Minggu, 12 September 2010

Izroil dan Bunda Malin (klarifikasi dongeng Malin Kundang)

Muhammad Zuriat Fadil
http://www.sastra-indonesia.com/

And I have to be sure
When I walk out the door
O ,How I wont to break free…
(I Want to Break Free, Queen)

Hari itu Izroil sedang mendapat tugas berat, yakni mencabut nyawa seorang ibu yang dulu pernah mengutuk anaknya menjadi batu. Setelah menyelesaikan tugasnya di beberapa tempat dan waktu yang berbeda, Izroil pun kembali melesat dengan kecepatan cahaya membelah ruang menembus zaman, menuju kediaman Bunda Malin. Ibu itu rupanya sedang termenung dalam lamunan ketika Izroil sampai di depan pintu kamarnya.

Lima tahun telah berlalu sejak peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang menggemparkan para malaikat ruhaniyyun di atas sana dan para manusia setempat. Seorang ibu yang mengutuk anaknya menjadi batu, tentulah sorang ibu mulia yang diberi karomah oleh sang pemilik segala kesaktian. Inilah yang membuat Izroil sedikit nervous menjalankan perintah itu. Kalau hanya sekedar jendral, presiden, raja, kiai, ulama, pendeta, para pejabat, pengusaha, rektor, preman pasar, dekan, dukun dan lain-lain sih bukan masalah bagi Izroil, toh mereka cuma terhormat di kalangan para manusia. Tapi ibu ini….tentulah dia berlimpah kasih dari Sang Maha Kasih. Huff… tapi bagaimanapun beratnya Izroil mesti menjalankan amanah ini, sebab inilah tugasnya. Mencabut nyawa. Dan dengan inilah kehidupan seseorang akan lengkap, kematian. Lalu pada gilirannya, keseimbangan dan keselarasan kehidupan akan berjalan harmonis.

”Selamat malam ibu yang mulia,” Izroil mulai menyapa.
”Apakah kau malaikat pencabut nyawa itu, hai orang asing yang sedari tadi berdiri di depan kamarku?”. Di luar dugaan rupanya Bunda Malin sudah mengetahui kehadiran Izroil sebelumnya. “Ya, ini hamba, hendak menjalankan tugas membimbing nyawa ibu mulia menuju kehidupan nyata.”

“ Halah! Kau mau mencabut nyawaku. Bilang saja begitu, tak usah bertele-tele!”. Mata Bunda Malin masih menerawang jauh, tampak tak fokus. Heran juga Izroil dibuatnya sebab biasanya para kekasih Tuhan selalu berwajah tenang dan tanpa beban, terutama saat menjelang ajal. Tapi memandang wajah Bunda Malin, Izroil seolah sedang menangkap adanya beban berat dalam diri sang Ibu.

Apakah Ibu mulia takut menghadapi ajal?
“Tenang saja Ibu mulia, hamba akan melakukan tugas ini dengan perlahan dan sehalus mungkin. Dirimu adalah orang yang dikasihi, tentu tidak akan….”

“APA KATAMU??!!!! DIKASIHI??!!!!” suara Bunda Malin menggelegar bahana memotong kalimat Izroil. Memecah keheningan alam malam, merobek kesunyian, disertai tatapan mata tajam menatap Izroil seakan menembus makhluk nur itu. Kalaulah Izroil punya jantung, tentulah sudah melompat dari tempatnya semula. Bagaimana tidak? Melihat prestasi Bunda Malin dalam hal laknat-melaknat, bukan tidak mungkin Izroil berpikir akan dilaknat juga. Seorang anak manusia dikutuk menjadi batu oleh ibunya karena durhaka, bolehlah bisa diterima oleh catatan sejarah panjang umat manusia. Tapi sesosok malaikat pencabut nyawa dikutuk menjadi batu? Wah….bisa- bisa malah jadi bahan tertawaan ummat akhir zaman nanti.

”Oh, rupanya malaikat sepertimu pun tidak mengerti perasaanku yang sebenarnya?”
Jelas sekali Ibu Mulia, hamba tidak dibekali pengertian tentang perasaan Bani Adam agar bisa melaksanakan tugas ini seefekitif dan seefisien mungkin.

”Semua orang menganggapku sebagai ibu yang mulia sampai bisa melaknat anaknya menjadi batu. Apa yang bisa kulakukan dengan anggapan konyol itu? Tidakkah mereka melihat penderitaan ku setelah kejadian itu? Hari-hari yang kulalui dengan beban berat derita. Setiap kali aku ke pantai, aku melihat patung anakku dengan wajah memohon ampun. Penderitaan apa yang bisa lebih berat dari seorang ibu yang mesti melihat anaknya menderita tiap kali? Sesungguhnya, saat itu bukanlah Malin yang dikutuk. Akulah yang sejatinya dilaknat Sang Maha Pemaaf.”

Izroil tak mengerti, memang bukan tugasnya untuk mengerti segala sesuatu, tapi rasa penasaan itu nakal juga hinggap begitu saja. “Ibu Mulia, bukankah doamu yang mustajab itu adalah bukti bahwa dirimu adalah manusia pilihan? Bukankah itu adalah karomah yang diberikan oleh Sang Maha Mulia sebagai balasan atas kesabaranmu?”

”Sabar? Yaa… semestinya aku bersabar. Sebab kesabaran tidak mengenal batas, wahai malaikat. Kemarahanlah yang sesungguhnya berbatas. Bagai tebing jurang curam, sekali kau terperosok maka tak ada jalan keluar darinya…. Uhuk…Uhuk…!” Bunda Malin sudah kembali tenang, mungkin juga karena paru-parunya yang sudah sedemikian lemah. Perasaan bersalah yang sedemikian berkecamuk dalam dirinya membuatnya susah tidur beberapa tahun belakangan. Udara dingin malam beserta angin dari pantai rupanya ampuh mengerjai paru-parunya. Tapi sebenarnya penyakit paru-paru itu hanya salah satu agen bawahan Izroil, untuk merasionalisasikan kematian sang Ibu.

”Maafkan, tapi hamba yang berasal dari alam malakut ini belum mengerti Ibu Mulia. Kau sudah menunggu anakmu yang merantau bertahun-tahun lamanya. Sekembalinya dia dari perantauan, dia malah tidak mau mengakuimu sebagai ibunya. Jelas sekali bahwa Malin adalah anak durhaka dan patut dihukum atas kesombongan dan kedurhakaannya. Apa yang membuatmua berpikir bahwa engkaulah yang dilaknat dalam perkara ini?”

Terbatuk beberapa kali. Sambil meminum air dari gelas yang memang dipersiapkannya, Bunda Malin melanjutkan penjelasan. ”Bahwa malin berdosa atas diriku tentu saja ya, tapi menganggap akulah pihak paling benar tanpa satu kesalahan dalam permasalahan ini, tentu tak bisa dibenarkan juga. Aku bersabar menunggunya, tiap hari aku menantinya, jelaslah saat itu kesabaranku diuji oleng Sang Maha Penyabar dan Maha Pemaaf. Ketika kedatangan Malin, aku sungguh bersuka cita. Apa yang kunantikan, kupikir akhirnya tiba juga. Tapi aku melupakan satu hal wahai malaikat, bahwa ujian dari-Nya sebenarnya berlapis, tak berkesudahan. Saat itulah puncak dari ujian kesabaranku. Apa yang kau sebut sebagai karomah atau kelebihan yang diberikan kepadaku, tidak lain sekedar buah dari kemarahan sesaat yang sedang bersimaharaja di hatiku. Dan itu adalah kesalahaan fatal. Sisa hidupku harus dihabiskan dengan menerima penderitaan ini serta rasa bersalah tak berujung. Maka betapa aku menantikan hari ini wahai malaikat, hari ketika semua penderitaan ini berakhir. Jadi cepatlah, cabut nyawaku, akhiri semua penderitaan ini, biarlah manusia-manusia sesudahku belajar dari kesalahan yang kubuat.”

Belajar?
”Oh ya, sepertinya memang seperti itu Ibu mulia. Hamba baru saja dari masa depan untuk mencabut nyawa beberapa manusia di sana. Di masa depan nanti kisahmu menjadi dongeng pelajaran untuk anak yang durhaka.”

Di luar dugaan, ketika mendengar kabar dari masa depan itu, batuk Bunda Malin makin keras dan parah, bahkan sudah sampai mengeluarkan darah. Tubuh rentanya bergetar akibat menahan kemarahan. Matanya memerah menatap Izroil dengan tatapan setajam Golok Pembunuh Naga milik Tiau Bu Ki dalam serial To Liong To.

Aduh Gusit diri sejati, aku salah apa lagi….kumohon….jangan kutuk aku jadi batu. Ibu Mulia…..
”Oh tidak mungkin, sesederhana itukah tafsir mereka atas kisah ku?”
”Seperti yang kau tahu Ibu Mulia, kemampuan intelektual manusia semakin menurun dari zaman ke zaman. Tapi di mana letak salahnya pengartian itu? Bukankah benar kisah ini adalah tentang anak durhaka?”

“Ya, ini adalah kisah tentang anak durhaka… Uhuk…” batuk lagi, kemudian melanjutkan, “tapi manusia tidak boleh lupa bahwa selain itu, ini juga adalah kisah tentang ibu yang durhaka.”
”Ibu durhaka?”

”Ya, durhaka terhadap kesabarannya. Kemarahan seorang ibu adalah kemarahan Penciptanya, laknat Ibu adalah laknat-Nya. Inilah yang mesti mereka pelajari. Hal ini bukan fasilitas, tapi ujian bagi setiap ibu untuk menjadi sesabar yang Maha Sabar. Mereka mesti menyiapkan dirinya untuk terserap pada sifat-sifat Ilahi itu, sebab kasih ibu adalah penggambaran sempurna kasih Tuhan yang kudus di atas dunia dan semesta.”

Ibu Mulia, andainya kau tahu bahwa pemikiran semacam itu nantinya akan mengguncang dunia lewat karya-karya Hegel dan Ibn Arabi. Sayang bukan dalam wilayah dan kuasaku untuk memberi informasi tentang tabir misteri zaman

”Apa yang mereka anggap benar belum tentu benar, manusia masa depan mesti belajar melihat dari sudut pandang yang lebih luas… Uhuk… Uhuk…”

Sedang para pewarta di masa depan nanti akan mempelajari itu sebagai hal yang wajib mereka lakukan, mereka menyebutnya dengan istilah cover both side, tapi ibu mulia ternyata telah lama menyadari pentingnya melihat dengan sudut pandang yang lebih universal.

”Kesalahan terbesarku adalah mengharap timbal balik dari kasih sayang yang telah kuberikan selama ini. Kesalahanku jua adalah mengharapkan anakku Malin tumbuh seperti yang kuinginkan, aku terlalu menginginkan dia tumbuh persis seperti harapanku,” sembari terbatuk ia melanjutkan kalimatnya, ”sedangkan seorang pujangga pernah berkata, anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah putera-puteri kehidupan”

Pada suatu masa yang pernah kukunjungi syair ini begitu populer……..
“Mereka datang melalui kalian tapi bukan berasal dari dirimu dan walaupun mereka bersamamu tapi mereka bukan milikmu”
Ya ya….tidak salah lagi aku pernah dengar syair ini di suatu tempat…..hmmmm……
Sedang Bunda Malin masih melanjutkan berpujangga ria, Izroil masih sibuk mengingat-ingat dimana mendengar syair ini dahuluuu….di masa depan.

“Kau boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan pikiranmu karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri, kau boleh merumahkan tubuh mereka tapi bukan jiwa mereka uhhuukkk……”
Batuk Bunda Malin semakin keras dan berdarah-darah…….

Astaga! Ini kan karya Kahlil Gibran! Pujangga yang dijuluki Sang Nabi dari Lebanon…. syair ini disuarakan melalui tokoh rekaannya Al Musthafa. Ibu Mulia, mungkin tabir fisikmu sudah terbuka sedemikian lebar sehingga memorimu sudah rancu bercampur dengan memori semesta, kau bahkan membaca syair yang penulisnya saja belum lahir.

Konon bila seluruh air laut ditumpahkan ke wajah Izroil, maka seluruh air itu bahkan tidak akan sampai menetes dari wajahnya saking besarnya dia, namun saat ini rasa Iba tumpah juga dari mimik wajahnya.
“Uhukk….karena jiwa mereka berkelana dalam rumah esok hari, yang tidak dapat kau kunjungi sekalipun dalam mimpi”

Sayang sekali Ibu Mulia, pada masa datang, syair-syair Gibran dicetak hanya untuk kepentingan pasar untuk mereka yang mereguk keuntungan dari penjualan buku-buku nya, dan mereka sengaja membuat kesan bahwa orang yang membaca Gibran itu romantis atau spiritualis, oh! Manusia masa depan yang kering cahaya…Ibu Mulia, sudah sejauh manakah tabir itu terbuka untukmu?
Namun demi melihat tubuh Bunda Malin yang semakin melemah akhirnya berkata jugalah Izroil memotong pembicaraannya.

”Ibu Mulia, hamba rasa tenggang waktu telahpun tiba. Kalau mengulur waktu lagi kasihan tubuh rentamu itu sudah tidak sanggup menampung keliaran sukmamu yang semakin kangen pada asalnya. Maka izinkanlah hamba melaksanakan tugas ini.”

Izroil pun mulai menyiapkan prosesinya dan menunjukkan surat tugas dari Sang Maha Raja di atas Raja pada Bunda Malin. Bunda Malin toh sudah tidak peduli, dia sudah rindu betul pada kampung halamannya. Kampung halaman Malin juga, kampung halaman semua makhluk, kampung halaman semua semesta tempat segala berpulang.

Sembari sedikit demi sedikit nyawanya dicerabut dari fisik rentanya samar-samar terdengar suara Bunda Malin lirih melanjutkan syair…..
“Kau boleh berusaha seperti mereka tapi jangan membuat mereka menjadi sepertimu, karena hidup tidak berjalan mundur atau berkaitan dengan hari kemarin”
“Semoga Freud tak perlu mendengar bait yang terakhir kau bacakan itu Ibu Mulia, sebab dia sangat menghargai peran masa lalu dalam hidup manusia.”

Bunda Malin hanya tersenyum, dia toh tidak tahu siapa itu Sigmun Freud sebab mungkin dan sedang membicarakan seseorang yang belum lahir pada zaman itu, tapi tak apalah sebentar lagi dia juga akan melewati batas ruang waktu yang njelimet ini.
”Dan katakanlah padaku malaikat, seperti apakah tempat yang kutuju setelah aku tanggalkan semua bentuk wadag padat ini?”

”Ibu Mulia, yang kuhormati dan kusegani….terus terang hamba sendiri tidak bisa menjelaskannya, sebab ketika hamba berinteraksi denganmu hamba masih mesti terikat dengan bahasa sedangkan engkau memintaku menjelaskan suatu tempat yang tidak ber ruang, ketika hukum waktu runtuh, dan segala kata bahasa tak mampu menjelaskannya”
”Ya…..baiklah-baiklah, sebentar lagi juga aku akan mengerti”

Sedangkan Izroil sambil melaksanakan tugas rutinnya itu masih tersenyum geli membayangkan jalannya legenda Malin Kundang ini, sembari membatin, “Gusti, Dikau kekasih yang bersaksi melalui diri hamba, bahkan aku yang tercipta dari cahaya pun tiada sanggup mengetahui misteri-misteri penciptaanMu, seberapa besarkah sebenarnya pengetahuanmu itu? Adakah kau tertawa mengetahui ketidak tahuan kami, makhlukMu?”

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi