A.S. Laksana
http://www.jawapos.com/
Pada suatu hari, ketika segala hal menjadi terang, dan begitu pun matamu, kau bisa mendapati seorang mayor bertingkah mencurigakan di rumahnya sendiri. Di rumah mayor itu Seto pernah datang sebagai juru selamat; ia membebaskan seorang berandal tanggung, anak si Mayor, dari keroyokan para bajingan depan losmen gara-gara urusan perempuan. ''Tinggallah di sini,'' kata Pak Mayor ketika Seto mengantar pulang si anak yang lebam.
Seto sudah minggat tiga bulan dari rumah ayahnya waktu itu dan ia tak punya tempat tinggal dan ia menjawab, ''Terima kasih.'' Maka, tidurlah si kribo itu di kamar belakang yang kosong, bersebelahan dengan kamar pembantu. Lima bulan menetap di sana, ia menabur kesan baik dan buruk, dan menanam beberapa ingatan yang akan merepotkan si Mayor ketika mereka kelak berhadapan sebagai seteru. Kau tahu, beberapa tahun nanti, pada hari pemberantasan gali di tahun 1984, Pak Mayor memang harus menumpas si juru selamat itu.
Di rumah yang ia tumpangi, Seto berjumpa lagi dengan urusan yang membuatnya ribut dengan ayahnya. Pak Mayor, kau tahu, sama seperti ayah Seto: ia suka berlari pagi dan ia juga meminta Seto menemaninya. Untungnya orang ini tidak terlalu gila; ia tidak berlari setiap hari dan tidak memaksa Seto menjadi tentara atau petinju --itu dua hal yang membuat Seto minggat dari rumah. Pak Mayor hanya berlari setiap Minggu pagi dan Seto, demi kesopanan, membuntutinya seperti anjing kampung. Ia tak mungkin berlari di depan si Mayor.
Selain menjadi anjing kampung seminggu sekali, ia mencuci mobil Pak Mayor setiap pagi dan mengawal si berandal setiap malam. Yang terakhir itu bukan tugas yang diberikan oleh si Mayor, Pramono sendirilah yang selalu mengajak Seto ke mana-mana. Tak sampai sebulan menemani si berandal, Seto tahu persis bahwa anak kedua Pak Mayor ini memang doyan kelayapan ke tempat pelacuran dan selalu mengatakan kepada ayahnya bahwa ia belajar di rumah teman. Anak pertama si Mayor kuliah di Bandung, tak ada urusan untuk disinggung-singgung di sini. Anak ketiga seorang perempuan kelas satu SMA, Tari namanya, suka mendekam di kamar, dan belum waktunya disinggung di sini. Lagi pula ini cerita tentang bagaimana cara si berandal menjadi anak emas Pak Mayor.
''Kau tak bisa menipu ayahmu terus-menerus,'' kata Seto. ''Lama-lama ia tak percaya padamu.''
''Ia selalu percaya padaku,'' kata Pramono.
''Kau tak bisa menipunya jika suatu hari kau kena penyakit,'' kata Seto.
Si berandal mengatakan bahwa ia sudah pernah terkena sipilis, tetapi ayahnya tetap percaya padanya. Ketika menyampaikan itu, Pramono mengatakannya dalam kombinasi rasa percaya diri yang berlebih dan senyum yang tampak licik. Seto menduga bahwa si Mayor punya rahasia dan anak ini tahu. Dan dugaannya benar.
Dan itu rahasia yang kau mudah menebaknya. Pak Mayor pernah menyisipkan sekuntum bunga ke telinga perempuan yang bukan istrinya. Itu upaya pertamanya berselingkuh. Perasaannya ruwet dan gerak-geriknya tersendat dan tenggorokannya mengering. Tentara setengah tua itu beberapa kali mendengar ucapan temannya bahwa seorang lelaki, jika tidak menjadi raja di rumah sendiri, niscaya akan menjadi setan di jalanan. Itu kalimat yang kupikir patut pula kaucamkan demi kebaikanmu sendiri. Bukankah nasihat yang baik tetaplah baik sekalipun keluar dari mulut seekor beruk?
Dan beruk itu, teman si Mayor, adalah orang yang menjadi raja di rumahnya sendiri. Ia beristri perempuan kantoran --perempuan yang cantik (ini relatif), bergaji baik (ini relatif), dan sangat menghormatinya (tak ada relativitas di sini, seorang tentara harus dihormati). Tetapi, lelaki itu, dengan singgasana kerajaan di rumah, memang pada dasarnya adalah seekor beruk yang bisa dengan enteng menyangkal kalimatnya sendiri: ia tetap menjadi setan di jalanan dan selalu berusaha memikat istri siapa pun yang berwajah muram. ''Istri-istri yang muram wajahnya,'' katanya, ''mudah jatuh ke pangkuan setan.''
Satu hal menjadi jelas dengan sendirinya, yakni bahwa beruk itu seratus persen tak bisa dipercaya. Dan sebenarnya Pak Mayor tidak terlalu peduli apakah orang itu bisa dipercaya atau tidak. Ia hanya memerlukan ucapannya untuk dijadikan sandaran. Ia memerlukan dalih yang bisa membebaskannya dari rasa bersalah, pada perselingkuhan pertama dan seterusnya.
Perempuan yang ia kencani, barangkali karena merasa tidak nyaman menyandang bunga dari lelaki yang --ia tahu-- sudah beristri, segera menanggalkan bunga itu dan menaruhnya begitu saja di meja. Dengan sedotan plastik ia sesap jus jeruk pesanannya demi mengendurkan kulit muka. Ia merasakan kulit mukanya sedikit mengencang tadi pada saat si Mayor menyisipkan bunga.
''Kau tidak suka?'' tanya si Mayor; ia merasa agak sia-sia.
Berjam-jam sebelum pertemuan Sabtu sore itu, ia berpikir keras untuk menciptakan adegan paling mesra yang bisa ia bayangkan. Dan ia memutuskan untuk menyelipkan bunga ke telinga perempuan itu. Sekuntum anggrek ungu, tepat dengan bentuk wajah perempuan itu, dan kekuatan metafisiknya akan mewujudkan keabadian cinta. Namun bunga itu terpasang hanya sebentar, tak sampai satu menit, sebab perempuan itu tersipu. Si Mayor tetap berharap cinta mereka abadi sekalipun bunga itu tak bertahan lama di telinga.
''Tak enak dilihat orang,'' kata perempuan itu.
''Kurasa tak ada yang mengenali kita di sini,'' kata si Mayor.
''Aku merasa tak enak.''
Pertemuan itu terjadi di Bandungan, sebuah pebukitan kurang lebih tiga puluh kilometer di selatan Semarang. Si Mayor, dan juga perempuan itu, tidak mengenali satu orang pun yang lalu lalang di rumah makan tempat mereka bertemu.
Namun itu keliru.
Dari tempat yang tak mereka ketahui, ada sepasang mata berandal tanggung yang terus menguntit. Ketika mereka pulang dengan mobil masing-masing, Pramono mengikuti perempuan itu sampai ke pagar rumahnya di Kaligarang. Peristiwa itu terjadi dua tahun sebelum Seto tinggal di rumah Pak Mayor. Saat itu si berandal baru beberapa bulan masuk SMA dan sudah suka kelayapan.
***
Sesungguhnya si Mayor tidak berniat menyakiti perasaan istrinya, namun Suhartini sering memiliki gairah untuk menyakiti perasaannya sendiri dengan detail yang tak tertebak. ''Kau bernyanyi terus sepanjang hari,'' katanya. ''Pasti ada perempuan lain yang membuatmu jatuh cinta.''
Itu serbuan tak terduga di hari Minggu malam, sehari setelah kencan pertama. Si Mayor mengatakan sesuatu tetapi tak jelas dan ia seperti buru-buru menelan kembali setiap kata yang ia keluarkan.
''Kau ngomong apa?'' tanya Suhartini.
''Aku memang suka bernyanyi, kau tahu itu,'' jawab si Mayor.
''Aku tidak tahu itu.''
''Jadi kau mencurigaiku?''
''Tingkahmu mencurigakan.''
Dari sini kau bisa tahu kenapa para pemburu gosip mudah sekali mendapatkan mangsa. Sebab cinta memang cenderung memamerkan dirinya sendiri, kadang di depan orang yang tidak tepat. Dan, si Mayor melupakan itu. Ia pikir tidak ada yang ganjil pada tingkah lakunya. Ia hanya merasa sedikit lebih riang dan ia menyanyi atau bersiul-siul begitu saja; sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa itu karena jatuh cinta.
''Aku melakukan apa yang biasa dilakukan orang,'' katanya.
''Kau pasti sedang jatuh cinta,'' istrinya terus melabrak.
''Kau juga pernah bernyanyi-nyanyi dan aku tidak menuduhmu sedang jatuh cinta,'' gumam si Mayor.
Tanpa menggubris keberatan suaminya, Suhartini bergegas ke gudang penyimpanan barang-barang, membongkar tumpukan koran, dan kemudian kembali lagi dengan sebuah majalah lama yang ia buka pada halaman 43. Kepada suaminya ia sodorkan artikel itu: ''Sepuluh Gejala Pasangan Anda Berselingkuh.''
''Baca nomor enam!'' perintah Suhartini.
Si Mayor menatap artikel itu, matanya terbimbing ke nomor enam, dan ia merasa putus asa.
''Kau mempercayainya?'' tanyanya.
''Baca sendiri nomor enam!''
''Aku akan membaca dan tak perlu meyakini kebenarannya,'' kata si Mayor. ''Ini bukan sepuluh perintah Tuhan.''
Poin keenam mengingatkan agar kau waspada jika pasanganmu tiba-tiba suka bernyanyi. Hal itu, demikian poin keenam, merupakan gejala umum yang terjadi pada orang-orang yang sedang jatuh cinta. Si Mayor membacanya dengan mata lelah, dengan separuh hasrat untuk menyangkal dan separuhnya lagi tak berdaya.
Pramono tahu keributan itu dan ia mencari jalan untuk mendekati ayahnya dan ia mendapatkannya pada Rabu pagi ketika si Mayor sedang di teras menggosok-gosok tanda pangkatnya. Ia menarik kursi, dekat dengan ayahnya tetapi mempertahankan jarak tertentu di luar jangkauan.
''Semalam aku dari rumah temanku di Kaligarang gang lima, Yah,'' berandal itu berkata pelan.
Pak Mayor terus menggosok.
''Dan ada kabar baik. Tante itu menyampaikan salam buatmu.''
Pak Mayor berhenti menggosok.
''Apa maksudmu?'' hardiknya.
''Kalau kau teriak-teriak begini, nanti Ibu malah kemari.''
''Mandi sana! Atau kau mau membolos lagi hari ini?''
''Cantik dia,'' Pramono seperti bergumam untuk dirinya sendiri. ''Dan baik. Ia menawariku ikut kalau kalian pergi lagi ke Bandungan.''
Rahang Pak Mayor menegang. Ia ingin menampar kutu busuk ini, tetapi tangannya tak bergerak. Pramono meninggalkan ayahnya, berjalan pelan-pelan seperti memberi kesempatan kepada tentara setengah tua itu untuk menghentikannya. Tetapi Pak Mayor tak bersuara. ''Aku tidak bilang apa-apa pada ibu,'' kata berandal itu di mulut pintu.
Begitulah, pagi itu, sebelum para pemalas turun dari tempat tidur, sebuah persekongkolan telah terbangun, dan itulah jalan bagi si berandal untuk menjadi anak emas Pak Mayor. Ia tidak pernah keliru di mata ayahnya sejak itu, atau ayahnya tidak berani membuat perkara dengan si anak berandal. Dan Pramono benar-benar menunjukkan diri bahwa ia memiliki naluri seorang pemeras, mungkin itu bakat alami, dan ia mampu menggunakan rahasia yang tersimpan di ujung lidah untuk menarik keuntungan.
Pada saat-saat tertentu ia sengaja memperlihatkan kepada ayahnya betapa dekat ia dengan ibunya, menggelendot-gelendot manja, menyerempet-nyerempet bahaya. Si Mayor merasa seperti keledai tua yang ditunggangi pencoleng kecil, tetapi ia tidak bisa apa-apa.
Empat atau lima minggu setelah mereka ribut soal nyanyian, suasana berangsur-angsur pulih. Sore itu ia dan istrinya duduk-duduk di ruang tamu. Mayor menikmati rokok dan kopi yang diseduh oleh pembantu; istrinya menekuni pelbagai bentuk sanggul pada sebuah majalah. Pramono datang dari luar dan mengatakan, ''Kayak pengantin baru, nih,'' lalu terus masuk ke ruang dalam dan keluar lagi dengan segelas air putih. Ia duduk di sebelah ibunya.
''Sudah lama tidak kudengar ayah bernyanyi-nyanyi lagi,'' katanya. ''Ibu terlalu berlebihan, sih.''
O, bajingan anak ini! Pak Mayor merasa seperti ada cecak pada cangkir kopi yang diseruputnya. Suhartini seperti disulut dan tiba-tiba suhu tengkuknya naik dan ia merasakan lagi dorongan untuk mengamuk.
''Kau tahu apa soal itu?'' hardik Suhartini.
''Tentu saja aku tak tahu apa-apa,'' kata Pramono. ''Begitu kan, Yah? Aku tak tahu sama sekali, kan?''
''Apa yang kaukatakan ini?'' tanya Suhartini.
''Bukankah Ibu menanyakan aku tahu apa dan aku bilang aku tak tahu apa-apa. Dan aku memang tak tahu apa-apa.''
''Kalian pasti sudah bersekongkol.''
Pak Mayor duduk tegak dan waswas dan melipat tangan, seperti murid sekolah menyembunyikan ujung kuku hitamnya di hari Senin ketika guru berkeliling dengan penggaris besar. Ia geram, tapi bisa apa? Berandal itu tahu persis tentang perempuan yang dikencaninya dan ia pernah menyebut-nyebut Bandungan. Mungkin ia melihat gerak tangannya yang gemetar dan bahkan mendengar degup jantungnya yang tak terkendalikan. Di mana ular kecil ini waktu itu?
Merasa cukup dengan mereka, Pramono meninggalkan ruang tamu; meninggalkan ibunya yang mengingat lagi poin keenam; meninggalkan ayahnya yang menyimpan geram. Pak Mayor tetap duduk di situ sekalipun tidak betah; ia tak mungkin meninggalkan istrinya kendati pikirannya sangat runyam. Kau tahu, situasi mereka akan seperti itu sampai lama, namun tetap baik-baik saja.
Pada hari Seto datang ke rumah itu sebagai juru selamat, keadaan mereka masih begitu --runyam dan baik-baik saja-- tetapi dengan sedikit perubahan dan beberapa variasi. Pak Mayor menjadi gemetar menghadapi istri sendiri namun semakin terampil menyelipkan bunga atau telapak tangan pada perempuan yang bukan istrinya. Pramono tetap menjadi anak emas; ia kelayapan tiap malam dan selalu mengaku belajar di rumah teman. Ia kena sipilis dua kali dan Pak Mayor tidak pernah mempertanyakan apa yang dipelajarinya di rumah teman sehingga bisa dua kali kena sipilis.
Seto di sana lima bulan. Ia menjadi anjing kampung seminggu sekali dan melakukan apa yang harus dilakukan dan menjadi anak emas istri Pak Mayor sejak pertengahan bulan kedua. Pernah juga ia bernyanyi-nyanyi seharian dan Suhartini mengingatkannya jangan bernyanyi-nyanyi. Ia lalu menulis puisi-puisi, kebanyakan tentang peri dan pelangi dan para putri, di buku catatan yang ia lupa bawa pada saat meninggalkan rumah itu. Aku tidak tahu apakah Tari atau Suhartini yang menyimpannya. Anak bungsu Pak Mayor tak bisa diajak bicara dan Suhartini sebenarnya baru 78 tahun saat ini, tetapi ia sudah lupa banyak kejadian.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar