M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/
Tentu sudah bukan menjadi pemikiran yang baru ketika saya di sini memulai mengungkapkan kembali mengenai nilai keuniversalan karya sastra dan skemanya sebagai suatu manifestasi dunia kehidupan. Pembacaan pada karya sastra akan membawa kita pada fenomena masyarakat atas dunia kehidupan yang dipahami seorang sastrawan sebagai salah satu agen edukasional. Saya mendasarkan ini pada pendapat Horatius yang menempatkan sastra sebagai media yang mengandungi dua nilai utama, yaitu mendidik dan menggerakkan. Berbekal nilai ini karya sastra, tidak menjadi hal yang muluk kalau, sastrawan sebagai agen edukasional bertanggung jawab sebagai “guru humanis”. Kedudukan ini merupakan suatu kehormatan bagi para sastrawan, di samping paradigma lain yang menempatkan karya sastra sebagai teks yang mensucikan jiwa manusia, khatarsis dalam bahasa Aristoteles. Mengantongi pendapat Aristoteles ini, karya sastra menempati posisi yang begitu tinggi. Tidak sekedar sebagai lembaga pengajaran bermediumkan bahasa, di dalamnya juga menanggung tanggung jawab berat. Bobot karya sastra, karena itu, dapat dilacak dari muatan edukasional yang terkandung, tentu saja edukasional yang mencerahkan. Tidak ada salahnya kalau kemudian kita mengatakan bahwa sastra memiliki kedekatan dengan agama.
Sastra dalam penyampaiannya memuat tiga faktor penting seperti yang sudah saya sebutkan di atas, yaitu mendidik, menggerakkan, dan selanjutnya mencerahkan. Tiga muatan ini akan mengarahkan kita pada sastra bertendens, mengantongi misi tertentu yang dimaksudkan oleh subjek kreator. Kita akan menemukan berbagai bentuk (sastra) propaganda, seperti yang diungkapkan Lu Hsun (1928) bahwa “semua sastra sebagai propaganda”.
Di tempat lain, Leon Trotsky mengungkapkan peran seni (dan sastra) sebagai perwujudan dari pelayanan sosial. Hal ini saya kira karena didasari oleh tiga muatan sastra tadi; melakukan pelayanan sosial dengan mendidik, berusaha menggerakkan, dan untuk mensucikan jiwa manusia.
Menjadi seorang sastrawan (pekerja sastra) bagi saya adalah sebagai suatu pilihan. Saya tidak tahu, apakan saya memiliki bakat alam atau karena faktor sosial lain. Karena menjadi pilihan itu, pekerja sastra menghadapi pilihan lain dalam menempatkan diri dan karya yang dihasilkan. Hal yang saya sadari betul sebagai tanggung jawab yang secara sadar telah saya ambil sebagai sastrawan (kalau “gelar” sastrawan itu pantas saya sandang, namun saya lebih senang disebut dengan propagandis).
KEMUNCULAN “PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA”
Ada Pembunuh di Istana Negara, hal ini yang coba saya angkat ke dalam sebuah tema cerita, sekaligus inti dari novel (baca saja: propaganda) yang saya kreasikan. Novel ini lahir di tengah maraknya eksotis dan ekstase cinta yang menebar di dalam nuansa kesusastraan Indonesia. Hadir dalam rangka mengangkat ruh perjuangan di masa lalu ketika sastrawan memiliki keberanian untuk memainkan peran sebagai pilar penopang demokrasi. Saya menyakini, kalau sastrawan harus berani mengabil sikap, memperjelas paradigma kenegaraan sebagai warga negara untuk beroposisi atau penyokong status quo pemerintah.
Menghadapi kenyataan yang teramat nyata, sungguh terlalu banyak di kalangan sastrawan yang melepaskan kebersinggungan dengan dunia politik. Bahkan para penulis yang telah dilabeli dengan bandrol penulis paling inspiratif, penulis best-seller dan seabrek istilah lainnya, menempatkan wilayah politik dalam nuansa yang abu-abu. Saya merasa kalau banyak sastrawan yang merasa tabu berhadapan dengan masalah politik sampai terkadang hanya tersentil sedikit sebagai bumbu yang entah itu sebagai pemanis atau sebagai percikan garam.
Dengan memperkenalkan PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (PDIN) yang terbit tahun 2010, sebagai seorang propagandis saya merasakan kebermanfaatannya. Melalui novel itu saya berusaha menempatkan diri, memperlihatkan pada masyarakat sastra secara gamblang tentang bumi mana yang dipijak oleh M.D. Atmaja. Jelas, untuk menempatkan siapa lawan dan siapa kawan. Lawan dan kawan saya berada jauh dari peperangan dunia sastra, misalnya antara kawan Saut Situmorang (boemipoetra) VS Teater Utan Kayu (TUK). Musuh saya adalah setiap sendi kehidupan yang menjadi penghalang bagi terwujudnya “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (PDIN, 2010: 5).
Soekarno telah memesankan pada kita untuk tidak melupakan sejarah, paradigma M-D-H (Materialisme-Dialektika-Historis) mengarahkan penulis untuk memahami realitas historis, dan juga falsafah Pancasila mengajarkan untuk menjadi “manusia”, karena itu saya memperkenalkan PDIN sebagai novel pertama. Saya yakin, bahwa sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah perlawanan pada kesewenangan dan ketidak-adilan, sejarah perlawanan pada penindasan manusia atas manusia lain, dan saya secara sadar menempatkan PDIN sebagai mukadimah perang itu. Bahwa di tanah merah darah Indonesia, masih tersisa beberapa orang, salah satunya M.D. Atmaja sebagai propagandis, pun ada juga si Politikus Sastra (Saut Situmorang) yang belum berhasil dibinasakan. Sastra harus menempatkan dirinya, sebagai suara keadilan.
BERSAMA PDIN; PEREMPUAN, CINTA, DAN POLITIK
Penempatan novel PDIN sebagai sastra yang berada di garis politik tidak semerta-merta sebagai kedangkalan pola berpikir. Memang, tidak ada kritikus yang mengatakan kalau novel PDIN sebagai naskah penting yang memperjuangkan berbagai aspek sosial masyarakat. Tapi, apakah nilai sastra ditentukan oleh kritikus sastra yang terkadang tidak mau tahu, terkadang pula sarat dengan berbagai kepentingan? Saya rasa tidak, sastra memiliki ruhnya sendiri dan pergolakan pemikiran dan kesadaran yang akan menjawab bagaimana posisi karya di dalam kehidupan masyarakatnya.
Perempuan memiliki strukturnya yang tersendiri dalam novel ini. Tidak mencolokkan mengenai peran perjuangan dalam kebebasan seksualitas, karena saya tidak melakukan eksploitasi pada tubuh secara besar-besaran. Saya juga tidak memberikan space yang cukup besar (juga tersendiri) pada aspek seksualitas ini, namun saya tetap menyuarakan dan memposisikan perempuan dengan lebih baik.
Namun mungkin saja, ini tidak akan menjadi “perjuangan gender” seperti yang dilakukan Sastrawangi Ayu Utami melalui “Saman”nya. Tapi saya merenungi nasib, apakah harus dengan ekspolitasi tubuh dalam khasanah seksualitas sebagai gerakan pembebasan kaum perempuan?
PDIN menempatkan perempuan dalam posisi seperti ini:
Bagaimana jadinya kehidupan ini tanpa perempuan? Apakah dia [lelaki] masih mampu berdiri dan berteriak: Aku sang lelaki! (hlm. 7).
Perempuan tidak sekedar sebagai pelengkap akan hubungan seksualitas, namun dia menjadi ruh di dalam kehidupan bagi seorang lelaki. Kehadirannya bagi saya melalui PDIN adalah sebagai EMPU yang mana mengandungi kekuatan kosmis (makro dan mikro) yang kalau dalam permainan catur, perempuan adalah pemainnya sedangkan lelaki adalah bidak caturnya. Melalui pandangan ini, tidak lantas saya merendahkan lelaki, karena saya seorang lelaki, namun keberadaan perempuan jauh dari sekedar permainan seksualitas itu tadi.
Ia (perempuan) sebagai empu, yang mana memberikan pengaruh gerakan dari seorang petarung seperti Wiku Sapta Seloka. Dapat dikatakan, kalau perempuan yang bermanifestasi dalam diri Gadis Indriani membentuk dan sekaligus mengarahkan jiwa pemberontakan Wiku. Bisa kita melihat bagaimana Gadis mengembalikan semangat Wiku (yang juga suaminya). Peran tokoh Gadis membuat Wiku lebih matang dapat disaksikan dalam pandangan Wayang (hlm. 72) atau ketika Gadis menguatkan suaminya untuk tetap berani menghadapi masalah seperti dalam halaman 286:
“Ada harga yang harus kita bayar untuk sesuatu yang ada di dalam dada kita sebagai harapan”
Posisi perempuan dalam kehidupan lelaki yang saya wujudkan dalam tokoh Gadis (yang secara dominan) dan Rini merupakan suatu dialektika perjuangan tersendiri. Lelaki tidak akan menjadi lelaki tanpa keberadaan perempuan yang sebenarnya memiliki dua nilai yang sama-sama menentukan kehidupan. Kedudukan perempuan itu, misalnya:
“Tidak seperti itu!” sahut Oka sambil menggelengkan kepala. “Kehadiranmu yang selama ini menguatkanku. Membuatku mampu berdiri tegak selayaknya karang yang menerima debur ombak di setiap harinya.”
“Menjadi kuat dan rapuh secara bersamaan seperti karang, yang pelan-pelan dikikir untuk menjadi pasir.” Ucap Gadis dalam senyuman yang dilanjutkan dengan mencium kening Oka kembali. “Sebenarnya aku adalah beban yang kamu tanggung, Mas, kekuatan dan kelemahan yang datang bersama-sama.”
“Itulah titik kehidupan seorang pahlawan. Istri dan keluarga adalah nyawanya, sekaligus menjadi kematiannya.” (PDIN, hlm 303).
Perempuan saya anggap sebagai bangunan struktur estetik yang penuh dengan makna kehidupan. Perempuan hadir sebagai ruh bersama dalam cinta yang tidak dapat ditolak atau dimanipulasi. Kecenderungan dalam melakukan atau mengeksplorasi seksualitaslah yang bisa dimanipulasi untuk terlibat menjadi perek (perempuan eksperimen, jika meminjam istilah Ayu Utami), atau menuju pilihan lain untuk menjadi Empu seperti dalam sejarah bangsa Indonesia.
Gerakan yang dilakukan Kapten Agung Sutomo pun, didorong oleh rasa cinta pada perempuan. Yaitu, karena keluarga kekasihnya, melalui tokoh Rina, yang mengalami kesewenangan pemerintah. Penggusuran petani yang melahirkan kesengsaraan baru, membuat Agung berani melepaskan tembakan pada orang yang selama ini dikawal. Lantas, apakah kita masih mempertanyakan peran perempuan dalam kehidupan kita?
Dalam ruang ini sengaja saya membahasnya, sebab saya pernah mendapatkan sapaan dari Robin Al Kausar yang menulis, “Ada pembunuh cinta di Istana Negara”, yang menyatakan bahwa di sana tidak adanya suatu gerakan politik dalam tragedi usaha pembunuhan presiden. Saya memang melandaskan diri untuk memulai sesuatu berasal dari rasa cinta. Termasuk, penembakan seorang Paspampres pada Presiden.
Kenapa harus cinta? Saya tidak bermain logika di sini. Tidak pula membuat suatu perumpaan lain, bahwa adanya konspirasi besar yang sengaja dipersiapkan untuk menggulingkan kekuasaan negara. Memang pernah terpikir untuk membuat suatu skema seperti itu, namun pembunuhan presiden dengan skematisasi kekacauan politik tidak menarik dan tidak murni. Saya masih berpandangan adanya gerakan kepentingan yang hanya akan melahirkan suatu sistem baru yang tentu saja, belum tentu lebih baik dari sistem sebelumnya. Dan masih menurut pandangan saya, pembunuhan atas nama cinta menjadi hal yang paling logis.
Novel ini saya pergunakan untuk mengungkapkan aspirasi politik yang selama ini, menurut saya gagal dilaksanakan oleh agen politik bangsa kita. Bahwa sebuah negara hanyalah berbentuk wadah untuk menampung kekuasaan besar rakyat. Sastra menjadi media penyampaian informasi, bahwa rakyat berada posisi atas dan pemerintah harus benar-benar mengakui secara dejure dan defacto atas kedaulatan itu. Tidak sekedar sebagai retorika yang gersang, yang dimanfaatkan ketika suksesi negara dilaksanakan. Skematisasi pemerintahan negara ideal versi PDIN dapat dilihat dalam diagram pada halaman 310.
Sistem Negara Ideal
Penggarapan PDIN sebagai perwujudan politik praktis yang pernah hilang dalam kesusastraan Indonesia setelah hebatnya kemenangan Gestok. Kalau dikarenakan estetika politik tersebut kemudian novel ini tidak bisa memasuki sastra, karena tidak pantas menjadi naskah sastra, maka biar saja PDIN tetap berada dalam identitasnya sendiri sebagai naskah politik.
Studio SDS Fictionbooks, 2011
*) Disuguhkan dalam Diskusi Sastra Novel PEMBUNUH DI ISTANA NEGARA (SDS Fictionbooks, 2010) karya M.D. Atmaja pada hari Jumat tanggal 15 April 2011 di Komunitas Matapena.
Sumber: http://phenomenologyinstitute.wordpress.com/2011/04/15/manifestasi-dunia-dan-pelayanan-sosial/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar