, simpati yang mulai tumbuh berbalik menjadi kebencian yang mekar di dada setiap penduduk Panjen, laki atau perempuan. Beberapa orang mulai mengintai gerak-gerik Kyai Barnawi dan para santrinya.

Hingga suatu malam ketika bulan bersinar cukup terang, misteri panjang itu hampir terungkap. Tiga puluh orang lebih tak mungkin pandangan mata mereka tertipu! Dan, lima laki-laki yang sembunyi di balik semak-semak dengan buntalan karung melekat di punggung itu jelas adalah santri Kyai Barnawi! Dengan pedang terhunus, kelewang, golok, linggis dan kebencian membuncah, serentak orang-orang memburu ke lima laki-laki itu. Bersorak-sorai mereka justru karena orang yang selama ini mengaku alim dan suci, ternyata gerombolan pencuri. Kentongan dipukul, pedang diayun-ayun ke udara, sesekali berkilat tertimpa cahaya bulan. Gerombolan pencuri tinggal sepuluh meter lagi. Orang-orang menarik napas lega sebab kemenangan sesaat lagi hadir di depan mata. Dengan kemarahan meledak-ledak mereka tak sabar segera mengepung dan menyergap kelima pencuri itu dengan mengerahkan berbagai macam jurus silat disertai tenaga dalam. Tapi sungguh ajaib, gerombolan pencuri itu tiba-tiba lenyap berubah lima ekor anjing hitam menyalak keras: Huk! Huk! Huk! Orang-orang terbelalak, kecewa berat mendengus kesal. Seseorang tiba-tiba menjengking menyerupai lima anjing di depannya sambil menghujat lantang. “Kirik! Kita semua tertipu! Huk! Huk!”
“Sial! Kupikir cerita askhabul kafhi hanya mitos…”


TIGA

Oh…Ibu, iblis cantik itu beberapa kali datang menemuiku. Pada malam yang gerimis dan dingin menghentak tulang-tulangku. Maaf, Ibu, jika aku terlambat menyampaikan kabar ini padamu, sebab pada suatu hari terkutuk penduduk dusun lebih cepat menemukan tubuhmu telah menjadi bangkai busuk di hutan bukit Cuwuk di antara ilalang dan semak tak terjamah. Demikian seorang laki-laki tua pengangkut batu bercerita padaku di hari-hari terakhir menunggu kematiannya. Oh, Siapa yang melakukan semua itu, Ibu? Kenapa Ayah tak peduli dan tak sedih sedikit pun dengan kematianmu? Justru Kyai Barnawi dua jam menangis sesengukan di atas nisanmu dan malamnya membaca tahlil hingga suaranya serak parau.

Aku sangat sedih kehilanganmu, Ibu. Perasaan sedih yang justru terasa sangat menyakitkan setelah kau benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Aku tidak tahu apakah aku juga harus segera pergi meninggalkan dusun Panjen, Ibu. Dusun yang telah menempa tubuhku menjadi begitu kuat. Tubuh seorang prajurit yang gagah dan tangguh. Kini aku pulang membawa cita-citamu, Ibu. Juga cita-cita nenek yang selalu diucapkan padaku: “Cucuku, menjadi prajurit itu pekerjaan mulia. Kamu akan dihormati banyak orang. Kamu bisa punya bedil dan sepatu tinggi. Kamu bisa membela Ibumu. Membela Soekarno. Belajarlah yang rajin, Cucuku. Nenek yakin kelak kamu akan menjadi orang yang mukti!” Kalimat-kalimat itu kembali mengiang di telingaku, Ibu.

Tapi… oh, Ibu. Tubuhku tiba-tiba gemetar saat kutemukan secarik kertas tulisan tanganmu di tumpukkan pakaian lusuh di lemari berdebu yang kubuka paksa sebab sebelumnya terkunci rapat seperti pintu penjara. Kertas buram bergaris-garis coklat meruap wangi kemenyan. Apakah kau sengaja meninggalkannya untukku, Ibu? Bertahun-tahun lamanya? Apakah kau sudah punya firasat bahwa kematian akan datang lebih cepat menjemputmu sebelum aku pulang membawa cita-citaku? Ataukah ini akhir dari misteri panjang yang menyelimuti kebisuanmu selama ini? O, Ibu, tulisan tanganmu masih cukup jelek tapi aku bisa membacanya:

Anakkoe lanang satoe-satoenja… akoe tahoe pada satoe waktoe kelak kamoe kan temoekan ini toelisan. Akoe hendak memberitahoemoe dari pada perilakoe bedjat Ajahmoe. Sedjak menikah denganja, hidoepkoe seperti dalam koebangan loempoer hitam. Setiap hari Ajahmoe mengedjek dan meloedah-loedahi wajahkoe. Akoe seroepa binatang haram sadja jang tak pantas bersanding denganja. Sesoenggoehnja akoe memang tak mentjintainja. Akoe terpaksa menikah dengan Ajahmoe dikarenakan akoe tak soedi diperboeat boedak napsoe tentara Djepoen jang kedjam2.

Ketahoeilah anakkoe, Ajahmoe waktoe itoe berkomplot dengan banjak laki-laki Djepoen anak buahnja Hikaro oentoek mentjari2 gadis2 desa jang dipaksa melatjurkan diri di barak2 tentara dengan tiada imbalan seroepa apapoen kecoeali nasi tiwoel boesoek sehari doea kali. Imbalan oentoek Ajahmoe sendiri dari pada semoea jang diperboeatnja itoe sesoenggoehnjalah hanja tiga boengkoes rokok Tjeng Lodji dan sebotol minoeman Hokin. Tetapi Ajahmoe teroes meneroes mentjari2 tjalon boedak napsoe Djepoen. Setiap malam Ajahmoe maboek2 dan tidoer2 dengan pelatjur2. Akoe amat2 tersiksa melihat dari pada semoea tingkah jang diperboeat Ajahmoe hingga soeatoe hari akoe berentjana memboenoehnja. Akoe soedah menjiapkan racoen babi. Sesoedah memboenoeh, akoe sendiri kan boenoeh diri. Akan tetapi roepanja akoe tiada poenya keberanian melakoekannja. Barnawi joega melarang akoe berboeat djahat dikarenakan hal2 demikian sangat2 berdosa besar menurut agama. Akhirnja semoea niat djahat akoe koeboer dalam2.

Anakkoe, akoe memang banjak menjemboenjikan dari pada semoea kedjadian menjakitkan itoe dari hadapanmoe dikarenakan hatikoe sesoenggoehnja tiada berkenan memboeat kamoe memikoel derita amat2 berkepandjangan. Akoe coekoeplah senang kamoe banjak menghabiskan waktoe loeang oentoek kamoe perboeat mengadji di pesantren Kyai Barnawi dari pada haroes menerima adjaran-adjaran Ki Sangir, Ajahmoe sendiri. Semoea adjaran Ajahmoe membawa bentjana boeat pendoedoek Panjen dan joega boeatkoe sendiri. Tiada sekali dua Ajahmoe mengamalkan ilmoe sirnahangenti. Akoe mendjadi amat tersiksa dikarenakan perboeatan ilmoe hitamnja yang kedji itoe. Dikarenakan ilmoe itoe poelalah barangkali soeatoe waktoe kamoe tidoer di kamar Ajahmoe kan didatanginja dirimoe sesoeatoe makhluk gaib jang mengadjak berboeat tiada senonoh.

Anakkoe, cah bagoes, akoe minta maaf dari pada semoea kesalahan baik jang akoe sengadja maoepoen tiada sengadja. Akoe tiada sama sekali bermaksoed memboeat hatimoe gelisah dan sedih dengan mentjeritakan dari pada semoea kedjadian menjedihkan ini. Akoe hanjalah ingin kamoe mengerti banjak sedikit masa laloemoe. Ketahoeilah anakkoe, bahwa Ajahmoe Ki Sangir, doeloe tiada pernah poelang ke roemah kecoeali seboelan sekali. Jang diperboeatnja di loear tiada boekan maboek, joedi dan tidoer2 dengan pelatjur2. Pada saat itoelah Barnawi sering datang ke roemah. Barnawi soenggoeh2 merasakan kasian jang teramat toeloes melihat penderitaan jang akoe alami. Hingga soeatoe hari Barnawi mengadjak akoe menikah siri denganja. Pada waktoe itoe dia soedah poenja istri tiga. Awalnja akoe tiada sepakat dikarenakan akoe masih istri Sangir. Akan tetapi Barnawi tiada sekali dua kali bilang: “Kantring ketahoeilah, Sangir sesoenggoehnja soedah tiada memiliki hak apa poen pada dirimoe sedjak lebih tiga kali dia menjakitimoe baik itoe dengan lidahnja maoepoen tangannja. Itoe sama sadja perboeatan kedji jang seharoesnja tiada boleh dilakoekan pada istrinja sendiri. Artinja kamoe soedah diceraikannja.”

Akhirnja akoe tiada keberatan menerimakan adjakannja Barnawi. Semoea perempoean Panjen pasti joega tiada menolak diperistrikan dia. Akhirnja akoe dan Barnawi menikah di roemah Kyai Halkil di Pengging. Tiada seorang Panjen jang tahu peristiwa itoe termasuk Ajahmoe, Ki Sangir. Tiga hari sekali, pada larut2 malam jang dingin dan berkabut Barnawi datang membawa sedikit makanan dan oeang belandja. Akan tetapi dari pada semoea itoe jang lebih penting menjaloerkan sahwat. Barnawi tahoe kapan Sangir poelang dan karenanja dia tiada datang. Akoe terpaksa melajani dua laki-laki sekaligoes, Ki Sangir dan Barnawi. Ki Sangir ialah djiwa jang keras, liar dan pemberontak. Sedangkan Barnawi tiada lain ialah kelembutan dan sosok jang menjenangkan.

Anakkoe lanang, satoe hari mendadak akoe merasakan peroetkoe moelas2 hendak moentah2. Setelahnja baroelah akoe ketahoei akoe hamil. Akoe senang sekali! Akan tetapi setelahnja poela akoe diboeat bingoeng, perihal siapa laki-laki jang menaboerkan benihnja ke rahimkoe? Barnawi atao Sangir? Ketika Sangir tahoe akoe hamil dia djuga turut senang hatinja meski dia tetap tidoer sama pelatjur2 setiap malam. Akan halnja Barnawi tiba-tiba sadja wadjahnja moeroeng dan sedjak itoe tiada pernah lagi datang ke roemah. Roepanja Barnawi marah dikarenakan akoe masih berhoeboengan badan dengan Sangir. Akan tetapi akoe tiada bersedih oleh hal itoe dikarenakan akoe hendak poenja anak. Sangir sendiri meski masih sering tidoer2 dengan pelatjur2, tetapi djuga semakin menundjukkan rasa sajangnja padakoe.

Beberapa bulan kemoedian kamoe lahir. Ajahmoe, Ki Sangir sangatlah bangga hatinja memiliki anak laki-laki jang moengkin soedah lama dia harapkan lahir. Dikarenakan setelahnja dia hendak poenja anak lagi namoen Tuhan tiada mengaboelkan. Akhirnja Sangir memperistrikan Suni, gadis bau kentjur. Akoe kemoedian ditjampakkanja seroepa sampah. Anakkoe, sampai akoe toelis ini soerat akoe masih tiada mengerti siapa seoenggoehnja ajah kandoeng kamoe jang sebenar-benarnja, Ki Sangir atokah Kyai Barnawi.

Anakkoe, hanja ini jang bisa akoe tjeritakan padamoe siapa tahoe pada satoe waktoe kelak kan bergoena. Djadilah kamoe anak jang berguna bagi negara dan agama. Berboeatlah kebenaran di mana sadja kamoe berada meski banjak orang jang menghina-hina. Jang terakhir akoe minta maaf djika apa2 sadja jang akoe toelis ini mendjadikan perasaanmoe sedih. Ketahoeilah bahwa akoe amat2 sajang dan mentjintaimoe…

Salam sajang,
Kantring, perempoean jang melahirkanmoe.
Tubuhku masih gemetar meski aku telah selesai membaca tulisan tangan Ibu. Aku benar-benar kaget tidak menyangka Ibu menyimpan kisah hidup yang begitu menyedihkan. Ibuku yang memiliki paras cantik memang banyak diam sebab bisu. Tapi justru karena itu kemampuan menulisnya sebagai alat komunikasi sangat luar biasa, tidak dimiliki oleh perempuan lain di Panjen. Tiba-tiba aku teringat Kyai Barnawi. Laki-laki yang selalu bersurban putih dan tak pernah lepas dari rantai tasbih. Masa kecil hingga remajaku banyak kuhabiskan di pesantrennya. Dan..hmm laki-laki itu rupanya pernah menjadi suami Ibu. Oh… bagaimanakah jika aku sesungguhnya adalah darah dagingnya?

Dan… siapakah iblis cantik yang memperkosaku? Benarkah dia istri gaib Ki Sangir, Ayahku, yang diperolehnya setelah melakukan ritual sirnahangenti? Oh, Ibu, aku semakin tidak mengerti dengan semua ini. Padahal sebenarnya masih banyak cerita yang ingin kusampaikan padamu, meski mungkin kamu sudah tahu. Cerita yang kudapat dari seorang laki-laki tua pengangkut batu di hari ketiga sebelum malaikat maut datang mencabut nyawanya. Inilah cerita itu:

Sadikin gagal menjalankan rencana pertamanya. Ia tak berhasil membujuk Ki Sangir jalan-jalan ke lereng bukit Cuwuk. Akhirnya ia uring-uringan sendiri. Ki Sangir yang memiliki ilmu tinggi memang sudah membaca niat jahat di kepala Sadikin. Ki Sangir justru memilih semedhi di atas batu kali sebagai bagian dari ritual sirnahangenti yang rutin ia lakukan. Tapi rupanya itu hanya untuk mengalihkan perhatian Sadikin. Ritual sirnahangenti yang rutin ia lakukan bukan siang hari tapi malam hari. Begitu Sadikin pergi Ki Sangir cepat-cepat pulang ke rumah. Ki Sangir merasa sudah saatnya melenyapkan Sadikin sebelum ia sendiri yang menjadi korban. Untuk melakukannya ia hanya punya satu cara yaitu santet. Ki Sangir mulai mengingat-ingat ilmu santet yang pernah ia dapat dari Ki Jalakluto, gurunya, di lereng gunung Sranding, yaitu:

Mengumpulkan 1/2 ons paku, silet, pisau, gotri, jarum, timah dan potongan-potongan besi berkarat.
Menyiapkan kembang tujuh rupa, segenggam tanah, segelas air laut, tiga lembar daun jati kering, api dan kemenyan secukupnya.
Menyatukan benda-benda itu dalam satu wadah yang terbuat dari tanah.
Membaca mantra sebagai berikut: pati-pati geni lemah-lemah abang banyu-banyu segara ngumpula ing manah ingsun nggagrak kaya bledek mangsa mustaka sira ngampleh semplak jumplat-jumplit ngrambang kaya mayit balio-balio nang asal sira lemah abang jabang bayi! Dibaca sebelas kali tanpa menarik napas. Pada bacaan terakhir tusuklah berkali-kali gambar atau boneka orang yang dimaksud dengan sunduk lanang [salah satu daun kelapa yang jatuhnya menghujam tanah].
Rencana di atas memiliki tingkat keberhasilan 99%. Dari sepuluh orang yang pernah dicoba, sembilan orang mati sukses dengan mata mendelik, mulut peyot dan usus terburai. Hanya satu orang yang bertahan tapi seumur hidupnya gila.

Pesantren Kyai Barnawi akhirnya bisa berdiri megah menyaingi padepokan Sadikin. Santrinya mulai bertambah banyak tapi justru datang dari luar Panjen, seperti Kranji, Luwung, Srabeg, Kendang, Semplak, Granti dan beberapa dusun di pesisir selatan yang mayoritas penduduknya miskin dan bodoh. Kyai Barnawai menikah lagi dengan dua santri perempuannya setelah istri pertamanya meninggal hanya beberapa saat setelah ia minta izin menikah. Meski sedih tapi sedikit pun tak menghalangi niat Kyai Barnawi untuk melangsungkan pesta pernikahan, sebab menikah itu perintah agama. Wajib bagi yang sudah mampu. “Menikahlah kalian dan bikin anak sebanyak-banyaknya agar Islam kuat dan jaya! Apa artinya Soekarno, Hatta, Sahrir, Tomo, tanpa kehadiran para mujtahid yang berjuang tanpa pamrih? Bangsa ini masih terpuruk dalam cengkraman penjajah!” Begitu kata Kyai Barnawi di hadapan santrinya yang masih melajang. “Satu istri cukup buat kalian kecuali kalian bisa bertindak adil seperti diriku. Menikah bukan semata urusan sahwat tapi mengarahkan keluarga menjadi sakinah mawadah warahmah menjadi keharusan seperti yang dituntunkan Rasulullah SAW. Wa min ayyaatii ankhalaqokum min anfusikum azwa waajaan litaskunuu ilaihaa wa ja’ala bainakum mawaddatan wa rokhmatan, inna fii dzalika laayyatin liqawmi yatafakkaruun.” Kyai Barnawi kemudian memberikan kriteria perempuan yang wajib dinikahi.

Limaalihaa [karena kekayaannya].
Linasabihaa [karena keturunannya].
Lijamaalihaa [karena kecantikannya], dan yang lebih penting dari semua itu,
Lidiinihaa [karena agamanya islam].

“Segera ambil perempuan-perempuan seperti itu menjadi pendamping kalian untuk memperbanyak keturunan sebelum orang-orang kafir memperdaya mereka menjadi domba gembala! Orang-orang kafir yang tak pernah rela sampai mereka tertawa terbahak-bahak melihat kehancuran Islam. Mereka akan terus menyebarkan misi busuk atas nama simpati kemanusiaan yang akan membuat hidup perempuan shalelah keblinger dan celaka dunia akhirat! Naudzubillah… Singsingkan lengan kalian untuk mengganyang mereka! Mulai detik ini kuhalalkan darah mereka tumpas di bumi nusantara!”

Tapi belum ada yang berubah setelah itu. Belum ada santri Kyai Barnawi yang menikah. Semua berjalan adem ayem hingga suatu hari seorang santri laki-laki bernama Mondir tertangkap basah memperkosa santri perempuan di kamar mandi. Mondir diarak keliling pesantren sebelum dihadapkan pada Kyai Barnawi. Tapi Mondir mengelak dituduh memperkosa. “Demi Allah Kyai, aku hanya menjalankan perintahmu. Bukankah Kyai bilang, aku disuruh mengambil perempuan-perempuan cantik dan shalehah untuk memperbanyak keturunan?” Suara Mondir bergetar wajahnya pucat. Kyai Barnawi mengelus dada berkali-kali istighfar. Duh, Gusti, apa yang salah dari ajaranku?

“Kyai, apa yang harus kita lakukan pada Mondir?” tanya seorang Santri tidak sabar. Meradang.
“Apakah kami boleh mengaraknya keliling Panjen?”

Kyai Barnawi sesaat termenung, jidatnya berkerut, gelisah bertubi-tubi. Pesantren yang ia bangun dengan istiqamah dilandasi niat suci untuk menyebarkan Islam justru dinodai oleh santrinya sendiri. Tak pernah terbayang ia akan mendapat cobaan seperti ini. Tapi hukum Allah harus ditegakkan agar kemungkaran sirna dari muka bumi. Demikian batin Kyai Barnawi, kemudian lantang berkata. “Rajam Mondir di depan surau sekarang juga!”

Beberapa santri celingak-celinguk tidak paham. “Bagaimana caranya, Kyai?” tanya mereka.“Maaf, ajaran yang diberikan Kyai belum sampai pada rajam…”
“Kubur tubuh Mondir hingga yang terlihat hanya kepalanya! Kalian, lima belas atau dua puluh orang ambil batu yang besar-besar lalu lemparkan ke kepala Mondir sampai malaikat maut datang mencabut nyawanya!”

Tubuh Mondir tiba-tiba menggigil bergetar hebat. “Tapi Kyai, aku hanya menjalankan perintahmu. Aku hanya…” Mondir tak meneruskan kalimatnya. Ia kehilangan kata-kata.

Kyai Barnawi batuk-batuk. Dadanya masih sesak. Berkali-kali melap keringat di wajahnya. “Atau kamu akan menerima adzab yang lebih pedih di neraka?” tanya Kyai Barnawi berusaha lunak. Menatap Mondir seperti anaknya sendiri. “Hanya hukum Gusti Allah yang akan menyelamatkanmu. Membawa kemaslahatan dunia akhirat. Hukum manusia tak pernah bisa adil karena dibuat oleh tangan-tangan kotor yang korup dan lalim. Jalankan hukuman Gusti Allah ini dengan ikhlas, insya allah justru surga ganjaranmu. Apakah kamu tak ingin mendapatkan surga, Mondir? Di sana kamu bisa mendapat puluhan bahkan ratusan bidadari cantik...”

Mondir terdiam. Tapi sejurus kemudian ia membuka mulutnya. “Benarkah jika sudah mendapat hukuman di dunia kelak tidak lagi mendapat hukuman di akhirat, Kyai?” Mondir berusaha tegar.

“Begitulah yang diajarkan agama kita, Mondir.”
Sesaat Mondir menghirup napas kuat-kuat. Menatap Kyai Barnawi dalam-dalam. Teringat dalam benaknya waktu pertama kali datang ke pesantren Kyai Barnawi. Ia berasal dari dusun Granti di pesisir selatan. Dusun kecil yang terbelah sungai dan persawahan, penduduknya mengaku diberi kecerdasan akal tapi saling menghujat dan menjatuhkan serta diam-diam marak menjalankan aksi malima. Ia ingin selamat dari kutuk dusun Granti dan karenanya datang seorang diri menemui Kyai Barnawi. Kini ia baru sadar bahwa puncak dari apa yang ia cari selama ini tak lain adalah keselamatan hakiki yaitu mendapatkan surga abadi. Sekali lagi Mondir menatap Kyai Barnawi dalam-dalam. Mungkin itu adalah tatapan perpisahan, lalu berkata. “Baik, Kyai. Semua perkataan Kyai kuanggap fatwa kebenaran. Rajamlah tubuhku jika itu perintah agama!”

Di bawah terik matahari yang memanggang di depan surau pesantren yang terlihat hanya butir kepala Mondir. Lima belas santri berbaris menggenggam batu seperti hendak melempar jumrah. Lima belas santri yang pernah mengarak Mondir keliling pesantren dengan kemarahan dan kebencian. Tapi ketegaran Mondir di detik-detik terakhir menjelang ajalnya justru membuat lima belas santri itu gentar berurai air mata. Mereka seperti kehilangan gairah dan tenaga. Kyai Barnawi yang mengintip dari dalam surau tak urung menangis sesengukan. Lima belas santri masih belum berani memulai. Suasana mencekam. Hingga Kyai Barnawi keluar dari surau setelah sebelumnya mengelap wajahnya dengan surban. Berusaha tabah dan tegar Kyai Barnawi berkata, tapi sambil menunduk: “Lakukanlah!”

Lima belas santri saling berpandangan belum bergerak. Justru air mata mereka semakin banyak bercucuran. Kyai Barnawi mengulang ucapannya sambil menahan air matanya sendiri agar tidak tumpah. “Lakukanlah!”

Tapi tubuh lima belas santri hanya bergetar gemetar belum berani memulai.
Kyai Barnawi mengangkat wajahnya menatap lima belas santri dan kembali mengulang ucapannya lebih keras. “Lakukanlah! Ini perintah!” Sambil berkata begitu Kyai Barnawi meraih batu dan dengan gerak tangan gemetar melemparkannya ke kepala Mondir.

Lemparan Kyai Barnawi diikuti lima belas santrinya. Dalam sekejap puluhan batu melayang di udara menghajar kepala Mondir diikuti pekikkan Allahu akbar yang terus menggema saling bersahutan hingga kepala Mondir rekah menghembuskan napas terakhir. Mondir mati. Bibirnya mengurai senyum. Kyai Barnawi cepat-cepat menghampiri Mondir. “Innalillahi wa innailaihi raji’un…” ucap Kyai Barnawi seraya mengusap wajah Mondir yang merah darah dan menciumnya. Kyai Barnawi kembali menangis. “Semua berasal dari Gusti Allah dan akan berpulang pada-Nya. Kita baru saja menyaksikan salah seorang hamba Allah yang mati sahid….”

Seminggu berlalu. Kematian Mondir segera dilupakan para santri. Aktifitas pesantren berjalan seperti biasanya. Sampai di suatu malam Kyai Barnawi mendatangi Jaenab, perempuan cantik yang pernah diperkosa Mondir. Jaenab terlihat murung dan sedih. Wajahnya tampak cekung. “Jaenab…” ucap Kyai Barnawi pelan. “Aku lihat beberapa hari terakhir ini kamu tidak mengikuti pengajian. Aku bisa mengerti dan memahami kesedihanmu, tapi mestinya kamu jangan terus menerus larut dalam kesedihan. Seburuk-buruk muslim adalah dia yang gampang putus asa oleh keadaan, sebab itu adalah perdaya iblis dan setan. Kamu harus bangkit Jaenab. Ingatlah bahwa Gusti Allah tidak pernah memberi cobaan umatnya di luar batas kemampuan umat itu sendiri. Seandainya Gusti Allah memberi cobaan padamu, itu artinya Dia justru perhatian dan sayang sama kamu. Artinya pula kamu sesungguhnya kuat menerima cobaan itu. Jadikan pengalaman masa lalu sebagai pelajaran dan hikmah. Kamu masih muda, Jaenab. Harapan dan cita-citamu masih terbentang lebar di depan…”

“Tapi Kyai….” Jaenab tak sanggup meneruskan kalimatnya. Menangis terisak-isak.
“Kenapa kamu menangis, Jaenab?” tanya Kyai Barnawi.
Sambil menangis Jaenab menggeleng lalu menunduk.

Kyai Barnawi tersenyum lembut. Harum minyak kasturi di surbannya mengembang. “Sekali lagi Jaenab, setiap cobaan selalu ada hikmanya, ingatlah itu! Hanya Rasulullah yang beristri sembilan sebab beliau adalah manusia pilihan. Beliau adalah seutama manusia yang pernah ada di muka bumi ini. Umatnya hanya dibolehkan beristri empat. Itu pun hanya untuk mereka yang bisa berlaku adil pada istri-istrinya seperti… diriku. Dan…Jaenab, seandainya kamu tidak keberatan aku ingin menjadikanmu istri yang ke empat. Siapa tahu ini memang hikmah dari cobaan yang menimpamu.”

Jaenab menatap Kyai Barnawi lekat-lekat. Kesedihan berangsur lenyap dari wajahnya. Matanya perlahan-lahan menyala. “Aku bersedia, Kyai. Tapi katakan padaku, panjenengan tidak akan menambah istri lagi.”

Kyai Barnawi tertawa pelan mengelus-elus jenggotnya. “Bagaimana mungkin aku akan menodai keyakinanku sendiri, Jaenab? Hal itu tidak mungkin aku lakukan. Kapan aku bisa menemui orang tuamu?”
“Kapan saja Kyai mau…”
“Baiklah. Besok pagi aku akan ke sana.”


EMPAT

IBU, mungkin ini adalah kepulanganku yang terakhir setelah sembilan tahun lebih meninggalkan Panjen. Sembilan tahun terasa lama sekali hingga aku merasa asing dengan kampung kelahiranku sendiri. Banyak yang berubah di Panjen yang tidak aku ketahui. Kenapa kau tak pernah mengabariku, Ibu? Atau aku yang salah karena tak pernah pulang? Ketahuilah, di sini aku merasa kesepian dan juga takut. Aku seorang prajurit tapi aku belum pernah merasa takut seperti saat ini. Ah, di mana Ki Sangir atau Kyai Barnawi. Siapa Ayah kandungku sesungguhnya? Aku belum ketemu dua orang itu. Aku baru ketemu sosok iblis perempuan yang memperkosaku pada suatu malam bertabur gerimis dan seorang laki-laki pengangkut batu di hari-hari terakhir menjelang kematiannya.

Dan inilah kelanjutan cerita laki-laki tua pengangkut batu di hari kedua sebelum malaikat maut menjemputnya:

Sadikin mulai menjalankan rencananya membunuh Ki Sangir. Rencana kedua, yaitu menggoda Ki Sangir dengan lonte paling cantik. Sadikin keluar masuk dusun mencari perempuan nakal bahenol. Tapi hingga tiga hari tiga malam ia belum menemukan perempuan yang bersedia melayani sahwat Ki Sangir sekaligus membunuhnya. Mereka takut dengan kesaktian Ki Sangir. Alih-alih dapat bayaran tinggi tapi justru kematian yang didapat. Akhirnya Sadikin menjalankan rencana ketiga, yaitu mengintai Ki Sangir saat tidur lelap. Ia akan menyergap dan mengikat tubuh Ki Sangir sebelum dipacak pada empat ekor kuda jantan. Tapi rencana ini pun gagal. Sadikin baru tahu rupanya Ki Sangir jarang tidur. Meski tidur tapi matanya tetap melek. Sadikin kemudian menjalankan rencana ke empat. Memberi Ki Sangir tuak paling memabukkan. Tapi rupanya Ki Sangir tidak ada di padepokan. Ia tergoda mencicipi tuak itu sendirian.

Tanpa sepengetahuan Sadikin, Ki Sangir duduk bersila di dalam kamarnya, khusuk membaca mantra: pati-pati geni lemah-lemah abang banyu-banyu segara ngumpula ing manah ingsun nggagrak kaya bledek mangsa mustaka sira ngampleh semplak jumplat-jumplit ngrambang kaya mayit balio-balio nang asal sira lemah abang jabang bayi! 11x tanpa menarik napas. Lalu menusuk-nusuk kertas bergambar Sadikin. Merasa belum puas, Ki Sangir mengulangnya sebanyak tiga kali.

Para cantrik di padepokan tiba-tiba geger mendapati Sadikin yang sedang mencicipi tuak tiba-tiba tubuhnya kejang-kejang, matanya terbeliak. Para cantrik mengira Sadikin mabuk berat. Beberapa cantrik segera melesat ke pucuk pohon kelapa, memetik beberapa butir kelapa ijo. Tapi saat Sadikin minum air kelapa itu justru muntah darah. Para cantrik semakin panik. Tubuh Sadikin terus kejang-kejang, bergulungan menahan sakit luar biasa. Mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya napas tersendat-sendat. Detik-detik kematian Sadikin seperti sudah dekat. Beberapa cantrik diam-diam mengerahkan ilmu tenaga dalamnya, tapi tetap tak berhasil membantu Sadikin. Akhirnya mereka hanya pasrah menatap Sadikin yang sekarat.

Pada saat kritis itu tiba-tiba Ki Sangir muncul. Para cantrik segera memberi jalan pada Ki Sangir. Ki Sangir menghampiri Sadikin yang napasnya tinggal satu-satu. Menatap Sadikan dengan wajah iba lalu menunduk mencium telinganya seperti ingin mengobati, tapi sesungguhnya berbisik kasar: “Mampus sampean!” Lalu berdiri menatap para cantrik, menggosok-gosok mata, sedih dan murung. “Para cantrikku…” Ki Sangir berhenti sejenak seolah kesedihan membuatnya sulit berkata-kata. “Sadikin sudah tak bisa diselamatkan lagi. Ada santet di dalam tubuhnya yang memiliki kekuatan dahsyat. Aku tidak tahu siapa yang mengirim. Tapi siapa pun dia pasti orang yang sangat sakti. Kita berdoa saja semoga Sadikin cepat mati dari pada menanggung kesakitan sementara kita tak bisa menolong. Semoga di akherat nanti Gusti Allah memberi Sadikin ganjaran yang setimpal sesuai perbuatannya di dunia. Baiklah, berdoa mulai… Ila arwahi…” Ki Sangir menundukkan kepala komat-kamit diikuti para cantrik. Tapi tiba-tiba Sadikin melolong sambil menunjuk-nunjuk Ki Sangir dengan wajah kebencian.

“Maaf, Ki, sepertinya Sadikin belum mau mati,” ucap seorang cantrik membuyarkan konsentrasi cantrik lain yang sedang berdoa.

Ki Sangir menoleh menatap Sadikin. Ada senyum sinis di sudut bibirnya. Tapi hanya sebentar, takut ketahuan para cantrik. “Kalau begitu kita batalkan doanya. Tapi firasatku mengatakan Sadikin tak akan bertahan lama. Aku sungguh-sungguh tak tega melihatnya. Bagaimanapun Sadikin adalah orang tua kita, pendiri padepokan ini. Aku sangat sayang padanya tapi aku juga benar-benar tak tega melihat dia tersiksa...” Berkata begitu Ki Sangir pergi meninggalkan padepokan. Sadikin terus menunjuk-nunjuk Ki Sangir. Mulutnya tak kuasa lagi bersuara. Tiga orang cantrik kemudian menggotong Sadikin ke dalam bilik.

Sampai dua hari Sadikin masih belum mati, meski ususnya terburai, perutnya bolong mengeluarkan paku, gotri, pisau, jarum dan potongan-potongan besi berkarat. Diam-diam para cantrik kembali mengakui kesaktian Sadikin yang tidak mudah mati. Sadikin sendiri sebenarnya ingin lekas mati dari pada hidup menanggung kesakitan luar biasa. Mungkin inilah siksaan terberat dalam hidupnya. Di tempat lain Ki Sangir kembali mengirim santet untuk Sadikin. Membuat tubuh Sadikin kejang-kejang hebat dan bergulungan. Tapi Sadikin tetap belum mati. Empat hari kemudian Sadikin tak kuat lagi menanggung siksaan. Ia memanggil para cantriknya.

“Aaantarkan…aaku..” Suara Sadikin terbata-bata. Wajahnya hanya kulit dan tulang. Mulutnya mengsol ke kanan kiri berlepotan nanah. “kke…ppepe..santren Bbarnawi…”

Para cantrik terkejut mendengar permintaan Sadikin. Mereka heran saling berpandangan. Beberapa cantrik tiba-tiba memegang telinganya kawatir ada yang tidak beres dengan alat pendengarannya. Karena masih belum terlalu yakin, seorang cantrik menyuruh Sadikin mengulang ucapannya. Sadikin melotot seperti marah, tapi akhirnya dengan susah payah ia bisa mengulang lagi kata-katanya. Kini para cantrik baru percaya. Sadikin minta diantar ke rumah Kyai Barnawi. Kembali para cantrik saling berpandangan dalam kebisuan mencekam di ruangan pengap bau bangkai. Hingga seseorang angkat suara. “Sebaiknya kita laksanakan saja permintaan Sadikin. Siapa tahu ini permintaan terakhirnya…”

“Tapi bagaimana kalau Kyai Barnawi menolak?” tanya seorang cantrik gusar sedikit takut.
“Kukira tidak.”
“Apa ora nunggu Ki Sangir sikik?”
“Sudah dua hari Ki Sangir mengurung diri di kamar tak mau diganggu. Apa sampean bisa menjamin Sadikin masih bertahan sampai Ki Sangir datang?”
“Oh…ora-ora! Aku ora wani. Soale kayane Sadikin wis arep modar…”
“Terus bagaimana?”
“Kita laksanakan saja perintah Sadikin.”
“Terserah sampean. Ttapi sepisan maneh aku ora tanggungjawab kalau Ki Sangir marah.”
“Dasar cecunguk. Penakut!”
“Ora ngono. Aku wedhi dihukum Ki Sangir dijemur nang kali. Mengko awakku gosong. Aku durung kawin…”
“Sudah! Sudah! Aku yang bertanggungjawab. Ayo kita angkat!”

Sejurus kemudian enam cantrik menggotong tubuh Sadikin yang baunya busuk, ususnya terburai bergelantungan sebagian membelit tubuhnya yang hanya tinggal tulang. Setiap lima puluh meter para cantrik bergantian menggotong, tak kuat menahan bau. Sadikin sendiri mulutnya megap-megap. Matanya lurus menatap langit siang yang garang. Hatinya bergetar menjerit: “Duh, Gusti Allah…ampuni semua dosa-dosaku. Beri aku kesempatan hidup lebih lama untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanku atau mati hanya dengan izin-Mu. Duh, Gusti Allah, aku percaya hanya Engkaulah penguasa langit dan bumi, Tuhan yang satu yang wajib disembah oleh seluruh umat manusia. Duh, Gusti Allah, aku percaya tiada kekuatan selain kekuatan-Mu, tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu. Duh, Gusti Allah, bukalah seluas-luasnya pintu ampunan-Mu untukku. Mudahkanlah jalan kematianku jika Engkau memang menghendakinya…”

Sadikin akhirnya sampai di hadapan Kyai Barnawi. Diletakkan di atas dipan sementara Kyai Barnawi terus wirid. Jika bukan Kyai hebat pasti sudah muntah dua jam duduk mengahadap bangkai. Tiba-tiba Sadikin membuka mata dan menggerak-gerakkan tangannya. Kyai Barnawi tersenyum senang melihat laki-laki pincang itu akhirnya siuman. “Ucapkanlah dua kalimat syahadat, Sadikin,” ucap Kyai Barnawi pelan. Sesaat Sadikin menatap Kyai Barnawi lalu menggeleng-gelengkan kepala. Kyai Barnawi terkejut, hampir suudzon berpikir: sudah hampir mampus masih tidak mau mengucap syahadat. Hingga seorang cantrik menepuk pundak Kyai Barnawi. “Maap, Kyai, Sadikin mboten saget maos syahadat…”

Kyai Barnawi akhirnya mengangguk-angguk mahfum. Tapi ia masih kurang begitu yakin. “Benarkah sampean tidak bisa melafalkan dua kalimat syahadat, Sadikin?” tanya Kyai Barnawi penasaran.

Lagi-lagi Sadikin menatap Kyai Barnawi dan menggeleng-gelengkan kepala pelan. Matanya berkedip-kedip mirip tikus.

“Baiklah… kalau begitu sampean ikuti suaraku…” Kyai Barnawi menghirup napas dalam-dalam mulai membaca syahadat.

Sadikin mencoba mengumpulkan tenaganya. Lalu mengikuti suara Kyai Barnawi. “Ass…hadu…aallaa… ilaha illallah… wa asshaduanaa … muham… madaraa…sulullah…” Suara Sadikin terbata-bata mengikuti napasnya yang mengerjat satu-satu. Sesaat kemudian kedua tangannya jatuh di dipan dan matanya mengatup rapat.

Para cantrik Sadikin terkejut melihat kematian Sadikin yang begitu cepat di depan Kyai Barnawi. Mereka berpikir Kyai Barnawi membunuh Sadikin. Dalam diam dada mereka terbakar amarah.

“Innalillah…” ucap Kyai Barnawi mengusap kepala Sadikin lalu beralih menatap para cantrik Sadikin yang berjejer di belakangnya seperti deretan patung batu. “Pulanglah kalian, biar aku dan santri-santriku yang mengurus pemakaman Sadikin…”

Sesaat para cantrik Sadikin berpandangan menahan kemarahan terpendam. Hingga seseorang angkat suara, sinis menatap Kyai Barnawi. “Maaf, dia guru kami. Kami yang berhak menguburnya!”

Kyai Barnawi tersinggung menatap tajam cantrik yang baru saja bicara. Ia merasa tidak suka. “Apa maksudmu?” tanya Kyai Barnawi.
“Kami akan mengubur Sadikin dengan cara kami!”
“Sadikin mati di tempatku. Akulah yang berhak menguburnya!”
“Tidak bisa. Sadikin guru kami. Kamilah yang berhak!”

Kyai Barnawi berdiri. Wajahnya merah, urat di sekitar matanya bergetar. Baru pertama kalinya ia berhadapan dengan anak-anak muda yang berani bicara lancang. Darah Kyai Barnawi berdesir. “Terus untuk apa kalian bawa Sadikin kemari?”
“Itu permintaan Sadikin. Bukan kami.”

Kali ini Kyai Barnawi tersenyum, tapi sinis. “Baiklah kalau begitu…” ucap Kyai Barnawi mengangguk-angguk di kepalanya tersusun sebuah rencana. “Asal kalian tahu tadi sebelum mati Sadikin juga berbisik padaku agar aku yang mengurus pemakamannya. Ini pesannya yang terakhir. Jadi lebih baik sekarang kalian pulang semua!”

Cantrik yang tadi banyak bicara tiba-tiba bungkam. Mereka kembali saling berpandangan dalam diam. Kyai Barnawi tersenyum senang merasa siasatnya berhasil. Tapi dua orang cantrik tiba-tiba melangkah ke depan. Salah seorang dari mereka menuding-nuding wajah Kyai Barnawi. “Najis! Sampean bohong! Kami tidak percaya Sadikin minta dikubur di sini!” Berkata begitu ia kemudian menyuruh teman-temannya menggotang mayat Sadikin. Lima orang sigap maju menghampiri mayat Sadikin.

Tubuh Kyai Barnawi sesaat bergetar, tapi kemudian tertawa keras. “Ambilah! Ambilah mayat Sadikin jika kalian bisa keluar dari tempat ini! Hahaha…” ucap Kyai Barnawi sambil terus tertawa.

Para cantrik merasa heran mendengar ucapan dan tawa Kyai Barnawi yang keras. Serentak mereka menoleh. Tampak di belakang mereka puluhan santri Kyai Barnawi berpakaian putih-putih menatap tajam membawa pedang. Para cantrik Sadikin gemetar mengkeret. Delapan sampai dua belas orang mungkin bisa dengan mudah mereka lumpuhkan. Tapi kalau tiga puluh orang lebih? Semuanya membawa pedang? “Aku wedhi, wedhi…aku ora mau mati disembelih. Aku durung kawin..” bisik seorang cantrik Sadikin pada teman di sebelahnya, lututnya gemetar.

“Tobil! Sampean bisa diam nggak!”
“Mulutku bisa diam. Tapi awakku terus ndredeg. Aku mau menyerah saja dari pada disembelih. Aku durung kawin. Aku pengen kawin. Jangan-jangan nanti aku ora bisa ngaceng…”

Kyai Barnawi kembali tertawa sambil melilitkan surban. “Ayo, kenapa kalian hanya diam saja? Ambilah mayat Sadikin dan bawa pulang. Tadi kalian ngotot ingin membawa Sadikin. Kalian ingin mengubur Sadikin dengan cara kalian sendiri. Ayo, cepat ambil! Biar sekalian kusiapkan lubang kubur sejumlah kalian. Santri-santriku pasti tidak keberatan. Hei, kenapa kalian hanya diam saja? Kalian takut?! Mana ilmu kalian yang katanya sakti itu? Hahaha….”

Seorang cantrik tiba-tiba menyikut lengan temannya dan berbisik. “Mungkin Kyai Barnawi hanya menggertak. Sebaiknya kita jangan terlihat lemah di depannya. Busungkan dadamu!”

“Maksudmu?”
“Para santri itu hanya siluman. Aku bisa mengatasinya!”
“Siluman piye? Lha wong jelas-jelas sikil mereka nginjak tanah…”
“Jangan banyak bacot. Ilmumu masih rendah!”
“Wislah kita bali wae. Kita ndak mungkin bisa menang. Untuk apa ngurusi mayat Sadikin sing baune kaya bangkai. Aku durung arep mati sakdurunge ngrasakke wedhokan. Sampean sendiri bola-bali ngomong kelon karo wedhokan kuwi uenak tenan. Saben bengi dolanan manuk-manukkan. Tapi kalau nanti manukku ora bisa manggung piye?”

“Hrghh! Diam!”
“Aku arep nguyuh…”
Kyai Barnawi rupanya mendengar bisik-bisik itu. Ia kemudian berjalan menghampiri para santrinya. “Damhar dan kamu Asroi, coba kalian ayun-ayunkan pedang kalian, apakah kalian ini siluman?”

Dua santri yang disebut namanya itu kemudian memain-mainkan pedang sepanjang satu meter. Tampak batang pedang yang berkilau tajam berkelabat-kelebat di udara, sesekali berputar-putar seperti baling-baling kipas angin, lalu melesat ke atas sebelum ditangkap lagi dengan gerak tangan yang tangkas cekatan. Begitu berulang-ulang. Kyai Barnawi bangga dan kagum. Beberapa cantrik Sadikin diam-diam juga kagum melihat pertunjukkan itu. Tapi ada seorang cantrik yang teramat sangat-sangat ketakutan, kawatir pedang itu terlempar keras mengenai kelaminnya. “Wah…wah.. kalau begini carane aku benar-benar bisa nguyuh di sini. Kalau sampean semua pada isin mengakui kalah, biar aku sing ngomong. Lha wong wis kepepet begini kok isih arep sombong….” Cantrik itu tiba-tiba memegangi kelaminnya sambil berjalan tertatih-tatih ke arah Kyai Barnawi. “Nyuwun pangapunten, Kyai. Saya mewakili konco-konco dari padepokan mengikhlaskan bangkai Sadikin ditinggal di sini. Sekarang juga saya dan konco-konco pamit pulang…” Habis berkata begitu ia lari terbirit-birit keluar ruangan. Para cantrik lain mengikuti keluar ruangan dengan wajah geram sambil uring-uringan. “Lonte! Cecunguk satu itu yang ada di kepalanya cuma kenthu!”

Kyai Barnawi tertawa terbahak-bahak, tapi tiba-tiba berhenti saat sadar tiga puluh santri lebih yang tadi berpakaian putih-putih mendadak lenyap. Ruangan kembali lengang. Jadi…? Kyai Barnawi sesaat tertegun baru sadar semua santrinya sedang mengaji di surau. Dari sana sayup-sayup terdengar kumandang para santri membaca terjemahan ayat suci: “…Allah! Ora ana pengeran kejaba mung Panjenengane kang sugeng abadi lan kang jumeneng pribadi. Ora ngantuk lan ora sare kabeh kang ana ing langit, kabeh kang ana ing bumi iku kagungane Allah. Ora ana kang bisa aweh pitulung ana ing ngersaning Allah kejaba kanthi idzine. Panjenengane maha pirsa marang apa bae kang ana ing ngarepe wong-wong mau lan apa bae ana ing samburine (sakdurunge dumadi lan sawise dumadi). Lan sethithik bae wong-wang mau ora bisa nguasani ilmune Allah, kejaba ilmu kang pancen wis dikersakake dening Allah (kaparingake marang wong mau). Kerajaane Allah iku jembare nyakup langit lan bumi. Ngreksa langit lan bumi iku ora angel tumrape Panjenengane Allah. Panjenengane iku maha luhur lan maha agung…”

Kabar kematian Sadikin diam-diam disambut senang Ki Sangir. Tapi di depan para cantrik ia tetap menunjukkan rasa bela sungkawa yang dalam. Ia menyingkir duduk sendiri dengan wajah murung sedih. Tapi sesungguhnya ia sedang memikirkan padepokan peninggalan Sadikin yang mutlak menjadi miliknya. Sementara itu para cantrik yang baru pulang dari tempat Kyai Barnawi masih uring-uringan. Mereka tidak hanya kesal karena tak bisa membawa pulang bangkai Sadikin, tapi juga terhina di hadapan tiga puluh santri Kyai Barnawi yang mengepung membawa pedang.

Empat orang cantrik tiba-tiba mendatangi Ki Sangir yang duduk seorang diri di pojok pendopo. Sudah setengah jam lebih Ki Sangir duduk di situ. Empat cantrik yang baru datang itu kelihatan takut-takut tapi akhirnya sampai juga mereka di depan Ki Sangir dan salah seorang membuka mulutnya, berkata. “Maaf, Ki, bukan maksud kami mengganggu panjenengan yang sedang berduka cita, tapi kami mau minta petunjuk kira-kira apa yang harus kami lakukan pada Kyai Barnawi? Sebab mayat Sadikin sampai sekarang masih di sana. Apa panjenengan membolehkan saya dan para cantrik merebut mayat Sadikin untuk dibawa ke padepokan?”

Ki Sangir mengangkat wajahnya menatap cantrik itu. Ia bukannya menjawab tapi justru bertanya. “Tolong ceritakan seperti apa kematian Sadikin? Apa mata Sadikin melotot dan mulutnya peyot?”

Sesaat para cantrik terdiam, tapi seseorang kemudian angkat suara. “Dua jam lebih Sadikin koma di depan Kyai Barnawi. Ketika siuman Kyai Barnawi menyuruh Sadikin membaca syahadat dan beberapa saat kemudian mati.”

“Syahadat? Sadikin tak tahu bacaan syahadat!”
“Kyai Barnawi yang menuntunnya…”

Ki Sangir mengangguk-angguk. Pandangannya tiba-tiba menerawang. Ada sesuatu yang kemudian benar-benar membuatnya gelisah. Ia teringat cerita yang pernah dituturkan gurunya perihal seorang laki-laki bernama Darmokusumo yang memiliki jimat kalimosodo. Setiap hari Darmokusumo mencari orang yang bisa menunjukkan jalan kematiannya. Tapi tak ada seorang pun di tanah Jawa yang sanggup. Darmokusumo yang saat itu masih memeluk agama Budha terkenal sangat sakti. Tapi akhirnya suatu hari ia bisa mati setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Cerita ini hampir sama dengan yang dialami Sadikin. Sadikin berkali-kali ingin mati tapi tak bisa. Ia baru bisa mati setelah dituntun Kyai Barnawi membaca syahadat. Atau… jangan-jangan Sadikin adalah jelmaan Darmokusumo? Tubuh Ki Sangir mendadak bergetar.

“Maaf, kenapa Ki Sangir hanya diam saja?”
Suara cantrik membuyarkan lamunan Ki Sangir. Ki Sangir tergeragap menarik napas dalam-dalam. Wajahnya kelihatan tegang. “Biarkan Sadikin diurus Barnawi. Untuk apa kita repot-repot? Oh.. ehm, maksudku kita sebaiknya lebih konsentrasi pada padepokan ini. Kita masih dalam suasana berkabung. Tidak baik bikin keributan dengan Barnawi. Hari ini juga Sadikin pasti langsung dikubur.”

“Tapi, Ki, para cantrik merasa dilecehkan Kyai Barnawi… ”
“Barnawi soal kecil. Ilmunya lebih rendah dari Sadikin. Dia pasti juga bisa mati dengan santetku. Oh…maksudku Barnawi bisa kita urus belakangan…”

“Maksud Ki Sangir?”
Ki Sangir terlihat gugup karena dua kali salah ngomong. Karena itu ia harus membayar mahal di hadapan empat cantriknya dengan, “Kita akan melakukan shalat gaib untuk Sadikin. Beri tahu cantrik lain untuk mempersiapkan diri. Kita shalat di pendopo!”

Tidak lama kemudian lima puluh orang lebih sudah berkumpul di pendopo. Wajah-wajah sedih dan berduka. Gelisah dan murung. Mereka duduk berjejer dari kiri ke kanan membentuk barisan shaf-shaf yang rapi. Tapi hanya lima orang yang sebelumnya wudhu. Dua orang tayamum. Sisanya tak melakukan keduanya bahkan lupa kalau masih pakai celana pendek dan kaos kutang. Keringat berleleran sebab habis memanjat pohon kelapa. Ki Sangir duduk di depan, menatap para cantrik di barisan shaf paling depan. Pandangan Ki Sangir terlihat diselimuti kabut tebal. “Baiklah, semuanya bersiap-siap. Kita akan melakukan shalat gaib untuk Sadikin biar arwahnya tidak gentayangan. Ingatlah semua kebaikan-kebaikan almarhum selama hidup biar shalat kita khusuk. Jangan ingat kepalanya yang tengkleng ke kiri dan kakinya yang pincang…” berkata begitu Ki Sangir membalik tubuhnya siap memulai shalat menjadi Imam.

Tapi seseorang di barisan shaf kedua tiba-tiba bersuara saat melihat Ki Sangir mulai mengangkat tangannya untuk takbiratul ikhram. “Maaf, Ki, bukankah arah kiblat di barat? Kenapa kita menghadap ke timur?”

“Betul, Ki. Kita salah arah!”
Ki Sangir gugup, urung takbiratul ikhram. Tapi bukan Ki Sangir kalau tak bisa segera menguasai keadaan. “Ingsun wujudhing Pangeran sejati, senadyan sira kabeh ngaturana ing Pangeran kang sejati, namun ingsun ngendika ora, mangsa kalakon yekti! Ingat baik-baik ajaran itu! Aku menghadap ke timur, maka kalian semua juga harus menghadap ke timur. Jangan mbalela dan banyak bacot! Sekarang kita mulai. Allahu akbar. Bismillahirrahmanirrahiim….” Suara Ki Sangir lantang berkumandang di penjuru pendapa padepokan. Di belakangnya para cantrik khusuk mengikuti apa yang dilakukan Ki Sangir. Mereka shalat sambil duduk bersila. Tapi ada yang sikut-sikutan sebab terlalu rapat, sesak, setelah kedatangan sepuluh cantrik yang baru pulang dari menggembala kerbau. “Kere! Sampean adhus dhisit kono. Awake sampean mambu kaya batang!”

“Hus! Sampean kalau shalat aja berisik!”
“Aku arep muntah. Huhuueekk…”
“Tobil! Muntahan sampean kena sajadahku!”
“Huhuhu…hueekk!!”

Meski disertai kericuhan kecil akhirnya shalat gaib selesai. Ki Sangir kembali menghadap para cantrik. Menatap mereka satu per satu sebelum memberikan khutbah singkat, semacam pelepasan pada mayat Sadikin. “Cantrik-cantrikku…” Suara Ki Sangir bergetar. “kita telah kehilangan orang yang paling kita cintai. Almarhum bukan hanya sosok yang tangguh dalam menjalani kehidupannya, tapi juga sosok yang teguh dalam memegang prinsip dan keyakinannya. Almarhum adalah sosok laki-laki yang lembut dan bersahaja. Laki-laki yang rendah hati, ramah, sabar dan sopan. Padepokan yang almarhum dirikan ini mudah-mudahan bisa menjadi amal jariah almarhum yang tak pernah putus. Tapi sebagai manusia biasa pasti almarhum juga tak luput dari kesalahan. Untuk itu jika ada di antara kalian siapa saja atau bahkan semuanya yang pernah disakiti sekali maupun berkali-kali oleh almarhum pada semasa hidupnya, entah itu dicambuk, dihantam dengan balok kayu, disambit dengan arit, disundut rokok, disuruh menjilati koreng kakinya, dipaksa berzina, atau apa pun juga, aku mewakili teman dekatnya minta agar kalian semua mau memaafkan almarhum. Sekali lagi aku mau bertanya, apakah kalian semua bersedia memaafkan almarhum?”

Para cantrik tiba-tiba berpandangan dengan dada bergemuruh. Mereka baru sadar selama ini terlalu larut sedih saat melihat Sadikin sekarat selama enam hari dengan perut bolong. Khutbah Ki Sangir mengingatkan perilaku Sadikin semasa masih sehat. Bekas sundutan rokok, bilur-bilur merah di bokong dan punggung akibat lecutan cambuk, dahi retak sebab dihajar balok kayu, bibir bonyok disambit arit, masih membekas jelas di tubuh. Itulah kenangan Sadikin yang tak bisa dilupakan sepanjang hidup. Dan… bagaimana mungkin laki-laki pincang itu kini dibiarkan bebas melenggang nyaman ke akhirat? Tidak! Tidak! Sadikin tetap keparat! Asu! Bajingan! Begitu para cantrik berpikir.

Sementara itu di balik topeng wajah sedihnya Ki Sangir tertawa-tawa senang. Siasatnya berhasil. Para cantrik akan terus mengutuk Sadikin, bahkan ketika laki-laki pincang itu sudah menjadi bangkai. Ki Sangir kembali berkata. “Karena kalian semua diam, kuanggap mau memaafkan almarhum yang barang kali pernah menyundut pipi kalian dengan rokok, menyambit dengan arit, menyuruh menjilati korengnya, mencambuk dan lain-lain. Baiklah, mulai sekarang aku yang menguasai padepokan ini. Kalian setuju?”

Para cantrik langsung menjawab serempak. “Setujuuu!!”
Sejak itu Ki Sangir menguasai padepokan. Mengangkat dua orang cantriknya yang cukup sakti bernama Paltito dan Narwisho sebagai wakil. Tiga bulan kemudian ia mencampakkan Suni, istri mudanya, setelah Kantring, istri tuanya ditemukan mati di hutan bukit Cuwuk. Ia sebenarnya sangat mencintai Kantring yang wajahnya memang cantik, tapi entah kenapa ia juga selalu berbuat kasar pada perempuan itu. Mungkin karena Kantring bisu. Suatu hari ia menikah dengan sebelas gadis penari Langgeturuk, kesemuanya tinggal dalam satu rumah. Sejak kedatangan para penari, cantrik padepokan semakin bertambah banyak. Para cantrik boleh mencicipi salah seorang dari mereka yang mempunyai tahi lalat di belahan vaginanya jika sudah sampai pada tingkatan ilmu tertentu. Hanya Narwisho yang menolak karena ia hanya bernafsu pada laki-laki. Pesantren Kyai Barnawi juga semakin bertambah besar. Ki Sangir tak suka melihat kemajuan pesantren Kyai Barnawi. Ia berencana membunuh Kyai Barnawi lalu membakar pesantrennya.



LIMA

Genjer-genjer mlebuo kendil wedange ngemplak.
Setengah mateng dientas yong dienggo iwak.
Sego nong piring sambel jeruk ring ngaben.
Genjer-genjer dipangan musuhe sego.

Ibu, sudah lima hari aku pulang. Tapi sesekali lagu itu masih menggema di telingaku. Dinyanyikan puluhan perempuan cantik di antara rimbun pohon karet dan jati. Di antara wajah-wajah berkeringat dan malam yang pucat. Mereka hanya menyanyi dan menari sambil sesekali berteriak. “Ayo, ayo, goyangkan pantatmu ke KIRI lalu angkat rokmu ke atas. Getarkan dadamu supaya payudaramu mencuat dan terlihat kutangmu berwarna hitam. Apakah celana dalammu juga hitam?” Tapi tak ada silet, gunting, arit atau pisau lipat. Mereka hanya penggembira. Tapi aku bersepatu lars dan bersenjata. Jika Ibu melihatku malam itu pasti bangga. Inilah cita-cita yang selalu kau dengungkan sejak aku kanak-kanak: Menjadi prajurit.

Dan akulah prajurit gagah berani itu, Ibu. Seorang laki-laki kere dari dusun Panjen bekas pengangkut batu kali. Tapi, oh, Ibu, bayangan kematian tiba-tiba terus menghantuiku sejak peristiwa malam itu. Ia terus berkelebat serupa hantu. Tak bisa kulihat bentuknya tapi bisa kurasakan getarnya. Lambat namun merayap dan terus mendekat. Apakah berdosa jika aku membunuh seseorang demi menjalankan tugas seorang prajurit, Ibu? Bukankah prajurit sejati harus bangga jika berhasil menyelesaikan tugasnya dengan sempurna?

Inilah ceritaku, Ibu, pada malam pembunuhan itu:
Tubuh para jendral kutembak sebelum kudorong ke dalam lubang sumur. Aku tidak tahu apakah mereka masih bernyawa atau sudah mati saat itu. Aku hanyut dalam histeria kemenangan seorang prajurit muda gagah berani. Masih kuingat hari-hari menjelang malam itu terasa sangat mencekam. Dingin udara malam Jakarta terasa menusuk tulang. Aku dituntut lebih sigap dan cekatan. Trampil menggunakan bedil, meloncat pagar, mendobrak pintu. Tangkap dan hancurkan! Begitu perintah yang kudapat. Perintah tak pernah datang dua kali, kecuali kepalaku dihajar popor senapan atau besi batangan oleh komandan.

Tapi aku terlalu mabuk malam itu. Mabuk kemenangan dan sedikit alkohol. Aku ikut menari-nari di antara pohon karet dan jati bersama puluhan perempuan pelantun genjer-genjer hingga perlahan-lahan berahiku merangkak. Mungkin mataku merah dan gerakanku kacau. Ugh! Perang, darah dan berahi terasa kontras. Hanya prajurit bodoh yang tak terangsang melihat payudara ranum mencuat dari balik kutang hitam dan jembut menyusup selangkangan. “Ayo, ayo, tambah lagi minumannya! Kita merayakan kemenangan. Ini pesta besar! Hei, jangan kau remas pantat perempuan itu, dia milikku!” Seseorang berteriak sambil berputar-putar membagi minuman. Matanya merah menyala. Wajahnya keras. Tapi kurasa aku lebih tertarik dengan perempuan. Minuman hanya membuat ngantuk dan tidur ngorok seperti kerbau. Tapi perempuan membuat terus melek tak bisa tidur. Dan, perempuan itu? Siapa namanya? Ia terus menatapku dan sesekali aku menatapnya. Aku merasakan getar yang aneh. Apakah ia mengenalku sebelum ini?

Perempuan itu menghampiriku lalu kami bersijingkat pergi. Meninggalkan kemeriahan pesta. Perempuan itu menggandeng tanganku. Aku berpikir ia perempuan nakal yang ingin mengajak bersenang-senang. Mungkin ia tahu seorang prajurit butuh banyak kesenangan sehabis bertempur. Atau dia sendiri yang merasa lelah dan perlu hiburan? Malam itu memang melelahkan atau mulai membosankan. Perempuan itu terus menggandeng tanganku, lebih erat. Mungkin ia sudah tak tahan lagi. Mungkin kami akan melakukannya cepat-cepat di pinggir jalan atau di losmen murahan. Tapi perempuan itu terus membawaku melewati jalan setapak semak-semak dan gang sempit berkelok-kelok.

Tembok rumah itu kusam. Kami masuk ke dalam. Aku seperti berada di dunia yang asing. Lengang dan sunyi. Kemeriahan pesta di kebun karet segera kulupakan. Aku masuk ke sebuah kamar. Cahaya lampu temaram berwarna kemerahan. Warna yang membuat wajah perempuan itu terlihat menggairahkan. Kukira ia sudah tak sabar memulai. Lalu kami melakukannya di atas ranjang reot yang selalu berderit-derit jika pantat perempuan itu bergoyang sedikit lebih kencang. Bantal dan guling berhamburan. Ini pertama kali aku melakukannya. Tapi mungkin perempuan itu sudah berkali-kali. Ia cekatan membuat tubuhku berkali-kali seperti melayang. Oh... dalam satu malam aku mendapat dua pengalaman baru. Membunuh orang dan bersetubuh dengan perempuan. Kukira aku menyukai keduanya. Perempuan itu mengenalkan namanya: Lasmi. Lalu kami tidur. Kami sama-sama lelah.

Aku tak tahu berapa lama aku tidur. Tak ada jam di kamar itu. Saat bangun, Lasmi, perempuan itu sudah pergi. Aku bangkit membuka jendela dan ternyata hari sudah gelap. Kulihat lampu-lampu menyala muram seperti kesedihan yang tertahan. Sejenak aku tersenyum ingat kejadian semalam. Aku memanggil Lasmi tapi tak ada jawaban. Aku semakin yakin Lasmi meninggalkanku. Aku kemudian melangkah ke kamar mandi. Aku pun juga harus pergi. Gebyuran-gebyuran air dingin membuat tubuhku kembali segar. Saat keluar dari kamar mandi, ternyata Lasmi berdiri menungguku di dapur. Pakaiannya rapi tapi wajahnya terlihat tegang. Aku kembali ingat kejadian semalam. Wajah perempuan itu merah menyala napasnya berlesatan seperti peluru. “Pangkostrad berkhianat. Ia berbalik menggempur teman-temannya sendiri. Sebaiknya dalam beberapa hari ini kamu jangan pergi kecuali kamu mau ditembak mati!” kata Lasmi dengan suara serak.

Berkhianat? Aku tergelak mendengar lelucon Lasmi. Kukira ia ingin menakut-nakutiku. Tapi aku prajurit tangguh tak mungkin gentar oleh gertak sambal. Kulihat wajah Lasmi berubah merah mendengar suara tawaku pecah. Mungkin ia marah sebab sekilas menatapku tajam. “Makanlah!” katanya kemudian sambil mengangsurkan nasi bungkus. Aku menerimanya dan mulai makan. Sesaat suasana hening. Kulihat wajah Lasmi tetap tegang, berjalan gelisah mondar-mandir. “Isu kudeta Dewan Jendral hanya omong kosong!” Tiba-tiba Lasmi bersuara. “Pangkostrad telah memelintir isu keberadaan Dewan Jendral. Kita semua ditipu. Pada gilirannya kamu akan diburu dan didor!” Lasmi menunjuk jidatku dengan telunjuknya. Kukira ia memang sedang tidak main-main. Aku segera menyelesaikan makanku.

“Aku tak paham maksudmu. Yang kutahu para jendral tidak setuju Presiden membentuk Angkatan Kelima. Mereka kemudian berencana menggulingkan Presiden,” kataku melempar bungkus nasi ke tempat sampah.

Dengan isyarat mata Lasmi mengajakku ke kamar. Ketegangan di wajahnya bercampur dengan ketakutan. Sisa keringat sedikit melunturkan bedak di wajahnya. Lasmi terlihat beda dengan yang semalam. Mungkin karena semalam aku mabuk meski hanya sedikit menenggak alkohol. “Presiden membentuk Angkatan Kelima untuk menampung sumbangan senjata dari RRT dan Rusia...” kata Lasmi sesampai di kamar duduk di atas ranjang reot yang masih berantakan. “Menpangad Letjen Ahmad Yani dan para Perwira ABRI lain memang tidak setuju dengan ide itu. Tapi dari situ tiba-tiba isu berkembang mengenai adanya sekelompok perwira AD yang tidak puas dengan Presiden membentuk kelompok Dewan Jenderal dan akan melakukan kudeta. Karena kenyataannya baik dari kubu Yani maupun Nasution tak ada yang ingin melakukan kudeta!”

Aku semakin bingung menangkap arah pembicaraan Lasmi. Tapi diam-diam aku kagum. Rupanya ia tahu banyak hal. Siapa sesungguhnya perempuan itu? Sipil? Intel? agen CIA?
“Kubu Yani dan kubu Nasution selama ini selalu berseberangan. Tapi mereka kemudian bersatu untuk menggulingkan Presiden,” kataku mulai berhati-hati.
“Masalah ini tak ada hubungannya dengan dua kubu itu. Tapi kubu baru yang diam-diam didirikan Soeharto.”
“Pangkostrad?”

“Ya. Awalnya Soeharto memang masuk dalam kubu Nasution. Tapi akhirnya mendirikan kubu sendiri setelah Amerika tak percaya lagi pada Nasution karena tak berhasil menjalankan misi mereka terhadap pemberontakan Permesta, kampanye pembebasan Irian Barat dan slogan Ganyang Malaysia. Kepentingan Amerika tak berfungsi di tangan Nasution. Di saat itulah Soeharto yang baru menjadi Pangkostrad mendirikan kubu. Ia mengajak Yoga Sugema yang masih menjadi Dubes RI untuk Yugoslavia. Soeharto menyuruh Yoga pulang dan menawari jabatan baru sebagai Kepala Intelijen Kostrad. Sesampai di Jakarta Yoga langsung menemui Soeharto di rumahnya. Mereka berembug. Itulah cikal bakal terbentuknya kubu Soeharto. Jika kutarik dari peristiwa semalam aku mulai mencium kelicikan Soeharto:

Yoga kembali ke Indonesia tidak sesuai prosedur karena seharusnya penarikan Yoga dari jabatan Duta Besar RI dilakukan oleh Menpangad, mengingat Yoga adalah perwira AD. Tetapi Yoga ditarik oleh surat panggilan Pangkostrad. Dengan cara itu Soeharto telah melangkahi garis hierarki dan komando.
Tujuan Yoga pulang adalah untuk melakukan sabotase terhadap kebijakan-kebijakan politik Presiden.
Soeharto ingin menghancurkan PKI karena PKI terlalu dekat dengan Presiden. Tujuan ini sejalan dengan kepentingan Amerika yang tak ingin Indonesia dikuasai komunis. Amerika kemudian mendekati Soeharto untuk menjalankan kepentingannya.

Kubu yang dibentuk Soeharto sama sekali tak berkaitan dengan Panglima AD, tapi berkait erat dengan politik dalam negeri dan luar negeri serta Presiden dan PKI. Ini ironis sekali. Selain Yoga, kubu Soeharto juga didukung Ali Moertopo. Dua orang ini adalah kelompok bayangan Soeharto yang suka menyusup kemana-mana...” Lasmi berhenti menghirup napas dalam-dalam. Ketegangan di wajahnya berangsur mencair.

Aku menunggunya berkata-kata. Tapi ia hanya diam saja. Aku mulai tertarik dengan ceritanya. Aku belum pernah mendengar cerita seperti itu. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Wangi tubuh Lasmi sesaat berkelebat di hidungku. Perpaduan antara keringat dan minyak wangi. Aku menyukai bauan seperti itu. Kulihat lehernya jenjang seperti angsa. Ada bekas merah-merah di lehernya. Aku yang melakukannya semalam. Payudaranya jauh lebih besar dari yang kubayangkan. “Terus apa hubungan antara Angkatan Kelima dan Kubu yang didirikan Soeharto?”

Lasmi menoleh menatapku. Ia mengusap-usap lehernya. Agaknya ia tahu aku terus memperhatikan lehernya. “Lain kali jangan kasar,” katanya sambil tersenyum. “Seperti yang tadi sudah kubilang para perwira AD tidak setuju dengan ide Angkatan Kelima. Yani kemudian menyampaikan sikapnya itu pada Presiden. Tapi kemudian masalah itu menjadi pembicaraan hangat di kalangan elite politik. Sampai kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. Presiden akhirnya memanggil Yani untuk datang ke Istana. Yani dijadwalkan diterima Presiden di Istana Negara tadi pagi dengan agenda mengenai Angkatan Kelima. Tapi subuh tadi kita menculik dan membunuhnya.”

Lasmi berhenti seperti menunggu reaksiku. Tapi aku diam saja. Aku merasa harus berhati-hati. Baru beberapa jam aku mengenalnya. Perkenalan yang singkat, meski kami telah melakukan hubungan badan. Tapi mungkin itu lebih karena kami sama-sama saling membutuhkan. Kami sama-sama lelah dan butuh hiburan. Sesekali terdengar sirene meraung-raung di kejauhan. Juga suara tembakan. Aku bingung apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar?

“Kamu dengar suara tembakan itu? Percayalah padaku. Kamu sedang diburu. Nyawamu terancam!”
“Siapa yang menghembuskan isu para jendral mau kudeta?”

Lasmi menatap kalender di kamar. “Sekitar pertengahan Agustus kemarin Presiden sakit. Presiden diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit. Dokter itu bukan didatangkan dari RRT, tapi dokter Cina yang tinggal di Kebayoran Baru. Selain dokter Cina ada dua dokter lain yang memeriksa yaitu, dr. Soebandrio dan dr. Leimena. Ketiga dokter sepakat bahwa penyakit Presiden saat itu adalah masuk angin. Diduga penyebabnya karena malam sebelumnya Presiden jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta untuk melihat langsung bagaimana harga-harga bahan kebutuhan pokok. Presiden memang sering melakukan kegiatan seperti itu tanpa pengawalan ketat.

Tapi tentu kamu masih ingat kabar yang beredar di luar menyebut Presiden sakit parah dan PKI sedang menyusun kekuatan untuk mengambil alih kepemimpinan nasional. Itu bohong. Aidit tahu persis kondisi Presiden. Di sini kubu Soeharto mulai bermain. Mereka menyebarkan isu dan provokasi seolah-olah PKI akan merebut kekuasaan jika sakit Presiden semakin parah. Tapi ini memang hanya tujuan awal yang jika gagal juga tidak masalah sebab tujuan akhirnya adalah mencari kambing hitam jika suatu saat gerakan perebutan kekuasaan benar-benar terjadi. Dengan begitu opini publik sudah tergiring pada PKI. Selanjutnya PKI akan berhadapan dengan militer. Tapi rupanya PKI tidak terpancing dengan isu dan provokasi yang diciptakan Soeharto.

Di pihak lain isu mengenai kudeta Dewan Jenderal ditanggapi serius Letkol Oentoeng. Tapi wajar karena Oentoeng salah satu komandan Pasukan Cakra Bhirawa yang tugasnya menjaga Presiden. Oentoeng kemudian berencana mendahului menangkap para Dewan Jenderal sebelum mereka bertindak lebih jauh. Oentoeng menyampaikan rencananya itu kepada Soeharto. Gayung bersambut. Soeharto malah menjanjikan akan menambah jumlah pasukan untuk mendukung rencana itu.

Beberapa hari kemudian Soeharto mengutus Yoga untuk menemui Mayjen S. Parman untuk menyampaikan pesannya agar hati-hati karena ada isu penculikan para Jendral. Tapi Parman tidak serius menanggapi saran Yoga karena masih hanya sebatas isu. Motivasi Soeharto sebenarnya hanya ingin tahu bagaimana reaksi Parman yang dekat dengan Yani. Soeharto perlu tahu sejauh mana antisipasi Parman dan tentu saja Yani, jika penculikan itu benar-benar dilakukan. Soeharto kemudian menyimpulkan bahwa baik Parman maupun Yani tak melakukan antisipasi apa-apa. Ini artinya rencana melakukan gerakan penculikan dengan memanfaatkan Kolonel Latief dan kelompok Letkol Oentoeng belum tercium oleh kelompok Dewan Jendral....”

“Maaf, kupotong! Sejak tadi aku belum mendengar keterlibatan Latief? Kenapa tiba-tiba dia muncul?” tanyaku bersemangat. Lasmi menghela napas. Aku tidak tahu apakah ia kecewa karena ucapannya kupotong.

“Ini ceritanya panjang. Tapi baiklah. Soeharto kembali menjalin hubungan dengan dua sahabat lamanya, yakni Letkol Oentoeng dan Kolonel Abdul Latief. Oentoeng anak buah Soeharto ketika masih menjabat Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Oentoeng dikenal sebagai prajurit gagah berani dan loyal pada atasan. Dalam karier selanjutnya Oentoeng dianugrahi Bintang Penghargaan oleh Presiden kemudian diangkat sebagai salah satu komandan Batalyon Kawal Istana Cakra Bhirawa. Soeharto yang sudah menjadi Pangkostrad diam-diam kecewa karena ia ingin merekrut Oentoeng ke Kostrad dijadikan anak buahnya. Tapi di kemudian hari kekecewaan Soeharto menjadi buah manis karena Oentoeng berada di wilayah strategis untuk merebut kekuasaan. Mulai saat itu Soeharto kembali mendekati Oentoeng. Soeharto yang seorang komandan bahkan rela datang ke acara resepsi pernikahan Oentoeng di Kebumen. Soeharto datang bersama istrinya dengan menggunakan transportasi darat yang tentu saja sangat jauh dan melelahkan.

Latief juga bekas anak-buah Soeharto di Divisi Diponegoro. Latief tentara pemberani dan tangguh dalam menghadapi musuh. Ini dibuktikan ketika memimpin pasukan mengusir belanda dari Yogya. Saat itu pasukan Latief kocar-kacir digempur serangan balik pasukan Belanda yang dahsyat. Sambil memerintahkan pasukannya mundur, Latief terus memberi perlawanan sengit. Setelah berada di garis belakang, Latief memeriksa sisa pasukannya. Ternyata tinggal sepuluh orang. Pada saat itulah Latief dan sisa pasukannya bertemu Soeharto sedang makan soto babat di sebuah warung di saat ribuan tentara dan pemuda gerilyawan sedang bertaruh nyawa mengusir penjajah. Dengan sikap seorang Prajurit sejati Latief melapor kepada Soeharto sebagai komandan semua pasukan tentang kondisi pasukannya. Soeharto langsung memerintah Latief untuk kembali bertempur menggempur Belanda yang ada di sekitar Kuburan Kuncen, tak jauh dari mereka. Soeharto tak menawari sekedar makan atau minum.

Setelah itu Soeharto dan Latief pisah. Soeharto menjadi Pangkostrad. Latief menjadi Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Tapi karena Soeharto melihat jabatan Latief sangat strategis yaitu menjaga keamanan Jakarta yang nantinya akan memudahkan jalan menuju Istana, ia kembali membina hubungan baik dengan Latief. Soeharto dan istrinya juga datang ke rumah Latief untuk menjenguk anak Latief yang sedang dikhitan.” Lasmi berhenti. Melepas ikatan rambutnya. Sebagian rambutnya tergerai jatuh di depan wajahnya.

“Artinya hubungan Soeharto, Latief dan Oentoeng sangat dekat?”
“Ya. Dua minggu yang lalu Latief menemui Soeharto memberi tahu tentang isu kudeta Dewan Jendral yang sudah beredar kemana-mana. Soeharto sudah tahu hal itu. Oentoeng juga mendatangi Soeharto. Dan seperti yang sudah kuceritakan di awal tadi, Oentoeng ingin mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan menculik mereka. Soeharto mendukung penuh rencana Oentoeng dengan mengirim bantuan pasukan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tapi sebagian besar adalah pasukan Soeharto yang ada di daerah-daerah dan Kostrad.

Tadi malam sekitar pukul sebelas, Latief kembali menemui Soeharto. Latief lapor kalau penculikan akan dilaksanakan pukul empat pagi. Saat itu kamu sudah berkumpul di dekat Monas. Setelah menghadap Soeharto, Latief menemui Oentoeng dan Brigjen Soepardjo. Latief bilang Soeharto tetap mendukung. Lalu kamu bergerak. Persis jam empat pagi....” Lasmi menguap sebelum mengakhiri pembicaraannya. Mungkin ia sudah ngantuk. Kulihat matanya merah.

“Terus siapa mengkhianati siapa?” Aku penasaran menunggu Lasmi belum membuka mulutnya.
Lasmi meraih selimut untuk menutupi kedua kakinya yang berselonjor di ranjang. “Tadi pagi Presiden cemas luar biasa mendengar laporan penculikan para Jendral. Sepertinya Presiden belum tahu kalau kita sudah menghabisi para jendral. Siang tadi Presiden mengeluarkan instruksi melalui radiogram ke markas besar ABRI dari pangkalan udara Halim, isinya:

Agar semua pihak tenang.
Semua pasukan stand-by di posisinya masing-masing.
Semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI.
Hindari pertumpahan darah.

Instruksi itu membuat Soeharto ketakutan. Soeharto tidak menduga Presiden mengutuk keras gerakan penculikan dan pembunuhan para Jenderal. Di sini Soeharto berbalik arah. Ia ingin menjadi pahlawan makanya kemudian memberi perintah anak buahnya menangkap Oentoeng dan kawan-kawan yang terlibat peristiwa semalam. Tentu saja Oentoeng bingung karena sebelumnya ia sudah lapor pada Soeharto soal niatnya menangkap Dewan Jenderal. Soeharto mendukung semua rencana Oentoeng bahkan memberi bantuan pasukan. Tapi setelah anggota Dewan Jenderal kita habisi Soeharto balik menggempur kita dan menuduh gerakan ini didalangi PKI. Soeharto kemudian bilang bahwa Dewan Jenderal memang ada. Katanya dia termasuk salah satu anggotanya. Tapi itu hanya dewan yang mengurus kepangkatan, bukan untuk kudeta. Huh! Memuakkan sekali. Sekarang kita pasti sedang diincar untuk dihabisi!”

Aku ingin berkata-kata tapi tiba-tiba kepalaku terasa berat. Ada sesuatu yang terus bergemuruh di dadaku.

“Semalam Aidit diambil paksa dari rumahnya di Brebes lalu dihabisi. Tentu agar Aidit tak bisa membantah keterlibatan PKI. Padahal menurutku gerakan ini murni konspirasi beberapa perwira AD yang haus kekuasaan. Dibekengi Amerika. Omong kosong jika peralatan tempur Siaga I yang didatangkan dari Surabaya dan Semarang untuk peringatan hari ABRI 5 Oktober. Tapi aku mendengar kabar itu mulai dihembus-hembuskan. Itu rekayasa fiktif yang menyesatkan. Kita telah menjadi korban konspirasi busuk para perwira AD yang tak sabar merebut kekuasaan dengan cara apa pun. Dan kita tinggal menunggu giliran....” Suara Lasmi terdengar semakin lemah. Leher jenjangnya seperti sudah tidak kuat menahan beban berat kepalanya. Berkali-kali ia menguap dan menggosok-gosok mata. Dari kejauhan sesekali masih terdengar sirene meraung-raung. Juga suara tembakan.

Esoknya aku bangun kesiangan. Lasmi sudah tak ada di tempat. Tiba-tiba aku merasa takut. Aku tidak tahu siapa Lasmi. Kawan atau lawan? Kami telah melakukan hubungan badan. Kukira ia mencintaiku. Kukira kami akan terus bersama-sama. Tapi tiba-tiba ia pergi meninggalkanku. Apa artinya semua itu? Bertemu dan berpisah tanpa pesan. Atau memang benar kami hanyalah dua orang yang sedikit mabuk dan suntuk lalu butuh sedikit kesenangan? Kompensasi batin yang tertekan? Tapi aku merasa tidak tertekan. Mungkin aku hanya lelah. Aku justru merasa tertekan dan terancam setelah mendengar cerita Lasmi. Ya, sejak itu. Sampai hari-hari yang terus bergulir hingga saat ini...



ENAM

PANJEN. Di dusun inilah sekarang aku berada. Sudah lima hari aku di sini sejak pertemuan terakhirku dengan Lasmi dua bulan lalu dan aku terus sembunyi berpindah-pindah tempat menghindari kejaran orang-orang yang ingin membunuhku. Tapi tiba-tiba aku merasa aneh untuk apa aku mendatangi kampung kelahiranku? Apakah dusun gersang dan tandus ini cukup nyaman untuk sembunyi. Orang-orang yang dulu kukenal tak kutemukan lagi. Mereka tiba-tiba lenyap seperti siluman. Aku hanya ketemu laki-laki tua pengangkut batu di hari-hari terakhir kematiannya dan perempuan iblis yang memperkosaku pada suatu malam. Ah, mungkin Ibu. Aku pulang karena rindu seorang anak pada Ibu. Tapi Ibu sudah pergi meninggalkanku. Jadi, untuk apa aku bertahan lebih lama? Menghindari kejaran orang-orang yang ingin membunuhku atau justru menyusun kekuatan? Di mana Ki Sangir dan Kyai Barnawi? Kenapa aku hanya ketemu laki-laki tua pengangkut batu?

Dan inilah cerita yang dituturkan laki-laki tua pengangkut batu sebelum ia menemui ajalnya. Begini ceritanya:

Ki Sangir mulai menyantet Kyai Barnawi. Tapi rupanya Kyai Barnawi tak mempan disantet. Santet Ki Sangir justru berbalik membunuh tiga istrinya. Ki Sangir benar-benar marah karena ketiganya adalah istri kesayangannya. Salah seorang dari mereka memiliki tahi lalat di belahan vaginanya. Ki Sangir kemudian semedhi di kali minta bantuan Nyi Ratu Krasak untuk membunuh Kyai Barnawi. Nyai Ratu Krasak bersedia membantu tapi dengan syarat Ki Sangir mau melakukan ritual sirnahangenti untuk anak Nyi Ratu Krasak yang bernama Rara Sulasmi. Artinya Ki Sangir harus menjadikan Rara Sulasmi sebagai istri gaibnya selain Nyi Ratu Krasak. Ki Sangir tak keberatan dengan syarat yang diajukan Nyi Ratu Krasak. Sejak itu ia mempunyai dua istri gaib yaitu Nyi Ratu Krasak dan Rara Sulasmi. Rara Sulasmi tidak secantik ibunya. Rambutnya panjang, lehernya jenjang.

Beberapa hari setelah para jendral diculik dan dibunuh PKI di Jakarta, seperti di dusun-dusun lain, situasi dusun Panjen yang sudah panas semakin bertambah panas lagi. Pertentangan antara kelompok Ki Sangir dan kelompok Kyai Barnawi semakin meruncing. Kyai Barnawi menuduh kelompok Ki Sangir antek PKI. Alasannya agama Ki Sangir tidak jelas. Malah Ki Sangir menganggap dirinya sebagai Tuhan. Ki Sangir sesungguhnya tidak bertuhan alias atheis. Dan atheis sama saja dengan PKI. PKI adalah atheis! Begitu kesimpulan Kyai Barnawi. Dengan alasan itu Kyai Barnawi menyuruh santrinya membunuh Ki Sangir. Di pihak lain, Ki Sangir menuduh Kyai Barnawi telah menyerobot lahan sawah penduduk dan biang kerok pencurian hingga membuat penduduk dusun Panjen mlarat.

Rupanya Ki Sangir dan para cantriknya bergerak lebih cepat. Suatu malam mereka berhasil menghadang Kyai Barnawi dan dua orang santrinya saat baru pulang mengisi pengajian dari dusun Palung. Di tempat itu pula Kyai Barnawi dan seorang santrinya dihabisi. Santri satunya berhasil kabur. Paginya Kyai Barnawi ditemukan para santrinya mati dengan kondisi mengenaskan. Lehernya hampir putus, tubuhnya penuh luka sabetan golok dan pedang. Para santri Kyai Barnawi marah besar. Mereka ingin balas dendam. Semua santri berkumpul di pesantren membawa pedang dan kelewang. Mata mereka merah dan nyalang. Di tempat lain, para cantrik Ki Sangir berjaga-jaga di padepokan. Suasana dusun Panjen benar-benar panas saat itu. Banyak orang yang tak berani keluar rumah. Tapi sebelum para santri itu bergerak, Lasto, seorang kuli pengangkut batu melapor ke Kodim. Tapi nasib Lasto justru sial. Ia ditangkap dan dijebloskan penjara dengan tuduhan mata-mata. Lasto tak tahu apa maksud mereka. Lasto tak boleh bertanya-tanya.

Lasto menghuni sel sempit ukuran tiga kali empat bersama delapan napi lain yang rata-rata terlibat kasus pencurian. Tapi baru beberapa jam berada di dalam sel, petugas Kodim datang menyuruh Lasto dan empat napi lainnya untuk naik ke dalam truk. “Kalau kowe semua mau cepat bebas, nggak usah macam-macam! Turuti saja semua dari pada perintahku, ngerti?!” kata petugas Kodim mengancam. “Kowe semua disuruh kerja bakti!”

Dengan kawalan ketat dari petugas Kodim, Lasto dan delapan napi lainnya dibawa ke hutan bukit Cuwuk. Lasto yang sudah sering keluar masuk hutan bukit Cuwuk kaget. Hutan itu rimbun dan angker. “Kowe semua harus bikin lubang di sini yang besar-besar dan dalam-dalam. Nanti mau kita buat dari pada menanam pohon jati dan kelapa. Jangan banyak cingcong atau kowe semua mau di penjara sampai modar! Awas kalau kerja dari pada kowe semua lamban. Sebelum sore nanti kerja kowe semua harus sudah selesai! Cepat kerjaken!!”

Meski merasa aneh tapi Lasto dan delapan napi lainnya segera bekerja. Sekitar pukul dua siang mobil truk dari Kodim datang mengangkut sekitar empat puluh orang cantrik Ki Sangir. Para cantrik Ki Sangir yang biasanya terlihat garang, tiba-tiba tak berkutik berhadapan dengan lima belas tentara bersenjata senapan laras panjang. Mereka disuruh berdiri berjejer. “Jadi benar kalian semua adalah cantrik Ki Sangir?” tanya seorang petugas Kodim.

“Benarrr!!” jawab para cantrik serempak.
“Terus mana teman kalian lainnya? Mana Ki Sangir?”
“Mereka kabur, Pak! Takut!” jawab salah seorang cantrik.
“Baiklah, karena hari sudah sore aku mau tanya sekali lagi sama kalian semua, apakah kalian semua benar bukan PKI?”
“Benar, Pak! Kyai Barnawi yang memfitnah kami!”
“Bagus. Sekarang kalian nyanyikan lagu genjer-genjer. Setelah itu kalian boleh pergi. Kalian hapal lagu genjer-genjer kan?”

“Hapaall!” Para cantrik menjawab serempak, senang. Mereka kemudian mulai menyanyi dengan penuh semangat dan kegembiraan. Pada saat bersamaan diam-diam tentara dari Kodim mulai mengokang senapan. Begitu para cantrik selesai menyanyi, tentara Kodim serempak mengangkat senapan dan sejurus kemudian ratusan peluru muntah berlesatan mengahjar para cantrik. Tubuh para cantrik sesaat terpental lalu menggelinding ke lubang yang baru dibuat Lasto dan delapan napi lainnya. Lasto gemetar. Ayah dan dua kakak laki-lakinya ada di antara mereka. Mereka baru satu bulan menjadi cantrik Ki Sangir. Tapi ternyata ada salah satu istri Ki Sangir yang tak mempan oleh berondongan peluru. Dua orang tentara dari Kodim akhirnya membabat leher perempuan itu dengan pedang, tapi pedang mereka justru patah. Tiga tentara ikut membantu, tapi lagi-lagi pedang dan golok mereka patah. Kesabaran mereka habis. Mereka kemudian mengikat tangan dan kaki perempuan itu lalu dilempar ke dalam lubang. Seorang anggota Kodim segera menyuruh Lasto dan delapan napi lain untuk menimbun lubang.

Lasto berusaha tegar, meski akhirnya tak kuat menahan air matanya tumpah saat harus menimbun ayahnya sebab mata ayahnya masih berkedip-kedip. Mulutnya bergerak-gerak. “Lasto... aku belum mau mati... belum mau mati...” ucap ayah Lasto napasnya mengerjat. Lehernya lubang tertembus peluru. Tubuh Lasto bergetar hebat melihat ayahnya sekarat. Lasto berhenti menimbun. Tapi tiba-tiba seorang anggota Kodim datang memukul pelipis Lasto dengan senapan. “Cepatt! Atau kowe sendiri yang kudorr! Setelah selesai tanami pohon singkong!”

Nasib santri Kyai Barnawi berbeda lagi. Beberapa saat setelah Lasto lapor ke Kodim, pasukan dari Kodim datang ke Panjen untuk mengecek kebenaran laporan Lasto sekaligus mengantisipasi keadaan. Saat itu Santri Kyai Barnawi dan cantrik Ki Sangir sudah saling bantai membantai di padepokan. Potongan kepala, kaki, tangan, dada bergelimpangan di mana-mana. Tapi secara umum santri Kyai Barnawi kalah bertempur di kandang lawan. Mereka yang masih selamat kabur menyelamatkan diri. Anggota Kodim menyaksikan pembantaian itu dari kejauhan. Mereka hanya diam saja dan baru bergerak setelah santri Kyai Barnawi lari kocar-kacir. Saat anggota Kodim datang ke padepokan, beberapa cantrik Ki Sangir dan Ki Sangir lari sembunyi. Mereka hanya berhasil menciduk sekitar empat puluh cantrik yang kemudian dihabisi di hutan bukit Cuwuk.

Sehari kemudian beberapa santri Kyai Barnawi mengajak penduduk Gelang, Kawul, Loba, Pangetan dan beberapa dusun di sekitar Panjen memburu anak buah Ki Sangir yang masih hidup. Dibantu aparat Kodim mereka berhasil menghasut penduduk bahwa kelompok Ki Sangir adalah PKI. Akhirnya satu per satu cantrik Ki Sangir berhasil mereka tangkap dan sembelih. Sebagian digantung untuk peringatan bagi yang lain. Juga anggota keluarganya. Mayat mereka dibuang ke jurang bukit Cuwuk, sebagian dihanyutkan di kali. Sejak itu dusun Panjen sepi. Penduduk banyak yang pergi meninggalkan rumah. Mereka takut disembelih sebab sebagian besar pernah menjadi cantrik Ki Sangir. Kabarnya Ki Sangir masih hidup. Entah di mana dia sembunyi.



TUJUH

INI hari keenam aku berada di dusun Panjen, Ibu. Aku datang membawa cita-citamu. Tapi aku hanya ketemu iblis cantik yang memperkosaku pada suatu malam dan laki-laki tua pengangkut batu yang kemarin sore nyawanya meregang, mati. Kini aku benar-benar hanya sendiri. Seseorang telah menusuk perut laki-laki tua itu dengan sangkur sebelum kutemukan lima hari lalu meringkuk di bawah pohon sawo depan rumah di antara rumput ilalang setinggi pusar. Ia banyak bercerita padaku. Tapi kini tak akan ada lagi cerita dari mulutnya.

Dan aku harus segera pergi, Ibu. Meninggalkan dusun Panjen dan juga segenap kenanganku padamu. Cerita yang dituturkan laki-laki tua pengangkut batu membuatku miris. Sesuatu buruk bisa menimpaku di sini. Kapan saja. Orang-orang tahu aku anak Ki Sangir yang sedang mereka cari untuk disembelih atau digantung. Dan aku sendiri? Nasibku tak lebih baik dari Ki Sangir. Dua bulan aku sembunyi berpindah-pindah sebelum akhirnya sampai di sini. Tapi ke mana lagi aku harus sembunyi, Ibu. Di mana tempat yang aman buatku? Sampai kapan aku harus sembunyi? Beberapa temanku sudah mati ditembak.

Baiklah, Ibu, kukira aku memang harus segera pergi. Subuh ini. Sebelum orang-orang bangun, batuk-batuk, meludah dan terang matahari menyentuh tanah. Sebelum orang-orang kalap, meradang menghunus pedang dan kelewang. Ya, aku harus segera pergi. Tapi, oh, siapa yang berdiri di depan pintu itu, Ibu? Benarkah dia Ayahku? Ki Sangir? Wajahnya terlihat kurus, cekung, pucat. Matanya sayu. Dadanya ringkih. Bajunya lusuh, compang-camping. Aku hampir tak mengenalinya. Dan siapa orang-orang yang ada di belakangnya? Oh.... salah seorang dari mereka datang menghampiriku. Laki-laki berbadan tegap kekar. Berseragam. Sepertinya aku pernah melihatnya. Tapi entah di mana aku lupa. Banyak orang yang akhir-akhir ini kulupakan. “Kabarnya hanya kamu yang bisa membunuh laki-laki tua itu. Bunuhlah!” kata laki-laki berseragam dingin mengangsurkan pistol dan golok.

Aku kaget. Sesaat tubuhku bergetar. Jadi mereka membawa Ayah ke sini agar aku membunuhnya? Mereka pasti tak bisa membunuh Ayah. Ayah memang sakti tapi aku tahu kelemahannya. Hanya aku yang tahu. Tapi mereka pasti mau menipuku. Setelah aku berhasil membunuh Ayah mereka juga akan membunuhku. Jadi untuk apa aku turuti perintah mereka?

“Kenapa?” tanya laki-laki berseragam masih dingin. Menarik napas kuat-kuat lalu melangkah sejengkal hingga aku bisa mencium alkohol dari mulutnya. Giginya berwarna kuning. “Bunuh dia atau kami akan membunuhmu. Kami punya alasan kuat membunuhmu. Kamu terlibat penculikan dan pembunuhan Dewan Jendral. Semua teman-temanmu sudah mati. Tapi kami akan membebaskanmu jika bisa membunuh laki-laki tua itu.”

Aku mengatur napas. Rasa kagetku masih belum hilang. Tubuhku juga masih gemetar. “Apa jaminannya?” tanyaku dengan suara bergetar sebab tenggorokanku terasa serak. Sekilas kulihat Ayah menatapku. Wajahnya semakin pucat. Dahinya berkeringat. Baru kali ini aku melihat Ayah ketakutan. “Bukankah nanti kalian juga akan membunuhku?”

Laki-laki berseragam tiba-tiba mengeluarkan lipatan kertas dari saku bajunya. Membuka lipatan kertas lalu ditunjukkan padaku. “Ini surat pernyataan bahwa kamu tidak terlibat penculikan dan pembunuhan Dewan Jendral. Dengan surat ini kamu dinyatakan bebas. Mereka saksinya,” Laki-laki berseragam menoleh ke arah beberapa orang yang berdiri di depan pintu. “Di sana ada Pak Camat, Pak Lurah, Pak Kyai dan Pendeta. Mereka akan ikut tanda tangan menjadi saksi. Benar kan bapak-bapak?” tanya laki-laki berseragam berubah ramah.

Orang-orang itu mengangguk-angguk.
“Cepat! Kami tak punya waktu banyak!” Laki-laki berseragam yang lain tiba-tiba menghampiriku sambil menodongkan pistol ke arah kepalaku. Wajahnya sangar. Matanya melotot.

Tubuhku seperti hilang rasa. Kedua kakiku seolah tak menjejak tanah. Kulihat wajah Ayah semakin pucat. Tubuhnya terus bergetar. Wajahnya basah keringat. Ayah terpekur menatap lantai entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi aku harus segera menentukan pilihan, membunuh Ayah atau aku sendiri yang akan dibunuh orang-orang itu. Ya, aku harus segera menentukan pilihan sebelum laki-laki berseragam itu kalap dan menembak kepalaku. Aku memang tidak begitu percaya dengan omongan orang-orang berseragam itu, tapi aku percaya pada orang-orang yang berdiri di depan pintu yang akan menjadi saksiku. Ini memang pilihan sulit, tapi aku harus memilih. Aku menarik napas dalam-dalam mengumpulkan kekuatan. “Baiklah, aku terima tawaran kalian,” kataku.

Laki-laki berseragam kemudian menyodorkan kertas berisi surat pernyataan. Aku tanda tangan disusul empat orang saksi. Sesaat suasana hening. Ini pertemuan pertamaku dengan Ayah setelah sekian tahun berpisah. Kini aku harus membunuhnya. Artinya kami akan berpisah lagi. Kali ini untuk selama-lamanya. Tapi, ah, tiba-tiba aku ingat surat peninggalan Ibu. Siapa Ayah kandungku yang sebenarnya? Ki Sangir atau Kyai Barnawi? Ki Sangir telah membunuh Kyai Barnawi dan kini aku akan membunuh Ki Sangir. Apakah aku memang harus membalaskan dendam Kyai Barnawi karena sesungguhnya dia Ayah kandungku? Ataukah memang aku harus membunuh Ayah kandungku sendiri Ki Sangir agar aku selamat?

“Cepaatt!!” Laki-laki berseragam yang tadi menodongkan pistol membentak.
Aku tergeragap. Tubuhku kembali hilang rasa. Aku segera meraih bilah bambu tak jauh dari tempatku berdiri lalu dengan mata setengah terpejam kutusukkan persis ke ulu hati Ayah. Bilah bambu itu tembus keluar menyodok jantung Ayah. Darah segar muncrat di pagi buta. Sesaat Ayah mengerang dan menggelepar-gelepar. Matanya melotot. Mulutnya peyot. Lalu diam tak bergerak.

Aku menghempaskan napas yang sejak tadi kutahan. Tubuhku terasa lebih ringan. Mungkin aku senang karena aku akan bebas. Aku tak perlu sembunyi lagi. Meski untuk itu aku harus membunuh Ayahku sendiri. Tapi tiba-tiba seseorang memukul tengkukku dari belakang, keras. Sesaat aku limbung terhuyung. Lalu ambruk. Pandangan mataku perlahan-lahan kabur. Mungkin aku pingsan. Atau setengah pingsan. Tapi sayup-sayup aku masih bisa mendengar percakapan itu.
“Masukkan mobil dan bawa ke kantor!”
“Siap, Komandan!”
“Kita eksekusi besok pagi bersama teman-temannya yang lain!”
“Siap, Komandan!”
“Siapa namanya?”
“Nyoto, Komandan!”
Depok, 23 April 2006

-SELESAI-


*) TEGUH WINARSHO AS, lahir di Kulonprogo, Yogyakarta, 27 Desember. Buku-bukunya yang sudah terbit, kumpulan cerpen Bidadari Bersayap Belati (Gamamedia, 2002), Perempuan Semua Orang (Arrus, 2004), Kabar dari Langit (Assyamil, 2004), Tato Naga (Grasindo, 2005), dan novel: Tunggu Aku di Ulegle, roman dan tragedi di bumi serambi mekah (Bening Publishing, 2005), Jadikan Aku Pacar Gelapmu (Arrus, 2006). Novelnya: Di Bawah Hujan dimuat bersambung di harian sore Suara Pembaruan (2000), Orang-Orang Bertopeng dimuat di Sinar Harapan (2002), Purnama di Atas Jakarta dimuat Republika (2005). Kini mengibarkan bendera dengan nama penerbitan Lafal Indonesia.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi