Minggu, 01 Februari 2009

Lelaki Bernama Tirus

Sultan Yohana
http://www.riaupos.com/

”Jangan pernah lupakan orang yang bernama Tirus!”

Memangnya ada yang istimewa dengan lelaki yang dia ceritakan? Saya bertanya pada tukang cerita itu. Seorang bapak tua yang dua dekade terakhir ini, mengembara dari satu kedai ke kedai lain. Dari rumah penduduk yang satu ke rumah penduduk lain yang pintunya terbuka untuknya. Dari masjid yang satu ke masjid yang lain. Dari gereja yang terbuka dan hangat menyambutnya. Dari taman ke taman dengan bangku beton panjang yang dingin. Mampir dari pasar paling jorok hingga supermarket paling mewah. Hanya untuk bercerita satu hal. Tentang seorang lelaki bernama Tirus.

Aku, sebelumnya sudah mendengar desas-desus tentang lelaki Tirus itu. Lelaki yang oleh bapak tua pencerita itu, digambarkan sebagai sosok penuh wibawa, seadil-adilnya manusia, bijaksana, dan juga seorang pendengar yang paling setia. Pendengar setiap keluh kesah manusia, ‘’Bahkan, keluh-kesah tikus kudisan, kucing bulukan, cecurut, kecoa comberan, didengar oleh Tirus,’’ lelaki tua pencerita itu menambahkan. Tapi bagaimana aku bisa tidak melupakan lelaki bernama Tirus, seperti yang diharapkan pada lelaki tua tukang cerita, jika bertemu dan saling menyapa saja aku belum pernah?

“Saat ia mengajak bicara, jangan pernah berpaling darinya!” Lelaki tua pencerita itu kembali berkata-kata.

“Memangnya dia siapaku?” kataku sekenanya.

“Pokoknya, percaya sajalah! Lelaki Tirus, seorang yang luar biasa! Suatu saat, jika kau bertemu dengannya, kau akan membuktikannya!” Dan, diteguknya arak terakhir yang tersisa di gelas belimbing coklat di depannya. Lelaki tua pengembara itu, tanpa sepatah kata tersisa lagi, kemudian beranjak berdiri dan pergi. Setelah sebelumnya membayar apa-apa yang telah ia dinikmati.

Malam semakin lembab dan ganas. Angin kacau-balau membawa dingin. Menyayat-nyayat kulit. Semenjak tubuh lelaki tua pengembara itu ditelan santernya angin sialan, satu-persatu pengunjung kedai, beranjak pergi. Kini, tinggal aku bersama Wagini, lelaki pemilik kedai yang setahuku selalu terjaga siang dan malam.

Aku masih belum ingin beranjak dari atas bangku panjang kedai yang terletak di ujung desa ini. Kerlap-kerlip lampu kota yang yang menghampar jauh di bawah sana, sepertinya begitu bersahabat dengan mata. Membuat setiap orang yang melihatnya, lelaki-lelaki perkasa desa, perawan-perawan karbitan desa, dan janda-janda muda sumringah, ingin mengunjunginya. Tak terkecuali aku, saat ini.

Namun, aku, sejak setahun terakhir, justru lari dari kerlap-kerlip itu. Ada sesuatu hal yang memaksaku melakukan hal ini.

Sementara, sisa bandrek kira-kira tinggal dua tegukan, aku panggil Wagini, untuk penuh-penuh menuangkannya kembali. Cairan rendaman beras hitam berwarna pekat hitam kemerah-merahan itu, aku rasa jauh lebih cocok menemani sisa malam ini, dibanding buih-buih arak murahan. Kadar alkohol ringannya, cukup ampuh untuk mengusir dingin tanpa harus membuat kepala pening.

“Tidak bisa tidur lagi, Jack?” Saat Wagini menyebut namaku, aku sendiri bahkan merasa begitu asing mendengarnya. Di tengah kampung indah nan damai di kaki Gunung Arjuno ini, namaku seolah-olah telah menjadi personifikasi dari yang namanya kemajuan. Kapitalisme. Tapi sudahlah, apa pula urusan dengan nama yang sama sekali tidak indah itu.
***
“Pernah dengar dengan lelaki bernama Tirus, Ni?” kataku balik tanya. Tak kutemukan reaksi berlebihan dari lelaki separuh baya ini, ketika aku bertanya tentang lelaki bernama Tirus. Sepertinya, dia, terlalu biasa dengan pertanyaan itu.

“Dengar sih, sering. Tapi melihat seperti apa orangnya itu, belum pernah. Bapak tua tadi bercerita tentang itu? Pasti.” Ada sejumput senyum dari bibir hitam tebalnya.

Aku mengangguk.

“Kamu bukan orang pertama yang bertanya tentang hal itu, Jack! Semua orang di sini, setelah berbagi cerita dengan bapak tua pengembara itu, selalu bertanya begitu. Selalu penasaran seperti apa sih, hebatnya lelaki bernama Tirus itu. Selalu ingin dan sangat ingin bertemu.”

“Bapak tua itu bercerita dengan penuh keyakinan!” kataku meyakinkannya. Seusap tegukan bandrek, sedikit membuat plong tenggorokanku. Kemudian, kusulut sebatang Marlboro. Oleh-oleh dari dunia kapital yang belum juga bisa aku enyahkan, semenjak setahun aku melarikan diri.

“Belum ada yang mengaku pernah bertemu dengannya, selain bapak tua pengembara itu,” sodok Wagini.

“Benarkah dia sesosok lelaki yang begitu berwibawa?”

“Mana aku tahu…”

“Seadil-adilnya lelakikah dia? Orang paling bijaksana? Dan selalu mendengar keluh-keluh orang lain?”

“Setidaknya bapak tua pengembara itu berkata demikian!”

“Bahkan keluh kesah kecoa-kecoa comberan sekali pun, ia perhatikan?”

“Mungkin ia punya ilmu Nabi Sulaiman? Bisa bicara dengan hewan. Atau mirip mirip Anglingdharma?”

Wagini kembali menuangkan bandrek pada gelasku. Untuk kali ketiga. Ada nada ejekan pada setiap jawaban-jawaban ringan ia lontarkan. Entah mengejek setiap pertanyaan-pertanyaanku ataukah mengejek cerita tentang lelaki bernama Tirus itu sendiri? Mungkin juga mengejek kebodohanku yang sudah termakan oleh cerita lelaki tua pengembara itu.

Malam hanya tersisa selarik saja. Udara semakin menggigit kulit. Suara tarkhim dari masjid desa, lamat-lamat terdengar sendu. Dua kali terasa lebih sendu ketika suara itu sampai ke ujung desa, hingga menusuk sampai ke kedai Wagini, ke dalam batang otakku, dan mungkin juga ke kepala Wagini. Suara itu, seperti ingin masuk ke setiap celah yang tersisa dari setiap anak manusia.

Beberapa penduduk sudah menampakkan aktivitasnya. Seorang lelaki paruh baya, menggelentor dua kerbaunya ke sawah. Dua wanita tua, berbaju kebaya rombeng, di atasnya tersembul bakul penuh berisi sayuran. Kupastikan keduanya akan beranjak ke pasar kecamatan. Seorang lagi, lelaki tua, berbaju putih dan sarung kotak-kotak gelap, dengan surban di lehernya, berjalan tergesa. Ketika lewat di depan kedai Wagini, ia menyapa kami dengan senyum sederhananya.

Tidak ingin kehabisan malam, aku pun beranjak bangkit. Sebelum pergi, aku bayar apa-apa saja yang semalaman sudah kunikmati. Sebelum langkahku meninggalkan benar kedai Wagimin, aku masih sempat menangkap senyum lelaki yang selalu terjaga itu. Senyum yang sama seperti ketika menjawab setiap pertanyaan-pertanyaanku tadi. Untuk kali kedua, aku tampak dibuat bodoh olehnya.

***

Keputusanku untuk meninggalkan kota setahun lalu, terjadi dengan serta merta. Berawal suatu ketika saat sebuah reportase membawaku ke Jogjakarta. Kematian misterius seorang ibu muda yang tewas karena suntikan silikon di payudaranya, menarik perhatian jajaran redaksi tabloid tempatku kerja, aku menjadi pilihan utama untuk meliput peristiwa.

Seperti liputan-liputan lainnya, awalnya tidak berarti apa-apa. Yang kudapat, beberapa fakta yang isinya melulu kesedihan seputar kematian. Dibumbui dengan komentar-komentar tak karuan yang, pendek kata, membuat peristiwa itu menjadi begitu mengada-ada. Namun, fakta yang paling memuakkan, yang akhirnya menjadi pertimbangan utama untuk tidak aku tulis, ibu muda dari seorang anak lelaki berusia lima tahun, seorang istri yang baik bagi suaminya, dan seorang anak yang bertanggung jawab kepada ibunya, yang masih berusia 24 tahun, ternyata seorang pelacur.

“Justru, bukankah itu fakta yang semakin menguatkan berita?” Begitu bantahan pemimpin redaksiku. Hampir seluruh mata redaktur dalam rapat itu, mengarah padaku. Mencaci kebodohanku.

“Dia seorang ibu yang baik, istri yang berbakti, dan anak yang berbudi. Tapi dia pelacur,” belaku.

“Tak ada pelacur yang menjadi ibu yang baik!”

“Faktanya demikian! Aku yang turun ke lapangan! Dan, aku tak ingin, suatu hari, ketika anaknya sudah pandai membaca menemukan tulisanku, dan akhirnya tahu, ia lahir dari rahim seorang pelacur. Aku tak mau itu!”

Seterusnya, aku memilih untuk tidak lagi melakukan petualangan sebagai seorang pewarta. Mungkin, hatiku terlalu mini untuk melakukan hal-hal yang menggairahkan dalam dunia pewartaan. Dan, aku, tak pernah menyesali keputusan itu. Meskipun aku teramat muda untuk usia yang demikian.

Akhirnya, aku memilih desa ini untuk menghabiskan malam-malam berikutnya. Sebuah desa yang diapit deretan pegunungan dengan warganya yang begitu murah dengan senyuman.

Dari tabunganku selama ini, terbeli lima ekor sapi perah dan seonggok rumah mungil berkamar dua. Dengan itulah, setahun ini aku bisa terhidupi. Hidup yang nyaris selalu indah dan membosankan. Sampai suatu ketika muncul lelaki tua pengembara. Menceritakan tentang lelaki bernama Tirus.

***

Satu malam yang jelita. Langit cerah dan di ujung barat, rembulan memenuh. Pekatnya bandrek hitam kemerah-merahan racikan Wagini kembali menemani.

“Apakah lelaki tua pengembara itu, selalu mampir ke kedai ini, jika lewat ke desa ini?” Tanyaku pada Wagini. Rasa penasaranku masih belum hilang juga, “Lelaki tua yang selalu bicara tentang lelaki bernama Tirus?”

Ah, lagi-lagi Wagini menjawab dengan senyum yang sama seperti pertama kali pertanyaan yang sama itu terlontar, beberapa malam lalu.”Sepertinya demikian,” jawabnya ringan.

“Dan selalu bercerita tentang lelaki bernama Tirus?”

“Bahkan, kepada orang lain, lelaki tua pengembara itu menceritakan hal yang lebih ajaib. Bahwa lelaki bernama Tirus juga bisa terbang seperti kelelawar. Tiba-tiba muncul di satu tempat yang dililit segudang persoalan. Kemudian, setelah menyelesaikannya, pergi tanpa seorang pun mengatahui kemana gerangan ia.”

“Seperti Batman, dong!” Aku mencoba mencairkan suasana.

“Katanya, di punggungnya, selalu terpondong sekarung penuh keping-keping emas. Yang selalu dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Setiap kehadirannya, sanggup membuat bahagia janda-janda renta tak berpunya. Menerbitkan harapan penganggur-penganggur muda. Meredakan suami-istri yang selalu bertengkar tentang keuangan keluarga. Menghangatkan ranjang janda-janda muda. Bahkan, katanya, kedatangan lelaki Tirus membuat bocah-bocah penderita busung lapar, kekenyangan dibuatnya.”

“Wuih…” kuteguk habis isi gelasku. Tanpa aba-aba, Wagini mengisinya lagi.

“Dia seorang shaleh, yang juga durjana! Durjana yang membahagiakan. Tubuhnya tinggi kekar dan proporsional. Kulitnya putih bersih selayak perawan murni. Wajah tampannya sanggup membuat setiap wanita jatuh cinta dan rela terenggut dalam pelukannya.”

“Benarkah?” bibirku nyaris terbakar panasnya putung rokokku. Spontan kulemparkan begitu saja. Hampir saja mendarat di wajah Wagini.

“Bahkan katanya, ia sanggup menyembuhkan flu burung!”

“Maksudmu, dia juga seorang dokter yang tiada tandingan?”

“Mungkin juga!”

“Nyaris sempurna.”

“Tidak itu saja! Bahkan, menurut lelaki tua pengembara, dia seorang penyair yang setiap kata-kata indahnya, sanggup membuat orang-orang mengerumuninya, hanya untuk mendengarkan celotehnya.’’

“Bisakah aku bertemu dengannya?’’ Bertanya demikian, aku sudah mempersiapkan mental untuk, sekali lagi, mendapat senyum ejekan dari Wagini.

“Itulah masalahnya! Ketika datang ke sini, lelaki tua pengembara itu kepada setiap orang yang ditemuinya selalu mengulang-ulang cerita tentang kehebatan lelaki Tirus. Setiap kali ia datang, setiap kali muncul cerita kehebatan-kehebatan yang baru. Tapi, tidak sekalipun ia mengatakan, bagaimana caranya bisa bertemu.”

“Setiap hari, terlebih setiap malam, orang-orang ramai berkumpul di sini…’’

‘’Aku saksikan sendiri,’’ aku menyela. Memberi kesempatan ia untuk menyedot asap rokoknya.

“Hanya untuk menunggu lelaki tua pengembara itu. Hanya untuk menunggu cerita-cerita selanjutnya. Seterusnya bermimpi bertemu dengan lelaki benama Tirus.”

“Lelaki di desa ini, sekarang menjadi seorang pemimpi. Sawah dan ladang dibengkalaikan begitu saja. Hingga terpaksa, istri dan anak-anak perawan mereka yang harus turun tangan mengurusnya. Untuk menyambung hidup mereka.”

“Cerita-cerita itu, lelaki tua pengembara itu, telah menjadi semacam wabah yang nikmat, namun menghancurkan! Parahnya, tak seorang pun bisa dan berhak untuk membungkam mulut lelaki tua pengembara. Tak seorang pun enggan atau berusaha untuk mempertanyakan keabsahan ceritanya. Dan, kau Jack, adalah korban berikutnya.”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Apa yang Wagini katakan, selama aku tahu memang tidak mengada-ada. Hampir sepanjang waktu, kecuali di ujung dini hari, bangku-bangku panjang kedai Wagini selalu penuh berisi para lelaki. Sepanjang bola-bola mata mereka bisa diajak untuk begadang, sepanjang itulah mereka meng-ada di sini.

Pada wajah mereka tertangkap penanda, apa yang disebut Wagini, penuh dengan mimpi-mimpi. Pada setiap gurat wajah mereka, tak kutemukan tanda-tanda yang lazim dimiliki seorang lelaki desa. Tidak kutemukan raut wajah yang kokoh, kekar, dan penuh digjaya. Tidak kudapati otot-otot lengan dan dada yang membesar yang terbentuk oleh kerasnya tanah ladang mereka. Tidak ada lagi wajah penuh sahaja.

Wajah mereka semua, lembek dan tiris, yang disebabkan oleh begadang dan angin malam yang tak sehat. Kulit mereka berwarna pucat. Penanda aliran darah mereka tidak mengalir sempurna karena kurang bergerak. Dan semakin diperparah dengan warna kelabuh rambut-rambut mereka yang meng-uban.

Rambut mereka abu-abu menguban? Ah, kenapa aku baru sadar sekarang, bahwa rambut-rambut penduduk desa ini semuanya berwarna kelabu. Entah itu lelaki muda, paruh baya, bahkan kakek-kakek sekali pun, rambut kepala mereka kelabu. Selama ini memang, kalau tidak dibebat sarung atau penutup kepala penahan dingin, mereka teramat jarang menelanjangkan rambut kepala mereka.

Setiap kali mereka merapat, berkumpul di kedai Wagini, setiap kali mereka membentuk gerombol-gerombol kecil. Dengan tidak ketinggalan sajian arak dan linting-linting tembakau di meja mereka. Dan, setiap kali membicarakan sesuatu, yang aku yakin tentang lelaki bernama Tirus, mereka selalu tampak serius. Tanpa senyum atau tertawa.

Sedemikian parah-kah efek dari cerita lelaki tua pengembara kepada mereka? Sejauh itukah mereka merawat mimpi untuk bisa berhadap muka dengan lelaki bernama Tirus? Aku tidak tahu, logika apa yang ada di benak mereka.

***


Malam yang jelita, berubah mencerah. Di ufuk timur, selarik jingga cahaya matahari, sedikit namun jelas, sudah menampakkan eksistensinya. Suara tarkhim dan adzan Shubuh, sudah semenjak tadi mengumandang. Seorang lelaki paruh baya dengan dua kerbau, dua wanita tua berkebaya rombeng, dan seorang lelaki tua berbaju putih, sarung kota-kotak gelap, dan surban di lehernya, juga, sudah lewat di depan kami.
Kepalaku, serasa sudah kelelahan oleh bergelas-gelas bandrek racikan Wagini. Sementara, gerumbul-gerumbul lelaki yang semenjak sore tadi, masih tetap enggan untuk beranjak pergi. Sejurus sebelum aku beranjak, dari ujung jauh jalan desa, lamat-lamat terlihat, bayangan seorang lelaki dengan langkah kaki berat, tergesa. Datang menuju kedai Wagini.

Dan, sesaat kemudian, setelah wajah lelaki itu jelas tertangkap oleh mataku, yang tak lain adalah wajah lelaki tua pencerita. Wajah itu, nampak berseri dengan umbaran senyum terlemparkan ke hampir semua orang.

Seakan tidak sabar lagi, lelaki tua pengembara itu, dengan suara serak tertahan oleh sengal nafas memburunya, berteriak-teriak. ‘’Lelaki Tirus itu datang…, dia benar-benar datang untuk memenuhi janjinya! Datang untuk membebaskan derita kita!’’

Dan, sebelum tubuhnya benar-benar sampai di halaman kedai Wagini, tubuh rentanya ambruk ke tanah. Gerombolan laki-laki berwajah tirus, termasuk aku dan Wagini, seketika berhambur keluar. Mengerubuti tubuh lelaki tua pengembara.

“Dia benar-benar telah datang! Uhuk…uhuk… Aku telah bertemu dengannya, uhuk… Lelaki bernama Tirus itu, sungguh! Benar-benar seperti apa yang aku ceritakan! Kalian…, tunggulah kedatangannya! Jangan beranjak ke mana-mana! Uhuk.. uhuk… uhukkk…” Dan, pada batuk ketiga, lelaki tua pengembara itu tidak bisa lagi meneruskan ceritanya. Untuk selama-lamanya.***

Batam, Agustus 2005

*) Cerpenis, bekerja di Posmetro Batam. Tinggal di Batam.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi