Fakhrunnas MA Jabbar
http://kompas-cetak/
Debu jalanan yang pekat menyesakkan napas. Sebuah truk pengangkut tanah timbun mengepulkan debu itu sehingga menggelapkan pandangan. Panas terik memang telah berlangsung terlalu lama. Aku sendiri tak sanggup lagi membilang karena sudah terlalu lama didera derita. Pohon-pohon meranggas. Dedaunannya berguguran. Entah kapan lagi sang pohon akan berbunga dan berputik kembali.
Setiap hari kusaksikan lalu lintas truk proyek dari gubuk yang kutempati bersama Maryam dan ketiga anak kami yang masih kecil. Wajah mereka terlihat penuh belas dan pasi karena jarang mendapatkan makan bergizi. Kemarau panjang tahun ini makin memperburuk keadaan kami sekeluarga. Tanaman padi di sawah yang luasnya kira-kira sepiring boleh dikatakan tak menghasilkan apa-apa. Hama pianggang mudah sekali menyerang saat panas berkepanjangan.
"Kapan lagi Abang ke Kantor Desa?" tanya Maryam membangunkan kesadaranku akan persoalan mendasar yang sedang kami hadapi. Bukan hanya kami, melainkan hampir semua orang-orang kampungku tak lepas dari kemelut persoalan yang sama.
"Untuk apa ke sana? Kata Pak Kades, belum ada tanda-tanda penyelesaian masalah ganti rugi itu dalam waktu dekat ini," jawabku. Memang kemarin aku baru saja menjumpai Pak Kades menanyakan persoalan yang sedang hangat dibicarakan orang-orang kampung sini.
"Bukankah persoalannya sudah terlalu lama terkatung-katung? Apa penduduk di sini akan dibiarkan mati kelaparan karena tak ada kepastian itu?" desak istriku mulai naik darah.
"Menurut Pak Kades, inilah akibatnya bila penduduk tak mau menerima uang ganti rugi yang sudah ditetapkan."
"Ganti rugi itu terlalu murah, Bang. Terlalu murah!" sergah Maryam.
Aku malas bertekak 1) dengan istriku sendiri hanya gara-gara adu pendapat soal yang sudah lama diapungkan. Bukankah aku pada hakikatnya sependapat dengan Maryam. Kami berada di pihak yang sama. Ganti rugi yang layak juga akan kami terima dan pergunakan bersama-sama.
Aku terpancing juga akhirnya. Kuambil fotokopi daftar ganti rugi harta benda dan tanah yang dicanang oleh pemerintah. Daftar ini ditandatangani oleh Bupati dan Pimpinan Proyek Listrik yang akan melaksanakan pembangunan PLTA di kampung kami dan beberapa kampung yang bertetangga dengan kami. Kami hanya merasa hanya menerima akibat buruk saja dari pembangunan itu. Soalnya, sungai Turip kini pun airnya sudah sangat dangkal karena didera oleh kemarau dan akan dibendung pula. Oleh sebab itu, bila pembendungan itu berjalan, maka kampung-kampung di kawasan aliran sungai itu akan ditenggelamkan.
Siapa pun bisa membayangkan bagaimana sebuah—eh, tidak hanya sebuah melainkan banyak kampung ditenggelamkan. Tidak hanya harta benda beserta tanah leluhur yang dikorbankan, melainkan juga kenang-kenangan dan catatan sejarah yang sudah menjadi sebutan orang kampung secara turun-temurun. Di kampung kami justru terdapat sebuah tanah perkuburan pejuang yang menjadi korban bala tentara Jepun.2) Kuburan itu boleh saja dipindahkan. Tapi, alam sekitar yang menjadi saksi selama berpuluh-puluh tahun tak mungkin tergantikan oleh tanah perkuburan baru. Sewaktu masih hidup dulu, Emakku yang paling pandai bergurau selalu bilang begini: ’sedangkan tempat jatuh lagi dikenang, apalagi tempat bermain’. Ya, kampung halaman bagiku dan juga bagi orang-orang kampung di sini tentulah lebih dari sekadar sebagai tempat bermain itu.
Aku mafhum bahwa penderitaan orang-orang kampung tak akan lebih baik dari kami. Apalagi yang diharapkan di saat segala usaha pertanian tak menjadi karena kemarau panjang ini. Lebih tersiksa lagi, akibat rencana penenggelaman kampung kami, maka kegiatan pembangunan nyaris berhenti sama sekali. Jalan dari ibu kota kecamatan yang dulunya pernah diaspal kasar, sekarang penuh lubang dan dunggul.3) Sungguh kasihan para petani yang mengangkuti sisa-sisa hasil kebun dengan hanya menaiki sepeda melintasi jalan penuh lubang itu. Lebih menyakitkan lagi begitu truk-truk pengangkut tanah timbun macam dikejar setan untuk memburu trip. Debu-debu pun berkepulan tanpa terkendali. Tampaknya, sebagian anak-anak kecil di kampung kami sudah ketularan batuk karena terhirup debu kotor jalanan itu.
Usaha penduduk hampir mati begitu ada larangan dari orang kabupaten supaya tidak bertanam tanaman. Meskipun yang dimaksudkan peraturan itu hanyalah untuk tanaman keras saja. Tapi, aparat Kantor Kepala Desa kadang-kadang melarang penduduk bertanam apa saja. Perekonomian rakyat tersendat. Lagi pula, mau bertanam apa-apa pun di musim kemarau ini tak ada gunanya. Tanah rengkah-rengkah. Rumput pun enggan bertumbuh sehingga terlihat mersik.4) Kerbau ternak pun kuyu 5) dan pucat dengan tubuh kerempeng.
Terasa kini bahwa kemarau bagaikan mewakili sosok jiwa kami dari kampung ini. Ya, hati kami pun tersaput kemarau. Hati kami kini sangat butuh setitik air penyejuk pikiran. Rasanya kami tak kuat bertahan bila kemarau di luar diri kami sebagaimana sedang berlangsung bersepadu dengan kemarau yang ada di batin kami. Bila kemarau sepanjang bulan-bulan lalu mampu mengeringkan sumur-sumur dan sumber air lainnya. Justru kemarau batin telah lama mengeringkan air mata kami. Sunggung, kami tidak bisa lagi menangis. Air mata kami tak cukup mewakili nasib kami yang sedang dikoyak oleh sebuah rencana besar.
Oh ya, sejak dulu—10 tahun silam—sebenarnya orang-orang kampung di sini tak pernah menolak pembangunan PLTA berskala besar itu. Proyek itu bagus untuk pembangunan. Pembangunan itu bagus untuk rakyat. Rakyat itu bagus bila menerima hasil-hasil pembangunan itu sebagai buah pengorbanan yang sudah diberikan lebih dulu. Siapa bilang kami tak berkorban dengan membiarkan kampung halaman kami ditenggelamkan. Siapa bilang tak? Apa namanya kalau bukan pengorbanan bila semua kami menyerahkan harta benda yang sudah kami pelihara selama ini untuk sebuah pembangunan PLTA raksasa? Tapi, ganti rugi yang terlalu rendah itu benar-benar akan menimbulkan kemarau perasaan yang lain di hati kami. Jangan perpanjang lagi kemarau-kemarau ini, air mata kami telah lama mengering disadap oleh kemarau batin bertahun-tahun.
Aku memang selalu bersikap bagai mewakili orang kebanyakan. Itulah sebabnya bayangan pikiranku selalu mangatasnamakan penduduk di sini. Aku lebih senang berbicara dengan menyebut ’kami’ daripada ’aku’. Sebab, ke’aku’anku memang ada di dalam ke’kami’an kami. Aku larut di dalamnya. Lain halnya bila aku berbicara dengan anak dan istri. Aku harus mendahulukan ke’aku’anku sendiri. Tak ada orang lain yang lebih bertanggung jawab atas diri anak dan istri selain diriku sendiri.
Rasanya dalam usia setua ini, aku masih punya keberanian untuk menyampaikan hal-hal yang bertentangan dengan hati nuraniku sendiri. Barangkali, aku termasuk salah satu pensiunan pegawai negeri di mana pada masa masih bertugas dulu aku juga pernah disebut sebagai orang terpandang. Aku dulunya memang tokoh. Tapi begitu masa pensiun menggerogotiku, keberanian itu pudar tiba-tiba. Aku tak punya kekuasaan lagi meski sedikit. Aku telah lebur menjadi orang kebanyakan. Oleh karenanya, sisa-sisa keberanian itu saja yang selalu membuatku bangkit untuk memupuskan kesewenangan. Termasuk soal ganti rugi itu yang menurutku sudah termasuk kesewenangan baru.
Kadang-kadang aku jadi sulit berbicara soal kemarau yang sedang melanda kini. Sebab, kemarau batin makin garang mengeringkan impian-impian dan harapan. Oleh karenanya, aku tak begitu mempedulikan bagaimana orang-orang kampung berjejal mengambil air minum di sungai Turip yang makin dangkal itu. Sebab, mata air di dalam hati kami jauh lebih dangkal lagi.
Wabah kolera dan muntaber mulai merajalela. Musibah baru pun muncul. Ada kematian yang tiba-tiba datangnya. Aku pun merasakan deraan kematian itu ketika Hasyim, anak bungsu kami, juga meninggal dunia setelah muntah mencret selama sehari semalam. Puskesmas memang ada di kota kecamatan. Tapi jaraknya cukup jauh. Maryam memang tidak sanggup lagi menangis. Oleh sebab itu, sekarang kemarau juga ikut mengeringkan air mata semua penduduk.
Kemarau batin pula yang tiba-tiba mengubah sikap Maryam, istriku. Ia tampak lelah menahan derita. Lelah menatap kenestapaan dua anak kami yang tersisa.
"Bang, lebih baik kita terima saja ganti rugi itu. Walaupun rendah sekalipun," pinta Maryam beriba-iba. Dia tampaknya tak kuat lagi menyaksikan dan mengalami deraan kemarau demi kemarau ini. Kepergian Hasyim baginya suatu pukulan yang besar. Dia tak ingin maut akan ikut merenggut dua anak kami yang lain, Yunus dan Maksum. Hanya mereka berdua yang menjadi pewaris kami kelak.
"Maumu, kita terima perlakuan yang tidak adil itu?" balasku menyangkal.
"Apa lagi yang harus kita tunggu di sini. Hanya ada wabah, debu, maut, dan tanah yang rengkah. Bagaimana kalau kita ikut terenggut maut dalam selimut kemarau ini?" ungkap Maryam lagi.
"Jangan putus asa. Aku melihat ada gelagat lain yang bisa-bisa di luar dugaan sama sekali. Kemarau ini begitu panjang. Lihatlah air sungai Turip itu. Hanya tinggal sebatas lutut. Bila sungai itu pun kering, bendungan apa lagi hendak dibuat di kampung kita?" aku memang mulai menemukan keraguan baru sehubungan dengan rencana PLTA itu.
Orang-orang ahli seperti perencanaan proyek PLTA itu boleh saja membuat perkiraan-perkiraan tentang jumlah air sungai yang siap menopang pembangkit listrik itu. Tapi, kekuasaan Tuhan? Tak seorang pun dapat mendahuluinya. Inilah keyakinanku.
"Jadi menurut Abang, proyek PLTA itu bisa saja batal?" tanya Maryam penuh kebimbangan.
Aku mengangguk.
"Ya, kenapa tidak? Bila alam sendiri yang hendak membatalkannya. Siapa yang akan menghalangi?" balasku makin berani.
Maryam terdiam. Pikirannya memang tidak akan lebih kencang dari pikiranku. Namun, ia bisa memahami ramalan-ramalan yang kubuat.
Kemarau telah berlangsung setahun lebih beberapa bulan. Air sungai Turip benar-benar telah mengering. Ini di luar dugaan banyak orang. Seiring dengan itu, di kalangan pelaksana proyek PLTA terjadi sebuah kejutan yang tak pernah dibayangkan. Pimpinan proyek tersebut tiba-tiba tersiar bunuh diri. Alasannya malu hati karena perkiraan yang dibuatnya bersama perencana dan konsultan yang lain meleset sama sekali. Kadangkala, rasa malu bisa mengalahkan arti sebuah hidup.
Kampung kami dan beberapa kampung yang dicadangkan akan tenggelam benar-benar heboh. Sebagian penduduk mulai terbakar semangatnya untuk unjuk rasa. Aku pun diajak untuk meramaikan unjuk rasa itu. Sekadar mengingatkan pihak yang berkehendak bahwa semestinya pembangunan jangan sampai merugikan rakyat kecil seperti kami dan penduduk di sini. Tapi, sungguh, dengan kesadaran penuh, aku menolak untuk ikut unjuk rasa itu. Bagiku itu tak akan menyelesaikan masalah. Kemarau panjang selama ini sudah menjadi persoalan besar bagi kami sekeluarga. Ditambah pula kemarau yang ada di batin kami sendiri. Kami tak ingin akan bertambah lagi kemarau-kemarau baru dalam kehidupan kami. Biarlah air mata kami mengering, tapi kami tak akan meratapi apa yang terjadi.
Pekanbaru, 9107
1) bertengkar
2) Jepang
3) gundukan kecil
4) kering menguning
5) kurus dan pucat lesu
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 30 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar