Pramoedya Ananta Toer
http://www.facebook.com/note.php?note_id=420427119697
Multatuli? Ya, kapan nama itu pernah kudengar? Jauh di masa lewat. Semasa tapi kombinasi bunyi dalam namanya membuat aku terus teringat. Soalnya bukan sekali-dua disebut-sebut di rumah oleh para pemuda yang sering datang berkumpul, bermain, dan berdiskusi. Lebih dari namanya yang aneh aku tak tahu sesuatu.
Di rumah kami terdapat perpustakaan yang cukup besar, untuk ukuran kota kecil, dalam keadaan tak terawat, bahkan selalu berantakan. Ayahku, seorang pemilik akte untuk mengajar bahasa Belanda tingkat sekolah rendah, suka memborong buku dan majalah dari rumah para pejabat Belanda yang dilelang barang-barangnya menghadapi kepindahan. Dia tidak pernah mendongeng padaku tentang Multatuli, biar pun dalam perpustakaan terdapat beberapa jilid karyanya. Ibuku, yang menelan buku Belanda dan Melayu - ia tidak membaca Jawa - juga tidak pernah.
Awal tahun 1930-an rumah kami menjadi pusat kegiatan para nasionalis kiri non koperator. Para pemuda yang berbakat melukis mulai membikin lukisan dengan cat, dijajarkan sepanjang dinding rumah. Setiap di antara kanak-kanak dapat membaca nama-nama di bawahnya: Rasuna Said, Diponegoro, Alibasah Sentot Prawirodirjo, Soekarno, Sartono, Gatot Mangkupraja, Iwa Kusumasumantri, Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo.
Tapi Multatuli? Tidak melalui lukisan, juga tidak melalui dongengan di rumah. Di tempat lain aku diperkenalkan kepadanya. Masih awal tahun 1930-an itu, KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) tempat kami mengangkat aku jadi wakil ketua regu nomor kesekian. Bukan karena ada prestasiku dalam kepanduan. Hanya karena ayahku seorang tetua KBI yang dengan beberapa orang lainnya, dalam suatu malam api unggun telah melakukan sumpah sambil memegangi ujung sang merah-putih. Atau hanya karena ayahku seorang non-koperator sejak 1923.
Sebagai wakil kepala regu setiap Rabu sore kami harus berkumpul di suatu ruangan sekolah Budi Utomo untuk mendapat bimbingan. Didongengkan tentang riwayat gambar-gambar di rumah. Ditambah dua nama lagi: S.K. Trimurti, yang juga sering diceritakan oleh ibuku. Dan: Multatuli. Begitu tahu orang yang bernama Multatuli itu orang Belanda dan pejabat tinggi pangreh praja pula aku terperangah dan mengambil sikap. Tidak lagi sebagai anak didik yang patah, sudah jadi opposan. Ya, sebelum lagi aku dilahirkan udara rumah kami telah dibuntingi oleh kebencian terhadap penjajahan. Segala yang buruk, keji, biadab, berasal dari penjajahan. Belandalah wakil penjajahan itu. Secara langsung atau tidak orangtuaku mengajar kami membencinya. Kami muak pada serdadu kolonial, kami jijik terhadap polisinya, dan kami memandang rendah pegawai-negerinya.
Mana mungkin ada orang Belanda yang baik? Beberapa kali kulihat sendiri seorang polisi Belanda menendangi para penjual dan bakulnya yang menjual barang-barangnya di luar pasar. Hanya karena menghindari pajak pasar. Berapa harga dagangannya? Paling banyak senilai duapuluh lima sen. Dendam itu kamilepaskan berdua waktu memapasi seorang agen polisi yang masih muda berkendara sepeda seorang diri di jalanan senyap siang hari. Berdua kami melemparinya dengan batu dan menyumpahi: anjing! khianat! kemudian hambur melarikan diri menuruni jalan kecil tebing sungai yang tak mungkin bisa tersusul dengan sepedanya.
Pada hari-hari tertentu serombongan polisi lapangan (veld-politie) dengan bedilnya melalui depan rumah kami untuk pergi ke luar kota latihan menembak. Sudah kutaksir pohon kapok tetangga untuk memasang ujung tali. Bila rombongan polisi lapangan lewat, ujung tali dari seberang jalan akan kutarik. Mereka akan melanggarnya dan akan jatuh susun-tindih bergelimpangan. Sayang mereka hanya berangkat pagi bila latihan, tak pernah malam. Rencana itu tak pernah terlaksana.
Pernah kusaksikan sendiri seorang mantri polisi datang ke sekolah dan merampas buku-buku karangan ayahku. Pernah kulihat sendiri bagaimana pegawai-pegawai pajak mengangkuti perabot rumah yang terbagus dari rumah kami, sehingga yang tinggal hanya barang-barang buruk dan perasaan tersinggung telah dipermalukan di depan umum.
Semua sumbernya tak lain dari kekuasaan Belanda. Mulatuli? Orang Belanda? Dia takkan lebih dari yang lain-lain. Dan tidak lain dari ayahku sendiri yang di sekolah menceritakan bagaimana Diponegoro ditipu oleh Jendral de Kock, diundang berunding, tapi kenyataannya ditangkap dan dibuang.
Hari-hari riuh itu padam. Tak ada lukisan-lukisan, tak ada nyanyian mengagungkan Indonesia Raya, tak ada suara bersama menyambut terbitnya bangsa baru di timur. Apalagi Multatuli. Tak ada yang menyebut-nyebutnya lagi.
Dalam perayaan tahunan sekolahan sekarang muncul hanya satu lukisan: Pak Tom. Dr. Soetomo. Ya, sekolahan kami memang didirikan olehnya pada 1918, ia meninggalkan bangunan dua kelas sebelum dikembangkan oleh ayahku menjadi 7 kelas. Dalam tahun-tahun tenang itu, aku sudah duduk di kelas 6, beberapa guru tertentu memberikan pengetahuan umum ekstra kurikuler di sore hari. Di antaranya tentang Multatuli. Tentu saja tentang peristiwa Lebak. Tentu sajatentang Saija dan Adinda. Sementara itu sejumlah orang muda di kota kami mempelajari bahasa Jepang melalui diktat stensilan yang dikeluarkan oleh Instituut Ksatrian, Bandung, yang dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker. Rupa-rupanya masa ini dipertautkan nama Multatuli, E. Douwes Dekker, dengan E.F.E. Douwes Dekker oleh diktat tersebut. Dan pengembaraan nama Multatuli menjadi semakin luas.
Juli 1941. Suatu kegemparan keluarga. Asisten Residen - aku tak ingat namanya - memanggil ayahku. Dapat dibayangkan: bencana baru akan menimpa keluarga kami. Tak ada sesuatu yang baik dapat diharapkan dari Belanda dan penjajahannya. Yang terjadi lebih menggemparkan: ayah diminta kembali mengajar di HIS setelah 18 tahun menjadi non-koperator. Sampai jauh di kemudian hari, sebelum tahu tentang adanya liga atau front anti-fasis internasional dan pendekatan kerjasama anti-fasis antara bangsa-bangsa penjajah dan yang terjajah, aku malu melihat perbuatan ayahku, dan tidak mampu mengampuninya. Sekali pun dalam hati mulai percaya ada Belanda yang baik, berbudi, dalam diri Multatuli.
Dengan cepatnya keadaan berubah. Jepang datang. Aku pindah ke Jakarta. Seorang teman sekolah, yang tinggal di kios buku bekas bernama “Indonesia Sekarang” membuat aku sering datang ke kios itu. Penuh buku Barat dari rumah-rumah orang Belanda yang masuk ke tawanan. Di situ aku mulai berkenalan langsung dengan Multatuli. Bukan Multatuli yang didongengkan, tetapi tulisannya dengan bahasanya yang a lot. Ya, sekedar berkenalan saja.
Guru bahasa Indonesia, Mara Sutan, memperkenalkan kami pada sejumlah pengetahuan baru ekstra kurikuler, dari Sokrates, Imam Sjafei Kayutanam, sampai Multatuli. Dialah yang membikin aku setiap hari Minggu nongkrong di perpustakaan Musium Gajah membacai koran dan majalah lama. Dari bacaan itu dapat kusimpulkan: semua nasionalis barisan terdepan pernah mempelajari, bukan sekadar membaca, Multatuli. Dia tonggal awal dalam sejarah Indonesia yang menampilkan seseorang yang membela rakyat kecil dari kejahatan cultuurstelsel klasik van den Bosch. Yang memberikan keberanian, kelugasan, kecerahan, dan hidup mudanya pada perlawanan terhadap kerakusan para pembesarnya sendiri, para pembesar sebangsa sendiri. Yang memberitahukan, bahwa sampai Raja Belanda pun, dapat dihimbau, bahwa kepala desa, kepala distrik sampai Gubernur Jendral bukan pagar-pagar kekuasaan yang tak tertembusi oleh daya tulisan dan daya cetak. Dia yang mengajarkan bagaimana tumbuh, berkembang, lurus ke atas, dengan integritas tetap utuh, tidak mondar-mandir dan berpusing dalam lingkaran setan.
Tahun 1950-an mulai kukumpulkan tulisan-tulisan semasa tentang dia. Paling banyak menyebutnya adalah Buyung Saleh. Dalam kurun 1950-an itu juga Han Resink pernah mengejuti aku dengan satu penilaian. Itu terjadi di rumahnya pada suatu sore:
“Sastra Jawa dan sastra Indonesia belum pernah melahirkan cerita Percintaan dari kalangan rakyat jelata. Orang pertama di negeri ini yang pernah menuliskannya, dan bukan tidak berhasil, tak lain dari Multatuli dengan Saija dan Adinda.”
Masih tentang cerita percintaan ia mengakui, sastra Jawa pernah melahirkan karya agung. Seorang gadis rakyat bawah memprotes dengan hidupnya pada feodal yang justru sedang pada puncak kejayaannya. Gadis itu adalah Roro Mendut. Tetapi cerita percintaan antara gadis dan perjaka dari kalangan tani? Ia menggeleng.
Ya, Saija dan Adinda dan pidato Lebak lebih meluas daripada karya-karya Multatuli selebihnya dalam kurun ini.
Seorang pelukis Lekra, yang telah membacai Multatuli sejak masa kolonial, S., sampai tahun itu masih terpaut hanya pada Saija dan Adinda. Pembicaraannya sekali ini ia batasi pada pemberontakan Lampung.
“Kalau Saija atau Adinda, atau siapa saja di antara kita waktu itu, melemparkan tombaknya atau mengayunkan parangnya, yang pertama atau yang ke sekian, itu merupakan peristiwa budaya. Karena pembatasan budaya yang menyebabkannya berbuat yang tidak berbudaya. Pembatasan sosial, ekonomi dan politik, untuk jangka waktu tertentu masih bisa ditenggang. Itu sebabnya Saija dan Adinda berada di Lampung, sudah meninggalkan Banten, suatu masa tenggang. Kalau Kompeni melepaskan tembakan untuk pertama atau kesekian kali, itu untuk intensivikasi atau ekspansi kekuasaan sosial, politik dan ekonominya, untuk dominasi budayanya. Pemberontakan Lampung bukan sekadar peristiwa militer. Sepanjang sejarah kemiliteran menempati kedudukan yang kesekian dalam kehidupan manusia. Budaya, pernyataan manusia sebagai makhluk.”
Ia tak pernah sempat mengembangkan pikirannya, karena lukisan-lukisannya belum mampu menghidupinya. Masyarakat lebih sibuk mencari sesuap nasi daripada memajang dindingnya dengan lukisan.
Dalam periode ini jilid demi jilid kumpulan karya Multatuli terbit. Makin berhamburan dengan Latin, huruf Yunani, dan persoalan-persoalan yang makin alot.
Saija dan Adinda telah dibikin cerita panggung oleh beberapa orang dan dipentaskan di panggung umum, di sekolahan, di lingkaran-lingkaran pemuda. Untuk Indonesia Multatuli adalah Saija dan Adinda.
Mengingat bahwa Multatuli dengan pengaruhnya yang konstruktif telah berjasa dalam memberikan suluh pada para nasionalis barisan depan maka dalam 1959, dalam sidang para Ketua Komite Perdamaian Pusat, kuajukan usul untuk mengadakan peringatan ulang tahun 140 tahun Mutaltuli secara nasional dan mendirikan patungnya di tempat-tempat ia pernah membikin sejarah. Ya, tentu saja usul diterima dengan aklamasi. Dan diharapkan dariku memberikan pada dewan materi tentangnya. Tulisan-tulisan tentangnya dalam koleksiku kuserahkan untuk diperbanyak. Delegasi pun terbentuk. Mereka menghadap Presiden Soekarno. Hasilnya?
Seorang anggota delegasi datang ke rumah untuk melapor. Ia duduk sambil menghembuskan nafas. Ya? Sapaku. Dan ia meringis.
Ternyata Bung Karno tidak menjawab.
“Apa katanya?”
“Bung Karno justru yang bertanya: mengapa Multatuli? Mengapa tidak Baars? Tidak Sneevliet?”
Dengan demikian patung Mutlatuli belum pernah berdiri. Yang didirikan justru patung Kartini, bikinan pematung Jepang, dengan penampilan sebagai peragawati. Walau waktu hidupnya angkatan Kartini belum mengenal kantong dada, KD atau katakanlah BH, Kartini peragawati nampak-nampaknya sudah mengenakan. Tapi bukan itu keberatanku. Walikota memanggil. Rupanya ia membutuhkan kupingku untuk dapat ditiup dengan kata-katanya:
“Nah, bagaimana? Itu kan hadiah dari orang asing. Apa harus ditolak?”
Dia tidak bicara tentang Multatuli, sekali pun dia tahu, juga Multatuli punya saham menentukan dalam proses penjadian Kartini.
Pada 1964 LEKRA mendirikan Akademi Sastra Multatuli. Tentu saja aku ikut mendapat kehormatan menjadi salah seorang pendiri. Hampir tepat setahun kemudian Akademi itu runtuh untuk selamanya bersamaan dengan runtuhnya Presiden Soekarno. Namun tidak mengurangi kenyataan, di bidang sastra Multatuli oleh jajaran organisasi kebudayaan rakyat ini dianggap sebagai guru besar. Dan memang LEKRA sebelum dijatuhkannya Soekarno yang banyak memperkenalkan Multatuli di Indonesia. Ia dinilai sebagai humanis besar, bukan saja mengenal kolonialisme dan wataknya, juga mengenal rakyat jajahan, dan lebih-lebih menghayati keterbatasannya dalam penghidupan, dalam berbudaya, dalam berlawan, bahkan dalam bercinta.
Sewaktu di Buru, seorang teman yang baru pulang dari kerjapaksa di pelabuahan membawa sesobek kertas, diberikannya padaku sebagai oleh-oleh. Sensor telah tidak meloloskan produksi bersama Indonesia-Belanda film Mutatuli. Alasan: karena orang Indonesia (semasa Multatuli belum ada orang Indonesia!) ditampilkan lebih jahat daripada orang Belanda. Siapa tidak dibikin terkekeh, lagi-lagi bertemu dengan kemulukan domestik sisa warisan bangsa terasing? Diberitakan juga tentang kekecewaan pihak Belanda. Tentusaja. Setidak-tidaknya itu kekecewaan sejumlah pribadi, paling-paling kekecewaan grup atau golongan. Sumbernya masih tetap: orang belum bisamelihat Indonesia sebagai pewaris kolonialisme Belanda, paling tidak di bidang teritorial dan infrastrukturnya, bahkan dalam sejumlah struktur. Apa salahnya kalau juga jadi pewaris syah di bidang mentalitas kolonial? Kan mentalitas itu juga yang menolak dan membuang Multatuli? Apa salahnya kalau filmnya pun ditolak? Kan Indonesia tidak mungkin ada tanpa kolonialisme Belanda?
Sekembali dari Buru nampaknya masalah penolakan sensor itu tetap hidup. Beberapa kali orang mengajak bicara tentangnya. Seorang malah menyatakan ikut terlibat dalam pembikinan film tersebut. Tapi tak seorang pun pernah mengatakan, bahwa kemulukan domestik juga memerlukan penghormatan.
Sementara itu publikasi tentang dan dari Multatuli semakin banyak di Indonesia. Ia juga diperkenalkan secara kurikuler di sekolah-sekolah dasar. Multatuli dalam film tetap menyinggung kemulukan domestik, karena dalam banjir produski teknologi mutakhir - lebih menggelora dari banjir akibat penggundulan hutan, ia tetap produk domestik yang asli.
Jenuh kemulukan membuat orang rindu pada kesederhanaan, kelugasan. Dalam hubungan dengan Multatuli, membikin aku terkenang pada suatu kali di Warsawa. Seorang Polandia, pengarang, bercerita padaku, dia mengenal Indonesia melalui seorang bocah kampung yang bersahabat dengan kerbaunya. Ditas punggung sahabatnya itu seekor macan menyerang dan kerbau sahabat itu melindunginya. Itulah Indonesia yang dikenalnya. Dan heran, ia tidak kenal Multatuli, sekali pun membicarakannya. Adegan ini sudah kudengar, keketahui sejak kecil. Seperti orang Polandia itu, juga tanpa mengenal namanya.
Entah berapa ribu bocah dalam setiap angkatan kembali mendengar dan menceritakan adegan itu, atau mewujudkan dalam buku gambarnya. Mereka mendengar, bercerita dan menggambar Multatuli, tanpa pernah mengenal namanya.
Jakarta, April 1986
Sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=377636962326
Eduard Douwes Dekker, alias Multatuli (1820-1887)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar