Handoko Adinugroho*
http://www.lampungpost.com/
"IZINKAN aku membunuhmu".
Tak ada yang tahu mengapa kalimat itu dilontarkan Olga. Perempuan jelita yang giginya berkawat. Hanya tiba-tiba saja kalimat itu terlontar. Kepada siapa pun lawan bicaranya.
Awalnya Olga hanya menyampaikannya kepada teman-teman dekatnya. Namun kian lama, hampir kepada setiap orang yang ditemuinya di jalan, ia melontarkan perkataan yang sama. Dan tanggapan mereka nyaris seragam: mengacuhkannya.
Mereka memang tak pernah yakin. Rasanya tak mungkin Olga mampu melakukannya. Perawakannya yang sangat ramping membuatnya bisa dengan mudah dirobohkan. Wajahnya yang jelita sangat jauh dari kesan sangar. Dari mana Olga mendapatkan kalimat itu, tak seorang pun tahu. Yang pasti, Olga seperti kecanduan mengucapkan kalimat itu. Bahkan kini tak hanya secara lisan ia lontarkan. Ponselnya telah menerbangkan kalimat itu lewat pesan pendek ke semua orang yang terekam di kartunya.
"Mengapa kamu ingin membunuh?" seseorang bertanya ketika Olga menemuinya di sebuah kantin.
"Karena aku memang ingin melakukannya."
"Jika mereka tak mau kau bunuh?"
"Aku akan memaksanya jika memang aku harus memaksanya. Meski sesungguhnya aku tak suka memaksa."
"Tidak ada orang yang rela begitu saja untuk kau bunuh."
"Ada. Orang-orang yang ingin mati tapi menghindari bunuh diri."
"Kamu sudah pernah melakukannya?"
"Belum. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan melakukannya. Nanti, jika saatnya sudah tiba."
Saat yang ditunggu-tunggu itu pun seperti berlalu begitu saja. Hingga ratusan hari sejak Olga pertama kali mengucapkannya, belum pernah ada orang yang mati di tangannya. Orang-orang masih lebih memilih cara lama untuk mati: Bunuh diri.
Hari kelimaratus, Olga mencopot kawat giginya. Ada yang aneh pada penampilannya. Mulut Olga tak lagi seperti mengunyah makanan saat bicara. Liurnya tidak lagi seperti terhalang untuk keluar. Ia pun makin lancar mengucapkan, "Izinkan aku membunuhmu."
Tanpa kawat gigi, Olga makin jelita. Hanya yang membedakan: kini ia jadi getol berkacamata. Rambutnya yang sebahu lebih sering ia kepang dua.
Orang boleh merasa aneh pada penampilannya. Namun Olga merasa tak ada yang berbeda pada dirinya.
"Kalau aku bilang kamu makin cantik, apakah kamu tetap ingin membunuhku?" seorang lelaki mencoba menggodanya.
"Kamu boleh bilang apa saja. Tapi jika aku ingin membunuhmu, aku akan melakukannya dengan suka cita."
"Bukankah aku sudah berbaik-baik padamu dengan memuji kecantikanmu?"
"Pujian bukan sesuatu yang bisa menghapus niatku. Pujian tidak selalu harus dibalas dengan pujian."
"Kamu memang sudah gila!"
"Seperti kubilang, kamu boleh ngomong apa saja. Tapi jika aku memang harus membunuhmu, aku akan dengan senang hati melakukannya."
Laki-laki yang mencoba menggodanya itu memilih menyingkir daripada perdebatan harus jadi berkepanjangan. Perdebatan yang tak akan pernah bertemu pada satu muara lantaran kedua sisinya saling bertolak belakang.
Olga tak pernah merasa bersalah atas sikapnya. Baginya, apa yang ia lakukan masih wajar. Membunuh juga bukan sesuatu yang tabu jika memang korbannya adalah orang yang benar-benar lebih suka dibunuh.
Olga sedang makan siang ketika seekor kupu-kupu menghampirinya. Hanya dengan sekali rengkuh, sayap kupu-kupu itu telah lumat. Olga memandangnya dengan puas.
Itu adalah hari kelimaratus enampuluh sejak ia kecanduan mengajukan keinginan membunuh. Dan kupu-kupu itu adalah korban pertamanya.
"Kamu telah berhasil melewati ujian pertama, Olga!" kata hatinya. "Kamu berhasil membunuh korban pertamamu."
"Tapi ini cuma seekor kupu-kupu?"
"Kupu-kupu atau bukan hanya masalah objek belaka. Tidak penting. Yang jauh lebih penting adalah kamu sudah berhasil membunuh. Tak ada langkah yang langsung lebar. Semua berawal dari sejengkal."
"Dan ini anak tangga pertama yang telah aku lalui?"
"Benar. Dan anak tangga-anak tangga di atasnya sudah menanti untuk kau langkahi."
Olga tersenyum. Puas. Penuh kemenangan. Ia semakin tak sabar menanti korban selanjutnya. Namun ia tak pernah mengangankan, makhluk apa lagi yang akan menjadi korbannya. Pernah ia berencana membunuh anak kucing di rumahnya. Namun semakin ia rencanakan, semakin gagal ia melakukannya. Kucing itu semakin jauh dari jangkauannya. Karenanya, ia urungkan saja niat itu. Sejak saat itu, ia menganggap rencana hanya akan membebani langkahnya. Rencana hanya akan membelenggu jalannya. Ia lebih suka berguru pada kata hatinya. Manakala hati kecilnya tergerak saat itulah ia melakukannya. Seperti saat ia melumat kupu-kupu dalam genggamannya, meski sesungguhnya ia pun agak kecewa lantaran tak sempat mengucapkan kalimat saktinya: "Izinkan aku membunuhmu."
Olga berjanji, kealpaan itu hanya patut terjadi sekali. Tak layak kesalahan yang serupa terjadi dua kali. Maka, ketika lagi-lagi hati kecilnya tergerak untuk segera menginjak kecoa yang tiba-tiba nyelonong di kakinya, ia pun buru-buru berucap, "Izinkan aku membunuhmu." Dan dengan sekali injak kecoa itu telah berubah bentuk.
Olga lega. Ia telah sempurna menuntaskan hajatnya hanya pada latihan kedua. Dan kepada korban-korban selanjutnya, bahkan Olga menyebut nama calon korbannya saat hendak menghabisi nyawanya. Seperti pembunuh berdarah dingin, Olga berlatih keterampilannya dengan membunuh beragam serangga.
Sudah sembilanratus sembilanpuluh sembilan korban tandas dalam keperkasaan tangan Olga. Kini ia menunggu korban keseribu. Ia menunggu hati kecilnya memberi perintah. Tak seperti biasanya ia merasa gelisah. Tak seperti biasanya hati kecilnya mengulur-ulur waktu. Padahal lazimnya, seperti tanpa rencana, tiba-tiba saja ia tergerak untuk melakukan pembunuhan. Dan bisikan itu muncul dari balik hatinya yang paling dalam. Bisikan yang dalam sehari kadang bisa muncul lebih dari lima kali.
Tapi entah mengapa kali ini tidak. Berhari-hari ia menunggu, bisikan dan perintah itu tak kunjung muncul. Semakin mencoba mendengar kata hatinya, Olga semakin mendapatkan kesenyapan. Hati kecilnya seperti benar-benar telah mati. Ia jadi seonggok daging yang menggantung di bawah rongga dadanya dan sewaktu-waktu bisa saja membusuk. Tak ubahnya hati sapi yang digantung pedagang daging di pasar-pasar tradisional yang selalu kumuh.
Olga sangat menyesalinya. Mengapa hati kecilnya yang semula perkasa tiba-tiba saja runtuh dalam kelumpuhan yang nyaris sempurna? Haruskah ia berhenti memuja hati kecilnya sendiri?
Tidak. Olga merasa ia masih harus bersabar. Korban keseribu tentu korban yang sangat istimewa. Korban terakhir yang harus ia tuntaskan sebelum mencapai anak tangga paling tinggi. Dan kesebaran tak pernah berbatas. Olga sangat meyakininya.
Kesabarannya berbuah ketika menjelang tengah hari Olga merasa hati kecilnya kembali berdenyut. Olga tersenyum. Sangat bahagia. Ia merasa hatinya bergerak-gerak seperti janin di dalam rahim. Kadang bergerak kencang, kadang pelan. Penantian Olga tinggal berbilang detik lagi. Tepat tengah hari, hati kecilnya mulai bersuara.
"Kamu sudah menunggu lama, Olga."
"Tentu saja. Mengapa kamu tak kunjung datang?"
"Tidak mudah untuk menentukan korban istimewa, Olga. Korban keseribu bukan korban sembarangan. Ia harus bermakna."
"Tidak jadi soal. Aku sudah kebelet menuntaskan latihan ini."
"Kamu sudah siap?"
"Sudah berhari-hari yang lalu aku siap. Katakan saja siapa yang harus aku bunuh sekarang?"
"Bunuhlah bayanganmu."
"Bayanganku? Bagaimana mungkin? Caranya? Ini mustahil. Kamu mengada-ada. Kamu tidak seperti biasanya."
"Tidak ada yang mustahil. Bukankah sudah kubilang, korban keseribu haruslah istimewa dan bermakna?"
"Benar. Tapi caranya?"
Tak ada lagi suara. Hati kecilnya kembali membisu. Olga meruntukinya. Bagaimana mungkin orang bisa membunuh bayangannya sendiri? Ini bukan dunia absurd. Ini realitas. Ia tidak sedang berada di alam surealis yang memungkinkan segalanya terjadi meski bertolak belakang dengan logika.
Tapi perintah tetaplah perintah. Olga tak ingin perjalanan panjangnya harus berhenti justru pada anak tangga terakhir. Ia ingin sempurna. Memalukan dan naif jika kandas pada detik-detik yang sangat menentukan. Apalagi kandas lantaran kebebalannya sendiri. Olga tak mau mengalaminya. Maka dengan berbagai cara ia berusaha menjalankan perintah terakhir hati kecilnya.
"Izinkanlah aku membunuhmu, bayanganku!"
Lantas Olga mencoba menginjak bayangannya dengan kaki keras-keras, namun bayangan itu masih bertengger perkasa. Ia coba hantam dengan batu, tetap tak goyah. Ia coba pukul dengan tangan kosong berkali-kali, justru tangannya yang lantas melebam. Ketika menemukan sebilah bambu, Olga merasa itulah piranti paling tepat untuk menghabisi bayangannya. Pelan tapi pasti Olga menghujamkan bilahan bambu itu tepat ke ulu hati. Benar saja. Seketika bayangan itu tak lagi bergerak. Bayangan itu sekarat. Mulutnya menganga.
Olga tersenyum puas. Tugas terakhirnya tuntas sudah.
Selang satu jam kemudian, lalat berkerumun, berdengung, dan berpesta di taman kota. Mereka merubung sesosok mayat perempuan yang tergeletak dengan sebilah bambu tertancap tepat di ulu hatinya. ***
-------------
*) Cerpenis lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 20 Desember 1967
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar