Teguh Winarsho AS
http://www.kr.co.id/
SEJAK ibu menjerat lehernya dengan tali jemuran di sepetak tanah kosong dekat kuburan beberapa hari silam, hingga kini masih kuingat bagaimana lidah ibu yang pucat mirip kain pel basah itu terjulur keluar, matanya melotot hingga kedua bola matanya seperti mau melesat dari liangnya, aku tersimpuh lemas di samping mayat ibu, menangis sesenggukan. Sementara ayah hanya terkekeh, mengepulkan asap tembakau dari mulutnya. Sesekali ia menendang pantatku jika aku menangis terlampau keras. “Jangan keras-keras! Perutku mau muntah!”
Ayah tak suka aku menangisi kepergian ibu. Ayah ingin aku bahagia seperti halnya ia juga bahagia atas kematian ibu. Tapi bagaimana aku bisa bahagia? Aku adalah anak yang keluar dari rahim perempuan yang mati mengenaskan itu. Hubunganku dengan perempuan itu adalah hubungan darah antara seorang ibu dan anak. Sedang hubungan ayah dan ibu? Kukira hubungan mereka awalnya hanyalah hubungan kelamin antara dua orang berlainan jenis — satu pelacur, satu lagi bandit, — yang sebelumnya tak saling kenal. Dan pada suatu hari yang celaka hubungan itu dikuatkan dengan secarik kertas bermaterai, dibubuhi tandatangan, disaksikan dua tiga orang kerabat dekat. Sah! Hubungan macam apakah itu? Perkawinan? Ataukah hubungan sekadar untuk melegalkan tindak kekerasan sekaligus melanggengkan perzinahan? Buktinya ayah sering menggampar muka ibu dengan tangan kosong atau balok kayu. Dan ibu diam-diam kerap meloncat jendela mencari laki-laki hidung belang.
Karena itu aku bisa maklum kenapa ayah begitu bahagia atas kematian ibu. Ayah sudah bosan dengan ibu! Selain itu, meski sudah berkali-kali menebas leher orang, tapi baru kali ini ayah menyaksikan kematian yang begini tragis, leher tercekik, mata mendelik, dan lidah terjulur. Tapi benarkah ibu bunuhdiri? Menjerat lehernya sendiri dengan tali jemuran? Tentu tidak! Ini hanya lelucon ayah yang sedikit kelewat. Ibu, aku tahu, bahkan tak bernyali membunuh seekor semut. Ini semua adalah kerjaan ayah. Masih kuingat juga bagaimana ayah untuk kesekian kali menghardikku saat aku lupa, kembali menangis keras, hanyut atas kesedihan itu: “Tutup mulut busukmu itu! Atau kusumpal dengan tahi anjing!”
Aku menunduk, mengusap butiran bening disudut mataku. Ayah pasti tidak main-main dengan omongannya. Perlahan-lahan kurendahkan suara tangisku. Hingga suatu kali tanpa sadar mulutku telah bungkam. Aku tak mendengar suara apa pun kecuali desau angin berhembus dari kejauhan dan kemerisik rumput kering saling bersinggungan membuat bulu kudukku meremang. Saat itu gelap mulai merayap. Daun-daun luruh dan langit cuma bentangan kain buram. Kulihat ayah mulai mabuk berat. Mulutnya meracau tidak karuan. “Kkkau... Lliihat...” Suara ayah gagap. Bibirnya bergetar. “Ppperempuan itu sedang terbang menuju surga. Lihatlah, lihatlah. Beri salam padanya dan jangan lupa kalau sudah sampai suruh kirim surat...”
Mendengar ocehan itu, kesedihanku semakin menjadi-jadi. Tak habis-habisnya ayah menghina ibu yang sudah terbujur kaku menjadi mayat. Aku benar-benar muak. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab aku sendiri mungkin sudah lama menjadi mayat di hadapan ayah. Aku sering merutuki ketololan ini. Tapi sekali lagi aku tak bisa berbuat apa-apa. Masih jelas dalam ingatanku sehari sebelum kematian ibu, tengah malam di sebuah jembatan yang remang ayah menyergap seorang perempuan. Dengan gerak cepat ayah memukul tengkuk perempuan itu hingga pingsan, lantas diseret ke semak belukar.
Ayah sempat terpaku lama menatap singkapan rok merah milik perempuan itu yang memperlihatkan sebentuk paha putih mulus. Berkali-kali ayah menelan ludah. Aku yakin, sebelum melucuti perhiasan milik perempuan itu ayah akan memperkosa perempuan itu terlebih dulu. Tapi rupanya dugaanku keliru. Ayah tiba-tiba menatap wajahku, tajam, dan dengan isyarat tangan ia memaksa aku menggauli perempuan itu. Aku menggeleng keras. Tapi ayah kemudian mengeluarkan golok dari balik jaketnya. Aku gemetar menatap ujung golok berkilat itu. Akhirnya kuturuti permintaan ayah. Kugauli perempuan pingsan itu di bawah ancaman golok!
Aku masih mematung di depan mayat ibu ketika perlahan-lahan ayah berjalan sempoyongan menghampiriku. Kedua kakinya gemetar seperti tak kuat menahan gumpalan lemak di atasnya. “Untuk terakhir kalinya, sebagai penghormatan seorang anak kepada ibu, ciumlah telapak kaki perempuan itu sebelum menjadi busuk digerogoti ulat...” kata ayah menepuk pundakku, pelan. Aku menoleh, menatap ayah. Benarkah perintah itu?
“Ciumlah, biar arwah ibumu tidak gentayangan.” Lagi ayah mengulang perintahnya. Wajahnya serius. Aku tidak tahu malaikat mana yang tiba-tiba singgah di batok kepala ayah yang kemudian meluncurkan kalimat-kalimat asing itu. “Ayo, cium telapak kaki ibumu agar kau merasa tenang dan damai.”
Aku masih ragu dengan perintah itu.
“Kau ragu? Kenapa? Ini untuk yang terakhir kalinya. Tunjukkan rasa hormatmu pada ibu. Bagaimana pun dulu dia yang melahirkanmu...” Kembali ayah bersuara. Wajahnya seperti seorang suci.
“Baiklah...” kataku menghempas nafas berat, membuang sesuatu yang mengganjal di hati, melangkah mendekati mayat ibu, lalu jongkok, berusaha mencium telapak kaki ibu. Tetapi belum sempat hidungku menyentuh telapak kaki ibu, kurasakan dorongan kuat di pantatku hingga membuat tubuhku terjengkang mencium tanah. Hidungku berdarah. Ayah menendangku! Kudengar kemudian ayah tertawa keras. Ludahnya berhamburan.
“Dasar tolol! Goblok! Untuk apa kau cium telapak kaki perempuan itu, heh? Cium saja telapak kakiku! Ayoh, ayoh! Ha..ha..ha...” ayah menunjuk-nunjuk telapak kaki. Hitam, pecah-pecah. Aku membuang muka. Hidungku nyeri.
***
AYAH. Dia memang keparat. Berkali-kali ia lolos dari sergapan polisi dan amuk massa. Selain merampok dan memperkosa, ayah biasa menghabiskan hari-harinya dengan mabuk dan berjudi. Sesekali membawa perempuan, mendekam di kamar. Malam-malam sering kudengar lenguh perempuan itu diikuti dengus nafas memburu dan derit ranjang bergeretak seperti mau patah. Membuat aku selalu tak tahan, lantas buru-buru keluar rumah. Tapi ayah akan marah besar jika aku ketahuan pergi tanpa pamit. Ayah adalah hantu yang terus menjerat kedua kakiku. Membuat aku seperti kerbau dungu. Sering aku berpikir ingin melepaskan diri dari jeratan ayah. Ya, ya sejak kematian ibu, tiba-tiba aku kerap menimbang-nimbang apakah seutas tali jemuran cukup kuat untuk menjerat leher laki-laki tua itu?
“Ayo, tambah lagi minummu. Kau belum mabuk bukan?” kata ayah suatu malam hanya beberapa hari setelah orang-orang kampung menemukan jenazah ibu lantas dikubur baik-baik di pemakaman umum.
Aku ingin menggeleng. Tapi sorot mata ayah bisa membunuhku detik itu juga. “Baiklah, baiklah....” kataku serak. “Tapi sepertinya aku hampir mabuk, ayah.” Aku ragu. Takut. Kurasakan bintang-bintang di langit mulai berjatuhan di kepalaku.
“Jangan bohong! Matamu masih bersinar. Kau belum mabuk!” untuk ketigakalinya ayah menuang minuman ke dalam gelasku.
Pelan-pelan kutenggak minuman itu. Kali ini perutku benar-benar mual mau muntah. Tenggorokanku panas. Pandangan mataku mendadak samar, berkunang-kunang, tak bisa fokus. Dinding rumah itu seperti bergerak-gerak. Juga meja, kursi, almari, bufet, tv, jam dinding, kalender, semuanya. Lalu: “Hueek!” Aku muntah. “Ssudah... sudah... aku tak sanggup lagi...” kataku sengal, tersandar di dinding. Lemas.
“Ya, ya, aku tahu, sekarang kau benar-benar sudah mabuk. Wajahmu lucu sekali, seperti kepiting rebus, he..he..he... Minuman ini luar biasa. Benar kata Rasto, aku memang harus mencampurinya dengan sedikit tahi kerbau. Luar biasa. Aku pun sudah.... Akhh...” Ayah tak meneruskan kalimatnya meski mulutnya masih menganga. Perlahan tubuhnya rebah. Tapi ia masih sempat menyambar botol minuman itu dan menenggaknya hingga tandas. Lalu tak berselang lama mulutnya mulai meracau. “Ssebentar lagi kita akan terbang ke surga... Kita akan menengok perempuan itu. Apakah ia sudah sampai di sanaa... akh...” Matanya merem melek.
Tak kuhiraukan racauan ayah. Aku lebih sibuk mengatasi rasa mual perutku. Lalu dengan sempoyongan aku beringsut meninggalkan ayah. Ruangan itu membuat aku terus mau muntah. Juga botol-botol itu, gelas, dan wajah ayah sendiri. Puh!
“Hhai... mau ke mana kau...” suara ayah berat.
“Ttidur...”
Ayah terkekeh mengibaskan tangannya. “Ttidurlah... Tidurlah... Jadilah anak yang baik. Jangan lupa cuci tangan dan basuh muka. Semoga kelak kau termasuk golongan ahli surga. Ha...ha...ha...” ayah tertawa. Suara tawa itu mengambang namun terdengar nyaring di malam sepi.
Aku kembali tertatih-tatih merambat dinding. Lorong rumah itu remang dan terasa panjang, seperti lorong maut. Sesekali tubuhku goyang mau jatuh. Tapi aku mencoba bertahan. Dan dengan sisa-sisa tenaga, kutendang pintu kamar lalu kujatuhkan tubuhku di atas ranjang reot. Benda-benda yang ada di sekitarku masih terus bergerak-gerak tak mau berhenti. Alkohol dicampur tahi kerbau? Hmm. Boleh juga perpaduan itu. Bikin kepalaku pening mau pecah!
Larut malam, kudengar ayah kembali meracau. Tapi kali ini lebih keras. “Ttolong aku! Tolong aku! Aku belum mau mati! Perempuan itu mau mencekik leherku! Tolooongg!”
Aku tak suka tidurku terganggu. Terpaksa aku turun dari ranjang. Terhuyung-huyung mendatangi ayah. Tampak ayah meringkuk di sudut ruang tamu. Wajahnya pucat. Tubuhnya menggigil. Gemetar.
“Perempuan itu! Perempuan itu! Ia mau mencekik leherku!” kata ayah, suaranya serak.
“Mana? Tak ada siapa-siapa di sini! Hanya kita berdua!” sekali kutepuk pundak ayah. Keras. Dan seperti seorang tolol ia tergeragap. Melongo. Menggosok-gosok mata.
“Ttadi... Pperempuan itu datang kemari. Ia mau...” ayah kehabisan nafas. Tak meneruskan kalimatnya.
“Sudahlah, sebaiknya ayah istirahat. Ayah terlalu banyak minum,” kataku berlalu meninggalkan ayah. Ayah terngungun. Wajahnya kian pucat.
Aku kembali ke kamar. Tidur. Tapi baru saja aku berhasil memejamkan mata, kudengar ayah kembali berteriak-teriak keras disertai suara gedibam benda berat jatuh, berguling-guling di lantai. Kubayangkan benda yang berguling-guling itu pastilah tubuh ayah. Aku mulai muak. Bosan. Tidurku terganggu! Perlahan-lahan kemarahan menggumpal di batok kepalaku...
***
PAGINYA ayah kutemukan masih pulas di atas sofa. Sekujur tubuhnya terbungkus selimut. Aku tersenyum. Raksasa tua itu akhirnya terlelap juga. Tapi... ya, ya, aku baru ingat, tak biasanya ayah tidur tanpa mendengkur. Aku curiga. Jangan-jangan ini karena pengaruh minuman itu. Aku segera menghampiri ayah, dan... aku seperti tak percaya menyaksikan pemandangan itu: seutas tali jemuran menjerat leher ayah, kuat, hingga batang leher itu mengisut, mau putus. Matanya melotot, lidahnya terjulur.
Aku heran, siapa yang melakukan semua ini? Kulihat pintu depan masih terkunci rapat, tak mungkin ada orang lain yang masuk. Sementara di dalam rumah hanya ada aku dan ayah. Ataukah semalam aku terlalu mabuk?
Kulonprogo, 2002.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar