Rabu, 25 Mei 2011

Tradisi Yang Tak Diam: Pementasan Teater “Siti Baheram (bukan dunia luar pagar)”

Y. Thendra BP
http://sastra-indonesia.com/

Tiga tukang kaba di atas tiga level, tampak seperti tungku. Di tengahnya, para penari dengan rebana kecil memainkan tari Indang, serupa api yang sedang menyala. Ditingkahi dendang dan alat musik Minangkabau (Saluang, Bansi, Rabab, dan Talempong yang silih berganti). Tiga tukang kaba itu melantunkan kisah, sahut menyahut.

Kemudian tukang kaba dan penari berbaur menjadi tiga kelompok. Memainkan bentuk grouping, mereka saling berbantah, laiknya suara urang banyak. Satu kelompok (protagonis) memihak kisah “Siti Baheram”, Satu kelompok menolak (antagonis), satu kelompok lainnya (tetagonis) menengahi. Tiga kelompok itu adalah visualisasi tigo jerong yang merupakan istilah dalam tari Indang, juga mengacu pada filosofi Jerong Nan Tigo (alim ulama, ninik mamak, cerdik pandai). Sebelum selisih faham makin tajam, kelompok penengah mengajak untuk sebaiknya menyimak kisah. Akhirnya ‘kebenaran kisah’ dari Siti Baheram dikembalikan kepada penerima kaba (penonton).

Begitulah, awalan dari pementasan teater “Siti Baheram (Bukan Dunia Luar Pagar)”. Naskah lakon yang berangkat dari kaba (seni tradisi bertutur di Minang), yang ditafsir ulang oleh Raudal Tanjung Banua (penulis naskah) dan disutradarai oleh Efyuhardi S.Sn untuk ujian akhir penyutradaraan pasca sarjana ISI Surakarta. Di mata saya, awalan (Introduction) tersebut serupa tungku yang sedang memasak sebuah pertunjukan di panggung GedungTeater ISI Surakarta pada Jum’at, 29 Agustus 2008. pukul 20.00 wib.

Awalan yang rancak! Bagaimana tidak, bentuk seni tradisi bakaba yang selama ini berdiri sendiri dan terpisah, Rebab, Dendang, Saluang, dan Tari Indang, malam itu ditafsir ulang, disatukan dan dikolaborasikan dalam satu pertunjukan teater kolosal. Ada sesuatu yang ‘baru’ tanpa kehilangan yang ‘lama’. Efyuhardi S.Sn dan tim pertunjukan berhasil memahami konsep hukum ikat ‘sentak lepas’ Minang: adat dan tradisi (seni) bukan bersifat stagnan. Adat dan tradisi (seni) adalah buatan manusia yang bisa dikembangkan atau digubah sesuai zaman. Yang tak mungkin untuk digubah dan dibantah, itu bersifat hukum ikat mati—misalnya gempa bumi!

Selepas para tukang kaba memainkan perannya (exit stage), muncullah Buyung Juki (Rusmedi Agus) bersama sahabatnya, Buyung Gambuik (Toni Sri Rejeki). Mereka bersiasat, sebab sudah lama Buyung Juki memendam cinta pada Siti Baheram (Mariya Yulita Sari). Tetapi Ini bukan perkara mudah!

Siti Baheram adalah perempuan dan domain kekuasaan yang merupakan idealisasi perempuan Minang, dihadirkan sebagai wanita berbudi dan penuh pengabdian, rancak dan berharta, telah memiliki suami, yaitu Ajo Sidi (Tafsir Huda). Tetapi kehidupan rumah tangga Siti Baheram tidak bahagia. Ajo Sidi bukan suami yang bisa dijadikan seperti beringin di tengah kampung: akar tempat bergayut, batang tempat bersandar, daun tempat berteduh. Ajo Sidi adalah suami pelekat tangan (suka memukul), kerjanya cuma menguras harta Siti Baheram untuk memenuhi kegemarannya berjudi, mabuk-mabukan, dan bergendak dengan perempuan lain. Siksaan dari suami yang diterima Siti Baheram ditambah pula sikap keras mamaknya, Angku Kapalo (Edy Suisno), lengkaplah sansai Siti Baheram sebagai sosok korban egoisme patriarki.

Konflik dan siksaan yang diterima oleh Siti Baheram itu diketahui Buyung Juki. Lalu ia manfaatkan untuk memasukan cintanya. Gayung bersambut. Dalam kondisi jiwa yang rapuh, Siti Baheram menerima cinta Buyung Juki—meski dia tahu Buyung adalah sampah masyarakat, semaunya dan culas, tetapi sikap satria Buyung Juki meluluhkan hati Siti Baheram. Bersemilah cinta mereka (selingkuh?) dikitari persoalan-persoalan sosial yang terjadi. Hingga pada suatu malam, di jalan pulang yang kelam, dalam kondisi mabuk dan kalah judi, Buyung Juki melihat ada bayangan yang mengintainya, yang dia kira adalah penyamun. Maka disuruhnya Buyung Gambuik untuk menemui penyamun itu: “kalau dalam sepuluh tarikan nafas tak bisa kau selesaikan, aku yang akan turun tangan,” ucapnya pada sahabatnya itu.

Lebih dari sepuluh tarikan nafas, Buyung Gambuik tak muncul kembali di hadapannya. Ia cemas kalau telah terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Bergegas ia menemui sosok yang dia kira penyamun itu. Tanpa pikir panjang, digoroknya leher sosok tersebut dengan parang. Buyung Gambuik yang berada di antara peristiwa itu, hanya bisa terperangah. Apa lacur, ternyata sosok itu adalah Siti Baheram.

Siti Baheram mati di tangan orang yang dicintainya. Buyung Juki membunuh orang yang dicintainya. Kematian yang tragis! Kematian yang amat disesali oleh Buyung Juki dan diratapi Buyung Gambuik. Kematian yang menghantarkan nyawa Buyung Juki ke tiang gantungan.

Sementara persoalan-persoalan sosial yang terjadi selama pertunjukan berdurasi satu setengah jam itu, tidak hadir sebagai bumbu dari kisah cinta Siti Baheram dan Buyung Juki. Namun menjadi bagian yang menghidupkan inti kisah.

Mengambil latar masa kolonial Belanda, penonton dapat melihat kekuasaan lebih ‘berbicara’ dibandingkan kebenaran. Di mana kaum kecil diposisikan sebagai kaum yang harus mengikuti kemauan penguasa. Misalnya dalam adegan perampasan makanan perempuan istri tukang beruk (Sandityas) dan anaknya (Nanik Indarti) oleh para petugas pajak (Ilham Setyawan, Husni wardana Hole, Ofy Nurhansyah). Meski istri tukang beruk berusaha melawan, apa daya, hukum rimba jua yang berlaku. Istri tukang beruk itu mati ditembak senapang petugas!

Begitu pula pada adegan di arena perjudian dadu. Bandar Judi (RA Yopie) yang seharusnya memiliki hak mengatur permainan, bisa diatur oleh petaruh (anak buah Ajo Sidi dan Buyung Juki). Kekuatan otot berbicara. Tetapi Bandar Judi yang mengedepankan kelicinan otak itu, bisa kembali mengambil alih permainan. Ia menangguk di air keruh, memanfaatkan pertikaian antara Ajo Sidi dan Buyung Juki.

Namun pertaruhan otak dan otot, peruntungan baik dan buruk di meja judi itu, akhirnya berkesudahan di tangan petugas. Atas nama hukum, Kepala Petugas (Roci Marciano) membubarkan perjudian itu dan merampas uang para penjudi dengan cara ‘terhormat’ala aparat.

Lagi-lagi kekuasan berbicara. Dan kekuasan yang berbicara itu makin terlihat pada adegan terakhir. Buyung Juki yang semestinya melewati proses pengadilan untuk menerima hukuman atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap Siti Baheram, sesuai permintaan Angku Kapolo, harus dihukum gantung seketika. Tak ada pengadilan! Dan Kepala Petugas tak bisa membantah.

Begitulah. Persoalan-persoalan sosial yang ada dalam konflik cinta Siti Baheram, memberikan celah pada lahirnya pertanyaan baru: mungkinkah masih ada kejujuran yang membuat orang tidak merasa menjadi pahlawan bagi kelangsungan hari esok yang menjanjikan? Karena sesungguhnya tak ada kejahatan dalam hidup, yang ada adalah manusia tak jujur dan mementingkan diri sendiri. Di sinilah terbukti bahwa ‘kasus’ Siti Baheram bukan dunia luar pagar, sebab memiliki keterkaitan dengan banyak hal.

Menggali Tradisi, Meminang Nan Kini

Transformasi teks dari kaba ke dalam bentuk naskah lakon (panggung) oleh Raudal Tanjung Banua ini, memiliki struktur yang kuat, mengacu pada pengungkapan yang berimbang dan realistik. Dari segi penokohan, tak ada tokoh yang diposisikan sebagai hero dan Deus Ex Machina. Semua tokoh memiliki persoalan dan deritanya masing-masing. Begitu pula dengan ruang dan waktu, penonton tidak diajak untuk berada di tempat ‘antah barantah’ atau negeri imajiner, melainkan mengambil latar waktu masa lampau untuk berbicara tentang persoalan sekarang.

Memakai tata panggung minimalis-simbolik (Mata Emprit), ruang dan waktu dihidupkan lewat akting pemain dari adegan ke adegan. Hampir sebagian besar aktor dan aktris berperan dengan matang. Aktor dan aktris menjadi lewat pendekatan psikologis tokoh dan tidak terjebak dengan permainan tubuh yang akrobatik untuk mengejar kebanalan. Dengan kata lain, emosi tokoh yang diperankan aktor yang mencipta gerak. Sehingga kewajaran akting—yang biasa dipakai dalam permainan realis—hadir dengan baik. Hal ini terlihat dari bisnis akting tokoh Buyung Juki (Rusmedi Agus), Angku Kapalo (Edysuisno), Buyung Gambuik (Toni Sri Rejeki), Anak Buah Ajo Sidi (Jamal Abdul Naser) dan Anak tukang Beruk (Nanik Indarti).

Selama pertunjukan—terlepas dari awalan tukang kaba—seni tradisi yang hadir bukan hanya musik, kostum, dan tutur. Tetapi yang terlihat kuat pada pertunjukan malam itu adalah hadirnya permainan silek (silat) Minang, baik itu aliran silek langkah tigo maupun langkah ampek. Penguasaan langkah ampek silek Starlak terlihat dalam adegan perkelahian antara Buyung Juki (Rusmedi Agus) dengan Anak Buah Ajo Sidi. Buyung Juki (Rusmedi Agus) mampu memperagakan dengan baik pamenan silek Starlak itu.

Menghadirkan silek sebagai salah satu kebutuhan adegan dan akting aktor, merupakan pilihan yang tepat. Bagaimanapun, seni pertunjukan tradisi Minang banyak berakar dari Silek. Sebutlah misalnya Randai.

Boleh dibilang, pertunjukan teater Siti Baheram yang disutradarai Efyuhardi S.sn berhasil menggali seni tradisi; menafsir ulang, kemudian dihadirkan kembali ke dalam dramaturg teater moderen. Sehingga ‘kekinian’ terasa adanya. Kekinian yang bersumber dari yang lama. Seni tradisi yang juga hasil kreasi manusia itu, sekali lagi, sebagaimana hukum ikat sentak lepas, maka bisa digubah. Yang ada adalah penyesuaian dengan zaman. Dan kita tak perlu cemas kehilangan. Kecuali jika seni tradisi masih dipahami sebagai hukum ikat mati, seperti gempa bumi!

Solo-Yogyakarta, Agustus-September 2008

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi