Rabu, 14 April 2010

Anak Dari Masa Lalu

Ahmad Kekal Hamdani
http://ahmadkekalhamdani.blogspot.com/

kaum gelandangan yang mendengkur pulas seperti
huruf kanji kumal di emper-emper pertokoan cina
tak pernah terjamah tangan-tangan puisi kita
sebab tak mengandung nilai sastra
-Wiji Tukul

*
Tentu saya tidak pernah benar-benar ingat, kapan bermula pertemuan saya dengan sebuah buku. Buku yang kemudian membawa saya entah di alam mana saya pernah hidup. Di atas lembaran-lembaran dengan simbol-simbol aneh itu; sejarah, peristiwa dan tragedi seperti telah menjadi dirinya sendiri. Siapa menyangka, bahwa saya merasa mengenal nenek moyang lewat sebuah buku? Nama-nama kota yang belum pernah saya singgahi, bagaimana orang-orang di dalamnya berinteraksi, ada banyak hal dalam buku, dan tidak mudah menceritakan semua dengan perasaan gembira atau miris-perih terhadap itu semua. Tentu kau boleh tersenyum kecut, pun tiba-tiba memelukku! Seperti kita pernah dibesarkan dari aksara dan paragraf yang sama, sebuah sepatu boat, palu-arit, kaligrafi bertuliskan Allah, dan sepuntung rokok yang padam nyalanya.

Namun, setelah beberapa tahun saja saya berdiam di Yogyakarta, dengan akses buku-buku dan informasi yang deras mendera. Tiba-tiba saya semacam mual intuitif, kepekaan saya tiba-tiba tergantikan oleh data-data dan angka-angka yang busuk. Mulanya, mungkin karena tidak terbiasa. Tapi mengapa saya selau merasa mengidap rasa haus dan kelaparan yang tak wajar, perut saya terus saja memuntahkan segalanya. Dan sialnya, di sinilah letak kelebihan –bila tak mau dikatakan kekurangan- dari sebuah kota besar dengan tingkat penduduk yang padat, begitu banyak dengan pabrik-pabrik yang terus saja mendaur ulang buku-buku, membakarnya kembali dalam diskusi dan forum-forum yang ganjil, yang memiliki pintu dan jendela. Buku-buku itu semacam membawa sebuah pesta besar yang tidak pernah selesai dari masa lalu. Yang riuh, dan tidak saya temukan ketenangan di dalamnya.

Bila bumi ini memiliki dua buah kutub, utara dan selatan. Maka sebuah buku juga memiliki sebuah kutub, yakni timur dan barat. Buku terkadang memang membuat saya tahu tentang masa lalu, namun demikian ia juga tidak membantu saya bekerja untuk masa depan. Ia (buku) adalah ruang isolasi yang mempunyai elastisitas tersendiri dalam membangun wacana dan kenangan-kenangan dalam bentuk teks dan bagan-bagan yang rumit. Saya jadi berpikir, mengapa di negeri ini dipenuhi dengan pabrik-pabrik yang kotor dan jorok, sebab setiap waktu kita hanya melahirkan sarjana-sarjana yang mengkonsumsi buku tetapi tidak dapat keluar dari teks, sembari terus saja megikuti jargon sarjana filsuf barat –Derrida- yang mengatakan segala sesuatu ada di dalam teks! Sungguh, ini pertama kali saya merasa menyesal memasuki studi filsafat dan hanya terperangkap dengan buku-buku. Saya pun, tiba-tiba ingin mengingkari diri saya sendiri, yakni sebagai penyair yang menganggap teks sebagai jagad raya, tempat segala-galanya hidup! Saya ingin menulis dengan melebamkan ‘daging’, dan sesekali mengucurkan ‘darah’. Daripada slogan Derrida yang mengatakan “tak ada apa-apa kecuali teks” saya lebih memilih kata “hanya ada satu kata, lawan!” milik Wiji Tukul.

Ketika modernisme meletus di barat, orang-orang latah berlari ke barat. Ketika Posmodernisme juga menyala di barat, orang-orang juga kembali latah ikut-ikutan ‘ancur-ancuran’. Ada juga sebagian yang tenggelam dalam kemegahan imperium raja-raja masa lalu, kejayaan-kejayaan Islam dan lain sebagainya. Siapakah yang paling berjasa dalam hal ini, adalah buku. Adalah masa lalu yang melompat ke masa kini secara sepotong-potong dan sporadis. Bila Guevara mengatakan tidak ada kata menunggu dalam ‘revolusi’, sebab realitas memang selalu berubah, sebelum kau selesai berucap masa kini, kekinian tiba-tiba telah menjadi begitu tua rautnya. Bila filsuf dekonstruksionis menyamakan realitas dengan sebuah teks, bagi saya realitas memiliki perbedaan yang tajam dengan teks. Sebuah metafor, sampai kapanpun hanyalah menjadi dirinya sendiri yang berbeda dengan realitas objeknya.
**

Ada sebuah ruang pribadi yang tiba-tiba hendak menggelembung menjadi ruang sosial. Ada suara-suara dari masa lalu yang datang bertubi-tubi ke masa kini. Kekinian lantas menjadi absance karna dilapisi oleh melankolia sejarah dan utopia-utopia masa depan. Diri pribadi akan menjadi terbekap bila masa lalu dan masa depan menguasai kekiniannya, menjadi sebuah paradigma yang blong, dan luput dari kekinian. Semacam kampung halaman yang selalu mengikuti kemana pengembara pergi, kampung halaman yang dibikin dari masa lalu yang gemetar dan masa depan yang cemas. Itu sebabnya, sebagaimana manusia, harus mengatasi kenangannya. Manusia memang sebuah persimpangan, menjadi tempat telikung kesadaran-kesadaran alam yang hidup langgeng dari masa lampau ke masa depan yang tak ada. Menulis puisi adalah menjadi saat ini, di bumi ini.

Secara fitrah, dapatkah manusia lari dari kenangannya? Lari dari bayang-bayang yang dibiaskan cahaya di lekatnya? Manusia, hidup bersama kenangan bukan? Ia menjadi dirinya seperti apa yang ia kenang tentang dirinya! manusia membawa beban masa lalu dan mimpi masa depan yang bisa saja sangat sporadis dan tiba-tiba. Dengan itu, pertahanan manusia bukan persoalan bagaimana ia menerima ingatan, akan tetapi bagaimana ia mengatasi dan melampauinya. Manusia selain juga sebagai makhluk yang berpikir, yang bermain, yang bersaing dengan sesama, ia juga makluk yang mengingat dan melupa! Dalam hal ini, manusia terkadang hanyalah alat tampung kenangan-kenangan, sebuah lorong transmisi gelak tawa dan alir air mata.

Manusia Indonesia belum lepas dari politik segmentasi yang diciptakan oleh kolonialisme. Sebuah pembayangan yang menjurus pada pembentukan dan penetapan (fixity) tentang bagaimana barat menyuntikkan imajinasi itu ke dalam pikiran kita. Itu sebabnya, banyak dari karya sastra hanya adalah melankolia dari keperihan-keperihan itu, termasuk puisi-puisi saya yang justru saya sadari ketika ia menjadi antologi seperti sekarang ini “Rembulan di Taman Kabaret”. Apakah ini sebuah kesalahan? tentu saya tidak dapat melegitimasinya begitu saja. Ingatan-ingatan traumatik memang tidak bisa lenyap begitu saja, ia membutuhkan semacam trapi psikis akan sejarah ke-Indonesia-an yang lebih jujur. Saya merasa hidup di masa kini yang terus berlari dan tidak terpegang, sebuah konstelasi kejadian yang surup ke ke-terlampau-an.

Dan ketika senja berangkat, batin saya seperti merasai bahwa saya lahir dari generasi yang hilang. Masa kini, tidak kalah asingnya dari masa lalu yang saya temui di buku-buku, dalam catatan dan ceritera yang ditiupkan angin ke kisi-kisi ingatan. Merubah kehidupan, melampaui sejarah dan kenangan-kenangan tidak cukup dengan hanya menulis puisi, tetapi tenggelam di dalamnya, dalam hidup yang estetik dan tragik. Saya ingin menutup catatan ini dengan sebuah bait dari Pope’s Odissey yang juga dikutip oleh Ivanhoe dalam novel klasik ‘Sir Walter Scott’:

begitulah mereka bicara; dan ke kolong kubahnya yang hina
babi-babi kenyang itu pun pulang bersama petang.
ke kandang, dengan terpaksa, dengan enggan,
ditingkah pekik riuh rendah, pekik tak sedap

Yogyakarta, 2010
***

Keterangan: Disampaikan dalam diskusi dan bedah buku “Rembulan di Taman Kabaret” di UNIJOYO 2010.

Menuju Kematian yang Puitis

Misbahus Surur*
http://www.lampungpost.com/

Manusia jamaknya memang selalu merasa alergi saat berhadapan dengan ihwal kematian. Seolah kematian terus-menerus mengeram dalam ceruk kekhawatiran.

KEDATANGAN maut adalah ujung bagi waktu yang membeku, juga seperti lupa yang merenggut ingatan kita. Maut menderu-deru seperti angin, menjerit di pori-pori nyawa. Berburu waktu dengan manusia, meski akhirnya ia menyeringai di depan dengan genggaman temali kepastian. Maut bagai kutukan yang merangsek ke dalam hidup, berselubung misteri dan teka-teki. Dan Tuhan sengaja tak memberi manusia porsi pengetahuan yang memadai untuk mengungkapnya. Manusia hanya terus diiming-iming, bahwa saatnya nanti ia akan bertemu ajal. Meski ingatan perihal itu tak kunjung membikin manusia takluk.

Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar dalam sajak Derai-derai Cemara. Kekalahan yang boleh jadi tersirat di pikiran Chairil saat itu sebagai ketakutan manusia akan tibanya ajal/mati. Sebuah kekalahan telak, karena tak ada ruang di mana manusia dapat melawan atau lari menyingkir. Namun, seorang Chairil agaknya masih berusaha memanfaatkan hidupnya meski manusia akan kalah juga. “Hanya ada satu hal yang nyata, kematian,” kata Najib Mahfud. Kendati ia bukan sebuah kenyataan yang memastikan diri dalam ruang dan waktu yang presisi; karena manusia tak pernah tahu kapan, sebab, dan di mananya. Maka, kita adalah kematian dan anak dari kematian, tambah Mahfud, pada salah satu halaman novel Aulad Haratina.

Kalau kita cermati, akhir-akhir ini, kian jarang orang yang berpikir perihal (ke)mati(an). Alih-alih sekadar krentek dalam pikiran, berkelebat dalam benak saja tidak. Seolah kematian menjadi barang yang terlalu mewah untuk dipikir-renungkan. Kondisi seperti itu, membikin pemaknaannya menjadi dangkal, nirpenghayatan dan jarang sekali diingat-ingat. Apalagi saat-saat sekarang, perkembangan teknologi mutakhir kian memberi dampak serius bagi terenggutnya nilai kesadaran, spiritualitas dan penghayatan. Kehidupan yang serbacepat berakibat turunnya penghayatan manusia akan makna kehidupan. Di sisi lain, sains modern dengan meminjam tangan ilmu biologi, kedokteran, dan keilmuan medis lainnya, tak kalah kuasa mereduksi esensi kematian. Bahkan, saat ini, dominasi besar-besaran paradigma saintifik ke dalam tubuh pengetahuan modern, kerap memiuhkan makna kematian. Akibatnya, makna kematian menjadi dangkal, terkapar dalam simplifikasi. Bahkan ia tak lagi menjadi pengalaman yang menggetarkan hati, tetapi sekadar fragmen kehidupan yang biasa.

Pelibatan ilmu pengetahuan dengan mendayagunakan pengalaman langsung; mencicipi detail lekuk kematian, menyelam dalam denyutnya yang abstrak, kian jarang. Lapisan kesadaran manusia modern gersang tergusur habitus mereka yang absurd. Dulu saat humanitas hanya didudukkan sebagai yang pasif, beberapa filsuf, seperti Kierkegaard, Husserl, juga Hiedegger, pernah menyerukan kembalinya eksistensi manusia beserta segenap keunikannya. Kierkegaard, misalnya, memahkotai humanisme dengan segala makna dan perantinya; hidup-mati, bahagia-sengsara, juga soal kebebasan, yang kemudian memuncak pada dimensi diri dan spritualitas kehidupan. Menurut Kierkegaard, ketika apa yang paling dekat dengan manusia itu (baca: kematian) makin tak dikenali, maka eksistensi manusia perlahan-lahan menjadi redup dan suram.
***

Sungguh memang maut amat misterius. Kemisteriusan itu bukan karena diri kematian itu, melainkan karena tak pernah ada manusia yang mampu mengetahui kedatangannya. Ia hampir selalu datang mendadak, tak pernah berikat janji ataupun kontrak yang serbapasti. Mendiang Chairil Anwar misalnya, pernah menyinggung perihal ajal dalam sajak Yang Terampas dan Yang Putus: Di karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru angin// Aku berbenah dalam kamar// Dalam diriku jika kau datang// Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu// Tapi hanya tangan yang bergerak lantang. Sajak ini adalah sajak kelam nan muram untuk menyambut derap kematian saat dirasa makin dekat. Kematian yang ditakzimi Chairil dengan ikhtiar melawan. Meski bekal dan persiapan bisa jadi belum matang. Atau taruhlah gegap kematian yang ditebar Pramudya Ananta Toer dalam novel Bukan Pasar Malam : “…Detik demi detik lenyap ditelan malam. Dan dengan tiada terasa umur manusia pun lenyap sedetik demi sedetik ditelan malam dan siang ….Di mana pun juga dia menampakkan dirinya. Di mana pun juga dia menyerbu ke dalam kepala dan dada manusia…” Kemudian diteruskan lewat aforisme lain yang padat nan serasa lebih menyentak, “… dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” Sebuah parafrase, yang seakan terpacak rapi dalam pikiran Pram untuk senantiasa memprotes peran manusia yang kadang dikerdilkan dirinya sendiri; sekadar menjalani hidup dan kemudian menerima begitu saja takdir kematiannya.

Chairil, Pram, juga Mahfud adalah orang-orang yang sanggup menyambut kematian. Tapi mereka bukan manusia yang tak gentar terhadap maut. Mereka hanya punya langkah tepat untuk menghadapi kematian, bahkan ikhtiar melawannya. Tentu saja saat kehidupan menjadi nirmakna dan tak seyogianya, jalan satu-satunya bukankah hanya dengan bekal melawan. Pada titik ini, agaknya mereka menginsafi kematian sebanding dengan menghargai kehidupan; kehidupan yang didedikasikan secara penuh seluruh pada kemanusiaan. Tersebab itu, mereka melawan berbekal keberanian, meski akhinya akan (di)tiada(kan). Mereka sadar, bahwa ketiadaan itulah kebenaran sesungguhnya. Dan kesiapan untuk ditiadakan adalah langkah satu-satunya menyambut keberanian hidup yang tanpa konformitas.

Sebab itu, pada batas tertentu mereka bukanlah barisan manusia kalah. Barangkali keyakinan mereka sebagaimana pemerian Paul Tillich: “Keberanian adalah peng-iya-an dan afirmasi diri ketika kita tidak ber-ada.” Maka, ketiadaan/ kematian akhirnya mereka sambut bukan sebagai afirmasi atas kegentaran terhadap mati, melainkan hanya sebagai satu-satunya langkah sublim menyambut ketiadaan. Mereka seperti orang-orang bebas lainnya, betapa mereka memandang hidup itu bukan hal-hal biasa dan sewajarnya. Kehidupan kadang menjelma bak sebujur jasad sakit yang diluberi limpahan anakronisme; dusta, rekayasa, juga euforia di sekujurnya, di mana kebebasan harus selalu diperjuangkan. Untuk itu, hidup bagi mereka bukan irama harian yang melenggang tenang, melainkan jalan berliku penuh kerikil dan kegelisahan. Siapa berani menantang hidup, harus berani menenteng kematiannya. “Berani hidup tak takut mati, takut hidup mati saja”. Begitulah mungkin aforisma orang bijak yang pantas untuk mereka. Frase ini terasa subtil untuk menyambut tibanya ajal, terlebih saat kematian berbalik menggentarkan. Sekali berarti, sudah itu mati, tegas Chairil.

Kematian memang akhir dari pergulatan hidup. Ending dari drama kehidupan manusia. Tapi bagi Chairil, Pram, juga Mahfud kehidupan yang tunai oleh buah kemanusiaan yang telah disepuh dengan berbagai lembar kisah tragis kehidupan itu, dengan beberapa episode yang berlalu silih berganti, bukanlah akhir yang berkesudahan. Ia tak harus ditangisi dan dirutuki sedih. Biarlah ia lari ke uzurnya, karena memang tak ada guna untuk digerutui. Seperti kata Chairil: kalau sampai waktuku, ku mau tak seorang kan merayu. Karena, sebagai “binatang jalang”, ia ingin tetap meradang menerjang, tanpa rayuan apalagi sedu sedan.
***

Ingat akan mati mungkin memang satu-satunya jalan adiluhung saat perjalanan manusia di dunia ini didapati hanya melacurkan diri dalam dusta-dusta peradaban, kebudayaan, kesejarahan, dan seterusnya yang ujung-ujungnya mendustai dirinya sendiri sebagai makhluk Tuhan yang hakikatnya dibekali beban sekaligus amanah besar (khalifatullah fi al-ardh) menjaga kosmik tetap lestari dan seimbang. Pada tahap ini, ada beberapa momen berharga yang patut dibentangkan dalam gelaran peristiwa kelahiran sekaligus perkabungan manusia -mengutip kata hukama’ (ahli hikmah): “jadikanlah kelahiranmu dipenuhi derai senyum kegembiraan yang mengembang. Dan kelak, saat tiba ajal kematianmu, jadikanlah manusia yang menghadirinya semata berkeinginan merayakan bersama ratap tangis, sembari tak putus-putus mengingat jasa-jasa yang kau toreh pada sejarah hidupmu”. Bisa jadi, inilah kredo puitis bagi yang hidup hendak bersiap mati. Wallahu ‘alam

*) Peminat sastra, mahasiswa S-2 UIN Maliki, Malang.

Rekam Jejak Sastra Indonesia

Judul Buku: Seratus Buku Sastra Indonesia Yang Perlu Dibaca Sebelum Dikuburkan
Penulis: An. Ismanto, Anna Elfira, AR Fiana, As’adi Muhammad, Burhan Fanani, FF Armadita, Fairuzul Mumtaz, Lukmanul Hakim, Minan Nuri Rahman, Mindiptono Akbar, M. Fahmi Amrulloh, Mujibur Rohman, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Ridwan Munawwar, Wahmuji.
Editor: An. Ismanto
Penerbit: I:BOEKOE
Tahun: 2009
Tebal: 1001 hlm
Peresensi: Fuad Anshori*
http://www.surabayapost.co.id/

Kita mengenal banyak karya sastra. Ada banyak karya sastra melegenda di dunia. Kita kenal karya Williams Shakespeare, Leo Tolstoy, Virginia Woolf, dan lain sebagainya. Akan tetapi seringkali kita sangat mengenal siapa para sastrawan Barat, dan kita sendiri terkadang mengabaikan tentang perkembangan karya sastra Indonesia sendiri.

Dunia sastra Indonesia telah menghasilkan beragam karya yang nyaris tak terhitung jumlahnya, baik karya sastra yang termasuk dalam kategori bermutu hingga yang terkesan picisan. Penerbit Indonesia Buku (I:BOEKOE), mencoba memetakan karya-karya sastra hasil cipta anak negeri yang dianggap layak harus dibaca, dengan meluncurkan buku tebal berjudul Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan.

Buku ini pada dasarnya tak bermaksud mengajukan suatu daftar ”buku-buku terbaik” ataupun ”buku-buku terpenting”. Akan tetapi, buku ini bertujuan untuk menemui buku-buku karya sastra yang punya pengaruh besar dalam membangun pilar-pilar utama Pax Literaria Indonesia. Dalam dunia sastra sendiri, pengaruh semacam itu bukan hanya akan terasa di lapangan bahasa dan sastra belaka.

Seratus buku pilihan dalam buku ini merupakan pilihan dari ratusan buku sastra Indonesia yang pernah terbit sejak awal abad ke- 20 hingga kini. Dengan ketebalan 1001 halaman, kiranya bisa menjadi rujukan sudah sejauh mana perjalanan karya sastra Indonesia dalam rentang seratus tahun. Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan ditulis oleh 10 orang dari Tim Sastra Indonesia Buku dan membutuhkan waktu selama 2 tahun untuk riset dan penulisan.

Keseratus buku sastra dalam buku ini disajikan secara urut berdasarkan tahun, mulai dari yang tertua (1919) sampai yang paling muda (2005). Dan ditulis oleh para penulis muda yang rata-rata berumur 25 tahun. Buku ini merangkum semua gejala sastra Indonesia yang pernah ada dan terdokumentasikan dalam bentuk buku.

Keseratus buku yang terpilih disajikan secara urut berdasarkan tahun, mulai dari yang tertua, yakni dengan patokan Student Hijo karya Mas Marco Kartodikromo (1919), hingga yang termuda yaitu karya fenomenal Andrea Hirata, Laskar Pelangi (2005).

Memang tak melulu novel, roman atau pun kumpulan cerpen. Ada juga kumpulan puisi, esai, catatan perjalanan, naskah drama, dan karya sastra lainnya yang berhasil dihimpun oleh tim dari Indonesia Buku atau Iboekoe. Iboekoe merupakan lembaga riset dan kini bergerak juga di bidang penerbitan dan toko buku yang bermarkas di Yogyakarta, mencatat seratus karya sastra nusantara yang paling berpengaruh dari tahun 1919-2005.

Tentu saja tak asal pilih atau atas titipan penerbit lain, namun lewat penelitian yang dilakukan oleh sejumlah budayawan serta sastrawan. Buku berjudul Seratus Buku Sastra yang Patut Dibaca Sebelum Dikuburkan sudah diluncurkan sejak enam bulan lalu dan dicetak dalam jumlah terbatas.

Kendati penyusunan review-review buku itu berdasar kesepakatan dengan para budayawan dan sastrawan, toh diakui Nurul masih ada juga unsur subjektifitas penulis di dalamnya. Yang pasti, penerbitan buku tersebut bertujuan untuk menemukan buku-buku karya sastra yang punya pengaruh besar dalam membangun pilar-pilar utama literasi Indonesia.

Kendati demikian, buku-buku tersebut dipilih tanpa begitu mementingkan periodisasi yang telah “baku” maupun “siapa pengarang” yang telah menciptakan karya. Nmaun memang tidak ada cara membicarakan sastra yang `ilmiah` namun paling tidak dengan cara ini telah dibuka suatu ruang dialog untuk bertegur sapa dengan sang karya dan juga dengan penilaian yang beragam atasnya.

Meski demikian, tentunya buku juga tak bisa lepas dari kritik, terutama sekali diikutkannya sekitar 10 buku yang bergenre seperti Cintapucino, cerita-cerita silat, Karmila, dan komik. Mestinya ada buku sendiri untuk mengungkap fenomena itu. Namun, esais yang juga menyuntuki lakon sebagai penyair muda ini menganggap buku yang serupa taman bunga-bunga ini bisa menjadi rujukan bagi mereka yang ingin melihat secara utuh perkembangan karya sastra di Indonesia.

Ada juga beberapa buku yang berpengaruh untuk kalangan tertentu, itu saja tanpa diketahui khalayak yang lebih luas. Namun kita ketahui sebenarnya lebih banyak lagi buku yang pengaruhnya meloncati batas kalangan. Terkadang sebuah buku ditolak masyarakat karna karya sastra karena itu tidak ”menggoncang” kesusastraan Indonesia. ”Goncangan” itu dapat timbul akibat daya yang kokoh yang dimilikinya sebagai karya sastra.

Sebuah karya bagaimanapun sastra memang mililiki strukturnya sendiri sehingga ia dapat berdiri sendirian dan menjumpai pembaca, lantas membikin ”goncangan nurani” si pembaca. Buku itu sendiriharus mampu bertahan di hadapan pisau ananlisis kritikus sastra dan pakar kesusatraan yang kredibeol. Selain itu ia juga harus mampu memancing pembicaraan atau perdebatan yang luas di kalangan kesusastraan dan boleh jadi juga di kalangan masyarakat yang lebih luas.

Selain itu, buku tersebut juga tidak disisihkan bila memberikan pengaruh juga terhadap situasi masyarakat secara umum, baik secara langsung maupun tidak. Setidaknya memberi pengaruh kepada masyarakat ketika buku itu masuk dalam sejarah sastra ”resmi”, artinya masuk ke dalam kurikulum pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang diajarkan di sekolah.

Tetapi, akan diutamakan buku-buku yang memiliki ”alamat” dalam kehidupan sehari-hari, seperti misalnya Siti Nurbaya yang sering dirujuk orang ketika berbicara tentang kawin paksa. Selain itu, sebuah buku akan awet jika punya pengaruh yang nyata terhadap atau dalam kehidupan masyarakat walaupun tidak ”diakui” oleh kurikulum resmi, misalnya diminati masyarakat sehingga laris dalam penjualan atau membuka perspektif ”yang lain” dalam memandang isi ceritanya.

Sebelumnya, I:Boekoe telah menerbitkan buku Seabad Pers Kebangsaan, berdasarkan riset pada 300 koran yang terbit sejak 1908. Juga kronik yang baru disusun menjadi dua buku, berdasarkan periode 1908-1913 dan 1913-1917.

*) Pecinta Buku Sastra tinggal di Nganjuk.

Perempuan yang Mematahkan Nasib

Mustofa W. Hasyim
http://www.jawapos.co.id/

MANUSIA memerlukan impian. Yaitu, imajinasi tentang masa depan. Mengapa? Sebab, impian adalah ruang bagi hadir dan berbiaknya benih harapan. Makin lebar dan luas ruang impian, makin mudah bagi seseorang membiakkan harapannya dan makin mudah baginya untuk menjelajahi masa depan. Imajinasi masa depan dapat menjadi tampak lebih nyata dan tidak samar-samar lagi. Dengan demikian, ini bisa menjadi rujukan manusia dalam melangkahkan hidupnya.

Dalam sebuah kisah sukses, tokoh sekaliber Mas Agung, ketika menjadi pedagang kecil, di rumahnya dia sudah menyimpan maket toko besar. Maket toko besar yang menjadi wujud impiannya itu tiap hari dia tatap mantap-mantap dan dia yakin-yakinkan kepada dirinya bahwa suatu hari akan menjadi kenyataan. Betul, dia mampu mewujudkan impiannya dan mampu membiakkan harapannya menjadi sesuatu yang secara nyata dapat dia rasakan sebagai sukses hidup itu.

Bayangkan jika manusia tidak memiliki atau tidak mampu membangun impiannya. Dia akan terperangkap, bahkan terpenjara dalam kenyataan sehari-hari. Dia akan mirip binatang yang terperosok ke dalam perigi atau sumur dalam. Dia tidak mampu lagi melihat luasnya cakrawala dan langit pun hanya tampak sepotong lingkaran yang sempit. Selama-lamanya, sampai akhir hayat akan tetap berada di situ. Mata rantai nasib buruk pun menjeratnya sampai di ujung waktu. Mata rantai nasib buruk yang merupakan wujud negatif dari imajinasi kenyataan hari ini bisa menjangkau ke masa depan yang gelap manakala dibiarkan berkuasa dan menindas manusia tanpa ampun.

Salah satu energi dahsyat yang luar biasa, yang tersembunyi di balik hadirnya impian adalah kemampuannya untuk memutus dan mematahkan mata rantai nasib buruk itu. Ini dapat dilihat dari kisah Nur, tokoh dalam novel yang diadaptasi dari sebuah film dengan judul yang sama ini. Nur punya ibu bernama Sekar yang pernah punya suami bernama Prakosa yang kerjaannya menyakiti perempuan sampai akhirnya bercerai. Lalu, Sekar punya ibu bernama Murni dan ayah bernama Susilo.

Kakek Nur suatu hari meninggal tertimpa reruntuhan tanah ketika menggali bahan gerabah di desanya. Nenek Nur bekerja di sebuah pabrik keramik dan ditindas oleh juragannya. Ibu Nur, Sekar, kemudian mengajak anak semata wayangnya tersebut ke kota.

Mata rantai nasib buruk yang tergelar sejak kakek dan neneknya itu pasti akan terus membelenggu Nur selama hidup jika dia hanya pasrah. Pasrah menjadi anak seorang perempuan tukang cuci belaka. Tetapi, Nur tidak demikian. Dia membangun impian. Ibunya juga membimbing agar impian itu tidak rapuh dihajar oleh kemalangan demi kemalangan. Termasuk, ketika suatu hari ibu Nur sakit parah, terkena kanker getah bening sehingga harus dioperasi.

Nur yang sedang senang-senangnya kuliah terpaksa cuti kuliah. Untuk membiayai operasi ibunya, Nur terpaksa berutang kepada Pak Roni, lintah darat yang ternyata merangkap lelaki begundal. Suatu hari Pak Roni nyaris memperkosa Nur. Selain itu, Nur terpaksa menggadaikan kalung pemberian neneknya untuk membiayai operasi ibunya.

Semua seperti buntu. Nur mencoba mencari kerja. Dia pernah terkecoh temannya. Dia dicarikan kerja di tempat hiburan. Untung, dia selalu dapat membela kehormatan dirinya. Karena tidak tahan, dia keluar dari tempat hiburan itu. Akibatnya, Nur kembali berhadapan dengan masalah yang makin membuat hidup terasa makin pahit. Uang untuk kuliah belum tersedia, utang belum terlunasi. Untung, setelah sembuh, ibu Nur bisa melanjutkan kerja dengan membuka kembali jasa laundry di kampung.

Di kampung tempat tinggal Nur, terdapat terminal nasib, di mana banyak orang terdampar di situ ketika malam. Yaitu, sebuah kedai minum bernama Kedai Madrim. Di tempat itu, hadir bermacam-macam manusia. Para pecundang nasib yang biasa menggantang asap alias bermimpi, tetapi mimpi yang tidak produktif karena hanya menghasilkan bualan demi bualan kosong belaka.

Tetapi, di tempat itu pula ada manusia yang memilih menjadi pemenang kehidupan karena dia berani membangun impian yang produktif. Impian yang membangkitkan semangat untuk bekerja keras. Salah satu di antaranya adalah lelaki muda bernama Dian.

Nur berkenalan dengan Dian. Lewat pertengkaran dan salah paham yang lumayan beriku-liku, mereka kian dekat. Apalagi, Dianlah yang pernah menolong Nur ketika ibunya sakit dan dioperasi. Lelaki tersebut meminjami uang dan Nur menyerahkan kalung pemberian neneknya untuk jaminan.

Ibu Nur, ketika kecil pernah punya impian membangun istana untuk kehidupannya. Nur tahu itu. Dia punya cita-cita luhur untuk membahagiakan ibunya. Dengan membangun impian, hidup sukses lewat kerja keras. Tetapi, memang tidak mudah mewujudkan impian semacam itu.

Di sinilah kelebihan novel ini. Detik demi detik, proses demi proses, dan penderitaan demi penderitaan sebagai bagian tak terpisahkan untuk menebus impian itu diracik lewat adegan demi adegan yang menegangkan. Muncul begitu banyak bumbu jenaka di sana-sini. Abidah mampu menghadirkan novel gaul ini pas dengan bahasa dan plesetan anak muda zaman sekarang.

Hidup memang serius, impian memang serius, dan harapan bukan masalah sepele. Tetapi, untuk memasuki hidup, menebus mimpi, dan mewujudkan harapan, caranya tidak perlu dengan full speed atau full stress. Ibarat menyetir mobil, agar tujuan tercapai, pengemudi harus piawai memainkan gas, rem, dan setir itu sendiri. Sekali-sekali membunyikan klakson dan mendengarkan lagu Koes Plus atau lagu campur sari penyedap kuping.

Nur pun hadir dalam suasana yang seperti itu. Inilah yang justru kemudian mendewasakan dirinya. Pengalaman demi pengalaman hidup yang mendebarkan, mencemaskan, bermain silih berganti dengan pengalaman manis. Selain itu, banyak tanjakan duka menghadang jalan hidupnya. Sebagai perempuan, dia ditempa oleh semua itu. Tanpa sadar, dia mampu membangun jiwanya, membangun pribadinya menjadi perempuan kokoh.

Lantas, di mana Nur menemukan sumber energi untuk mematahkan mata rantai nasib buruk itu? Doa ibu, jelas. Harapan nenek yang muncul dalam simbol kalung juga jelas. Bacaan tentang surat-surat Kartini, nah ini yang penting. Ia mampu memompa semangat Nur karena dia suka membaca buku. Termasuk, surat-surat Kartini yang dia rasakan inspiratif. Juga cinta. Benarkah? Benarkah dia kemudian mampu menjalin hubungan cinta dengan Dian, lalu keduanya bersama-sama melaju ke perahu sukses sampai ke balik cakrawala nasib? (*)

Judul Buku: Menebus Impian
Penulis: Abidah El Khaliqy
Penerbit: Qalbiymedia (Q-Med), Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: viii+ 304 halaman
*) Penyair tinggal di Jogjakarta.

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi