Jumat, 10 April 2009

Adakah ‘Bangsa’ dalam Sastra?*

Nirwan Dewanto**
http://www.korantempo.com/

Karya-karya sastra Indonesia yang terbaik tak menggambarkan tokoh-tokoh lurus, utuh, positif, yang dapat menjadi teladan masyarakat luas.

Bahkan dalam prosa realis pun, termasuk karya yang menjadi santapan politik masyarakat luas, keteladanan itu hampir absen, terutama bila kita menggunakan kaidah moral dan agama. Ada juga novel yang menubuhkan cita-cita sosial ke dalam tokoh yang positif, heroik, namun novel demikian biasanya novel khotbah yang menjemukan.

Sementara itu, dalam prosa absurd kita, kewarasan dan rasionalitas telah tergantikan oleh kegilaan. Lantas, bukankah kegilaan akan membatalkan sang manusia dan sang “bangsa” untuk hidup di dunia modern yang rasional?

Puisi kita yang cemerlang bahkan berisi “aku” yang meradang-menerjang di tengah “kami” atau “kita.” Dengan kata lain, para penyair kita menulis puisi yang baik bila mereka mengesampingkan gagasan tentang cita-cita sosial. Jika puisi modern yang mengambil bentuk pantun, sonnet, atau mantra, si “aku” di dalamnya sama sekali bukan menyerah pada masyarakat dan tradisi, melainkan sebaliknya, yaitu menunjukkan ketegangan yang tinggi terhadapnya.

Sebuah paradoks yang menarik: bentuk tradisional digunakan untuk mewadahi keterpecahan diri, pergulatan penuh sakit di alam modern. Bahkan dalam puisi religius mereka, para penyair itu membebaskan Tuhan dari rutin tafsir keagamaan, sesuatu yang dapat menimbulkan amarah para pemeluk teguh–atau justru pemahaman keagamaan yang lebih kreatif?

Pelbagai contoh di atas dapat menyatakan bahwa sastra yang baik tak bersesuaian dengan cita-cita sosial yang jelas, katakanlah cita-cita kebangsaan. Saya tak mengatakan bahwa untuk menulis karya bermutu penulis harus menjauh dari politik atau, lebih jauh lagi, mengkhianati sendi-sendi kemasyarakatan atau kebangsaan. Ada saatnya kaum penulis kita memaksakan “gagasan besar”–katakanlah niat untuk membimbing orang luas–namun, sebagaimana telah terbukti, karya sastra didaktik tersebut tak dapat mengungguli karya pemikiran politik (misalnya karya-karya Hatta, Soekarno dan Sjahrir, Tan Malaka), baik dari segi mutu, pengaruh, maupun keawetan.

Di titik ini saya ingin mengingatkan kembali dua sifat yang sesungguhnya melekat erat dalam sastra kita, namun sering kali diingkari kaum sastrawan sendiri, yakni pertama, modernisme dalam sastra kita mempunyai banyak kesamaan dengan modernisme artistik di belahan dunia mana pun. Kedua, sastra lebih dulu sebuah disiplin–seketat disiplin keilmuan, seperti fisika dan arsitektur–sebelum dia menjadi faktor sosial.

Modernisme kita pada dasarnya bukanlah perlawanan sengaja terhadap tradisi, melainkan usaha mengaitkan diri dengan dunia yang sedang berubah. Kaum modernis bukanlah pertama-tama kaum pemberontak, melainkan pencari bentuk yang cocok untuk mewadahi aspirasi masyarakat baru. Jika aspirasi ini begitu cepat dibakukan oleh birokrasi dan industri, bentuk seni yang seharusnya cocok itu ternyata harus terpiuh (atau dipiuhkan) karena menampung apa yang belum terwadahi: ironi, disharmoni, cacat, luka, dan kegilaan.

Modernisme dalam lingkup nasional bisa juga wajar, sekiranya “bangsa” Indonesia dapat terus-menerus memelihara hubungan mesra dengan khazanah dunia. Kita melihat hal ini dalam kasus, misalnya, sinema Iran pasca-Revolusi 1979, seni rupa Meksiko pada dekade 1930-an, dan sastra negritude di Karibia dan Afrika pada dekade 1930-an.

Jika khazanah dunia dianggap terlalu luas dan jauh, diperlukan sebuah “dunia antara”–jika saya boleh meminjam istilah Milan Kundera ketika si “bangsa” beroleh kesempatan memekarkan diri dengan bergaul dengan khazanah sebahasa yang sudah lebih dulu menyerap dan menyumbang ke dunia. Itulah Amerika Latin bagi orang Argentina, khazanah Frankofonik bagi orang Senegal, misalnya.

Tanpa “dunia antara,” sebuah “bangsa” berpeluang kian merasuk ke dalam dirinya, ibarat burung merak yang hanya mampu mengagumi tampilannya sendiri. Barangkali kita, juga pendahulu kita, tak merasa perlu mempunyai “dunia antara” itu, lantaran kita begitu “besar”: Indonesia merupakan puncak yang menaungi sekian banyak khazanah bahasa dan budaya Nusantara.

Dengan kata lain, Indonesia terlalu sibuk menjaga kesatuan dari unsur-unsurnya sehingga lalai, mungkin lupa, terhadap dunia. Padahal, kesatuan (dan keluasan) ini bukanlah sebuah hakikat budaya, melainkan hanya peninggalan hukum dan politik Hindia Belanda.

Nasionalisme pada sastra Indonesia bukanlah terutama dipancarkan oleh isi atau kualitas karya sastra, melainkan oleh pendirian (kredo) kaum sastrawan dan upaya kaum sejarawan sastra dalam menulis sejarah sastra nasional. Pada umumnya kaum sastrawan kita adalah “budayawan” atau “juru penerang”, yang juga merasa mengemban tugas sebagai penunjuk arah bangsa.

“Tradisi” ini muncul semenjak masa kebangkitan dan pergerakan nasional: hal ini sungguh wajar dan alamiah karena kaum terdidik–mereka yang mengenyam pendidikan modern–sangat sedikit, dan di antara yang sedikit itulah muncul kaum politikus, intelektual, wartawan, dan sastrawan.

Dalam pelbagai polemik dan pemikiran, kaum sastrawan kita sangat menikmati peran sebagai pencari atau perumus identitas kebudayaan Indonesia, meski dalam karya sastra mereka, perihal identitas nasional ini tak harus jadi taruhan utama, bahkan kerap terabaikan sama sekali. Pun peran ini tampak tak terelakkan, lantaran bahasa Indonesia tumbuh bersama negara-bangsa Indonesia.

Sementara itu, sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh siapa pun adalah sejarah sastra sebagai akibat atau penyerta sejarah sosial-politik sebuah negara-bangsa. Demikianlah, misalnya, pertanyaan kapan sastra Indonesia mulai dan bagaimana membagi angkatan-angkatan dalam sastra–bagaikan kepeloporan dalam politik–jadi begitu penting.

Demikianlah setiap karya atau pemikiran sastra muncul sebagai penguat Indonesia Raya. Baik “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” maupun “penggali sumur asli” menerima beban-menjadi-Indonesia. Baik kaum “universalis” (mereka yang menerima sastra sebagai tak terikat pada ruang dan waktu) maupun “kontekstualis” (mereka yang bersikeras bahwa sastra tumbuh dari dan untuk masyarakatnya) belum bebas dari bahasa-(demi)-bangsa.

Dalam lingkup kesadaran nasional, modernisme kita–yang menyajikan jiwa pencari yang resah dan terpecah di tengah abad mesin dan birokrasi–seakan-akan merupakan arus bawah. Modernisme artistik kita, sekalipun memiliki kesejajaran dengan modernisme di mana pun, tumbuh di dalam semangat nasional. Pernah ada kesempatan untuk berwatak kosmopolit, dalam arti bebas melanglangi khazanah dunia. Kesempatan ini terselenggara bagi mereka yang sempat mengenyam pendidikan Belanda, bukan karena Belanda merupakan kekuatan budaya penting dalam khazanah dunia, tapi karena pendidikan itu membuat mereka menguasai sejumlah bahasa asing.

Namun, kesempatan menyatu-dengan-dunia ini tak pernah termanfaatkan benar-benar. Kaum modernis Meksiko atau Senegal, misalnya, bisa enak menjadi bagian dari pusat budaya Eropa. Sementara itu, kaum modernis kita cepat tertarik ke cangkang kebangsaan, lantaran kondisi sosial-politik memaksa mereka demikian. Mereka mengganti “dunia” dengan “masyarakat” atau “bangsa”: demikianlah mereka telah memilih kepada siapa mereka harus membayar “utang kebudayaan” mereka.

Kita menyaksikan politisasi besar-besaran pada zaman Soekarno, sebuah nasionalisme yang keras kepala, yang membuat para seniman kita bukan hanya tersedot ke politik praktis, mengilusikan seni dan sastra sebagai alat politik, setidaknya bidang yang harus dirasuki politik. Demikianlah “bangsa” atau “rakyat” jadi mitos terpenting bagi penciptaan karya. Modernisme tidak mati: kaum modernis, dari seorang pemberontak berubah jadi pembimbing masyarakat luas, semacam nabi kecil.

Ketika Soekarno jatuh dan Partai Komunis Indonesia dibasmi, seakan-akan datanglah masa “kebebasan kreatif”: sang modernis mendapat kesempatan lagi untuk menjalankan kembali eksperimen tak terbatas. Namun, segeralah modernisme artistik memisah dari “modernisme” (baca modernisasi) ekonomi yang dijalankan rezim kuasi-militer bernama “Orde Baru.”

Kaum penguasa ini pada dasarnya kaum pragmatis yang berwatak filistin: berbeda dengan pendahulu mereka yang berpendidikan Barat dan sempat bergaul dengan khazanah intelektual dunia, mereka dibesarkan di alam pikiran fasisme Jepang, “berjuang” dengan senjata dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, dan muak (juga menang akhirnya) atas kaum “kiri”.

*)Tulisan ini digarap khusus menyambut sidang ke-41 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia dan sidang ke-7 Majelis Sastra Asia Tenggara di Makassar, 11-12 Maret 2002.

**) Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi