Kamis, 05 Mei 2011

Sastra Instan, Pluralisme, Religiusitas

Ahda Imran
Pikiran Rakyat, 23 Desember 2006

SASTRA sebagai pergulatan kreatif adalah sebuah jalan sunyi. Jalan yang tak mudah beriringan dengan kepentingan industri, apalagi popularitas. Meski hal itu akan sangat menggembirakan bila bisa diseiringkan, namun fenomena yang terjadi di tengah gegap gempitanya aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi karya sastra yang terjadi akhir-akhir ini ternyata menimbulkan semacam kecemasan juga. Sastra tidak lagi dimasuki lewat pergulatan jalan sunyi yang penuh kesabaran. Tak ayal lagi tuntutan industri dan kepentingan-kepentingan yang pragmatis telah melahirkan budaya instan dalam berkesusastraan. Intensitas dalam pergulatan kreatif tersisihkan oleh tujuan dan kepentingan-kepentingan pragmatis, termasuk eksistensi dan popularitas. Banyak karya yang bermunculan tapi sebanyak dan secepat itu juga yang hilang, hanya sedikit yang kemudian mampu mengendap.

Lalu siapakah yang masih memelihara dan membuka lahan persemaian bagi tetap berlangsungnya pergulatan kreatif di tengah tarik-menariknya tuntutan industri dan kreativitas ini? Jawaban atas pertanyaan itu harus ditujukan pada komunitas-komunitas sastra yang kerap bekerja secara heroik dan militan dengan modal minim. Mereka berkarya dalam sepi ing pamrih, rame ing gawe. Dari ruang-ruang sunyi inilah sesungguhnya pencapaian kreatif bermula, yang pada saatnya nanti dunia industri akan menikmati hasil jerih payah mereka.

Inilah yang diapungkan oleh penyair Joko Pinurbo yang berbicara di hadapan para sastrawan dari sepuluh provinsi (Lampung, Banten, DKI, Jabar, Jateng, D.I. Yogyakarta, Jatim, Bali, NTB, NTT) dalam Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) II 2006 di Denpasar-Bali, 12-15 Desember 2006 yang lalu. Apa yang diapungkan Joko sebagai evaluasinya terhadap strategi pemasyarakatan sastra, bisa disebut menarik karena paling tidak ia mencoba menengok sisi lain dari kegairahan aktivitas industri penerbitan dan sosialisasi sastra akhir-akhir ini. Sebuah sisi yang juga sesungguhnya telah banyak dicemaskan oleh berbagai kalangan.

Selain Joko Pinirbo, dalam Temu Sastra MPU II 2006 ini juga hadir sebagai pembicara Yasraf Amir Piliang, Tryanto Triwikromo, Ahmad Tohari, Zawawi Imron, Isbedy Stiawan, Ahmadun Yosi Herfanda, Jean Couteau, Nyoman Dharma Putra, Raudal Tanjung Banua, dan Slamet Sukirnanto. Meski tema yang diusungnya terkesan bombastis, “Peranan Sastra Dalam Membangkitkan Harkat dan Martabat Bangsa” dan tidak menawarkan isu sastra yang relatif segar, namun sejumlah pemikiran dan perbincangan selama tiga hari di Denpasar-Bali tersebut terasa menekan pada semangat untuk memperbincangkan kembali sejumlah persoalan dalam hubungan antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakatnya dengan menyelasar ke dalam sejumlah fenomena yang menyertainya. Sebutlah, fenomena pluralisme dan multikulturalisme; representasi religiusitas dalam sastra dan bagaimana sesungguhnya spritualisme itu sendiri hendaknya dimaknai; fenomena perkembangan komunitas sastra; serta fenomena pemasyarakatan sastra itu sendiri yang berkorelasi erat dengan aktivitas industri sastra dengan implikasinya pada etos kreatif.

Pada yang terakhir inilah, Joko Pinurbo menengarai di balik kegembiraan munculnya tren menulis karya sastra di kalangan anak muda perkotaan, terutama untuk genre novel, kecemasan juga menyertainya, yakni ketika sastra tidak lagi ditempuh sebagai jalan sunyi seorang pengarang. Tapi lebih karena kepentingan-kepentingan yang pragmatis, termasuk demi kebutuhan eksistensi dan popularitas. Launching buku kerap jadi tradisi seremonial sawer pujian dan “ritual” eksistensi ketimbang menghadirkan pembacaan kritis pada buku tersebut. Dalam konteks inilah Joko Pinurbo pun setuju pada anggapan bagaimana di tengah situasi semacam itu kritik pun cenderung bisa dipesan, baik sebagai kata pengantar, komentar di sampul belakang buku, atau ketika kritikus, pengamat, atau sastrawan “senior” diminta jadi pembicara. Sayang, perbincangan dalam topik ini tidak dieksplorasi lebih jauh. Sejumlah tanggapan lebih menekan strategi pemasyarakat sastra yang ditujukan pada Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono, atau juga pemikiran yang masih berputar-putar di wilayah pertanyaan tentang infrastruktur pendidikan di sekolah-sekolah dalam kehendak membangkitkan minat baca siswa.

**

SEDANGKAN perbincangan di seputar pluralisme dan multikulturalisme ditating oleh Yasraf Amir Piliang dan Tryanto Triwikromo. Perbincangan ini cukup menarik karena mengapungkan sejumlah pemikiran yang ketat, terutama ketika sampai pada soal bagaimana sesungguhnya perbedaan itu dimaknai, dan bagaimana seluruhnya itu direpresentasikan dalam karya sastra. Dalam hal inilah Yasraf Amir Piliang memandang bagaimana semangat serta prinsip-prinsip pluralisme dan multikulturalisme telah mendorong berbagai kemungkinan estetis dalam karya seni, termasuk karya sastra.

Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi logis dari perlawanan terhadap dominasi universalisme, sentralisme, dan homogenisasi kultural. Adalah keduanya, pluralisme dan multikulturalisme, yang merepresentasikan berbagai kasadaran tentang bagaimana hendaknya perbedaan dan keanekaragaman itu dimaknai, yang pula dihadirkan dengan berbagai kecenderungan estetis, idiom, pilihan metafor, dan gaya.

Menurut Yasraf, terdapat sejumlah penjelasan untuk memberi penanda pada semangat perlawanan terhadap domininasi universalisme, sentralisme, dan homogenisasi kultural ini. Dari mulai karya sastra yang merepresentasikan kesadaran pada multikulturalisme kritis, sebagai upaya perjuangan kultural dan estetik ke arah eksistensi, persamaan hak, emansipasi, politik representasi, dan politik posisi; multikulturalisme intertekstual yang membuka ruang bagi berbagai perlintasan estetik dalam konteks waktu dan ruang yang berbeda; multikulturalisme eklektik yang mencomot dan menggabungkan berbagai bentuk kebudayaan, yang bertentangan sekalipun, sehingga ia mencairkan kepastian identitas menjadi ketidakpastian; hingga multikulturalisme hibrida yang memaktubkan berbagai persilangan bentuk kebudayaan sehingga menghasilkan estetika hibrida. Pada yang terakhir ini hibridisasi hadir dalam bentuk, gaya ungkap, konsep, ideologi, tanda, dan makna.

Sementara itu tak kalah menariknya adalah perbincangan dalam topik “Membangun Religiusitas Masyarakat Melalui Sastra” dengan pembicara Ahmad Tohari, Isbedy Stiawan, dan Zawawi Imron. Sebagai sastrawan yang lekat dengan kultur keagamaan, Ahmad Tohari dan Zawawi Imron demikian fasih menawarkan cara pandang terhadap pemaknaan spritualitas yang terlepas dari atribut-atribut keagamaan. Menurut keduanya, selama ini cenderung terjadi kesalahpahaman orang dalam mengartikan religiusitas dan spiritualitas, yang selalu dihubung-hubungkan dengan agama. Dalam pandangan Zawawi Imron, religiusitas bukanlah agama sebagaimana pengertiannya dalam kamus, namun sesuatu yang telah mengatasi agama itu sendiri. Religiusitas adalah substansi dari agama.

“Karena itu jadi aneh, banyak orang di negeri yang mengaku beragama tapi minus religiusitas. Di sini agama jadi dipakai untuk berkelahi. Kerja membajak sawah atau perawat yang menyeka nanah pasiennya, bagi saya itu adalah kerja religius. Orang-orang yang terus menyebut Tuhan, belumlah tentu religius,” ujarnya.

Senada dengan itu, Ahmad Tohari berangkat dari pandangannya bahwa religiusitas adalah sesuatu yang universal. Dalam karya sastra, kesadaran atas hal ini bisa muncul dalam bentuknya yang gamblang, misalnya, dalam sastra sufi. Namun itu juga tidak bisa mengabaikan bagaimana kesadaran religiusitas juga bisa muncul dalam karya sastra yang bersifat profan. “Banyak karya sastra yang tampaknya melawan nilai-nilai religius, namun sebenarnya merupakan gambaran tentang kegelisahan manusia dalam mencari dan menemukan sangkan lan paraning dumadi,” katanya.

**

AKHIRNYA Temu Sastra MPU II 2006 berakhir dengan sejumlah jejak yang ditinggalkannya. Jejak yang mungkin terlalu berlebihan untuk diharap akan mengapungkan isu-isu sastra terbaru. Yang ada di dalamnya adalah keinginan untuk memeriksa dan mengevaluasi kembali hubungan antara sastrawan, karya sastra, pembaca, dan masyarakatnya, tanpa embel-embel dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa, seperti yang dibebankan oleh tema penyelenggaraannya.

Lepas dari soal itu, temu sastra dua tahunan yang diselenggarakan berkat kerja sama sepuluh pemerintah daerah yang tergabung dalam MPU ini, dalam salah satu butir ketetapan dan rekomendasinya menunjuk Jawa Barat sebagai tuan rumah Temu Sastra MPU III tahun 2008 mendatang.

“Jabar siap menjadi tuan rumah penyelenggaraan Temu Sastra MPU III tahun 2008 nanti, dan dengan senang hati menerima penunjukan ini. Saya sudah konsultasikan dengan gubernur dan Beliau sudah memberi lampu hijau. Namun begitu, kami tetap akan meminta masukan dari teman-teman tentang tema yang akan kita angkat nanti. Saya berharap tema yang akan diangkat nanti adalah hal-hal yang langsung berhubungan konteks yang kini tengah terjadi, yakni ekologi atau lingkungan hidup, dan bagaimana karya sastra memunculkan kesadaran terhadap hal itu,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar H.I. Budhyana yang juga hadir di Denpasar.

Hal yang sama juga dilontarkan oleh penyair Godi Suwarna, satu-satunya sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah (Sunda) yang dua kali diundang mengikuti Temu Sastrawan MPU. “Tapi saya berharap dalam Temu Sastrawan MPU mendatang setiap provinsi juga mengikutsertakan penyair yang menulis dalam bahasa daerahnya, sehingga potensi sastra berbahasa daerah juga bisa terbaca, di samping bisa saling mengenal keberbagaian. Jabar pun harus lebih siap dan lebih baik penyelenggaraannya dari Banten dan Bali,” ujarnya.

Sejak penyelenggaraan Temu Sastrawan MPU I tahun 2003 di Serang-Banten, memang hanya Jabar yang membawa sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah. Hal ini memang diniatkan untuk merangsang provinsi-provinsi lain agar juga melakukan hal yang sama sehingga temu sastrawan ini tak hanya menjadi milik mereka yang menulis dalam bahasa Indonesia. Namun juga mengusung potensi dan dinamika karya sastra dalam bahasa daerahnya masing-masing. Dalam Temu Sastrawan MPU II 2006 di Denpasar-Bali yang baru lalu, selain Godi Suwarna juga tampil sastrawan Bali Semargantang yang dengan memukau membacakan karyanya dalam bahasa Bali.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2006/12/sastra-instan-pluralisme-religiusitas.html

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi