Senin, 24 November 2008

Senapan

AS Sumbawi

Sejujurnya, barangkali kita akan membawa lari ketakukan kita saat mengetahui seseorang berdiri di pinggir jalan dengan membawa senapan yang siap mengambil nyawa manusia. Apalagi dandanan seorang itu begitu menyeramkan. Bermata tajam elang yang memburu mangsa dan bertubuh besar seperti raksasa.

Kemudian setelah berada dalam radius yang aman darinya, barangkali juga sebagian di antara kita ada yang menelepon atau datang langsung ke kantor polisi guna melaporkan bahwa ada seorang gila yang membikin kerusuhan di tempat umum. Melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. Lantas buru-buru raungan sirine menembus gendang telinga, mengabarkan bahwa sekompi petugas segera datang demi menenangkan keadaan. Memang, sebagai pelayan masyarakat sudah seharusnya seperti itu.

Akan tetapi, keadaan sebenarnya tidak seperti itu. Orang-orang bersikap biasa saja menanggapi keberadaan raksasa bersenjata senapan yang siap mengambil nyawa manusia itu. Mereka lewat di depannya tanpa terganggu dengan keberadaannya. Mungkin hanya orang-orang yang belum pernah melihatnya saja yang memberikan tatapan dengan tanda tanya. Misalnya, orang-orang yang dalam perjalanan dari luar kota yang tengah menaiki kendaraan pribadi atau kendaraan umum yang melintasi jalanan di depannya, dan menaiki gerbong-gerbong kereta api yang melaju dengan bertumpu pada rel yang terpasang di belakangnya. Hal ini membuktikan bahwa kenyataannya, sekarang ini kehidupan kita telah benar-benar aman, tentram, dan damai. Atau mungkin juga, kehidupan telah membikin kita menjadi acuh tak acuh. Namun yang lebih melegakan hati, adalah seorang yang bersenjata senapan dan bertubuh raksasa itu hanyalah sebuah patung yang berdiri di jantung kota kabupaten ini.

Dulu ketika masih kecil, saya pernah bertanya kepada ayah setelah mengetahui keberadaan patung itu yang berdiri tak jauh dari rumah kami.

“Dia seorang pahlawan. Namanya Surendra. Dia berjuang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda dan Jepang,” ayah diam sejenak. “Makanya, kita harus menghargai jasa-jasa para pahlawan yang gugur demi bangsa dan negara. Juga berjuang mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya. Membangun bangsa dan negara.”
“Bukankah setiap hari senin di sekolah, kamu mengikuti upacara?”
“Iya.”
“Ikutilah dengan sungguh-sungguh. Mengingat perjuangan para pahlawan. Dan mendoakan mereka. Termasuk Surendra.”
*

Setelah lulus sekolah dasar, setiap hari, kecuali hari libur saya selalu mengawasi patung Surendra. Maklumlah, untuk mencapai sekolahan SMP, saya harus menyusuri jalan berkerikil yang ada di sebelah kanan patung tersebut. Di saat seperti itu, pikiran saya mencoba membayangkan begitu besar perjuangannya. Kepahlawanannya. Sehingga di kota ini mesti dibangun patung dirinya. Monumen.

Suatu hari dalam pelajaran sejarah, seorang guru menyuruh saya untuk menyebutkan beberapa nama pahlawan nasional. Kemudian saya menjawabnya dengan lancar. Guru tersebut tersenyum bangga dengan jawaban saya.
“… dan Surendra,” jawab saya.

Tiba-tiba seluruh kelas tersentak memandang saya. Begitu juga guru sejarah itu. Beberapa teman tertawa mendengar saya menyebut nama patung tersebut.

“Mohon tenang,” katanya kemudian menatap saya.
“Dia bukan pahlawan nasional, Nalia. Memang Surendra adalah pejuang bangsa. Akan tetapi, dia bukan termasuk pahlawan nasional.
“Kenapa, Bu Guru? Bukankah dia seorang pahlawan besar?! Karenanya di kota ini didirikan patung dirinya. Dan siapa sebenarnya yang menentukan masuk atau tidaknya seseorang sebagai pahlawan nasional?”
“Nalia. Memang dia seorang pahlawan negeri ini. Pejuang kemerdekaan yang gagah berani. Namun, Surendra hanya dikenal di kota ini saja. Tidak meluas secara nasional. Barangkali karena itu, dia tidak termasuk pahlawan nasional.”

Saya diam. Hanya diam hingga pelajaran sejarah selesai. Namun, dalam hati saya belum sepenuhnya bisa menerima perkataan guru sejarah itu. Sementara beberapa teman laki-laki yang kerap mengganggu saya, menjadikan Surendra sebagai bahan olok-olok.

“Nalia. Apa dia itu kakek-buyutmu?” kata Nurel yang disambut dengan tawa oleh anggota gengnya itu.
Saya mencoba tak menghiraukan mereka.
“Lantas kalau tidak, buat apa kau bela seperti itu?”
Saya hanya diam.
“Ee, teman-teman. Jangan-jangan Nalia nggak naksir sama kita-kita sebab dia mencintai Surendra,” kata Haris yang kembali membikin mereka tertawa.
“Jancuk,” umpat Saya. Mereka terdiam, lantas serentak tertawa kembali. Barangkali karena saya yang tak pernah misuh, sehingga kata yang saya umpatkan terdengar lucu.

Sementara teman-teman yang lain hanya tersenyum kepada saya.
Sebentar terdengar olok-olok dari mereka:
“Nalia misuh, Nalia misuh….Nalia naksir patung…”

Sejak saat itu, perasaan saya tambah dekat dengan Surendra. Meskipun saat itu pula, saya pertama kali mengucapkan kata kotor: jancuk! Saya tak rela pahlawan besar itu dijadikan bahan olok-olok.

Dan diam-diam dalam hati saya berkata, kalau sudah besar nanti, saya ingin mempunyai suami seperti Surendra. Tidak seperti Nurel, Haris, dan anggota gengnya yang suka mengganggu itu.
*

Ketika SMU, perasaan saya masih dekat dengan patung pahlawan besar itu. Setiap hari, kecuali hari libur, saya selalu mengawasinya ketika berangkat sekolah. Yah, sungguh gagahnya. Dengan celana dilipat sebetis, kaos polos, senapan, dan ikat kepala, tegak berdiri dipayungi langit yang cerah, pikir saya.

Dalam keseharian seperti itu, tiba-tiba terbersit di benak saya untuk mengetahui siapa sebenarnya Surendra. Kapan dan di mana dia lahir dan wafat? Bagaimana sejarah hidupnya? Perjuangannya?

Kemudian dalam beberapa kesempatan, saya berkunjung ke perpustakaan kabupaten untuk mencari literatur tentang Surendra setelah di perpustakaan sekolah saya tidak mendapatkannya. Akan tetapi sampai berkali-kali kunjungan, saya tak juga mendapatkannya. –Hingga kini, yang saya tahu tentang dirinya hanyalah seperti kata ayah ketika saya kecil dulu—.

Sore yang cerah itu saya mengawasi patung Surendra sekali lagi. Sementara siang tadi saya menyudahi kunjungan ke perpustakaan kabupaten. Saya putus asa.
Saat mengawasinya itu, dalam benak saya mengatakan bahwa dia tidak hanya gagah, tetapi juga tampan.

Dalam hidupmu, selain berjuang mengusir penjajah, apa kau pernah menikah? Punya keturunan? Kalau saja aku hidup pada saat kau masih hidup, sungguh bahagianya diriku, bila kau menjadikan aku sebagai istrimu, pikir saya kepada patung itu.

“Hei, Nalia…”
Saya tersentak. Saya lihat Lisa tersenyum, mendekat dengan sepeda motornya.
“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Haris waktu SMP dulu, bahwa kamu naksir dia…” katanya melirik ke patung itu.
“Sialan,” kata saya tersenyum. Yah. Dulu, saya dan Lisa teman sekelas di SMP. Namun sekarang, kami beda SMU. Begitu juga dengan Nurel dan Haris.
Kami kemudian bercakap-cakap.
*

Malam itu malam musim penghujan. Di pelataran langit, rembulan disaput awan. Tidak jauh di sebelah timurnya, kilatan petir keperakan membelah awan. Sementara di lokasi patung itu, hanya tiga pasangan muda-mudi duduk di sana.

Memang, sejak beberapa tahun terakhir ini, lokasi patung itu dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Saya kerap menemukan mereka ketika pulang dari kegiatan kampus. Apalagi kalau malam minggu, wah, ramai sekali. Para pedagang kaki lima pun tak mau melewatkan kesempatan untuk mengais rejeki di sana. Begitu juga dengan umbul-umbul iklan produk rokok yang terpasang di kanan-kirinya.

Dan malam itu, sungguh saya bahagia. Seorang yang diam-diam saya rindukan beberapa bulan terakhir ini mengungkapkan perasaan cintanya kepada saya.
“Aku juga mencintaimu,” kata saya memberi jawaban.
Kami tersenyum berpegangan tangan.

Sebentar langit meneteskan gerimis. Kami beranjak dan siap-siap pergi. Begitu juga dengan dua pasangan muda-mudi itu. Kemudian dia membawa saya dengan sepeda motornya. Meninggalkan patung itu dengan kesepian sejarahnya. Masa lalu yang senyap.
Aku mengeratkan pelukan ke tubuh Haris ketika angin mendera dan terasa begitu dingin. (*) 2006

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi