Kurniawan
http://www.korantempo.com/
Ia pernah menjadi serdadu Nazi, tapi Yayasan Nobel tak akan menarik kembali Nobel Sastranya.
Perkenalkan. Namanya Joachim Mahlke. Ia anak yatim yang terasing di Danzig, Jerman, di tengah kecamuk Perang Dunia Kedua dan cengkeraman kuku-kuku Nazi.
Mahlke Yang Agung, begitu Heini Pilenz, narator novel Kucing dan Tikus (Katz und Maus) karya Guenter Grass itu, menyebutnya, senang bermain-main bersama Pilenz dan kawan-kawan lainnya di kapal penyapu ranjau Angkatan Laut Polandia yang karam dan separuh terendam di sebuah pantai.
Saban musim panas Mahlke menjelajahi kapal karam itu dengan menyelam masuk lewat sebuah lubangnya. Dengan obeng hadiahnya bocah itu menghimpun harta karun: berbagai piagam, pernik-pernik kru kapal, dan sebuah gramofon. Mahlke menjualnya atau sekadar mengoleksinya.
Suatu kali Mahlke mencuri sebuah Salib Logam, lambang militer Jerman, dari seorang kapter armada kapal selam Jerman. Dia diusir dari sekolahnya, Sekolah Mengah Atas Conradinum.
Bocah itu punya impian, jadi seorang serdadu gagah. Dia lantas bergabung dengan sebuah batalion tank Angkatan Bersenjata Jerman dan menerima sebuah Salib Logam, yang hanya dihadiahkan kepada prajurit karena perang, berkat keberhasilannya dalam bertempur.
Ia kembali ke sekolah yang pernah mengusirnya. Tapi, kepala sekolah melarangnya berbicara dengan para siswa, dengan alasan dosa masa lalunya yang tak terhapus.
Mahlke kembali ke kapal karamnya. Dengan alasan yang jelas untuk memakai ruang kapal yang seperuh terendam itu sebagai sebuah tempat persembunyian, sehingga ia dapat terhindari dari panggilan berperang lagi,
Mahlke menyelam ke kapal karam itu lagi dan Pilenz, sang narator, tak pernah melihatnya lagi. Barangkali dia telah mati di sana.
Seperti Mahlke, Guenter Grass sekarang "terusir" dari masyarakat yang memuja dan menghormatinya hanya karena satu alasan: dia mengaku pernah menjadi anggota Waffen SS, sayap militer dari SS Nazi Jerman bentukan Adolf Hitler.
Tak seorang pun yang tahu mengenai keterlibatan Grass ini, termasuk semua penulis biografinya dan bahkan anak-anaknya. Grass hanya memberi tahu istrinya, Ute Grunert.
Pengakuan itu menggemparkan dunia sastra dan politik Jerman. Tentu saja, karena pemenang Nobel Sastra 2000 itu selama ini dikenal sebagai pejuang demokrasi dan perdamaian yang dengan karya sastra dan pidatonya mengecam masa gelap Nazi Jerman.
Dalam sebuah wawancara di harian terhormat Jerman, Frankfurter Allgemeine Zeitung, edisi 11 Agustus, Grass untuk pertama kalinya mengungkap peran kelamnya itu. Wawancara ini terkait dengan rencana penerbitan otobiografinya, Mengupas Bawang (Beim Häuten der Zwiebel).
"Kebisuanku selama bertahun-tahun ini adalah satu alasan mengapa aku menulis buku ini," kata pengarang berusia 78 tahun itu. "Ia harus keluar akhirnya."
Selama ini Grass dikenal sebagai bagian dari "generasi Flakhelfer", orang yang terlalu muda untuk menyaksikan perang berkecamuk atau terlibat dalam rezim Nazi melalui organisasi-organisasi pemudanya.
Sebelum pengakuan terbarunya itu, orang selama ini percaya pada dongengnya: bahwa ia dulu pernah mengabdi pada unit antipesawat tempur Jerman dan terluka dalam perang, bahwa ia kemudian ditangkap pasukan Amerika Serikat dan ditahan di kamp tahanan perang.
Kini Grass tak memberi isapan jempol lagi. Dia dengan terus terang mengaku bahwa pada saat berusia 15 tahun secara sukarela dia ingin sekali menjadi serdadu Nazi.
Grass sudah terpukau pada pada sosok gagah tentara Nazi sejak usia 13 tahun dan mengira bahwa bergabung dengan Waffen SS adalah rute langsung menuju Adolf Hitler.
"Aku terpukau dalam ideologi itu, aku dibutakannya," ujarnya. "Aku ingin menjadi seorang pahlawan dan mungkin memainkan beberapa peranan."
Maka, dia mendaftarkan diri untuk bergabung dengan armada kapal selam Jerman. Tapi, karena masih belia, dia ditolak.
Kesempatan kedua datang, tapi tidak atas kehendaknya. Pada September 1944 Grass, yang baru menginjak usia 17 tahun, dikenai wajib militer dan ditugasi sebagai penembak pada Divisi Panser SS ke-10 Frundsberg, bagian dari Waffen SS, hingga akhirnya menyerah dan ditawan pasukan Amerika di Marienbad.
Sastrawan gaek itu berdalih bahwa semua itu di luar kemauannya. "Pada tahap itu," kata Grass, "SS mengambil siapa pun yang dapat mereka genggam."
Saat itu, kata Grass, dia tak merasa malu menjadi anggota SS. Tapi, "Kemudian perasaan malu ini membebaniku."
SS, singkatan dari Schutzstaffel (eselon pelindung), semula adalah pasukan pengawal pribadi pemimpin Nazi Adolf Hitler. Organisasi itu lalu berkembang menjadi pasukan elite beranggotakan hampir sejuta serdadu.
Organisasi inilah yang membangun kamp-kamp maut yang menjadi tempat pembantaian jutaan orang, kebanyakan Yahudi, yang kemudian dikenal sebagai Holocaust. SS dinyatakan sebagai bagian dari organisasi kejahatan pada pengadilan Nurenberg seusai perang.
Grass selama ini lolos dari identifikasi sebagai anggota SS karena pada akhir 1944 resimen itu tak lagi melakukan kebiasaannya untuk menato lengan anggotanya.
Grass mengklaim tak pernah menembak sekali pun selama jadi serdadu. Sejauh ini, meski bagian dari SS, Divisi Frunsberg ditimbang tak terlibat dalam pembantaian massal atau kejahatan perang. Tapi, nama buruk Nazi harus ditanggung siapapun yang pernah menjadi anggotanya.
Pengakuan Grass ini menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Dewan Kota Gdansk, Polandia, menimbang akan mencabut warga negara kehormatan kota yang pernah disematkan kepada Grass.
Lech Walesa, bekas Presiden Polandia dan mantan pemimpin gerakan serikat dagang antikomunis Solidaritas, turut menutut Grass mengembalikan gelar kehormatan itu.
Organisasi pengarang PEN Cek juga menimbang untuk menarik penghargaan Hadiah Karel Capek, yang diserahkan kepada Grass pada 1994.
Grass menolak mengembalikan gelar dari Kota Gdansk itu. Dia mengirim sepucuk surat kepada Wali Kota Gdansk Pawel Adamowicz dan menjelaskan bahwa selama bertahun-tahun dia menyimpan sepotong rahasia masa mudanya itu dan mengaku sangat terbebani.
"Namun, aku tidak menghapusnya dari kenanganku," tulis Grass. "Hanya kini, di masa tua, aku menemukan formula yang tepat untuk membicarakannya dalam perspektif yang lebih luas."
"Kebisuanku," katanya, "mungkin dinilai sebagai sebagai sebuah kesalahan -- itulah setepat-tepatnya yang terjadi." Setelah membaca surat Grass ini, Lech Walesa membatalkan tuntutannya.
Michael Juergs, penulis biografi Grass, termasuk orang yang kecewa. "Dalam satu cara dia telah mengkhianati seluruh generasi," katanya.
Juergs mengatakan, Grass tak pernah membicarakan soal ini selama perbincangan mereka. "Kita mencintainya tak hanya sebagai sebuah ikon moral, tapi sebuah sosok yang mengatakan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu menyakitkan," kata dia.
Tak semua menyudutkan Grass. Meski banyak pihak meminta Yayasan Nobel mencabut Nobel yang pernah diserahkan kepada Grass, ketua yayasan itu menolaknya dan mengatakan bahwa keputusan itu tak dapat ditarik kembali.
Pengarang Salman Rushdie membela Grass, sahabat dan rekan seprofesinya itu. Dia menilai Grass tidaklah munafik. "Kita tidak membaca karya Ezra Pound, seorang simpatisan Nazi, sebagai sebuah kedewasaan," katanya. Ezra Pound adalah penyair Amerika yang anti-Semit dan terpukau pada fasisme Mussolini.
Menurut Rushdie, Grass telah menghabiskan kehidupan dewasanya dengan melawan gagasan-gagasan yang dia sokong semasa kanak-kanak. "Dan itu adalah sebuah ketabahan."
John Irving, pengarang Amerika, berdiri di barisan pembela. "Grass tetap seorang pahlawan bagiku, baik sebagai pengarang maupun sebagai kompas moral; ketabahannya sebagai pengarang dan warga Jerman patut dicontoh, ketabahan yang dipertinggi, bukannya dikurangi, dengan pengakuannya baru-baru ini," ujar penulis novel The Cider House Rules itu.
Guenter Wilhelm Grass lahir di Danzig, Jerman (kini Gdansk, Polandia), pada 16 Oktober 1927. Ayahnya membuka sebuah toko grosir dan ibunya keturunan Slav. Pada 1930-an dia masuk Pemuda Hitler, terkena wajib militer pada usia 17 tahun, dan terluka dalam perang pada 1945.
Grass dipenjara di kamp tahanan perang Bad Aibling di Marienbad, Cekoslowakia sebagai tahanan nomor 31G6078785. Dalam otobiografi terbarunya yang kontroversial, dia mengenang pertemuan dan persahabatannya dengan seorang kacung pemalu berusia 17 tahun bernama Joseph.
"Aku ingin menjadi seorang seniman; dia ingin masuk gereja," tulis Grass. Dia tak bisa memastikan apakah kacung itu memang Joseph Ratzinger, orang yang mengaku pernah berada di kamp yang sama dan kini menjadi Paus Benediktus XVI.
Dia dibebaskan pada 24 April 1946 dengan mengantongi uang US$ 107. Grass lantas menghidupi diri dengan bekerja di tambang potasium dan jadi tukang batu sebelum menemukan nama orang tuanya dalam daftar pengungsi dan bergabung dengan mereka sebagai buruh di sebuah pertanian dekat Cologne.
Kemudian dia berkereta di Dusseldorf dan bekerja sebagai pembuat batu nisan sebelum belajar membuat patung dan seni di Akademi Seni Dusseldorf, kemudian di Universitas Seni Berlin.
Di masa kuliah itulah Grass mulai belajar mengarang dan sekitar 1956 menerbitkan sebuah antologi puisi dan drama tipis berjudul Air Pasang (Hochwasser). Di tahun itu dia mukim di Berlin dan sempat ke Paris sebentar bersama penari balet Swiss, Anna Schwarz, yang dia nikahi pada 1954 tapi diceraikannya pada 1978. Setahun kemudian Grass bertemu dan menikah dengan pemain organ Ute Grunert yang mendampinginya hingga kini.
Karir politiknya dimulai ketika dia mengambil peran aktid di Partai Sosial Demokratik Jerman dan mendukung pencalonan Willy Brandt. Dia juga menjadi aktivis perdamaian dan mengunjungi Kalkuta selama enam bulan.
Karir sastranya dirintis melalui Gruppe 47, organisasi pengarang yang longgar di Berlin. Organisasi ini ingin mengungkap dan mengatasi masa lalu Nazi. Anggotannya terdiri dari sejumlah pengarang terkenal masa itu, seperti Alfred Andersch dan Heinrich Boll.
Kelompok ini punya tradisi unik: masing-masing anggota bergiliran mempresentasikan karyanya dan anggota lain akan "membantainya". Sejumlah bab dari novel Grass yang nantinya terbit sebagai Genderang Kaleng (Die Blechtrommel) pernah diuji di forum ini.
Novel Genderang Kaleng mengisahkan tokoh ganjil bernama Oscar Matzerath. Ia menolak menjadi dewasa sebagai protes atas kekejian sejarah Jerman dan hanya berkomunikasi dengan genderang kalengnya.
Ketika karya ini terbit, secara tak terduga dunia sastra menyambutnya secara luar biasa. Grass kemudian menjadi suara dari sastra baru Jerman, menyalib semua pengarang lain semasanya. Hal ini menggiring Grass meraih Nobel Sastra.
Grass dipercaya memegang kursi Presiden Akademi Kebudayaan Jerman (Akademie der Kuenste, semacam Dewan Kesenian di Indonesia) di Berlin selama 1983 hingga 1986. Dia aktif di Perusahaan Penerbitan Pengarang-pengarang Jerman dan PEN.
Dia juga menerima sejumlah penghargaan, seperti Preis der Gruppe 47 (1958), Buechner Prize (1965), Fontane Prize (1968), Premio Internazionale Mondello (1977), Alexander-Majakowski Medal, Gdansk (1979), Antonio-Feltrinelli Prize (1982), Grober Literaturpreis der Bayerischen Akademie (1994) dan Hans Christian Andersen Prize (2005). Sejumlah perguruan tinggi menganugerahinya doktor kehormatan, di antaranya dari Kenyon College dan Universitas Harvard.
Dengan karier sepanjang itu, pengakuan Grass soal keterlibatannya dalam SS menjadi kontroversial. Tapi kontroversi itu berdampak positif pada Mengupas Bawang. Cetakan pertama buku itu, sekitar 150 ribu eksemplar, telah laris dipesan sebelum buku tersebut masuk toko pada September nanti. Cetakan kedua, sekitar 100 ribu eksemplar, menunggu giliran. Di toko online Amazon, buku itu juga menduduki posisi atas daftar buku terlaris.
Grass mengakui bahwa pengungkapan rahasianya, yang disimpan selama 60 tahun lebih, itu sudah sangat terlambat. Tapi dia percaya bahwa dia telah memanfaatkan pengalaman hidupnya sejak masa perang untuk terus mencela masa lalu Nazi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar