MENGGAGAS TOKOH IDE, MEMBEBASKAN DARI TRAGEDI DIRI
S. Jai
http://ahmad-sujai.blogspot.com/
“Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh.”
TULISAN ini tanpa mengurangi rasa hormat kawan-kawan, penikmat, pembaca, pendengar yang turut merayakan karya sastra. Sengaja penulis menggunakan idiom “merayakan” karena yakin sama-sama punya harapan besar dengan bersastra, semoga sanggup mewarnai khazanah negeri yang sering disebut dunia ketiga ini, demi menjadi warga sastra dunia.
Harapan ini bukan omong kosong, bukan impian dan bukan pula tanpa alasan. Apalagi bila dengan penuh kesadaran telah siap gagasan estetis maupun artistik pada setiap karya para pengarang, meskipun menyadari hal ini berarti harus menghadapi sejumlah masalah, lantaran bukan rahasia lagi bagi pengetahuan sejarah, sosial, filsafat maupun budaya sastra kita berada pada posisi kebimbangan konsep estetik.
Sastra kita dianggap kehilangan spirit untuk hidup dan menghidupi wilayah pengetahuan yang memang sangat terbuka diperdebatkan dan bahkan membuka diri untuk diperalat, didzolimi serta dijadikan bulan-bulanan ini. Sudah bisa diduga siapa pelakunya, tak lain adalah manusia.
Beruntung sekali (dan tentu saja curiga) kita mendapat istilah kebimbangan estetis itu di era tahun 1990-an dari seorang professor sejarah Asia Tenggara yang berdiam di Prancis—Profesor Dennys Lombard. Beruntung karena sebagai ilmuwan tentu saja dia jujur dan kita menyetujui pernyataannya. Sementara curiga dan menyisakan banyak sekali pertanyaan karena boleh jadi kita menangkap ada semacam standar ganda dalam pernyataannya, sebagaimana setiap teori barat yang secara ekstrem diyakini Al Ghazali tidak banyak berguna itu.
Sisa pertanyaan dari pernyataan Lombard adalah: bukankah Lombard juga penganut mondernitas yang banyak menelantarkan pelbagai hal (termasuk sastra) dan kemudian memasuki gerbang postmodernisme yang juga perlu diwaspadai itu?
Terus terang, banyak yang disetujui dan perlu angkat topi dengan kemampuan konseptual Lombard ketika menjelaskan isme kesenian termasuk sastra yang hidup di negeri seperti Indonesia, ideologi kesenian di Prancis merujuk karya, aliran yang punya tempat dan ruang tertentu dan waktu dengan posisi yang jelas masing-masing dalam kisi-kisi sejarahnya, mulai dari impresionisme, realisme sosialis, surealis dan sebagainya. Namun di sini sudah tersedia serempak. Ini pukulan hebat kepada seniman-sastrawan kita yang dengan bahasa lain sama artinya dengan “asal pasang urusan selesai” atau “daripada susah-susah pakai yang ada saja.”
Pramudya, Mochtar Lubis dituding sebagai pembawa modernitas. Putu Wijaya, Iwan Simatupang dan juga Budi Darma penganut wajah lain dari itu. Sementara karya-karya Danarto agak perkecualian karena Danarto sanggup meracik sufisme (Islam) Jawa ke dalam pandangan dunianya meski kelemahan di sana-sini, semisal logika mistis itu sendiri kadang-kadang masih dimaknai sebagaimana cara pandang logika modernitas.
Bukankah mitos itu memiliki logikanya sendiri, dan pandangan dunia Islam Danarto memunculkan banyak pertanyaaan universalisme sastra sebagai seni dan bukan agama?
Kiranya, orang yang tak kalah besarnya harus bertanggungjawab adalah Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan sezamannya yang membawa suara baru arah susastra menuju penciptaan memasuki ruang pribadi yang dibuka sejak Hikayat Abdullah, cikal bakal malapetaka pelbagai ranah ilmu pengetahuan, sejarah, teknologi, sosial, filsafat yang mengasingkan manusia dari keberadaan semestanya.
Siapa yang salah? Karena manusia menjadi pusat semesta, manusia pula yang kemudian menjadi korbannya. Sebagaimana ilmu lainnya sastra yang tanpa dosa akhirnya menjadi tidak bermakna.
Maaf kalau terpaksa mengajak pembaca untuk bersikap romantis dan berjalan pada masa silam yang harus diakui sempat mengalami puncak-puncak estetis sebelum akhirnya jatuh tidak pernah tuntas, hilang lenyap karena didera masa depan yang agresif dan niscaya itu.
Sebagai orang Jawa, banyak yang telah tahu benar sebelum Lombard mendedahkan bagaimana Jawa mengenal keterkaitan hakiki jagad makrokosmos dan mikrokosmos. Bahwa ungkapan kesenian adalah sarana ungkapan keselarasan, penyeimbang, setiap kali tampak terancam. Manusia tak bisa dikeluarkan dari persekutuan masyarakatnya dan tak terpisahkan dari alam.
Rupanya perlu dicetak tebal kata “terancam” dan tugas pujangga tidak hanya melihat tetapi memaknai. Tanpa berusaha membebani makna berlebihan, hal itu terungkap sejak sastra anonim, mantra, puisi lama, dongeng, sastra suluk, pelbagai tembang Jawa dan puncaknya adalah wayang. Bahwa spirit untuk menjaga keutuhan kosmos dan harmoni jagad cilik jagad gedhe jadi lelaku hidup orang Jawa.
Sekali lagi maaf karena memang harus dibeberkan hal ini. Karena harus dilukiskan dengan sisa ingatan yang ada sembari mewaspadai ketakutan apa yang pernah dilontarkan komponis Slamet Abdul Sjukur bahwa kalau tidak hati-hati kita bisa belajar gamelan kepada barat. Kata gamelan bisa diganti dengan musik, teater, senirupa dan tentu saja sastra.
Seni rupa abad 8 – 10 Hindu Jawa menghasilkan pahatan realis pada Borobudur, Prambanan. Ketika bergeser ke Jawa Timur terutama abad 14 cenderung surrealis gaya wayang. Artinya, puncak-puncak pencapaian estetis sudah terlampaui yang di tangan konseptor barat stereotif maupun arketipnya menjadi demikian rumit ketika kita pelajari lagi. Dan terpenting, belum pernah ada upaya untuk melepaskan manusia dari keselarasan kosmos.
Boleh dikata kelemahan kita terletak pada kemampuan untuk merumuskan gagasan-gagasan yang kemudian celah itu diambil oleh barat. Kukira bukan kebetulan jika kemudian rumusan-rumusan itu lantas diputarbalikkan dan sanggup melumpuhkan akar dan spirit budaya asali. Fatalnya, selama berpuluh-puluh tahun kita dibuat terperangah olehnya. Politik kekuasaan dan industri media mempercepat usaha untuk menghapus serta melepas manusia Indonesia dari kejayaan masa silam serta keharmonisan masa depan.
Lantas kenapa sastra? Novel, misalnya? Sastra kita sastra dunia ketiga, memang terus tumbuh, lahir dan perkembangannya sangat mencurigakan. Semula kita cukup dibuat percaya bahwa subtansi novel adalah tokoh. Namun dari uraian di atas kepercayaan terhadap pelaku-pelaku jadi sumbang. Tokoh bukan segala-galanya. Karena itu tokoh dalam novel sah bila hanyalah pembuka jalan demi sejumlah penokohan lainnya. Tokoh tidak ambil pusing dengan sesuatu kenyataan fakta real peristiwa maupun imajiner.
Jadilah tokoh di situ digagas menyerupai tokoh ide, sepasukan pekerja yang memikul beban gagasan di pundak masing-masing. Bahkan tidak jarang tokoh-tokoh itu diperlakukan tidak sebagai layaknya manusia. Memang dia bukan manusia, melainkan cuma sepenggal korban. Tampak sekali pemahamannya perlu bergeser menjadi” bahwa ide lebih penting ketimbang tokoh. Bukankah sebuah novel bisa pula tanpa tokoh?
Dalam dunia ide, kita sangat percaya bahwa punya hak untuk memperlakukan secara bersama-sama keseluruhan teks, realitas, imajiner, fantasi (realis-surrealis-realisme magis?). Bukankah dari uraian di atas sebelumnya kita sama-sama memiliki akar sehingga kejadian apakah realitas atau imajiner haruslah mengandung arti pentingnya sendiri?
Sampai di sini cukup dimengerti pernyataan Milan Kundera, novel adalah prosa sintetis yang panjang yang didasarkan pada permainan dengan tokoh-tokoh yang diciptakan. Sintetis adalah keinginan novelis untuk memaknai subjeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh—esai, narasi, penggalan otobiografis, dan aliran, fantasi. Kekuatan sintetis novel sanggup mengkombinasikan segala hal ke dalam satu kesatuan tanggal. Tidak harus plot tapi tema.
Hanya saja, lagi-lagi yang meragukan ucapannya adalah ketika Kundera mengungkapkan novel tidak memaksakan apapun. Bahwa novel mencari dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bahwa dia tidak tahu mana tokohnya yang benar. Bahwa cerita dalam novelnya hanya ini berisi konfrontasi tokoh-tokoh karena dengan cara itu dia bisa mengajukan pertanyaan. Katanya, kebijakan novel berasal dari dimilikinya pertanyaan untuk segala hal.
***
KECURIGAAN sebagai pembaca lebih sebagai seorang ilmuwan yang harus menyikapi apriori setiap ilmu pengetahuan dan senantiasa menggugat, menyoal dan mendesak untuk membuktikannya. Namun demikian pembaca akan lebih menerima pernyataan dan pertanyaan Kundera itu sebagai upaya karena ketidakpahaman antara kenyataan dan fiksi atau kesulitan membedakan keduanya akibat terlalu kabur. Kenyataan menjadi fiksi atau fiksi menjadi kenyataan seperti terjadi di negeri ini semisal bagaimana kebutuhan berdusta terjadi dimana-mana. Karena itulah sah mengajukan pertanyaan-pertanyaan (lebih tepatnya gugatan) dengan metafora.
Di sini, lantas sah bila ada yang mempersoalkan realitas di luar teks dengan menyusun teks baru sastra. Boleh jadi “pertanyaan” menjadi sesuatu yang sama sekali baru artinya. Katakanlah ada spirit baru di situ—perjuangan untuk menjaga ingatan masa silam sembari memaknai kekinian demi menatap hari depan. Ada yang menemukan jalan menuju ke sana tidak dalam rupa-rupa persoalan pribadi, melainkan dalam bentuk persoalan ilmu pengetahuan, yakni dengan bahasa lain serupa ingatan kolektif. Meski kematian ide, kelupaan adalah masalah terbesar pribadi manusia, hilangnya masa silam sebagai bangsa, negeri, adalah kematian bersama yang hadir dalam kehidupan. Jadi dengan bahasa mistik: yang membuat kita takut pada kematian bukanlah masa depan tapi masa lalu.
Perihal ini F Budi Hardiman,filusuf dari STF Driyarkara melontarkan pernyataan bahwa sastra yang baik itu yang otonom dan memihak. Otonom dalam arti memiliki demensi rasionalitasnya sendiri yang akan mandul kalau diintervensi system administrasi politis dan manipulasi komersial. Otentitas itu menyangkut kemampuan reflektif karya seni terhadap hubungan pengalaman seniman dan standar nilai yang berlaku.
Dengan kata lain seni otonom itu memikhak para korban patologi modernitas. Sebetulnya Nirwan Dewanto tahun 1991 pernah menyusun konseptual pandangan kebudayaan dengan gemilang, yang sesungguhnya lebih mirip dari gabungan teori ideology John B Thomson dan Sosiologi Pengetahuan dari Peter L Berger yang dikembangkan sebelumnya di sini oleh sastrawan dan budayawan Kuntowijoyo.
Entah mengapa kemudian Nirwan Dewanto justru menjadi juru bicara paling agung dari gerakan postmodernisme di negeri ini yang sudah barang tentu di mataku harus dihadapi dengan kehati-hatian (ingat bila bangsa ini tak jadi lebih bersahaja dengan kebudayaannya, anda juga harus bertanggungjawab, Bung!) Bahkan tahun 2000, masa yang membuka pintu masuk abad 21, dalam sebuah pidato kebudayaannya, sastrawan Cina Gao Xingjian karena meraih hadiah Nobel, menyatakan dengan bahasa yang sangat bias menyebut sastra dingin—sastra yang tak punya kewajiban apa-apa terhadap rakyat jelata dan komunikasi antara penulis dan pembaca adalah komunikasi spiritual—adalah sastra yang akan melarikan diri untuk bertahan hidup, inilah sastra yang menolak untuk dicekik oleh masyarakat dalam pencariannya dalam keselamatan spiritual. Bias yang saya maksudkan karena di satu sisi tak punya kewajiban apa-apa namun di pihak lain menyediakan dirinya jadi sumur gagasan spiritual yang tak lain adalah ajaran Tao-nya.
Ada ruang kosong yang bisa jadi amat berbahaya di antara keduanya. Pertanyaannya: apakah Gao serta merta berubah wajah dirinya seperti Nietzsche yang sulit memahami manusia dari spesies hewan lantaran dorongan kodratnya untuk senantiasa ingin berkuasa? Di situ ada perbedaan mendasar antara kodrat dan fitrah. Bahwa manusia hidup dan hadir di bumi sebagai wakil dari pencipta, menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan tidak untuk yang lain, apalagi untuk terus menjadi korban. Bahwa kebudayaan adalah spirit untuk hidup serta menghidupi semesta. Di sini jelas mana yang menghidupi dan mana yang merusak tatanan kosmos. Dalam untaian kata sucinya, Tuhan tidak marah bila umatnya mengumpat sekalipun ke angkasa, itu bagi yang teraniaya.
Demikianlah, sebagai pribadi, sebagai pengarang dan sebagai ilmuwan, novel lahir karena dorongan kuat dan serangan hebat dalam bagian hidup untuk menyusun ke dalam jalinan kisah. Pendek kata, pengarang tidak mau mati ide. Pengarang harus berani mengakui sebagai manusia lahir cacat oleh pendahulu-pendahulunya. Boleh jadi apa yang dikerjakan sekarang ini telah lebih dulu dilahirkan sastrawan sebelumnya. Sehebat apapun karya sastranya mungkin bukan sesuatu yang benar-benar baru, karena orisinalitas di tengah hiruk pikuk zaman juga kian sulit ditemui dan dicari.
Boleh jadi, karya sastra yang dilahirkan pengarang, jauh lebih hebat dari karya sastrawan terdahulu, Steinback, Jose Rizal, Gorky, Tolstoy, Pasternak, Pramudya, Milan Kundera, apalagi Tahar Ben Jelloun, Naguib Mahfudz, Mishima, Marquez, Borges, Sindhunata, Centini, Mahabarata, Seribu Satu Malam. Dapat dikata karyanya terbarunya adalah sampah. Namun demikian tekad untuk sadar bahwa cukup karyanya sajalah yang cacat dan bukan diri pengarang atau setidaknya ia bisa mengurangi cacat dalam diri yang terbawa sejak lahir. Bayangkan betapa sebuah tragedi besar bakal terjadi bila pengarang tak lahirkan suatu karya. Sudah barangtentu dia cacat sebagai makhluk hidup karena mati ide.
Karena itulah dalam diri pengarang mengalir semacam pemahaman bahwa pengarang tidak percaya dengan karya terbaik. Baginya sebuah karya yang terbaik hanyalah karya yang belum lahir dan masih ada di dalam otak. Artinya, semua sastra itu misterius, tidak mustahil menyimpan niatan buruk, pembodohan, kebohongan, kejujuran di situ sulit dipertanggungjawabkan. Pengarang lebih cepat percaya pada karya sastra itu dibebani setumpuk obsesi, keserakahan, kemabukan, aksi tipu-tipu, target, cita-cita, dendam, gejolak dan sebagainya, keinginan popularitas terselubung penulis.
Tak cuma kepada penulis atau sastrawan lain, bahkan kepada karya sastranya sendiri pun pengarang juga harus menghadapinya dengan sikap apriori. Jadi satu-satunya amanah penulis itu terletak pada kemuliaannya dan kewajibannya untuk saling mengingatkan. Bahwa harus diaakui setelah karya terbarunya, masih ada sekian banyak obsesinya yang belum terwujud. []
*) Penulis adalah pengarang. Sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga (Kelompok Intelektual Asal Lingkungan Jalan Airlangga) Surabaya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar