Selasa, 12 Oktober 2010

Senja Di Kimberley Road

Elnisya Mahendra
http://sastra-bojonegoro.blogspot.com/

Kumatikan pesawat televisi, tak ada berita yang menarik, apalagi siaran berbahasa kantonis yang sama sekali tak kumengerti artinya. Aku memang hanya ingin tahu ramalan cuaca hari ini, sepertinya lebih dingin dari hari kemarin. Dan kudapati 13-16 derajat untuk hari ini. Sudah cukup membuatku membekukan seluruh tubuhku. Apalagi aku ada bakat alergi dingin, seluruh tubuh terasa gatal jika suhu dibawah 2O derajat. Untung saja aku tidak dilahirkan dinegara yang mempunyai 4 musim.

Keberadaanku disini, di negri-nya Jacky Chan aktor kungfu yg mendunia, sudah 4 hari yang lalu. Tak terasa sudah 1O hari kutinggalkan Banjarmasin, kutinggalkan Nora istriku dan David anakku yang baru belajar jalan. Tugas kantor mendadak menghantarkan aku dan anak buahku Eko pergi ke Beijing, bersama beberapa teman dari kantor pusat, untuk menghadiri event pameran produc di Beijing. Dan di Hong Kong adalah bonus dari kantor pusat untuk menikmati liburan. Sungguh sangat beruntung bisa datang di negeri yang tak pernah ku impikan sebelumnya. Seandianya bisa kubawa serta Nora dan David mungkin pagi ini tak semalas sekarang.

Masih menikmati khayalku, aku jadi mengingat seseorang, yang selalu mengabarkanku tentang Hong Kong. “Aku sekarang berada di Tsim-Sha-Tsui mas,” katanya suatu hari di telepon. Dan sekarang aku berpijak dikota bernama Tsim Sha Tsui, seperti apa yang pernah dia ceritakan. Ah… Dimana dia sekarang? Masihkah dia berada di Hong Kong, ataukah sudah pulang berkumpul dengan keluarganya di Bojonegoro sana? Di kota tempat aku dan dia dilahirkan. Namun feelingku berkata lain, sepertinya dia masih disini, seperti telah dekat denganku. Entahlah…. berjuta kata seandainya itu telah meracuni otakku untuk mencari cara bagaimana bisa menemukannya saat ini. Padahal aku tak mempunyai alamatnya, tidak juga mengingat nomer teleponnya. Benar benar meracuni semangatku hingga aku malas keluar dari kamar hotel pagi ini. Sampai sampai berencana tak akan ikut keluar jalan bersama teman teman. Padahal sekarang adalah minggu, sudah tentu Hong Kong yang dinamakan pintu gerbang paris ini akan ramai dikunjungi touris.

“Dingin…brrr…!!” Eko anak buahku yg juga teman sekamarku keluar dari toilet telah mengagetkan lamunanku. “Kok belum siap siap pak Gondo, gak mau jalan tah?” tanyanya. Dan akupun hanya menggeleng. “Rencananya hari ini kita kan mau ke Disney land, masak menyia nyiakan kesempatan ini?” Aku berdiri dari sofa yang sejak tadi kududuki dan berjalan menuju jendela. Kutarik gorden, tampak disana view Hong Kong yang indah. Dari ketinggian terlihat di seberang pulau sana gedung berjajar, dan laut penyekat pulau dengan kapal ferry yang bergerak lambat. Tampak pula perahu tradisional khas Hong Kong. Namun pagi ini masih berkabut, pemandangan itu seperti diselubungi tirai putih tampak meremang. Eko berjalan kearahku, ikut membuka gorden di sebelahku, menghapus embun yang menempel di jendela kaca membentuk gambar hati. Sejenak kupandang dia, kami sama sama tertawa. “Saya tau pak Gondo, pasti mau mencarinya lagi kan? Masih mau datang ke Victoria Park, tempat kemarin? Katanya kalo hari minggu banyak sekali orang Indonesia yang bekerja disini pada ngumpul di Victoria Park.”

Ku duduk kembali di sofa ” Akan aku coba kesana lagi Ek, walau gak yakin ketemu, tapi paling tidak aku telah berusaha mencarinya,” desahku lirih. Eko merapikan pakaianya, tampaknya dia semangat sekali hari ini. “Seandainya sebulan sebelumnya kita mendapat kabar, kalo kita juga akan mampir ke sini, tentu kita bisa mengontaknya. Atau paling tidak bisa mencari nomor teleponnya. Sepertinya aku masih menyimpan, kucatat di buku telepon kantor,” kata Eko. Dan aku hanya bisa mengangguk, Eko telah bisa menebak apa yang ada di hatiku. Dia bukan hanya anak buahku, tapi tempat curhatku. Kami berdua sama sama datang ke Banjarmasin untuk menjawab tantangan dari kantor pusat di Bandung, untuk mendirikan cabang distributor obat obat ternak dan melayani inseminasi buatan pada peternakan. Cuma nasibnya kalah denganku, aku yang lebih dipercaya menduduki jabatan manager di kantor. Tapi berkembangan cabang ini tak lebih karna kerja keras Eko.

Dia sudah tampak rapi dengan jaket hitam dan kopyah winternya. Dalam hati aku benar menertawakannya, tampak kelihatan takut kedinginan. Berpakaian bertupuk tumpuk, seperti robot jika berjalan. “Pak Gondo… Saya pergi dulu,” kata Eko sambil menyambar tasnya berjalan menuju pintu. “Tunggu Ek… Aku nitip belikan sesuatu buat David,” cegahku sambil berjalan kearahnya, kuulurkan uang 5OO dolar. “Apapun yang penting lucu, yang kira kira David suka, terpenting lagi ada logonya Disney,” kataku sambil tertawa. Eko mengangguk, tertawa kecil sambil berlalu.

Masih dengan rasa malas kurebahkan tubuh ini diranjang, lamunanku tentang Nesha masih menari di otak. Rasa bersalah ini telah memojokkanku disudut kamar, seperti aku masuk ke dalam frezeer, menggigil. Padahal di kamar hotel ini telah di pasang penghangat ruangan. “Ya…. Aku harus mencarinya,” tekatku.

Bila kukatakan sejujurnya kalo aku masih mencintai Nesha, siapa yang akan percaya, karna akupun mencintai istriku Nora. Tapi ini adalah kenyataan, aku tak bisa melupakan Nesha. Nesha adalah pacar pertamaku waktu SMA dulu. Karena dalam 1 kost, teman teman tak pernah menduga kalo kami pacaran. Malah seperti kakak beradik, aku menyayanginya. Sikapnya yang manja membuat aku slalu ingin melindunginya. Bukan hanya sekedar cinta monyet, tapi aku sudah mengenal keluarganya, ibunya sudah seperti bundaku sendiri. Namun sungguh klise kalo cinta kami terpisah karena keyakinan yang menghalangi. Tapi ini adalah soal prinsip, akupun menghormatinya seperti dia menghormati keyakinanku. Namun hubungan baik masih terjalin, dia masih tetap manja walo aku bukan kekasihnya. Sampai akirnya dia menikah, dan akupun setahun kemudian menyusulnya. Kesibukan dengan keluarga masing masing telah menyita waktuku sampai suatu hari Nesha meneleponku dari Hongkong, aku hampir tak percaya dia senekat itu, merantau yang misalnya aku sendiri belum tentu berani. Dan kami pun semakin akrab tanpa sepengetahuan Nora. Apa ini yang dinamakan selingkuh? Walaupun aku tak pernah membicarakan masalah cinta lagi dengannya, demikian juga dia. Tapi di dalam hati ini masih tersimpan dan tumbuh bersemi bunga kasih itu, aku yakin dalam hatinya juga.

Tapi tragedi setahun silam telah menelan tubuh mungilnya di belantara Hong Kong tanpa kabar berita lagi. Dan itu karna salahku, aku mengakui dosaku. Aku telah memakinya walau aku sadar sebenernya bukan salah dia. Masih kuingat waktu itu hari jum’at, saat aku pulang tugas luar kota, sampai rumah disambut Nora dengan menu menu uji coba dia dari beberapa majalah dan tabloid dia coba. Ku hanya manggut manggut melahap masakan istriku. Dan tiba tiba ponsel ku bergetar, tanda sms masuk. Kubiarkan Nora membuka sms diponselku, seketika mukanya berubah merah dan telepon genggamku hancur setelah dilempar ke dinding. Hampir 1bulan aku harus merelakan dia pulang kerumah orang tuanya di Samarinda. Sejak peristiwa itu semua sms dan telepon Nesha tak pernah ku hiraukan lagi, nomor teleponnya pun sudah ku hapus dari phonebookku, yang lebih sadis lagi, Nesha adalah sasaran kemarahanku, karena dia Nora pulang ke orang tuanya dan menjadi masalah keluarga besar. Dalam sms ku pada Nesha tak ingin aku di hubungi lagi. Dan diapun berjanji tak akan pernah menghubungiku, ya sampai detik ini… Aku yakin hatinya saat itu begitu hancur mendengar kemarahanku, mendengar tuduhanku tlah menhancurkan rumah tanggaku. Dan sekarang baru kusadari bahwa semuanya adalah takdir, bukan karena dia. Terbukti Nora pulang kembali bersamaku, meminta maaf atas kecemburuannya. Dan beberapa bulan kemudian David lahir, sempurna sudah kebahagiaanku.

Tak terasa sudah 1jam aku tiduran di ranjang menatap plafon putih sambil mengingat ingat kejadian yang lalu, kemudian membayangkan bisa bertemu Nesha kembali. Dan tekatku semakin kuat mencarinya hari ini ke Victoria park lagi. Kusambar handuk dan beberapa lembar T-shit lengan panjang, masuk toilet dan berendam air hangat. Kukenakan beberapa lembar t-shit sekaligus, sweeter rompi dan jaket tebal plus syal yang kubeli kemarin di pasar murah Fayin kai yang artinya pasar murah di jalan bunga, itu kata guide nya, kemarin. Lumayan murah memang, hanya dengan 5O dolar syal cantik itu sudah ada digengamanku. Kusambar tas punggungku, dengan lift kuturun dilantai dasar, sarapan sebentar di resto hotel, hanya ku ambil sepotong egg tart dan secangkir kopi. Sebenarnya hawa dingin membuat perutku lapar terus, namun hari ini terasa tak nafsu makan. Segera kusudahi sarapanku, keluar dari hotel sekitar jam sepuluh, kulangkahkan kakiku dari ujung jalan kimberly dimana letak hotel, menuju ke Natthan road, dan diujung yang lain di seberang sana tampak masjid berdiri dengan megahnya. Seperti yang pernah ku dengar dari cerita Nesha dulu, banyak juga pekerja migran muslim yang di hongkong, diantara mereka aku berharap ada dia di sana. Tapi sudah lima menit aku berdiri didepan masjid itu tak tampak ada Nesha disana. Ku berjalan lagi kearah kanan masjid, ada stasiun kereta api bawah tanah. Ku beli tiket dengan tujuan causwebay seperti kemarin. Kemarin hari sabtu guide sempat membawa kami ke Victoria park, yang katanya banyak sekali pekerja migran dari indonesia. Dan memang benar, kutemui orang orang Indonesia disana, mereka seperti tau kalo kami rombongan dari bangsa yang sama, merekapun tersenyum ramah. Setengah jam kemudian aku telah sampai. Tak bisa ku bayangkan sebelumnya, benarkah ini Hongkong? Yang ada di benakku ini adalah negara bagian Indonesia saja. Sejauh mata memandang ketika masuk di kawasan Victoria park yang ada hanyalah orang orang Indonesia. Berbicara dengan bahasa jawa, serasa berada dikampungku, sebuah desa di kabupaten Bojonegoro.

Lalu lalang penjual nasi, bakso, buah dan minuman menawarkan dagangan, mereka ada yang sempat menanyaiku saat ku beli air mineral darinya. “Liburan ya mas, dari Korea atau Taiwan?” kata penjual minuman itu, terakir kutau namanya adalah Rukiyah, dia berasal dari lampung. Aku sempat tidak tau apa yang dimaksud dia menanyaiku aku dari Korea atau Taiwan, padahal tampangku Indonesia bahkan kelihatan jawa asli. Setelah Rukiyah jelaskan baru aku ngeh apa yang dimaksud. Hongkong memang tak menerima tenaga kerja laki laki dari Indo, jadi bila ada laki laki Indo di sini kebanyakan mereka adalah TKI yang bekerja di Korea dan Taiwan yang sedang berlibur di Hongkong. “Mungkin mereka akan menemui kekasih hatinya sampai mau datang ke Hongkong mas” kata Rukiyah. Dan dia pun sempat menanyakan maksud kedatanganku ke sini. Akirnya aku sempat ngobrol panjang lebar dengannya. Agak sedikit heran waktu kukatakan aku ingin mencari mantan kekasih ku.”Cisin…yang benar aja mas, mau nyari orang gak tau alamat dan nomor telepon nya.? Ya… Bagai mencari jarum di dalam jerami mas, disini BMI (Buruh Migran Indonesia) hampir mencapai 231 ribu, dan lebih dari separuhnya libur pada iari minggu, jadi keajaiban lah bila mas bisa menemukanya” katanya sambil di iringi derai tawa aku dan Rukiyah. Karna hampir satu jam aku ngobrol, rasanya kasian banget kalo aku tak membeli dagangannya. Ku beli beberapa bungkus klepon, tempe dan bakwan goreng, juga sebungkus kacang rebus. Rukiyah yang kira kira berumur 3O tahun itupun sempat memberi nomor teleponnya padaku.Kembali ku lanjutkan pencarianku, menyusuri sudut sudut Vitoria park, kusambangi tempat tempat mereka bergerombol, kupandangi satu persatu wajah mereka. Kadang aku memburu kala menemui wajah yang hampir mirip Nesha. Namun sampai jam 3 lebih aku tak menemukannya. Dalam keputus asaanku, kuputuskan kembali ke Tsim Sha Tsui, ke Kimberly di mana aku menginap.

Berjalan kearah stasiun kereta yang terdekat dengan melihat anak panah yang tertera di sepanjang jalan. Rasanya ingin cepat sampai di penginapan, tubuhku letih, tadi tidak sempat makan siang. Tubuhku menggigil, selain suhu udara sore yang semakin dingin ditambah gerimis halus mungkin juga karna perutku terasa lapar. Ku masukkan koin dolar untuk 1lembar tiket menuju Tsim Sha Tsui, namun harganya tak semahal berngkatnya tadi, buru buru kumasukan tiket kedalam mesin palang pintu, dan terbuka. Namun tiba tiba 2 laki laki menghampiriku “Emkoy pei ngo sa-fancing” kata salah satu dari mereka, aku benar benar tak tahu apa yang mereka maksud. Masih dalam keadaan kaget, seperti baru sadar dari mimpi dan disampingku telah berdiri seorang gadis, aku benar benar dalam keadaan bingung.”Singsang yao meysi a? Hai mai yao manthai thui ngo bangyao,.” tanya gadis disebelahku pada dua orang laki laki didepanku. Setelah berbicara sebentar dengan mereka gadis itu berpaling didepanku setengah berbisik “Anda salah membeli tiket mas” kusodorkan tiket kereta yang kubeli tadi padanya. Aku masih belum paham juga, kesalahan apa yang aku lakukan. Pasport ku juga diperiksa. Beberapa saat kemudian urusan selesai, dan tiket diberikan padaku namun tlah berganti warna. “Lily namaku” gadis itu mengulurkan tanganya. “Gondo” jawabku singkat sambil kusalami dia. “Mau kemana mas Gondo? Anda tau, kenapa tadi mas di hadang petugas dan diminta dokumen mas?” tanya Lily disertai senyum ramahnya. “aku sama sekali tak tau, apalagi mereka pake bahasa Kantonis, aku juga tak tau apa yang kau maksud aku salah membeli tiket?”. Lily menarik tanganku menuruni eskalator, Dia panjang lebar tentang tiketku yang salah membeli untuk junior, yang harganya separo dari dewasa. Setiap mesin pintu tiket selalu memberi tanda dengan bunyi tiket apa aja yang masuk. Jelas petugas akan tau tiket apa yang kita pake, dan aku telah melakukan kesalahan di negeri orang. Untung mereka memaklumi aku adalah turis yang baru 3hari disini, juga bantuan Lily yang menjelaskan pada mereka kalo aku benar benar tidak tau. Dengan tiket tujuan yang sama akirnya aku dan Lily naik kereta yang sama pula.

Sama sama turun di Tsim Sha Tsui, kami jadi ngobrol banyak. Lily teman ngobrol yang enak, friendly. Kami berjalan menyusuri dermaga menikmati debur ombak. Cukup terhibur hingga aku tak merasakan letihku lagi. Lily ternyata sudah lama disini, gadis berasal dari Malang itu dari awal bertemu kukira adalah seorang mahasiswi Indonesia yang study disini. Tapi ternyata bukan, dia adalah pekerja migran biasa yang bekerja disektor rumah tangga. Wajahnya yang mirip Chinese, rambut sebahu dan pakaiannya modis membuat aku salah menebak. Memang pekerja migran di Hongkong sudah tidak seperti TKW zaman djdulu, apalagi tadi waktu aku berjalan ke Victoria Park, banyak dari mereka telah mengakses laptopnya di tengah2 lapangan, mengisi hari libur mereka.

Duduk di bangku dermaga, tiba tiba ringing ponsel Lily berbunyi, berbicara sesaat, kemudian pria berperawakan jangkung dan berambut pirang itu menghampiri Lily. Gadis itu memperkenal kalo laki itu pacarnya. Pria Swedia bernama Stevent. Setelah berbicara sebentar, mereka pamit berlalu dariku, kebebasan bergaul dinegara cosmopolitan ini telah disalah gunakan, sampai tidak ada batas dan adab kita sebagai orang timur, seperti siang tadi aku melihat gadis yang sepertinya orang indo juga, sedang berpelukan didalam kereta dengan pria bermata tajam, berhidung mancung. Aku jadi teringat Nesha kembali, semoga dia dijauhkan dari hal hal seperti itu, aku yakin didalam pribadinya yang manja ada prinsip kuat yang bertengger di hatinya, sampai akupun tak mampu mengalahkannya… Ah.. Sepertinya bayang wajahnya berarak bersama mega putih diatas sana.

Masih duduk dan kunikmati heningnya sore ini. Perutku berkali kali berbunyi memanggil empunnya untuk memasukkan sesuatu. Kukeluarkan bungkusan tempe goreng dan bakwan yang sempat kubeli dari Rukiyah tadi, lahap aku menyantapnya. Masih ada beberapa potong lagi nanti buat eko. Pasti dia akan kaget, gak akan mengira aku dapatkan tempe goreng di Hongkong, sedangkan di Banjarmasin sulit mendapatkan tempe, apalagi seenak ini. Kukemas kembali kumasukkan kedalam tas. Kukenakan kembali syal yang siang tadi sempat kulepas, kini terasa lebih dingin lagi. Kuberanjak dari tepi dermaga, berjalan diantara dua musium, Hongkong musium of Art dan Hongkong space musium yang terletak disebelah dermaga, didepan Peninsula Hotel. Tsim Sha Tsui adalah kota wisata di Hongkong, banyak musium dibangun disini, Masjid, Kwoloon park yang terletak di blakang masjid. Hotel hotel berbintang, cafe, night club, banyak bertebaran di kota ini. Sampai di Nathan road berbelok ke Cammeron road, memutar ke Carnavon road, aku sepertinya kesasar, dari tadi hanya memutar mutar pada 2 jalan itu. Aku kembali masuk ke dalam stasiun kereta, disitu ada peta, dan lebih gampang bila aku keluar dari exit A, dekat masjid yang berseberangan dengan ujung jalan Kimberly.

Lumayan juga jalan sendiri, banyak hal yang ku tahu hari ini. Lebih bebas leluasa, tidak harus nurut ma boss. Bahkan ada pengalan yang tak terlupakan, ketangkap petugas di stasiun kereta bawah tanah, geli aku mengingatnya. Tiba tiba saja ponselku bergetar, ada SMS masuk, kubuka dari Nora. “pa, kapan papa pulang? Mama ma David dah kangen” isi SMS itu. Berdiri sebelah telepon umum ku balas sms Nora sebentar. Mengabarkan kalo baik baik saja, dan akupun merindukan mereka jg. Nomor teleponku sengaja tidak kuganti. Nomor telepon Indonesia dengan menggunakan pelayanan roaming, biar siapapun masih bisa menghubungiku. Dan aku tiap malem hari selalu mendapat laporan berupa sms maupun email dari Banjarmasin. Ternyata akupun masih punya harapan untuk bisa bertemu Nesha, berharap dia kembali menghubungiku lewat ponsel maupun email. Setidaknya aku masih punya waktu 3hari lagi untuk menemukannya sebelum aku benar benar terbang pulang.

Rasa bersalah pada Nesha tak bisa kupungkiri, tiba tiba butiran bening ini jatuh… Perih rasa ini. Ah… Sejak kapan aku cengeng seperti ini, tapi aku sekarang benar benar merindukannya. Langkahku semakin gontai meniti tangga tangga di pintu stasiun yang sebelah masjid. Ada apa sebenarnya yang terjadi padaku, aku telah mendramatisir suasana hatiku menjadi sedemikian pilu. Menunggu lampu merah di trafic light pun terasa lama. Sementara senja tembaga mengintip terhimpit diantara gedung gedung menjulang. “Tuhan berilah aku kesempatan sekali saja bertemu denganya” gunamku lirih.

Kutengadahkan wajahku keatas sesaat, untuk mencari lukisan wajahnya sebelum lampu merah menyala. Di atas sana hanya mega putih berarak yang tampak samar. Trafic light sudah menunjukkan boleh menyeberang, tampak ramai sekali seperti dikomando semua orang bergerak cepat, namun belum sampai tepi jalan, langkah ini begitu lunglai. “Nesha” yach… Gadis dari seberang itu mirip sekali Nesha, segera ku balik arah mengejarnya. “Nesha…Nesha Rahmadani” panggil ku lagi, dan sejurus gadis berjilbab pink itu menoleh kearahku. Benar dia Nesha yang ku cari, hampir ku tak percaya. Perempuan itu masih bengong ditepi jalan, dan akupun hampir tersambar kendaraan bila tak ku dengar teriakan orang di tepi maupun teriakan Nesha agar aku cepat menepi. “Benarkan kau Nesha?” tanyaku pada makhluk cantik dikeremangan senja sore ini, “Iya, mas Gondo kan? Bagaimana sampai disini, mimpikah aku?” Tanyanya, kulihat dari sorot lampu yang membias wajahnya, telaga bening itu mulai tumpah, satu tangannya menjabat tanganku, satunya lagi sibuk menghapus air matanya. Inikah keajaiban yang dimaksud Rukiyah tadi siang. Tuhan mendengar doaku sesaat setelah aku ucapkan. Berbicara dengannya sebentar, kemudian Nesha pamit ke masjid. Kuantar sampai pintu gerbang, dan aku menunggunya diluar. Dia janji akan menemuiku kembali setelah sholat Magrib.

Menunggunya hampir 15 menit ditangga Kowloon park sisi masjid, seperti tak sabar, serasa lama sekali. Beberapa menit kemudian muncul juga. Dia tampak sekali berbeda, keceriaan itu sepertinya telah sirna, entah apa yang tersimpan dalan misteri matanya yang sendu. Akirnya aku temukan tempat ngobrol yang enak bersama Nesha. Subuah cafetaria dengan memesan menu bebek bakar, walo tak seenak menu indonesia, tapi bolehlah, sehari aku tak makan nasi, apalagi ditemani seseorang yang benar2 aku rindukan. Tapi air mata perempuan diseberang meja itu tak bisa terbendung, aku ingin merengkuhnya, memeluknya seperti dulu, saat dia sakit karna tertabrak sepeda. Namun kini seperti ada sekat, semuanya telah jauh berbeda. Ketika aku ingin menggenggam tangannyapun dia buru buru menariknya. Entahlah apa yang tersembunyi dalam hatinya, aku tak mampu mengurai, mungkin senja ini atau malam yang akan membantu mengurai, jika dia tak mengijinkanku. Sementara lagu “What my heart wants to say” milik gareth gates terdengar menyayat hatiku.

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi