Selasa, 02 Desember 2008

Izinkanlah Aku Membunuhmu

Handoko Adinugroho*
http://www.lampungpost.com/

"IZINKAN aku membunuhmu".

Tak ada yang tahu mengapa kalimat itu dilontarkan Olga. Perempuan jelita yang giginya berkawat. Hanya tiba-tiba saja kalimat itu terlontar. Kepada siapa pun lawan bicaranya.

Awalnya Olga hanya menyampaikannya kepada teman-teman dekatnya. Namun kian lama, hampir kepada setiap orang yang ditemuinya di jalan, ia melontarkan perkataan yang sama. Dan tanggapan mereka nyaris seragam: mengacuhkannya.

Mereka memang tak pernah yakin. Rasanya tak mungkin Olga mampu melakukannya. Perawakannya yang sangat ramping membuatnya bisa dengan mudah dirobohkan. Wajahnya yang jelita sangat jauh dari kesan sangar. Dari mana Olga mendapatkan kalimat itu, tak seorang pun tahu. Yang pasti, Olga seperti kecanduan mengucapkan kalimat itu. Bahkan kini tak hanya secara lisan ia lontarkan. Ponselnya telah menerbangkan kalimat itu lewat pesan pendek ke semua orang yang terekam di kartunya.

"Mengapa kamu ingin membunuh?" seseorang bertanya ketika Olga menemuinya di sebuah kantin.
"Karena aku memang ingin melakukannya."
"Jika mereka tak mau kau bunuh?"
"Aku akan memaksanya jika memang aku harus memaksanya. Meski sesungguhnya aku tak suka memaksa."
"Tidak ada orang yang rela begitu saja untuk kau bunuh."
"Ada. Orang-orang yang ingin mati tapi menghindari bunuh diri."
"Kamu sudah pernah melakukannya?"
"Belum. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan melakukannya. Nanti, jika saatnya sudah tiba."

Saat yang ditunggu-tunggu itu pun seperti berlalu begitu saja. Hingga ratusan hari sejak Olga pertama kali mengucapkannya, belum pernah ada orang yang mati di tangannya. Orang-orang masih lebih memilih cara lama untuk mati: Bunuh diri.

Hari kelimaratus, Olga mencopot kawat giginya. Ada yang aneh pada penampilannya. Mulut Olga tak lagi seperti mengunyah makanan saat bicara. Liurnya tidak lagi seperti terhalang untuk keluar. Ia pun makin lancar mengucapkan, "Izinkan aku membunuhmu."

Tanpa kawat gigi, Olga makin jelita. Hanya yang membedakan: kini ia jadi getol berkacamata. Rambutnya yang sebahu lebih sering ia kepang dua.

Orang boleh merasa aneh pada penampilannya. Namun Olga merasa tak ada yang berbeda pada dirinya.

"Kalau aku bilang kamu makin cantik, apakah kamu tetap ingin membunuhku?" seorang lelaki mencoba menggodanya.
"Kamu boleh bilang apa saja. Tapi jika aku ingin membunuhmu, aku akan melakukannya dengan suka cita."
"Bukankah aku sudah berbaik-baik padamu dengan memuji kecantikanmu?"
"Pujian bukan sesuatu yang bisa menghapus niatku. Pujian tidak selalu harus dibalas dengan pujian."
"Kamu memang sudah gila!"
"Seperti kubilang, kamu boleh ngomong apa saja. Tapi jika aku memang harus membunuhmu, aku akan dengan senang hati melakukannya."

Laki-laki yang mencoba menggodanya itu memilih menyingkir daripada perdebatan harus jadi berkepanjangan. Perdebatan yang tak akan pernah bertemu pada satu muara lantaran kedua sisinya saling bertolak belakang.

Olga tak pernah merasa bersalah atas sikapnya. Baginya, apa yang ia lakukan masih wajar. Membunuh juga bukan sesuatu yang tabu jika memang korbannya adalah orang yang benar-benar lebih suka dibunuh.

Olga sedang makan siang ketika seekor kupu-kupu menghampirinya. Hanya dengan sekali rengkuh, sayap kupu-kupu itu telah lumat. Olga memandangnya dengan puas.

Itu adalah hari kelimaratus enampuluh sejak ia kecanduan mengajukan keinginan membunuh. Dan kupu-kupu itu adalah korban pertamanya.

"Kamu telah berhasil melewati ujian pertama, Olga!" kata hatinya. "Kamu berhasil membunuh korban pertamamu."
"Tapi ini cuma seekor kupu-kupu?"

"Kupu-kupu atau bukan hanya masalah objek belaka. Tidak penting. Yang jauh lebih penting adalah kamu sudah berhasil membunuh. Tak ada langkah yang langsung lebar. Semua berawal dari sejengkal."

"Dan ini anak tangga pertama yang telah aku lalui?"
"Benar. Dan anak tangga-anak tangga di atasnya sudah menanti untuk kau langkahi."

Olga tersenyum. Puas. Penuh kemenangan. Ia semakin tak sabar menanti korban selanjutnya. Namun ia tak pernah mengangankan, makhluk apa lagi yang akan menjadi korbannya. Pernah ia berencana membunuh anak kucing di rumahnya. Namun semakin ia rencanakan, semakin gagal ia melakukannya. Kucing itu semakin jauh dari jangkauannya. Karenanya, ia urungkan saja niat itu. Sejak saat itu, ia menganggap rencana hanya akan membebani langkahnya. Rencana hanya akan membelenggu jalannya. Ia lebih suka berguru pada kata hatinya. Manakala hati kecilnya tergerak saat itulah ia melakukannya. Seperti saat ia melumat kupu-kupu dalam genggamannya, meski sesungguhnya ia pun agak kecewa lantaran tak sempat mengucapkan kalimat saktinya: "Izinkan aku membunuhmu."

Olga berjanji, kealpaan itu hanya patut terjadi sekali. Tak layak kesalahan yang serupa terjadi dua kali. Maka, ketika lagi-lagi hati kecilnya tergerak untuk segera menginjak kecoa yang tiba-tiba nyelonong di kakinya, ia pun buru-buru berucap, "Izinkan aku membunuhmu." Dan dengan sekali injak kecoa itu telah berubah bentuk.

Olga lega. Ia telah sempurna menuntaskan hajatnya hanya pada latihan kedua. Dan kepada korban-korban selanjutnya, bahkan Olga menyebut nama calon korbannya saat hendak menghabisi nyawanya. Seperti pembunuh berdarah dingin, Olga berlatih keterampilannya dengan membunuh beragam serangga.

Sudah sembilanratus sembilanpuluh sembilan korban tandas dalam keperkasaan tangan Olga. Kini ia menunggu korban keseribu. Ia menunggu hati kecilnya memberi perintah. Tak seperti biasanya ia merasa gelisah. Tak seperti biasanya hati kecilnya mengulur-ulur waktu. Padahal lazimnya, seperti tanpa rencana, tiba-tiba saja ia tergerak untuk melakukan pembunuhan. Dan bisikan itu muncul dari balik hatinya yang paling dalam. Bisikan yang dalam sehari kadang bisa muncul lebih dari lima kali.

Tapi entah mengapa kali ini tidak. Berhari-hari ia menunggu, bisikan dan perintah itu tak kunjung muncul. Semakin mencoba mendengar kata hatinya, Olga semakin mendapatkan kesenyapan. Hati kecilnya seperti benar-benar telah mati. Ia jadi seonggok daging yang menggantung di bawah rongga dadanya dan sewaktu-waktu bisa saja membusuk. Tak ubahnya hati sapi yang digantung pedagang daging di pasar-pasar tradisional yang selalu kumuh.

Olga sangat menyesalinya. Mengapa hati kecilnya yang semula perkasa tiba-tiba saja runtuh dalam kelumpuhan yang nyaris sempurna? Haruskah ia berhenti memuja hati kecilnya sendiri?

Tidak. Olga merasa ia masih harus bersabar. Korban keseribu tentu korban yang sangat istimewa. Korban terakhir yang harus ia tuntaskan sebelum mencapai anak tangga paling tinggi. Dan kesebaran tak pernah berbatas. Olga sangat meyakininya.

Kesabarannya berbuah ketika menjelang tengah hari Olga merasa hati kecilnya kembali berdenyut. Olga tersenyum. Sangat bahagia. Ia merasa hatinya bergerak-gerak seperti janin di dalam rahim. Kadang bergerak kencang, kadang pelan. Penantian Olga tinggal berbilang detik lagi. Tepat tengah hari, hati kecilnya mulai bersuara.

"Kamu sudah menunggu lama, Olga."
"Tentu saja. Mengapa kamu tak kunjung datang?"
"Tidak mudah untuk menentukan korban istimewa, Olga. Korban keseribu bukan korban sembarangan. Ia harus bermakna."
"Tidak jadi soal. Aku sudah kebelet menuntaskan latihan ini."
"Kamu sudah siap?"
"Sudah berhari-hari yang lalu aku siap. Katakan saja siapa yang harus aku bunuh sekarang?"
"Bunuhlah bayanganmu."
"Bayanganku? Bagaimana mungkin? Caranya? Ini mustahil. Kamu mengada-ada. Kamu tidak seperti biasanya."
"Tidak ada yang mustahil. Bukankah sudah kubilang, korban keseribu haruslah istimewa dan bermakna?"
"Benar. Tapi caranya?"

Tak ada lagi suara. Hati kecilnya kembali membisu. Olga meruntukinya. Bagaimana mungkin orang bisa membunuh bayangannya sendiri? Ini bukan dunia absurd. Ini realitas. Ia tidak sedang berada di alam surealis yang memungkinkan segalanya terjadi meski bertolak belakang dengan logika.

Tapi perintah tetaplah perintah. Olga tak ingin perjalanan panjangnya harus berhenti justru pada anak tangga terakhir. Ia ingin sempurna. Memalukan dan naif jika kandas pada detik-detik yang sangat menentukan. Apalagi kandas lantaran kebebalannya sendiri. Olga tak mau mengalaminya. Maka dengan berbagai cara ia berusaha menjalankan perintah terakhir hati kecilnya.

"Izinkanlah aku membunuhmu, bayanganku!"

Lantas Olga mencoba menginjak bayangannya dengan kaki keras-keras, namun bayangan itu masih bertengger perkasa. Ia coba hantam dengan batu, tetap tak goyah. Ia coba pukul dengan tangan kosong berkali-kali, justru tangannya yang lantas melebam. Ketika menemukan sebilah bambu, Olga merasa itulah piranti paling tepat untuk menghabisi bayangannya. Pelan tapi pasti Olga menghujamkan bilahan bambu itu tepat ke ulu hati. Benar saja. Seketika bayangan itu tak lagi bergerak. Bayangan itu sekarat. Mulutnya menganga.

Olga tersenyum puas. Tugas terakhirnya tuntas sudah.

Selang satu jam kemudian, lalat berkerumun, berdengung, dan berpesta di taman kota. Mereka merubung sesosok mayat perempuan yang tergeletak dengan sebilah bambu tertancap tepat di ulu hatinya. ***

-------------
*) Cerpenis lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 20 Desember 1967

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi