Minggu, 12 September 2010

Bacaan Liar, Sebagai Sastra Perlawanan

Agus Sulton
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Sastra merupakan cerminan fiktif kehidupan sosial yang banyak mengangkat permasalahan yang ada dalam masyarakat. Unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat itu diantaranya adalah politik, ekonomi, norma-norma sosial, agama, adat istiadat dan unsur-unsur lainnya. Unsur politik bukanlah hal baru dalam kehidupan masyarakat—politik selalu hidup dalam masyarakat serta tetap berkembang seiring dengan perkembangan zaman kehidupan masyarakat. Unsur politik yang ada dalam masyarakat dikemas dalam sebuah tulisan fiktif berupa karya sastra. Karya sastra hadir di tengah-tengah masyarakat setelah mengalami proses pengolahan daya kreasi imajiner pengarang dengan realitas masyarakat.

Sastra, sebagai sebuah intuisi—mempergunakan bahasa tulis sebagai media komunikasinya. Dengan memakai bahasa tulis, pengarang bebas untuk lebih jeli dalam mengolah realitas politik yang berkembang dalam masyarakat sehari-hari dan memadukan dengan daya imajinasi, kemudian dikemas menjadi karya sastra. Karya sastra hadir dalam masyarakat dikarenakan faktor-faktor sejarah dan lingkungan tempat karya dilahirkan. Pembentukan karya sastra tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran lingkungan, latar, dan hal-hal yang bersifat eksternal lainnya. Begitu juga pembahasan mengenai politik yang berkembang dalam masyarakat—tidak bisa terlepas dari masyarakat sebagai unsur utama. Masyarakat merupakan faktor utama yang menentukan apa yang akan ditulis pengarang, bagaimana menulisnya, untuk siapa karya ditulis dan apa tujuannya. Dalam hal ini, sastra bukanlah suatu yang otonom, melainkan suatu yang terkait dengan situasi dan kondisi lingkungan tempat karya sastra itu dilahirkan (Jabrohim, 2000: 167).

Dalam dunia kesusastraan diketahui—bahwa pengarang telah menciptakan sebuah dunia baru yang ideal. Pengarang dengan daya imajinasinya mengelola realitas objektif secara subjektif dan menginterpretasikan realitas objektif dengan kreasi imajinasi yang ada ke dalam bentuk karya sastra (Esten, 1988: 2). Dengan demikian, pembicaraan mengenai sastra tidak hanya terfokus mengenai struktur saja, tetapi harus memperhatikan hubungannya dengan unsur-unsur lain yang berada di luar sturktur. ”Mempelajari sastra secara sistematis, penelaah sastra tidak hanya dituntut untuk menguasai teori sastra, melainkan juga disiplin ilmu-ilmu lain seperti filsafat, sosiologi, psikologi, politik, dan sebagainya (Fanani, 2002: 3).

Salah satu genre sastra yang banyak membahas dan mengungkapkan realitas politik yang ada dalam masyarakat adalah novel. Novel mempunyai ruang yang cukup banyak untuk membahas permasalahan utama serta mengungkap secara keseluruhan fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat, tidak hanya sastra saja, unsur politik pun sudah dikandung oleh novel jauh sebelum sejarah kesusastraan Indonesia ditetapkan.
***

Novel-novelnya pada saat itu diterbitkan oleh Komisi Bacaan Rakyat—yang dikenal dengan nama Balai Pustaka (Volkslectuur) pada tahun 1920 banyak memuat kepentingan politik pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Yaitu novel-novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka—sastrawan dan karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka, kemudian digolongkan ke dalam angkatan Balai Pustaka. Karya-karya yang akan diterbitkan haruslah sesuai dengan aturan-aturan Balai Pustaka yang tertera dalam Nota Over De Volkslektuur tahun 1911 (sesuai dengan Nota Rinkes) telah ditetapkan oleh Pemerintah Belanda.
Jika naskah yang akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, ternyata isinya tidak sesuai dengan keinginan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda atau menjatuhkan wibawa Pemerintah Kolonial, maka karya tersebut tidak diterbitkan (Pradopo, 2002: 101-104). Sedangkan novel yang isinya memuat nilai-nilai perlawanan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda banyak diterbitkan oleh media-media yang dikelola oleh perkumpulan-perkumpulan yang bersifat oposisi.

Tahun 1863, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menetapkan sebuah peraturan pemerintah ”Regering Reglemen” yang mengatur tata tertib proses produksi, distribusi, dan konsumsi koran—penerbitan dan juga buku-buku yang di dalamnya; termasuk juga karya sastra. Mengacu pada peraturan pemerintah tersebut, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kemudian mendirikan sebuah badan Komisi Bacaan Rakyat yang bertugas menyeleksi dan mengawasi isi dari setiap penerbitan karya-karya yang dihasilkan, baik itu berupa karya sastra maupun bukan (Sunanda, 2000: 127-128). Sebelum hadirnya undang-undang pers itu, Indonesia sudah dibanjiri oleh novel-novel bercorak realis sosialis yang dikarang oleh pengarang-pengarang yang berideologi sosialis ataupun komunis. Novel-novel itu oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda disebut ”bacaan liar”. Pengarang-pengarang yang menciptakan novel tersebut merupakan para aktivis pergerakan politik, baik golongan komunis ataupun dari golongan gerakan nasionalis yang sudah menjamur pada masa itu (Sumardjo, 1982:1992 dalam Adyana Sunanda, 2000: 128).

Novel-novel yang dianggap sebagai bacaan liar tersebut dilarang terbit dan beredar oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda karena dianggap akan menyebarkan ideologi dan idealismenya kepada masyarakat luas yang nantinya akan membahayakan kedudukan pemerintah jajahan Kolonial Hindia Belanda. Antisipasi terhadap bacaan liar yang banyak beredar di tanah jajahan—Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mendirikan dan mengelola sebuah penerbitan bernama Volkslectuur (Balai Pustaka) yang berdiri pada tahun 1920 (Sunanda, 2000: 129). Pendirian Balai Pustaka ini pada awalnya adalah berupa pengadaan buku bacaan untuk memenuhi kegemaran membaca dan memajukan pengetahuan rakyat sesuai dengan kemajuan zaman. Juga bertujuan untuk menghindarkan kritikan terhadap kewibawaan Pemerintah Kolonial Belanda serta ketentraman negara (Pradopo, 2002: 101). Tujuan tersembunyi lain dari pendirian Balai Pustaka adalah untuk melakukan pencekalan terhadap novel-novel serta buku-buku yang dicap sebagai bacaan liar.

Bacaan liar yang dimaksud adalah buku-buku bacaan yang mempunyai corak realisme-sosialis—yang diterbitkan bukan oleh Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka sebagai penerbit yang dikelola oleh Pemerintah—menetapkan aturan-aturan yang telah disetujui Pemerintah Kolonial. Peraturan itu dikenal dengan Nota Rinkes (1911). Salah satu dari karya sastra yang dicap sebagai bacaan liar pada masa itu adalah novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.

Novel Hikayat Kadiroen adalah karya sastra berbentuk novel yang ditulis pada tahun 1919 sewaktu ia berada dalam penjara selama 4 bulan karena persdelict. Novel ini sebelumnya sudah dipublikasikan dalam koran Sinar Hindia sebagai cerita bersambung (Kadiroen, 2002: ix). Pada tahun itu juga novel ini diterbitkan dalam bentuk buku oleh Partai Komunis Indonesia (Budianata, Kompas 2002). Novel ini sempat mendapat teguran keras dari pihak Kolonial Belanda karena dianggap bisa membangkitkan kesadaran masyarakat jajahan untuk berorganisasi atau membentuk kelompok politik yang memang sedang marak, dan karena itu pulalah Semaoen kemudian dibuang ke Belanda pada tahun 1923 (Sunanda, 2000: 128). Disamping itu, novel ini juga banyak didasarkan pada ajaran-ajaran Marx, persoalan kelas jelas menjadi sorotan. Pada pokoknya kelas menurut masyarakat Marxisme ada dua macam, yaitu kelas yang memiliki tanah atau alat produksi dan kelas yang tidak memiliki tanah dan hanya memiliki tenaga untuk disumbangkan dalam proses produksi (Soekanto, 1974). Kelas Marxisme senantiasa berada dalam pertentangan untuk perebutan kekuasaan, teori itu meramalkan akan terbentuknya suatu masyarakat dimana semua kelas dalam arti Marxistis akan lenyap dengan sendirinya, sehingga yang terjadi adalah masyarakat tanpa kelas.

Dari sedikit deskripsi tentang novel Hikayat Kadiroen tersebut, jelas di mata Balai Pustaka akan mencap-nya sebagai bacaan liar, karena akan membahayakan pada pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Disamping itu, pihak Balai Pustaka juga mempunyai penilaian terhadap novel yang akan diterbitkan, yaitu (1) harus mempunyai sikap netral terhadap persoalan agama, (2) novel tidak boleh mengandung pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah, (3) sastra yang bersifat cabul tidak akan diterima dalam rangka penerbitan Balai Pustaka, (4) harus ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi, karena buku-buku Balai Pustaka akan disebarkan di sekolah-sekolah.

Kriteria itulah yang diharapkan dari Balai Pustaka, jelas novel Hikayat Kadiroen tidak termasuk dalam kriteria Balai Pustaka, karena dalam novel Hikayat Kadiroen tidak begitu mempersoalkan bahasa, dan bahasa pasar adalah bahasa yang digunakan (Damono, 1999). Hal ini disebabkan—novel dari golongan komunis (sosialis) banyak dipengaruhi oleh bahasa pers, disisi lain pers merupakan penerjemah bahasa lisan secara langsung ke dalam wujud huruf, angka, dan tanda. Karena itu kebiasaan menerjemahkan bahasa lisan memberikan pengaruh pada masing-masing pengarang penulisan novelnya.

Bagian penting lain, sebuah novel dikatakan bacaan liar pada saat itu apabila memuat gagasan politik tertentu yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintah yang berkuasan. Walaupun istilah bacaan liar datangnya dari pihak penerbit pemerintah, atau sebagai panjang tangan pemerintah (dalam hal ini Balai Pustaka), maka dari kriteria itu bisa dijadikan dasar untuk menelaah novel tersebut (menunjukkan cap bacaan liar). Disamping itu juga, novel tersebut lebih banyak merepresentasikan kritikan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda dan ideologi komunis (marxsisme).

Lebih jauh lagi, novel Hikayat Kadiroen hanyalah sebuah cerita fiksi, tetapi isinya merupakan kristalisasi dari kehidupan sosial pada saat karya itu diciptakan, dan tidak selayaknya dipinggirkan (dipandang sebelah mata) yang sampai-sampai saat ini tidak pernah diajarkan dalam pembelajaran sastra di sekolah-sekolah. Dengan demikian terdapat suatu usaha untuk meluruskan sejarah perkembangan sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Setidaknya novel-novel sebelum Balai Pustaka—yang selayaknya bisa dijadikan sebagai alternatif pembelajaran ”sastra pencerahan”. Sebab mengakui atau tidak, karya-karya semacam Hikayat Kadiroen itulah yang memberikan pencerahan (kesadaran) kepada masyarakat terjajah, seperti Indonesia pada tahun 1920-an serta memperlihatkan pesan kuat adanya perlawanan terhadap imperialisme. Dan ini merupakan persoalan penting, yang seharusnya tidak dianggap sebagai bacaan anak tiri—sampai-sampai dari pihak Indosianis dari luar negeri yang memiliki orientasi tunggal dalam pengakuan, telaah, dan bisa juga pada gilirannya menentukan arah masa depan sastra Indonesia. Dari sini, seharusnya kita mulai mendogkrak dan bangkit dalam melihat keberadaan arah karya-karya sebelum Balai Pustaka, yang hampir para ahli sastra Indonesia sudah mulai terbius dan mengambil mentah-mentah dari kesimpulan peneliti sejarawan Indonesia dari luar negeri, Keith Foulcher sebagai referensi dasar yang seolah-olah paling benar. Padahal persoalan sejarah sastra Indonesia dan kebudayaan Indonesia semacam itu yang lebih layak menentukan adalah orang Indonesia sendiri, bukan pihak dari Australia atau Belanda.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi