Imamuddin SA
http://www.sastra-indonesia.com/
Ini bukan omong kosong, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adalah realitas kehidupan dari dulu hingga sekarang. Fenomena ini kerap dipandang sebelah mata oleh kalangan-kalangan tetentu, padahal jika mereka bersedia menelisik kedalaman makna, mereka akan menemukan sesuatu yang besar yang sanggup dijadikan perenungan, permenungan serta refleksi terhadap realitas yang ada. Mereka tidak akan menganggap bahwa kata-kata ini bukan sebuah kata bualan yang terpancar dari mulut seorang radikal ateistik. Andaikan kata-kata ini benar merupakan ujaran dari seorang radikal ateistik, paling tidak mereka dapat mengambil sisi baiknya, sebab segala sesuatu yang ada pasti mengandung nilai yang dapat diambil dan dijadikan sebuah pembelajaran bagi diri pribadi.
Coba, cermati serta telisik kembali ungkapan ini serta kantongi nilai-nilainya. Ini merupakan harapan serta tantangan bagi anda semua untuk bisa menghargai kata-kata atau pengujarnya agar tidak selalu berpandangan picik atau culas terhadap realitas hidup dan kehidupan yang sedang menyapa.
“Tuhan telah mati!”! Ungkapan Nietzsche dalam Sabda Zaratustranya inilah yang dari zaman dahulu sampai sekarang seolah-olah menjelma sebagai virus dalam diri manusia. Virus ini terus menggerogoti logika dan perasaan manusia. Ungkapan ini selalu dianggap sebagai virus yang mematikan yang harus segera dibumihanguskan. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, ungkapan ini merupakan cambuk pengingat bagi mereka yang telah lalai. Cambuk bagi mereka yang selalu mengutamakan esensi dan eksistensi pribadi hingga mereka menjual, mematahakan dan bahkan membunuh eksistensi Tuhan dalam dirinya.
Ungkapan “Tuhan telah mati”mengandung nilai filosofis yang begitu dahsyat. Kematian ini bukan mengarah pada kematian esensi (dzat), melainkan mengarah pada kematian eksistensi (wewenang dan perintah) Tuhan dalam diri seorang manusia..
Secara kodrati, dzat Tuhan bersifat kekal dan abadi. Keberadaanya selalu ada melampaui ruang dan waktu serta menjadi poros kehidupan. Begitu juga dengan eksistensi Tuhan. Secara kodrati eksistensi Tuhan juga bersifat kekal dan abadi, namun dalam realitasnya eksistensi inilah yang kerapa dikebiri oleh pribadi seseorang. Ia kerapa dibantai dan ditiadakan.
Bentuk pembantaian serta peniadaan eksistensi Tuhan mungkin terlihat jelas pada waktu itu, sehingga dengan seketika pula Nietzsche mengujarkan kata-kata tersebut. Pada waktu itu manusia banyak yang beralih pandangan. Mereka selalu mengejar kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan dengan mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghalalkan segala cara demi kepuasan tersebut. Mereka kerap berbuat curang, culas terhadap sesama, dan bahkan mereka kerap membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya demi kepuasan nafsiahnya semata. Di sinilah letak pembantaian dan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri seorang manusia. Wewenang dan perintah-Nya untuk bertaqwa dan tidak membuat kerusakan di muka bumi telah di kebiri dan di tiadakan dari dalam diri pribadinya. Tuhan seolah tidak ada hingga mereka berbuat sewenang-wenang dan semaunya.
Tidakkah telah terungkap jelas, bahwa nafsulah yang telah mengantarkan manusia berada dalam lembah kesesatan. Dialah pengantar manusia untuk berbuat ingkar kepada Tuhan. Olehnya, manusia kini telah beralih melakukan pengagungan dan pemujaan terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Manusia telah beralih menuhankan benda-benda, harta, tahta dan lain sebagainya yang merupakan perhiasan dunia yang bersifat semu dan menipu. Orientasi hidupnya kini telah berbelok menuju kebendaan duniawi.
Berkaitan dengan hal tersebut, fenomena semacam itu juga telah dilukiskan beberapa puluh tahun yang lalu sebelum adanya konsep Nietzcsche. Tindakan semacam ini dilakukan oleh Karl Marx. Pada saat itu ia mengkritisi realitas sosial yang terjadi dengan mengatakan bahwa “Agama Itu Candu”. Realitas sosial sudah kacau balau. Agama sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agama hanya berposisi sebagai alat pemuas kebutuhan nafsiah manusia. Agama hanya dijadikan tunggangan dalam mempertinggi stratifikasi sosial, dan juga untuk mengeruk harta kekayaan demi kepentingan personal seseorang.
Terdapat satu fenomena lain dari konsep ujaran Nietzsche. Konsep ini mungkin juga diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar mengabdikan diri terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Bagi mereka yang benar-benar mengorientasikan diri hanya kepada hakekat Tuhan yang sejati, maka esensi dan eksistensi tuhan-tuhan yang lain akan ditiadakan. Tuhan yang bersifat kebendaan akan ia bantai habis-habisan, hingga pesonanya tidak ada lagi melekat di dalam diri seorang individu. Contoh saja agama Islam. Dalam agama Islam sudah terlihat jelas lewat kesaksian yang dibuat oleh para pemeluknya. Secara konseptual kesaksian ini berlaku bagi siapa saja yang hendak masuk dalam agam tersebut. Semua orang pasti mengikrarkan ungkapan ini, yaitu ikrar yang bersifat peniadaan terhadap Tuhan yang bersifat kebendaan. Mereka hanya meyakini hanya ada satu Tuhan yaitu Allah. Dialah yang dijadikan sandaran dan tujuan hidup bagi mereka. Dia diyakini sebagai sesuatu yang bersifat kekal, abadi, kuasa, dsan sempurna.
Dalam realitasnya, konsep ini telah ditanamkan bagi siapa saja yang memeluk agama Islam, namun dalam praktik yang sebenarnya masih perlu dipertanyakan. Pertanyaan yang timbul adalah: sudahkah para pemeluk agama Islam menerapakna dengan sepenuh hati konsep tersebut dalam hidup dan kehidupanya? Sudahkah mereka melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap segala sesuatu yang besifat kebendaan dan hanya berorientasi pada Allah semata? Ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam untuk melakukan penerapan secara real bukan hanya sekedar dijadikan lipstik atau kaligrafi yang disakralkan.
Coba tengok lebih jauh lagi tentang pembunuhan dan pembantaian Tuhan. Fenomena yang terjadi di dalam dunia sufistik, bahwa ungkapan Tuhan sudah tidak ada lagi. Ungkapan ini mereka ganti dengan istilah kekasih. Tuhan yang notabenenya masih bersifat plural, mereka spesifikkan dengan kata Kekasih. Mereka menggapai dan menuju Tuhan bukan sebagai Tuhan lagi, melainkan sebagai Kekasih yang harus didekati dengan cinta bukan dengan ketakutan-ketakutan. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak lain adalah bentuk kasih sayang-Nya, sehingga cara pendekatan diri pun harus dilakukan dengan cinta dan kasih sayang pula.
Perhatikan ungkapan yang diujarkan oleh seorang “Pir” pada Abu Sa’id saat ia berilustrasi hendak bertemu dengan Tuhan. Saat Abu Said ditanya: “Apakah kau ingin bertemu Tuhan?”. Jawab Abu Sa’id: “Tentu saja aku ingin”. Kemuduan “Pir” itu menjawab: ”Jika demikian, kapan pun saat kau sendirian, lantunkan syair ini:
“Tanpa Dikau, oh, Kekasih, setitik pun aku tidak bisa tenang;
Kebaikan-Mu terhadapku tak sanggup kubalas.
Sekali pun setiap helai rambut di tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur terhadap-Mu tak akan bisa kudaras.”
Dalam syair tersebut dikatakan bahwa Tuhan diibaratkan atau disimbulkan sebagai Kekasih. Ia telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang terhadap manusia, sehingga beribu syukur dan terima kasih yang diucapkan seorang manusia terhadap-Nya masih tidak sanggup untuk membalas cinta kasih-Nya, bahkan seumpama helaian rambut yang ada pada tubuh manusia menjelma menjadi lidah dan saling mengucap syukur kepada-Nya, itu pun masih tidak sanggup membalas banyaknya cinta kasih yang telah dianugrahkan kepadanya. Oleh sebab itu, dalam ajaran Islam, setiap kali seseorang hendak melakukan sesuatu hal, ia disunnahkan untuk membaca basmalah. Ini menunjukkan akan bentuk kesaksian terhadap cinta kasih Tuhan yang esa.
Semua orang mengetahui, bahwa seorang sufi selalu mengorientasikan hidup dan kehidupanya hanya kepada Tuhan. Yang ia tuju hanyalah esensi dan eksistensi Tuhan semata. Hal tersebut kerap tercermin melalui ungkapan-ungkapanya, termasuk ungkapan syair di atas yang mengibaratkan Tuhan sebagi Sang Kekasih. Perlu dijadikan catatan, bahwa pengungkapan tersebut merupakan simbol semata. Masih banyak simbol-simbol lain yang merupakan bentuk pembantaian dan pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta, dan lain sebagainya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar