Ignas Kleden *
http://majalah.tempointeraktif.com/
DALAM pidato kenegaraan di depan Dewan Perwakilan Rakyat, 14 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan suatu visi jangka menengah tentang Indonesia 2025. Diproyeksikan, pada tahun itu Indonesia akan menjadi negara maju. Untuk itu ditetapkan 10 sasaran yang harus dicapai: (1) persatuan dan harmoni sosial yang semakin kokoh, (2) stabilitas nasional yang makin mantap, (3) penguatan demokrasi dan keterbukaan dalam penyelenggaraan negara, (4) penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten, (5) pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan ditingkatkan, dengan kemampuan yang makin mandiri, (6) peningkatan kesejahteraan, (7) tata kelola pemerintahan yang baik dan pemberantasan korupsi yang semakin efektif, (8) perlindungan terhadap lingkungan hidup, (9) pembangunan daerah, dan (10) pengembangan kemitraan dan kerja sama global.
Sepuluh tujuan ideal tersebut mungkin akan semakin jelas kalau kita merumuskan dalam kontras, apa yang hendak dilawan oleh sasaran-sasaran tersebut. Maka yang kita dapati (melalui tafsiran logis saja) adalah (1) menurunnya ketegangan dalam negeri berupa konflik antaretnik, antardaerah, dan antaragama, (2) mengecilnya kemungkinan terorisme dalam bentuk apa pun, (3) tercegah kembalinya politik otoritarian dan berkuasanya oligarki politik, (4) berkurangnya kesewenang-wenangan kekuasaan, (5) menguatnya fundamental ekonomi agar sanggup bertahan terhadap krisis, sambil mengurangi ketergantungan kepada pihak asing, (6) keseimbangan antara dimensi agregatif dan dimensi distributif dalam ekonomi, (7) menguatnya kontrol terhadap penyelewengan dalam pemerintahan, (8) diberikannya hak terhadap perlindungan lingkungan hidup bukan saja kepada negara, melainkan juga kepada civil society, (9) dihentikannya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan otonomi daerah, dan (10) tercegahnya isolasionalisme dalam politik internasional.
Sepuluh sasaran tersebut dikemukakan sebagai tujuan normatif yang harus dicapai oleh Indonesia hingga 2025, agar dapat masuk kategori negara maju. Terhadap daftar sasaran tersebut dapat dikemukakan tiga catatan. Pertama, belum terlihat dari pidato Presiden sasaran mana saja yang menjadi tujuan substantif dalam pembangunan politik Indonesia, dan sasaran mana pula yang dapat diperlakukan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan substantif. Kedua, belum terlihat juga suatu logika yang menghubungkan satu sasaran dengan sasaran lainnya sehingga kita dapat melihat kesepuluh sasaran tersebut sebagai suatu keseluruhan atau framework yang secara koheren mengangkat status Indonesia menjadi negara maju. Ketiga, tidak tampak bagaimana urutan prioritas kesepuluh tujuan termaksud. Di samping itu, tidak ditetapkan suatu target yang lebih terukur untuk dicapai pada titik waktu tertentu. Millennium Development Goals (MDGs), misalnya, yang ditandatangani oleh 150 kepala negara dan kepala pemerintahan di New York pada September 2000, menetapkan bahwa hingga 2015 kemiskinan di dunia harus dikurangi hingga separuhnya.
Sekadar perbandingan, pembangunan politik dan ekonomi dalam Orde Baru mempunyai suatu logika yang jelas, meskipun dalam retrospeksi kita dapat mengkritiknya sebagai logika yang dibangun di atas asumsi teoretis yang tidak selalu valid. Tujuan substantif pembangunan nasional di bawah Presiden Soeharto adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Inilah sasaran yang bersifat substantif. Untuk itu diperlukan suatu stabilitas politik yang menjadi sarananya, karena pembangunan ekonomi tak dapat berjalan mulus dalam politik yang penuh ketegangan. Kesejahteraan dianggap dapat terwujud secara “alamiah” kalau sudah tercapai tingkat pertumbuhan tertentu, karena kemakmuran akan menetes ke kalangan yang lebih luas melalui mekanisme trickledown atau spillover. Untuk menjamin stabilitas politik, keamanan harus dijaga dan segala gejolak politik ditekan, bila perlu, dengan jalan represif. Partisipasi politik dibatasi pertama-tama dengan pengurangan jumlah partai politik menjadi hanya tiga, dan Golkar sebagai partai pemerintah diusahakan selalu menjadi partai yang paling kuat dan dominan.
Asumsi teoretis yang melandasi logika pembangunan seperti itu sekarang sudah disingkapkan kekeliruannya. Pertama, bukan ekonomi yang harus menentukan perkembangan politik, tapi ekonomi harus menjalankan keputusan politik. Kedua, kesejahteraan tidak terwujud secara alamiah, karena ternyata yang mengatur distribusi kemakmuran bukan hanya mekanisme pasar, melainkan kekuasaan politik. Kemakmuran tidak banyak menetes seperti diasumsikan, karena mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan selalu berkepentingan untuk membatasi distribusi kemakmuran dalam lingkungan terbatas sesuai dengan kepentingan kelompok yang berkuasa. Kemakmuran akhirnya tidak menetes, tapi menumpuk.
Logika seperti itu tidak tampak atau sekurang-kurangnya tidak terlihat secara eksplisit dalam visi yang diajukan oleh Presiden RI tentang Indonesia 2025. Sebagai suatu daftar cita-cita, hal itu patutlah disambut, tapi yang sama pentingnya adalah merumuskannya dalam suatu rangkaian langkah strategis, bagaimana tujuan yang satu dapat membantu atau mungkin saja menghalangi tercapainya tujuan yang lain, dan urutan prioritas berdasarkan kepentingan dan kemungkinan pelaksanaannya.
Selain itu, konsep negara maju mungkin perlu lebih diperjelas. Dalam sosiologi pembangunan sebelum berakhirnya Perang Dingin, kita tahu dunia dibagi menjadi tiga, yaitu dunia pertama yang mencakup negara-negara industri maju di Barat yang kapitalis, dunia kedua yang meliputi negara-negara sosialis, dan dunia ketiga yang meliputi negara-negara berkembang. Pembagian itu kini berubah karena dunia kedua praktis sudah tidak ada lagi dengan rontoknya negara-negara sosialis, sehingga dibutuhkan suatu pembagian baru. Human Development Report 2007-2008 yang diterbitkan United Nations Development Programme (UNDP) membagi negara-negara di dunia, khususnya 192 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan beberapa cara.
Pertama, berdasarkan indeks pembangunan manusia (human development index/HDI), negara-negara dibagi ke dalam kelompok yang tinggi indeks pembangunan manusianya (dengan HDI 0,800 dan di atasnya), negara-negara dengan indeks pembangunan manusia tingkat menengah (dengan HDI 0,500-0,799), dan yang rendah tingkat pembangunan manusianya (dengan HDI di bawah 0,500). Dalam pengukuran yang dilakukannya, UNDP tidak menghitung indeks pembangunan manusia dari semua negara anggota PBB, karena beberapa negara tak dapat memberikan data statistik yang dibutuhkan. Dari 177 negara yang dihitung UNDP, yaitu 175 negara anggota PBB ditambah Hong Kong dan Palestina, Indonesia menduduki nomor 107 (satu tingkat di bawah Palestina dan satu tingkat di atas Suriah) dan termasuk negara dengan tingkat pembangunan manusia menengah.
Kedua, berdasarkan tingkat pendapatan per kepala, laporan UNDP mengikuti pembagian negara-negara menurut Bank Dunia, yaitu yang berpendapatan tinggi (mencapai US$ 10.726), berpendapatan menengah (dengan pendapatan antara US$ 876 dan US$ 10.725), dan berpendapatan rendah (di bawah US$ 876). Kriteria Bank Dunia ini masih berasal dari tahun 2005 tapi digunakan oleh UNDP untuk laporannya tahun 2007-2008.
Ketiga, berdasarkan agregat di dunia, negara-negara dibagi ke dalam negara berkembang, negara-negara Eropa Tengah dan Timur, serta negara-negara CIS (Commonwealth of Independent States) dan negara-negara yang termasuk dalam OEDC (Organization for Economic Cooperation and Development).
Dilihat berdasarkan pendapatan per kepala ataupun berdasarkan indeks pembangunan manusia, Indonesia saat ini menduduki peringkat menengah di antara 177 negara yang diukur dalam laporan UNDP tersebut. Apakah ini berarti bahwa Indonesia pada 2025 akan berpindah kelas dari tingkat menengah ke tingkat tinggi? Cita-cita ini patutlah didukung secara nasional, dan agar dapat terwujud, perlu disusun strategi agar kesepuluh sasaran tersebut, dalam kaitan satu dengan yang lainnya, dan dengan prioritas yang ditentukan, dapat menjadi tenaga pendorong mobilitas vertikal Indonesia dalam peringkat negara-negara di dunia. Sangat perlu dihindari kemungkinan bahwa tujuan yang satu menghalangi tercapainya tujuan yang lain.
Dalam sejarah negara-negara maju ada satu langkah strategis yang selalu diambil, yaitu menjadikan pendidikan nasional sebagai penunjang yang memudahkan tercapainya tujuan politik nasional. Tidak ada negara maju yang tidak memberikan perhatian khusus kepada pendidikan sebagai sarana strategis yang amat menentukan kemajuan suatu bangsa. Perhatian terhadap pendidikan nasional ini tidak cukup hanya ditunjuk dengan menaikkan anggaran pendidikan, tapi bersamaan dengan itu perlu ditingkatkan pengawasan terhadap standar dan mutu pendidikan. Dalam tingkat melek huruf orang dewasa (15 tahun ke atas), Indonesia mencatat prestasi yang bagus, yaitu 90,4 persen. Tapi, dalam produktivitas penulisan di jurnal ilmiah, kedudukan Indonesia amat lemah, karena hanya sanggup menghasilkan 0,93 artikel per satu juta penduduk, dibandingkan dengan Malaysia, yang tingkat produktivitas ilmiahnya 23,97 per satu juta penduduk.
Kontrol kualitas itu mempunyai dua fungsi utama, yaitu memastikan bahwa pendidikan nasional membantu tercapainya tujuan politik nasional, dan dalam pada itu pendidikan mencapai tujuannya sendiri dengan mengikuti standar-standar yang berlaku dalam pendidikan umumnya di seluruh dunia. Orde Baru pernah menjadikan pendidikan sebagai sarana yang membantu pembentukan monoloyalitas melalui pendidikan P4, misalnya, yang jelas merupakan saka guru mental untuk stabilitas politik. Jalan itu bisa ditiru pada masa sekarang, tapi dengan menetapkan tujuan nasional yang sesuai dengan tuntutan tahun 2025, dan dengan mempertimbangkan apakah tujuan tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Ada berbagai strategi yang bisa dicoba, dan pendidikan salah satunya. Menetapkan sasaran normatif selalu berguna sebagai tantangan berpikir. Namun, tanpa kiat dan langkah strategis, tiap tujuan mulia akan dikenang kemuliaannya tapi tak pernah menjadi kenyataan.
24 Agustus 2009
* Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Rodhi Murtadho
A. Aziz Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aa Maulana
Abdi Purnomo
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W.M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Lathief
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Zamzam Noor
Ach. Sulaiman
Achdiar Redy Setiawan
Adhitia Armitrianto
Adhitya Ramadhan
Adi Marsiela
Adi Prasetyo
Afrizal Malna
Ags. Arya Dipayana
Aguk Irawan MN
Agunghima
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus M. Irkham
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Wibowo
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Ikhwan Susilo
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Rafiq
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Ali Ibnu Anwar
Ali Murtadho
Alia Swastika
Alunk S Tohank
Amanda Stevi
Amien Kamil
Amien Wangsitalaja
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Suparyanto
Anugrah Gio Pratama
Anung Wendyartaka
Aprinus Salam
Ardi Bramantyo
Arie MP Tamba
Arief Junianto
Arif Bagus Prasetyo
Aris Setiawan
Arman AZ
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Dudinov Ar
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayung Notonegoro
Bagja Hidayat
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kariyawan Ys
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Baridul Islam Pr
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Berita
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Boni Dwi Pramudyanto
Bonnie Triyana
Boy Mihaballo
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman Sudjatmiko
Bulqia Mas’ud
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Cak Kandar
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abshar
Chamim Kohari
Chandra Johan
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Dudu AR
D. Kemalawati
D. Zawawi Imron
Dadang Kusnandar
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Darju Prasetya
Darmanto Jatman
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Muhtadi
Dedy Tri Riyadi
Deni Andriana
Denny JA
Denny Mizhar
Deny Tri Aryanti
Dewi Rina Cahyani
Dian
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dina Oktaviani
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Dino Umahuk
Djadjat Sudradjat
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwi Wiyana
Dwicipta
E. Syahputra
Ebiet G. Ade
Eddy Flo Fernando
Edi Sembiring
Edy Firmansyah
Eep Saefulloh Fatah
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Ekky Siwabessy
Eko Darmoko
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Wahyuningsih
Endhiq Anang P
Erwin Y. Salim
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
Evi Idawati
F Rahardi
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Fajar Kurnianto
Fajar Setiawan Roekminto
Fakhrunnas MA Jabbar
Farid Gaban
Fathan Mubarak
Fathurrahman Karyadi
Fatkhul Anas
Fazar Muhardi
Febby Fortinella Rusmoyo
Felik K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Fitri Yani
Frans Ekodhanto
Frans Sartono
Franz Kafka
Fredric Jameson
Friedrich Nietzsche
Fuad Anshori
Fuska Sani Evani
G30S/PKI
Gampang Prawoto
Ganug Nugroho Adi
Geger Riyanto
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gibb
Gilang Abdul Aziz
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunoto Saparie
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim H.D.
Hamdy Salad
Han Gagas
Handoko Adinugroho
Happy Ied Mubarak
Hardi Hamzah
Harfiyah Widiawati
Hari Puisi Indonesia (HPI)
Hari Santoso
Harie Insani Putra
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Helmi Y Haska
Helwatin Najwa
Hendra Sugiantoro
Hendri R.H
Hendry CH Bangun
Henry Ismono
Hepi Andi Bastoni
Heri KLM
Heri Latief
Herie Purwanto
Herman Rn
Heru CN
Heru Joni Putra
Hudan Hidayat
Hudan Nur
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
I Tito Sianipar
Ibnu Wahyudi
Icha Rastika
Idha Saraswati
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Ilenk Rembulan
Ilham Q Moehiddin
Ilham Yusardi
Imam Muhtarom
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indira Permanasari
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Irfan Budiman
Ismi Wahid
Istiqamatunnisak
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
Iyut FItra
Izzatul Jannah
J Anto
J.S. Badudu
Jafar M. Sidik
Jamal D Rahman
Jamal T. Suryanata
Jamil Massa
Janual Aidi
Januardi Husin
Javed Paul Syatha
Jefri al Malay
JJ Kusni
JJ Rizal
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Khoirul Zaman
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joss Wibisono
Jual Buku Paket Hemat
Judyane Koz
Jusuf AN
Karkono
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedai Kopi Sastra
Kedung Darma Romansha
Ken Rahatmi
Khairul Amin
Khairul Mufid Jr
Khoshshol Fairuz
Kirana Kejora
Koh Young Hun
Komang Ira Puspitaningsih
Komunitas Deo Gratias
Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan)
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lela Siti Nurlaila
Lidia Mayangsari
Lie Charlie
Liestyo Ambarwati Khohar
Liza Wahyuninto
Lukas Adi Prasetyo
Luky Setyarini
Lutfi Mardiansyah
M Fadjroel Rachman
M. Arman A.Z
M. Arwan Hamidi
M. Faizi
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S
M. Mustafied
M. Nahdiansyah Abdi
M. Shoim Anwar
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahfud Ikhwan
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Mainteater Bandung
Maman S. Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Bo Niok
Mario F. Lawi
Mark Hanusz
Marsudi Fitro Wibowo
Martin Aleida
Martin Suryajaya
Marwanto
Maryati
Mashuri
Matdon
Matroni A. el-Moezany
Maya Mustika K.
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mezra E. Pellondou
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mihar Harahap
Mila Novita
Misbahus Surur
Muhajir Arrosyid
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih
Muhammad Amin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Iqbal
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Rain
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Mulyadi J. Amalik
Munawir Aziz
Murparsaulian
Musdalifah Fachri
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W. Hasyim
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naskah Teater
Nazaruddin Azhar
Nelson Alwi
Nenden Lilis A
Neni Nureani
Ni Putu Rastiti
Nirwan Dewanto
Nita Zakiyah
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Nur Faizah
Nur Syam
Nur Wahida Idris
Nurani Soyomukti
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurrudien Asyhadie
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurur Rokhmah Bintari
Nuryana Asmaudi
Odi Shalahuddin
Oei Hiem Hwie
Okky Madasari
Okta Adetya
Olivia Kristina Sinaga
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso HN
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Parakitri
Parulian Scott L. Tobing
PDS H.B. Jassin
Pengantar Buku Kritik Sastra
Pepih Nugraha
Pesan Al Quran untuk Sastrawan
Petrik Matanasi
Pipiet Senja
Pitoyo Boedi Setiawan
Ponorogo
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi Abdi Surya
Prof Dr Faisal Ismail MA
Prosa
Puisi
PuJa
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Radhar Panca Dahana
Ragil Supriyatno Samid
Rahmat Sudirman
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ramadhan Pohan
Rameli Agam
Ramon Damora
Ranang Aji SP
Ratih Kumala
Ratna Ajeng Tejomukti
Ratu Selvi Agnesia
Raudal Tanjung Banua
Reko Alum
Reny Sri Ayu
Resensi
Revolusi
RF. Dhonna
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S. Satya Dharma
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabiq Carebesth
Sabpri Piliang
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifur Rohman
Sainul Hermawan
Sajak
Sal Murgiyanto
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Salyaputra
Samsudin Adlawi
Sandipras
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Perlawanan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shafwan Hadi Umry
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sita Planasari A
Siti Irni Nidya Nurfitri
Siti Rutmawati
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Sudarmoko
Sulaiman Tripa
Sultan Yohana
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Suroto
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaiful Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syarifudin
Syifa Amori
Syifa Aulia
Tajuddin Noor Ganie
Tantri Pranashinta
Tanzil Hernadi
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theo Uheng Koban Uer
Theresia Purbandini
Thowaf Zuharon
Tien Rostini
Titian Sandhyati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toef Jaeger
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tri Wahono
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udin Badruddin
Udo Z. Karzi
Umar Fauzi
Umbu Landu Paranggi
Umi Laila Sari
Umi Lestari
Universitas Indonesia
Untung Wahyudi
Virdika Rizky Utama
Vyan Taswirul Afkar
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Widi Wastuti
Wiji Thukul
Wisnu Kisawa
Wiwik Widayaningtias
Y. Thendra BP
Yona Primadesi
Yosephine Maryati
Yosi M Giri
Yudhis M. Burhanuddin
Yulizar Fadli
Yurnaldi
Yusri Fajar
Yuyuk Sugarman
Zainal Arifin Thoha
Zaki Zubaidi
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zulkarnain Zubairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar