Nirwan Dewanto**
http://www.korantempo.com/
Karya-karya sastra Indonesia yang terbaik tak menggambarkan tokoh-tokoh lurus, utuh, positif, yang dapat menjadi teladan masyarakat luas.
Bahkan dalam prosa realis pun, termasuk karya yang menjadi santapan politik masyarakat luas, keteladanan itu hampir absen, terutama bila kita menggunakan kaidah moral dan agama. Ada juga novel yang menubuhkan cita-cita sosial ke dalam tokoh yang positif, heroik, namun novel demikian biasanya novel khotbah yang menjemukan.
Sementara itu, dalam prosa absurd kita, kewarasan dan rasionalitas telah tergantikan oleh kegilaan. Lantas, bukankah kegilaan akan membatalkan sang manusia dan sang “bangsa” untuk hidup di dunia modern yang rasional?
Puisi kita yang cemerlang bahkan berisi “aku” yang meradang-menerjang di tengah “kami” atau “kita.” Dengan kata lain, para penyair kita menulis puisi yang baik bila mereka mengesampingkan gagasan tentang cita-cita sosial. Jika puisi modern yang mengambil bentuk pantun, sonnet, atau mantra, si “aku” di dalamnya sama sekali bukan menyerah pada masyarakat dan tradisi, melainkan sebaliknya, yaitu menunjukkan ketegangan yang tinggi terhadapnya.
Sebuah paradoks yang menarik: bentuk tradisional digunakan untuk mewadahi keterpecahan diri, pergulatan penuh sakit di alam modern. Bahkan dalam puisi religius mereka, para penyair itu membebaskan Tuhan dari rutin tafsir keagamaan, sesuatu yang dapat menimbulkan amarah para pemeluk teguh–atau justru pemahaman keagamaan yang lebih kreatif?
Pelbagai contoh di atas dapat menyatakan bahwa sastra yang baik tak bersesuaian dengan cita-cita sosial yang jelas, katakanlah cita-cita kebangsaan. Saya tak mengatakan bahwa untuk menulis karya bermutu penulis harus menjauh dari politik atau, lebih jauh lagi, mengkhianati sendi-sendi kemasyarakatan atau kebangsaan. Ada saatnya kaum penulis kita memaksakan “gagasan besar”–katakanlah niat untuk membimbing orang luas–namun, sebagaimana telah terbukti, karya sastra didaktik tersebut tak dapat mengungguli karya pemikiran politik (misalnya karya-karya Hatta, Soekarno dan Sjahrir, Tan Malaka), baik dari segi mutu, pengaruh, maupun keawetan.
Di titik ini saya ingin mengingatkan kembali dua sifat yang sesungguhnya melekat erat dalam sastra kita, namun sering kali diingkari kaum sastrawan sendiri, yakni pertama, modernisme dalam sastra kita mempunyai banyak kesamaan dengan modernisme artistik di belahan dunia mana pun. Kedua, sastra lebih dulu sebuah disiplin–seketat disiplin keilmuan, seperti fisika dan arsitektur–sebelum dia menjadi faktor sosial.
Modernisme kita pada dasarnya bukanlah perlawanan sengaja terhadap tradisi, melainkan usaha mengaitkan diri dengan dunia yang sedang berubah. Kaum modernis bukanlah pertama-tama kaum pemberontak, melainkan pencari bentuk yang cocok untuk mewadahi aspirasi masyarakat baru. Jika aspirasi ini begitu cepat dibakukan oleh birokrasi dan industri, bentuk seni yang seharusnya cocok itu ternyata harus terpiuh (atau dipiuhkan) karena menampung apa yang belum terwadahi: ironi, disharmoni, cacat, luka, dan kegilaan.
Modernisme dalam lingkup nasional bisa juga wajar, sekiranya “bangsa” Indonesia dapat terus-menerus memelihara hubungan mesra dengan khazanah dunia. Kita melihat hal ini dalam kasus, misalnya, sinema Iran pasca-Revolusi 1979, seni rupa Meksiko pada dekade 1930-an, dan sastra negritude di Karibia dan Afrika pada dekade 1930-an.
Jika khazanah dunia dianggap terlalu luas dan jauh, diperlukan sebuah “dunia antara”–jika saya boleh meminjam istilah Milan Kundera ketika si “bangsa” beroleh kesempatan memekarkan diri dengan bergaul dengan khazanah sebahasa yang sudah lebih dulu menyerap dan menyumbang ke dunia. Itulah Amerika Latin bagi orang Argentina, khazanah Frankofonik bagi orang Senegal, misalnya.
Tanpa “dunia antara,” sebuah “bangsa” berpeluang kian merasuk ke dalam dirinya, ibarat burung merak yang hanya mampu mengagumi tampilannya sendiri. Barangkali kita, juga pendahulu kita, tak merasa perlu mempunyai “dunia antara” itu, lantaran kita begitu “besar”: Indonesia merupakan puncak yang menaungi sekian banyak khazanah bahasa dan budaya Nusantara.
Dengan kata lain, Indonesia terlalu sibuk menjaga kesatuan dari unsur-unsurnya sehingga lalai, mungkin lupa, terhadap dunia. Padahal, kesatuan (dan keluasan) ini bukanlah sebuah hakikat budaya, melainkan hanya peninggalan hukum dan politik Hindia Belanda.
Nasionalisme pada sastra Indonesia bukanlah terutama dipancarkan oleh isi atau kualitas karya sastra, melainkan oleh pendirian (kredo) kaum sastrawan dan upaya kaum sejarawan sastra dalam menulis sejarah sastra nasional. Pada umumnya kaum sastrawan kita adalah “budayawan” atau “juru penerang”, yang juga merasa mengemban tugas sebagai penunjuk arah bangsa.
“Tradisi” ini muncul semenjak masa kebangkitan dan pergerakan nasional: hal ini sungguh wajar dan alamiah karena kaum terdidik–mereka yang mengenyam pendidikan modern–sangat sedikit, dan di antara yang sedikit itulah muncul kaum politikus, intelektual, wartawan, dan sastrawan.
Dalam pelbagai polemik dan pemikiran, kaum sastrawan kita sangat menikmati peran sebagai pencari atau perumus identitas kebudayaan Indonesia, meski dalam karya sastra mereka, perihal identitas nasional ini tak harus jadi taruhan utama, bahkan kerap terabaikan sama sekali. Pun peran ini tampak tak terelakkan, lantaran bahasa Indonesia tumbuh bersama negara-bangsa Indonesia.
Sementara itu, sejarah sastra Indonesia yang ditulis oleh siapa pun adalah sejarah sastra sebagai akibat atau penyerta sejarah sosial-politik sebuah negara-bangsa. Demikianlah, misalnya, pertanyaan kapan sastra Indonesia mulai dan bagaimana membagi angkatan-angkatan dalam sastra–bagaikan kepeloporan dalam politik–jadi begitu penting.
Demikianlah setiap karya atau pemikiran sastra muncul sebagai penguat Indonesia Raya. Baik “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” maupun “penggali sumur asli” menerima beban-menjadi-Indonesia. Baik kaum “universalis” (mereka yang menerima sastra sebagai tak terikat pada ruang dan waktu) maupun “kontekstualis” (mereka yang bersikeras bahwa sastra tumbuh dari dan untuk masyarakatnya) belum bebas dari bahasa-(demi)-bangsa.
Dalam lingkup kesadaran nasional, modernisme kita–yang menyajikan jiwa pencari yang resah dan terpecah di tengah abad mesin dan birokrasi–seakan-akan merupakan arus bawah. Modernisme artistik kita, sekalipun memiliki kesejajaran dengan modernisme di mana pun, tumbuh di dalam semangat nasional. Pernah ada kesempatan untuk berwatak kosmopolit, dalam arti bebas melanglangi khazanah dunia. Kesempatan ini terselenggara bagi mereka yang sempat mengenyam pendidikan Belanda, bukan karena Belanda merupakan kekuatan budaya penting dalam khazanah dunia, tapi karena pendidikan itu membuat mereka menguasai sejumlah bahasa asing.
Namun, kesempatan menyatu-dengan-dunia ini tak pernah termanfaatkan benar-benar. Kaum modernis Meksiko atau Senegal, misalnya, bisa enak menjadi bagian dari pusat budaya Eropa. Sementara itu, kaum modernis kita cepat tertarik ke cangkang kebangsaan, lantaran kondisi sosial-politik memaksa mereka demikian. Mereka mengganti “dunia” dengan “masyarakat” atau “bangsa”: demikianlah mereka telah memilih kepada siapa mereka harus membayar “utang kebudayaan” mereka.
Kita menyaksikan politisasi besar-besaran pada zaman Soekarno, sebuah nasionalisme yang keras kepala, yang membuat para seniman kita bukan hanya tersedot ke politik praktis, mengilusikan seni dan sastra sebagai alat politik, setidaknya bidang yang harus dirasuki politik. Demikianlah “bangsa” atau “rakyat” jadi mitos terpenting bagi penciptaan karya. Modernisme tidak mati: kaum modernis, dari seorang pemberontak berubah jadi pembimbing masyarakat luas, semacam nabi kecil.
Ketika Soekarno jatuh dan Partai Komunis Indonesia dibasmi, seakan-akan datanglah masa “kebebasan kreatif”: sang modernis mendapat kesempatan lagi untuk menjalankan kembali eksperimen tak terbatas. Namun, segeralah modernisme artistik memisah dari “modernisme” (baca modernisasi) ekonomi yang dijalankan rezim kuasi-militer bernama “Orde Baru.”
Kaum penguasa ini pada dasarnya kaum pragmatis yang berwatak filistin: berbeda dengan pendahulu mereka yang berpendidikan Barat dan sempat bergaul dengan khazanah intelektual dunia, mereka dibesarkan di alam pikiran fasisme Jepang, “berjuang” dengan senjata dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, dan muak (juga menang akhirnya) atas kaum “kiri”.
*)Tulisan ini digarap khusus menyambut sidang ke-41 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia dan sidang ke-7 Majelis Sastra Asia Tenggara di Makassar, 11-12 Maret 2002.
**) Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar