Agus Sulton
http://forumsastrajombang.blogspot.com/
Sastra merupakan cerminan fiktif kehidupan sosial yang banyak mengangkat permasalahan yang ada dalam masyarakat. Unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat itu diantaranya adalah politik, ekonomi, norma-norma sosial, agama, adat istiadat dan unsur-unsur lainnya. Unsur politik bukanlah hal baru dalam kehidupan masyarakat—politik selalu hidup dalam masyarakat serta tetap berkembang seiring dengan perkembangan zaman kehidupan masyarakat. Unsur politik yang ada dalam masyarakat dikemas dalam sebuah tulisan fiktif berupa karya sastra. Karya sastra hadir di tengah-tengah masyarakat setelah mengalami proses pengolahan daya kreasi imajiner pengarang dengan realitas masyarakat.
Sastra, sebagai sebuah intuisi—mempergunakan bahasa tulis sebagai media komunikasinya. Dengan memakai bahasa tulis, pengarang bebas untuk lebih jeli dalam mengolah realitas politik yang berkembang dalam masyarakat sehari-hari dan memadukan dengan daya imajinasi, kemudian dikemas menjadi karya sastra. Karya sastra hadir dalam masyarakat dikarenakan faktor-faktor sejarah dan lingkungan tempat karya dilahirkan. Pembentukan karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran lingkungan, latar, dan hal-hal yang bersifat eksternal lainnya. Begitu juga pembahasan mengenai politik yang berkembang dalam masyarakat—tidak bisa terlepas dari masyarakat sebagai unsur utama. Masyarakat merupakan faktor utama yang menentukan apa yang akan ditulis pengarang, bagaimana menulisnya, untuk siapa karya ditulis dan apa tujuannya. Dalam hal ini, sastra bukanlah suatu yang otonom, melainkan suatu yang terkait dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya sastra itu dilahirkan (Jabrohim, 2000: 167).
Dalam dunia kesusastraan diketahui—bahwa pengarang telah menciptakan sebuah dunia baru yang ideal. Pengarang dengan daya imajinasinya mengelola realitas objektif secara subjektif dan menginterpretasikan realitas objektif dengan kreasi imajinasi yang ada ke dalam bentuk karya sastra (Esten, 1988: 2). Dengan demikian, pembicaraan mengenai sastra tidak hanya terfokus mengenai struktur saja, tetapi harus memperhatikan hubungannya dengan unsur-unsur lain yang berada di luar sturktur. ”Mempelajari sastra secara sistematis, penelaah sastra tidak hanya dituntut untuk menguasai teori sastra, melainkan juga disiplin ilmu-ilmu lain seperti filsafat, sosiologi, psikologi, politik, dan sebagainya (Fanani, 2002: 3).
Salah satu genre sastra yang banyak membahas dan mengungkapkan realitas politik yang ada dalam masyarakat adalah novel. Novel mempunyai ruang yang cukup banyak untuk membahas permasalahan utama serta mengungkap secara keseluruhan fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat, tidak hanya sastra saja, unsur politik pun sudah dikandung oleh novel jauh sebelum sejarah kesusastraan Indonesia ditetapkan.
***
Novel-novelnya pada saat itu diterbitkan oleh Komisi Bacaan Rakyat—yang dikenal dengan nama Balai Pustaka (Volkslectuur) pada tahun 1920 banyak memuat kepentingan politik pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Yaitu novel-novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka—sastrawan dan karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka, kemudian digolongkan ke dalam angkatan Balai Pustaka. Karya-karya yang akan diterbitkan haruslah sesuai dengan aturan-aturan Balai Pustaka yang tertera dalam Nota Over De Volkslektuur tahun 1911 (sesuai dengan Nota Rinkes) telah ditetapkan oleh Pemerintah Belanda.
Jika naskah yang akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, ternyata isinya tidak sesuai dengan keinginan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atau menjatuhkan wibawa Pemerintah Kolonial, maka karya tersebut tidak diterbitkan (Pradopo, 2002: 101-104). Sedangkan novel yang isinya memuat nilai-nilai perlawanan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda banyak diterbitkan oleh media-media yang dikelola oleh perkumpulan-perkumpulan yang bersifat oposisi.
Tahun 1863, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan sebuah peraturan pemerintah ”Regering Reglemen” yang mengatur tata tertib proses produksi, distribusi, dan konsumsi koran—penerbitan dan juga buku-buku yang di dalamnya; termasuk juga karya sastra. Mengacu pada peraturan pemerintah tersebut, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian mendirikan sebuah badan Komisi Bacaan Rakyat yang bertugas menyeleksi dan mengawasi isi dari setiap penerbitan karya-karya yang dihasilkan, baik itu berupa karya sastra maupun bukan (Sunanda, 2000: 127-128). Sebelum hadirnya undang-undang pers itu, Indonesia sudah dibanjiri oleh novel-novel bercorak realis sosialis yang dikarang oleh pengarang-pengarang yang berideologi sosialis ataupun komunis. Novel-novel itu oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda disebut ”bacaan liar”. Pengarang-pengarang yang menciptakan novel tersebut merupakan para aktivis pergerakan politik, baik golongan komunis ataupun dari golongan gerakan nasionalis yang sudah menjamur pada masa itu (Sumardjo, 1982:1992 dalam Adyana Sunanda, 2000: 128).
Novel-novel yang dianggap sebagai bacaan liar tersebut dilarang terbit dan beredar oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda karena dianggap akan menyebarkan ideologi dan idealismenya kepada masyarakat luas yang nantinya akan membahayakan kedudukan pemerintah jajahan Kolonial Hindia Belanda. Antisipasi terhadap bacaan liar yang banyak beredar di tanah jajahan—Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mendirikan dan mengelola sebuah penerbitan bernama Volkslectuur (Balai Pustaka) yang berdiri pada tahun 1920 (Sunanda, 2000: 129). Pendirian Balai Pustaka ini pada awalnya adalah berupa pengadaan buku bacaan untuk memenuhi kegemaran membaca dan memajukan pengetahuan rakyat sesuai dengan kemajuan zaman. Juga bertujuan untuk menghindarkan kritikan terhadap kewibawaan Pemerintah Kolonial Belanda serta ketentraman negara (Pradopo, 2002: 101). Tujuan tersembunyi lain dari pendirian Balai Pustaka adalah untuk melakukan pencekalan terhadap novel-novel serta buku-buku yang dicap sebagai bacaan liar.
Bacaan liar yang dimaksud adalah buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis—yang diterbitkan bukan oleh Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka sebagai penerbit yang dikelola oleh Pemerintah—menetapkan aturan-aturan yang telah disetujui Pemerintah Kolonial. Peraturan itu dikenal dengan Nota Rinkes (1911). Salah satu dari karya sastra yang dicap sebagai bacaan liar pada masa itu adalah novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.
Novel Hikayat Kadiroen adalah karya sastra berbentuk novel yang ditulis pada tahun 1919 sewaktu ia berada dalam penjara selama 4 bulan karena persdelict. Novel ini sebelumnya sudah dipublikasikan dalam koran Sinar Hindia sebagai cerita bersambung (Kadiroen, 2002: ix). Pada tahun itu juga novel ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Partai Komunis Indonesia (Budianata, Kompas 2002). Novel ini sempat mendapat teguran keras dari pihak Kolonial Belanda karena dianggap bisa membangkitkan kesadaran masyarakat jajahan untuk berorganisasi atau membentuk kelompok politik yang memang sedang marak, dan karena itu pulalah Semaoen kemudian dibuang ke Belanda pada tahun 1923 (Sunanda, 2000: 128). Disamping itu, novel ini juga banyak didasarkan pada ajaran-ajaran Marx, persoalan kelas jelas menjadi sorotan. Pada pokoknya kelas menurut masyarakat Marxisme ada dua macam, yaitu kelas yang memiliki tanah atau alat produksi dan kelas yang tidak memiliki tanah dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan dalam proses produksi (Soekanto, 1974). Kelas Marxisme senantiasa berada dalam pertentangan untuk perebutan kekuasaan, teori itu meramalkan akan terbentuknya suatu masyarakat dimana semua kelas dalam arti Marxistis akan lenyap dengan sendirinya, sehingga yang terjadi adalah masyarakat tanpa kelas.
Dari sedikit deskripsi tentang novel Hikayat Kadiroen tersebut, jelas di mata Balai Pustaka akan mencap-nya sebagai bacaan liar, karena akan membahayakan pada pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Disamping itu, pihak Balai Pustaka juga mempunyai penilaian terhadap novel yang akan diterbitkan, yaitu (1) harus mempunyai sikap netral terhadap persoalan agama, (2) novel tidak boleh mengandung pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah, (3) sastra yang bersifat cabul tidak akan diterima dalam rangka penerbitan Balai Pustaka, (4) harus ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi, karena buku-buku Balai Pustaka akan disebarkan di sekolah-sekolah.
Kriteria itulah yang diharapkan dari Balai Pustaka, jelas novel Hikayat Kadiroen tidak termasuk dalam kriteria Balai Pustaka, karena dalam novel Hikayat Kadiroen tidak begitu mempersoalkan bahasa, dan bahasa pasar adalah bahasa yang digunakan (Damono, 1999). Hal ini disebabkan—novel dari golongan komunis (sosialis) banyak dipengaruhi oleh bahasa pers, disisi lain pers merupakan penerjemah bahasa lisan secara langsung ke dalam wujud huruf, angka, dan tanda. Karena itu kebiasaan menerjemahkan bahasa lisan memberikan pengaruh pada masing-masing pengarang penulisan novelnya.
Bagian penting lain, sebuah novel dikatakan bacaan liar pada saat itu apabila memuat gagasan politik tertentu yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintah yang berkuasan. Walaupun istilah bacaan liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, atau sebagai panjang tangan pemerintah (dalam hal ini Balai Pustaka), maka dari kriteria itu bisa dijadikan dasar untuk menelaah novel tersebut (menunjukkan cap bacaan liar). Disamping itu juga, novel tersebut lebih banyak merepresentasikan kritikan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dan ideologi komunis (marxsisme).
Lebih jauh lagi, novel Hikayat Kadiroen hanyalah sebuah cerita fiksi, tetapi isinya merupakan kristalisasi dari kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan, dan tidak selayaknya dipinggirkan (dipandang sebelah mata) yang sampai-sampai saat ini tidak pernah diajarkan dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian terdapat suatu usaha untuk meluruskan sejarah perkembangan sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Setidaknya novel-novel sebelum Balai Pustaka—yang selayaknya bisa dijadikan sebagai alternatif pembelajaran ”sastra pencerahan”. Sebab mengakui atau tidak, karya-karya semacam Hikayat Kadiroen itulah yang memberikan pencerahan (kesadaran) kepada masyarakat terjajah, seperti Indonesia pada tahun 1920-an serta memperlihatkan pesan kuat adanya perlawanan terhadap imperialisme. Dan ini merupakan persoalan penting, yang seharusnya tidak dianggap sebagai bacaan anak tiri—sampai-sampai dari pihak Indosianis dari luar negeri yang memiliki orientasi tunggal dalam pengakuan, telaah, dan bisa juga pada gilirannya menentukan arah masa depan sastra Indonesia. Dari sini, seharusnya kita mulai mendogkrak dan bangkit dalam melihat keberadaan arah karya-karya sebelum Balai Pustaka, yang hampir para ahli sastra Indonesia sudah mulai terbius dan mengambil mentah-mentah dari kesimpulan peneliti sejarawan Indonesia dari luar negeri, Keith Foulcher sebagai referensi dasar yang seolah-olah paling benar. Padahal persoalan sejarah sastra Indonesia dan kebudayaan Indonesia semacam itu yang lebih layak menentukan adalah orang Indonesia sendiri, bukan pihak dari Australia atau Belanda.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar