Selasa, 02 Desember 2008

Seekor Tikus dan Guenter Grass

Kurniawan
http://www.korantempo.com/

Ia pernah menjadi serdadu Nazi, tapi Yayasan Nobel tak akan menarik kembali Nobel Sastranya.

Perkenalkan. Namanya Joachim Mahlke. Ia anak yatim yang terasing di Danzig, Jerman, di tengah kecamuk Perang Dunia Kedua dan cengkeraman kuku-kuku Nazi.

Mahlke Yang Agung, begitu Heini Pilenz, narator novel Kucing dan Tikus (Katz und Maus) karya Guenter Grass itu, menyebutnya, senang bermain-main bersama Pilenz dan kawan-kawan lainnya di kapal penyapu ranjau Angkatan Laut Polandia yang karam dan separuh terendam di sebuah pantai.

Saban musim panas Mahlke menjelajahi kapal karam itu dengan menyelam masuk lewat sebuah lubangnya. Dengan obeng hadiahnya bocah itu menghimpun harta karun: berbagai piagam, pernik-pernik kru kapal, dan sebuah gramofon. Mahlke menjualnya atau sekadar mengoleksinya.

Suatu kali Mahlke mencuri sebuah Salib Logam, lambang militer Jerman, dari seorang kapter armada kapal selam Jerman. Dia diusir dari sekolahnya, Sekolah Mengah Atas Conradinum.

Bocah itu punya impian, jadi seorang serdadu gagah. Dia lantas bergabung dengan sebuah batalion tank Angkatan Bersenjata Jerman dan menerima sebuah Salib Logam, yang hanya dihadiahkan kepada prajurit karena perang, berkat keberhasilannya dalam bertempur.

Ia kembali ke sekolah yang pernah mengusirnya. Tapi, kepala sekolah melarangnya berbicara dengan para siswa, dengan alasan dosa masa lalunya yang tak terhapus.

Mahlke kembali ke kapal karamnya. Dengan alasan yang jelas untuk memakai ruang kapal yang seperuh terendam itu sebagai sebuah tempat persembunyian, sehingga ia dapat terhindari dari panggilan berperang lagi,

Mahlke menyelam ke kapal karam itu lagi dan Pilenz, sang narator, tak pernah melihatnya lagi. Barangkali dia telah mati di sana.

Seperti Mahlke, Guenter Grass sekarang "terusir" dari masyarakat yang memuja dan menghormatinya hanya karena satu alasan: dia mengaku pernah menjadi anggota Waffen SS, sayap militer dari SS Nazi Jerman bentukan Adolf Hitler.

Tak seorang pun yang tahu mengenai keterlibatan Grass ini, termasuk semua penulis biografinya dan bahkan anak-anaknya. Grass hanya memberi tahu istrinya, Ute Grunert.

Pengakuan itu menggemparkan dunia sastra dan politik Jerman. Tentu saja, karena pemenang Nobel Sastra 2000 itu selama ini dikenal sebagai pejuang demokrasi dan perdamaian yang dengan karya sastra dan pidatonya mengecam masa gelap Nazi Jerman.

Dalam sebuah wawancara di harian terhormat Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung, edisi 11 Agustus, Grass untuk pertama kalinya mengungkap peran kelamnya itu. Wawancara ini terkait dengan rencana penerbitan otobiografinya, Mengupas Bawang (Beim Häuten der Zwiebel).

"Kebisuanku selama bertahun-tahun ini adalah satu alasan mengapa aku menulis buku ini," kata pengarang berusia 78 tahun itu. "Ia harus keluar akhirnya."

Selama ini Grass dikenal sebagai bagian dari "generasi Flakhelfer", orang yang terlalu muda untuk menyaksikan perang berkecamuk atau terlibat dalam rezim Nazi melalui organisasi-organisasi pemudanya.

Sebelum pengakuan terbarunya itu, orang selama ini percaya pada dongengnya: bahwa ia dulu pernah mengabdi pada unit antipesawat tempur Jerman dan terluka dalam perang, bahwa ia kemudian ditangkap pasukan Amerika Serikat dan ditahan di kamp tahanan perang.

Kini Grass tak memberi isapan jempol lagi. Dia dengan terus terang mengaku bahwa pada saat berusia 15 tahun secara sukarela dia ingin sekali menjadi serdadu Nazi.

Grass sudah terpukau pada pada sosok gagah tentara Nazi sejak usia 13 tahun dan mengira bahwa bergabung dengan Waffen SS adalah rute langsung menuju Adolf Hitler.

"Aku terpukau dalam ideologi itu, aku dibutakannya," ujarnya. "Aku ingin menjadi seorang pahlawan dan mungkin memainkan beberapa peranan."

Maka, dia mendaftarkan diri untuk bergabung dengan armada kapal selam Jerman. Tapi, karena masih belia, dia ditolak.

Kesempatan kedua datang, tapi tidak atas kehendaknya. Pada September 1944 Grass, yang baru menginjak usia 17 tahun, dikenai wajib militer dan ditugasi sebagai penembak pada Divisi Panser SS ke-10 Frundsberg, bagian dari Waffen SS, hingga akhirnya menyerah dan ditawan pasukan Amerika di Marienbad.

Sastrawan gaek itu berdalih bahwa semua itu di luar kemauannya. "Pada tahap itu," kata Grass, "SS mengambil siapa pun yang dapat mereka genggam."

Saat itu, kata Grass, dia tak merasa malu menjadi anggota SS. Tapi, "Kemudian perasaan malu ini membebaniku."

SS, singkatan dari Schutzstaffel (eselon pelindung), semula adalah pasukan pengawal pribadi pemimpin Nazi Adolf Hitler. Organisasi itu lalu berkembang menjadi pasukan elite beranggotakan hampir sejuta serdadu.

Organisasi inilah yang membangun kamp-kamp maut yang menjadi tempat pembantaian jutaan orang, kebanyakan Yahudi, yang kemudian dikenal sebagai Holocaust. SS dinyatakan sebagai bagian dari organisasi kejahatan pada pengadilan Nurenberg seusai perang.

Grass selama ini lolos dari identifikasi sebagai anggota SS karena pada akhir 1944 resimen itu tak lagi melakukan kebiasaannya untuk menato lengan anggotanya.

Grass mengklaim tak pernah menembak sekali pun selama jadi serdadu. Sejauh ini, meski bagian dari SS, Divisi Frunsberg ditimbang tak terlibat dalam pembantaian massal atau kejahatan perang. Tapi, nama buruk Nazi harus ditanggung siapapun yang pernah menjadi anggotanya.

Pengakuan Grass ini menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Dewan Kota Gdansk, Polandia, menimbang akan mencabut warga negara kehormatan kota yang pernah disematkan kepada Grass.

Lech Walesa, bekas Presiden Polandia dan mantan pemimpin gerakan serikat dagang antikomunis Solidaritas, turut menutut Grass mengembalikan gelar kehormatan itu.

Organisasi pengarang PEN Cek juga menimbang untuk menarik penghargaan Hadiah Karel Capek, yang diserahkan kepada Grass pada 1994.

Grass menolak mengembalikan gelar dari Kota Gdansk itu. Dia mengirim sepucuk surat kepada Wali Kota Gdansk Pawel Adamowicz dan menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun dia menyimpan sepotong rahasia masa mudanya itu dan mengaku sangat terbebani.

"Namun, aku tidak menghapusnya dari kenanganku," tulis Grass. "Hanya kini, di masa tua, aku menemukan formula yang tepat untuk membicarakannya dalam perspektif yang lebih luas."

"Kebisuanku," katanya, "mungkin dinilai sebagai sebagai sebuah kesalahan -- itulah setepat-tepatnya yang terjadi." Setelah membaca surat Grass ini, Lech Walesa membatalkan tuntutannya.

Michael Juergs, penulis biografi Grass, termasuk orang yang kecewa. "Dalam satu cara dia telah mengkhianati seluruh generasi," katanya.

Juergs mengatakan, Grass tak pernah membicarakan soal ini selama perbincangan mereka. "Kita mencintainya tak hanya sebagai sebuah ikon moral, tapi sebuah sosok yang mengatakan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu menyakitkan," kata dia.

Tak semua menyudutkan Grass. Meski banyak pihak meminta Yayasan Nobel mencabut Nobel yang pernah diserahkan kepada Grass, ketua yayasan itu menolaknya dan mengatakan bahwa keputusan itu tak dapat ditarik kembali.

Pengarang Salman Rushdie membela Grass, sahabat dan rekan seprofesinya itu. Dia menilai Grass tidaklah munafik. "Kita tidak membaca karya Ezra Pound, seorang simpatisan Nazi, sebagai sebuah kedewasaan," katanya. Ezra Pound adalah penyair Amerika yang anti-Semit dan terpukau pada fasisme Mussolini.

Menurut Rushdie, Grass telah menghabiskan kehidupan dewasanya dengan melawan gagasan-gagasan yang dia sokong semasa kanak-kanak. "Dan itu adalah sebuah ketabahan."

John Irving, pengarang Amerika, berdiri di barisan pembela. "Grass tetap seorang pahlawan bagiku, baik sebagai pengarang maupun sebagai kompas moral; ketabahannya sebagai pengarang dan warga Jerman patut dicontoh, ketabahan yang dipertinggi, bukannya dikurangi, dengan pengakuannya baru-baru ini," ujar penulis novel The Cider House Rules itu.

Guenter Wilhelm Grass lahir di Danzig, Jerman (kini Gdansk, Polandia), pada 16 Oktober 1927. Ayahnya membuka sebuah toko grosir dan ibunya keturunan Slav. Pada 1930-an dia masuk Pemuda Hitler, terkena wajib militer pada usia 17 tahun, dan terluka dalam perang pada 1945.

Grass dipenjara di kamp tahanan perang Bad Aibling di Marienbad, Cekoslowakia sebagai tahanan nomor 31G6078785. Dalam otobiografi terbarunya yang kontroversial, dia mengenang pertemuan dan persahabatannya dengan seorang kacung pemalu berusia 17 tahun bernama Joseph.

"Aku ingin menjadi seorang seniman; dia ingin masuk gereja," tulis Grass. Dia tak bisa memastikan apakah kacung itu memang Joseph Ratzinger, orang yang mengaku pernah berada di kamp yang sama dan kini menjadi Paus Benediktus XVI.

Dia dibebaskan pada 24 April 1946 dengan mengantongi uang US$ 107. Grass lantas menghidupi diri dengan bekerja di tambang potasium dan jadi tukang batu sebelum menemukan nama orang tuanya dalam daftar pengungsi dan bergabung dengan mereka sebagai buruh di sebuah pertanian dekat Cologne.

Kemudian dia berkereta di Dusseldorf dan bekerja sebagai pembuat batu nisan sebelum belajar membuat patung dan seni di Akademi Seni Dusseldorf, kemudian di Universitas Seni Berlin.

Di masa kuliah itulah Grass mulai belajar mengarang dan sekitar 1956 menerbitkan sebuah antologi puisi dan drama tipis berjudul Air Pasang (Hochwasser). Di tahun itu dia mukim di Berlin dan sempat ke Paris sebentar bersama penari balet Swiss, Anna Schwarz, yang dia nikahi pada 1954 tapi diceraikannya pada 1978. Setahun kemudian Grass bertemu dan menikah dengan pemain organ Ute Grunert yang mendampinginya hingga kini.

Karir politiknya dimulai ketika dia mengambil peran aktid di Partai Sosial Demokratik Jerman dan mendukung pencalonan Willy Brandt. Dia juga menjadi aktivis perdamaian dan mengunjungi Kalkuta selama enam bulan.

Karir sastranya dirintis melalui Gruppe 47, organisasi pengarang yang longgar di Berlin. Organisasi ini ingin mengungkap dan mengatasi masa lalu Nazi. Anggotannya terdiri dari sejumlah pengarang terkenal masa itu, seperti Alfred Andersch dan Heinrich Boll.

Kelompok ini punya tradisi unik: masing-masing anggota bergiliran mempresentasikan karyanya dan anggota lain akan "membantainya". Sejumlah bab dari novel Grass yang nantinya terbit sebagai Genderang Kaleng (Die Blechtrommel) pernah diuji di forum ini.

Novel Genderang Kaleng mengisahkan tokoh ganjil bernama Oscar Matzerath. Ia menolak menjadi dewasa sebagai protes atas kekejian sejarah Jerman dan hanya berkomunikasi dengan genderang kalengnya.

Ketika karya ini terbit, secara tak terduga dunia sastra menyambutnya secara luar biasa. Grass kemudian menjadi suara dari sastra baru Jerman, menyalib semua pengarang lain semasanya. Hal ini menggiring Grass meraih Nobel Sastra.

Grass dipercaya memegang kursi Presiden Akademi Kebudayaan Jerman (Akademie der Kuenste, semacam Dewan Kesenian di Indonesia) di Berlin selama 1983 hingga 1986. Dia aktif di Perusahaan Penerbitan Pengarang-pengarang Jerman dan PEN.

Dia juga menerima sejumlah penghargaan, seperti Preis der Gruppe 47 (1958), Buechner Prize (1965), Fontane Prize (1968), Premio Internazionale Mondello (1977), Alexander-Majakowski Medal, Gdansk (1979), Antonio-Feltrinelli Prize (1982), Grober Literaturpreis der Bayerischen Akademie (1994) dan Hans Christian Andersen Prize (2005). Sejumlah perguruan tinggi menganugerahinya doktor kehormatan, di antaranya dari Kenyon College dan Universitas Harvard.

Dengan karier sepanjang itu, pengakuan Grass soal keterlibatannya dalam SS menjadi kontroversial. Tapi kontroversi itu berdampak positif pada Mengupas Bawang. Cetakan pertama buku itu, sekitar 150 ribu eksemplar, telah laris dipesan sebelum buku tersebut masuk toko pada September nanti. Cetakan kedua, sekitar 100 ribu eksemplar, menunggu giliran. Di toko online Amazon, buku itu juga menduduki posisi atas daftar buku terlaris.

Grass mengakui bahwa pengungkapan rahasianya, yang disimpan selama 60 tahun lebih, itu sudah sangat terlambat. Tapi dia percaya bahwa dia telah memanfaatkan pengalaman hidupnya sejak masa perang untuk terus mencela masa lalu Nazi.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi