Kamis, 18 Agustus 2011

Indonesia 2025: Mencari Strategi

Ignas Kleden *
http://majalah.tempointeraktif.com/

DALAM pidato kenegaraan di depan Dewan Perwakilan Rakyat, 14 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajukan suatu visi jangka menengah tentang Indonesia 2025. Diproyeksikan, pada tahun itu Indonesia akan menjadi negara maju. Untuk itu ditetapkan 10 sasaran yang harus dicapai: (1) persatuan dan harmoni sosial yang semakin kokoh, (2) stabilitas nasional yang makin mantap, (3) penguatan demokrasi dan keterbukaan dalam penyelenggaraan negara, (4) penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten, (5) pertumbuhan ekonomi yang terus terjaga dan ditingkatkan, dengan kemampuan yang makin mandiri, (6) peningkatan kesejahteraan, (7) tata kelola pemerintahan yang baik dan pemberantasan korupsi yang semakin efektif, (8) perlindungan terhadap lingkungan hidup, (9) pembangunan daerah, dan (10) pengembangan kemitraan dan kerja sama global.

Sepuluh tujuan ideal tersebut mungkin akan semakin jelas kalau kita merumuskan dalam kontras, apa yang hendak dilawan oleh sasaran-sasaran tersebut. Maka yang kita dapati (melalui tafsiran logis saja) adalah (1) menurunnya ketegangan dalam negeri berupa konflik antaretnik, antardaerah, dan antaragama, (2) mengecilnya kemungkinan terorisme dalam bentuk apa pun, (3) tercegah kembalinya politik otoritarian dan berkuasanya oligarki politik, (4) berkurangnya kesewenang-wenangan kekuasaan, (5) menguatnya fundamental ekonomi agar sanggup bertahan terhadap krisis, sambil mengurangi ketergantungan kepada pihak asing, (6) keseimbangan antara dimensi agregatif dan dimensi distributif dalam ekonomi, (7) menguatnya kontrol terhadap penyelewengan dalam pemerintahan, (8) diberikannya hak terhadap perlindungan lingkungan hidup bukan saja kepada negara, melainkan juga kepada civil society, (9) dihentikannya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan otonomi daerah, dan (10) tercegahnya isolasionalisme dalam politik internasional.

Sepuluh sasaran tersebut dikemukakan sebagai tujuan normatif yang harus dicapai oleh Indonesia hingga 2025, agar dapat masuk kategori negara maju. Terhadap daftar sasaran tersebut dapat dikemukakan tiga catatan. Pertama, belum terlihat dari pidato Presiden sasaran mana saja yang menjadi tujuan substantif dalam pembangunan politik Indonesia, dan sasaran mana pula yang dapat diperlakukan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan substantif. Kedua, belum terlihat juga suatu logika yang menghubungkan satu sasaran dengan sasaran lainnya sehingga kita dapat melihat kesepuluh sasaran tersebut sebagai suatu keseluruhan atau framework yang secara koheren mengangkat status Indonesia menjadi negara maju. Ketiga, tidak tampak bagaimana urutan prioritas kesepuluh tujuan termaksud. Di samping itu, tidak ditetapkan suatu target yang lebih terukur untuk dicapai pada titik waktu tertentu. Millennium Development Goals (MDGs), misalnya, yang ditandatangani oleh 150 kepala negara dan kepala pemerintahan di New York pada September 2000, menetapkan bahwa hingga 2015 kemiskinan di dunia harus dikurangi hingga separuhnya.

Sekadar perbandingan, pembangunan politik dan ekonomi dalam Orde Baru mempunyai suatu logika yang jelas, meskipun dalam retrospeksi kita dapat mengkritiknya sebagai logika yang dibangun di atas asumsi teoretis yang tidak selalu valid. Tujuan substantif pembangunan nasional di bawah Presiden Soeharto adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Inilah sasaran yang bersifat substantif. Untuk itu diperlukan suatu stabilitas politik yang menjadi sarananya, karena pembangunan ekonomi tak dapat berjalan mulus dalam politik yang penuh ketegangan. Kesejahteraan dianggap dapat terwujud secara “alamiah” kalau sudah tercapai tingkat pertumbuhan tertentu, karena kemakmuran akan menetes ke kalangan yang lebih luas melalui mekanisme trickledown atau spillover. Untuk menjamin stabilitas politik, keamanan harus dijaga dan segala gejolak politik ditekan, bila perlu, dengan jalan represif. Partisipasi politik dibatasi pertama-tama dengan pengurangan jumlah partai politik menjadi hanya tiga, dan Golkar sebagai partai pemerintah diusahakan selalu menjadi partai yang paling kuat dan dominan.

Asumsi teoretis yang melandasi logika pembangunan seperti itu sekarang sudah disingkapkan kekeliruannya. Pertama, bukan ekonomi yang harus menentukan perkembangan politik, tapi ekonomi harus menjalankan keputusan politik. Kedua, kesejahteraan tidak terwujud secara alamiah, karena ternyata yang mengatur distribusi kemakmuran bukan hanya mekanisme pasar, melainkan kekuasaan politik. Kemakmuran tidak banyak menetes seperti diasumsikan, karena mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan selalu berkepentingan untuk membatasi distribusi kemakmuran dalam lingkungan terbatas sesuai dengan kepentingan kelompok yang berkuasa. Kemakmuran akhirnya tidak menetes, tapi menumpuk.

Logika seperti itu tidak tampak atau sekurang-kurangnya tidak terlihat secara eksplisit dalam visi yang diajukan oleh Presiden RI tentang Indonesia 2025. Sebagai suatu daftar cita-cita, hal itu patutlah disambut, tapi yang sama pentingnya adalah merumuskannya dalam suatu rangkaian langkah strategis, bagaimana tujuan yang satu dapat membantu atau mungkin saja menghalangi tercapainya tujuan yang lain, dan urutan prioritas berdasarkan kepentingan dan kemungkinan pelaksanaannya.

Selain itu, konsep negara maju mungkin perlu lebih diperjelas. Dalam sosiologi pembangunan sebelum berakhirnya Perang Dingin, kita tahu dunia dibagi menjadi tiga, yaitu dunia pertama yang mencakup negara-negara industri maju di Barat yang kapitalis, dunia kedua yang meliputi negara-negara sosialis, dan dunia ketiga yang meliputi negara-negara berkembang. Pembagian itu kini berubah karena dunia kedua praktis sudah tidak ada lagi dengan rontoknya negara-negara sosialis, sehingga dibutuhkan suatu pembagian baru. Human Development Report 2007-2008 yang diterbitkan United Nations Development Programme (UNDP) membagi negara-negara di dunia, khususnya 192 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan beberapa cara.

Pertama, berdasarkan indeks pembangunan manusia (human development index/HDI), negara-negara dibagi ke dalam kelompok yang tinggi indeks pembangunan manusianya (dengan HDI 0,800 dan di atasnya), negara-negara dengan indeks pembangunan manusia tingkat menengah (dengan HDI 0,500-0,799), dan yang rendah tingkat pembangunan manusianya (dengan HDI di bawah 0,500). Dalam pengukuran yang dilakukannya, UNDP tidak menghitung indeks pembangunan manusia dari semua negara anggota PBB, karena beberapa negara tak dapat memberikan data statistik yang dibutuhkan. Dari 177 negara yang dihitung UNDP, yaitu 175 negara anggota PBB ditambah Hong Kong dan Palestina, Indonesia menduduki nomor 107 (satu tingkat di bawah Palestina dan satu tingkat di atas Suriah) dan termasuk negara dengan tingkat pembangunan manusia menengah.

Kedua, berdasarkan tingkat pendapatan per kepala, laporan UNDP mengikuti pembagian negara-negara menurut Bank Dunia, yaitu yang berpendapatan tinggi (mencapai US$ 10.726), berpendapatan menengah (dengan pendapatan antara US$ 876 dan US$ 10.725), dan berpendapatan rendah (di bawah US$ 876). Kriteria Bank Dunia ini masih berasal dari tahun 2005 tapi digunakan oleh UNDP untuk laporannya tahun 2007-2008.

Ketiga, berdasarkan agregat di dunia, negara-negara dibagi ke dalam negara berkembang, negara-negara Eropa Tengah dan Timur, serta negara-negara CIS (Commonwealth of Independent States) dan negara-negara yang termasuk dalam OEDC (Organization for Economic Cooperation and Development).

Dilihat berdasarkan pendapatan per kepala ataupun berdasarkan indeks pembangunan manusia, Indonesia saat ini menduduki peringkat menengah di antara 177 negara yang diukur dalam laporan UNDP tersebut. Apakah ini berarti bahwa Indonesia pada 2025 akan berpindah kelas dari tingkat menengah ke tingkat tinggi? Cita-cita ini patutlah didukung secara nasional, dan agar dapat terwujud, perlu disusun strategi agar kesepuluh sasaran tersebut, dalam kaitan satu dengan yang lainnya, dan dengan prioritas yang ditentukan, dapat menjadi tenaga pendorong mobilitas vertikal Indonesia dalam peringkat negara-negara di dunia. Sangat perlu dihindari kemungkinan bahwa tujuan yang satu menghalangi tercapainya tujuan yang lain.

Dalam sejarah negara-negara maju ada satu langkah strategis yang selalu diambil, yaitu menjadikan pendidikan nasional sebagai penunjang yang memudahkan tercapainya tujuan politik nasional. Tidak ada negara maju yang tidak memberikan perhatian khusus kepada pendidikan sebagai sarana strategis yang amat menentukan kemajuan suatu bangsa. Perhatian terhadap pendidikan nasional ini tidak cukup hanya ditunjuk dengan menaikkan anggaran pendidikan, tapi bersamaan dengan itu perlu ditingkatkan pengawasan terhadap standar dan mutu pendidikan. Dalam tingkat melek huruf orang dewasa (15 tahun ke atas), Indonesia mencatat prestasi yang bagus, yaitu 90,4 persen. Tapi, dalam produktivitas penulisan di jurnal ilmiah, kedudukan Indonesia amat lemah, karena hanya sanggup menghasilkan 0,93 artikel per satu juta penduduk, dibandingkan dengan Malaysia, yang tingkat produktivitas ilmiahnya 23,97 per satu juta penduduk.

Kontrol kualitas itu mempunyai dua fungsi utama, yaitu memastikan bahwa pendidikan nasional membantu tercapainya tujuan politik nasional, dan dalam pada itu pendidikan mencapai tujuannya sendiri dengan mengikuti standar-standar yang berlaku dalam pendidikan umumnya di seluruh dunia. Orde Baru pernah menjadikan pendidikan sebagai sarana yang membantu pembentukan monoloyalitas melalui pendidikan P4, misalnya, yang jelas merupakan saka guru mental untuk stabilitas politik. Jalan itu bisa ditiru pada masa sekarang, tapi dengan menetapkan tujuan nasional yang sesuai dengan tuntutan tahun 2025, dan dengan mempertimbangkan apakah tujuan tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.

Ada berbagai strategi yang bisa dicoba, dan pendidikan salah satunya. Menetapkan sasaran normatif selalu berguna sebagai tantangan berpikir. Namun, tanpa kiat dan langkah strategis, tiap tujuan mulia akan dikenang kemuliaannya tapi tak pernah menjadi kenyataan.

24 Agustus 2009
* Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Tidak ada komentar:

Label

A Rodhi Murtadho A. Aziz Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aa Maulana Abdi Purnomo Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W.M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Lathief Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Zamzam Noor Ach. Sulaiman Achdiar Redy Setiawan Adhitia Armitrianto Adhitya Ramadhan Adi Marsiela Adi Prasetyo Afrizal Malna Ags. Arya Dipayana Aguk Irawan MN Agunghima Agus B. Harianto Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Wibowo Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Ikhwan Susilo Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Rafiq Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Ali Ibnu Anwar Ali Murtadho Alia Swastika Alunk S Tohank Amanda Stevi Amien Kamil Amien Wangsitalaja Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Suparyanto Anugrah Gio Pratama Anung Wendyartaka Aprinus Salam Ardi Bramantyo Arie MP Tamba Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Aris Setiawan Arman AZ Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Dudinov Ar Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayung Notonegoro Bagja Hidayat Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kariyawan Ys Bambang Kempling Bandung Mawardi Baridul Islam Pr Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Berita Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Boni Dwi Pramudyanto Bonnie Triyana Boy Mihaballo Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman Sudjatmiko Bulqia Mas’ud Bung Tomo Burhanuddin Bella Cak Kandar Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chairul Abshar Chamim Kohari Chandra Johan Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Dudu AR D. Kemalawati D. Zawawi Imron Dadang Kusnandar Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Muhtadi Dedy Tri Riyadi Deni Andriana Denny JA Denny Mizhar Deny Tri Aryanti Dewi Rina Cahyani Dian Dian Hartati Dian Sukarno Dina Oktaviani Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dino Umahuk Djadjat Sudradjat Djoko Pitono Djoko Saryono Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwi Wiyana Dwicipta E. Syahputra Ebiet G. Ade Eddy Flo Fernando Edi Sembiring Edy Firmansyah Eep Saefulloh Fatah Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Ekky Siwabessy Eko Darmoko Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Wahyuningsih Endhiq Anang P Erwin Y. Salim Esai Esha Tegar Putra Evan Ys Evi Idawati F Rahardi Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Faisal Kamandobat Faiz Manshur Fajar Kurnianto Fajar Setiawan Roekminto Fakhrunnas MA Jabbar Farid Gaban Fathan Mubarak Fathurrahman Karyadi Fatkhul Anas Fazar Muhardi Febby Fortinella Rusmoyo Felik K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Fitri Yani Frans Ekodhanto Frans Sartono Franz Kafka Fredric Jameson Friedrich Nietzsche Fuad Anshori Fuska Sani Evani G30S/PKI Gampang Prawoto Ganug Nugroho Adi Geger Riyanto Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gibb Gilang Abdul Aziz Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gusti Eka H.B. Jassin Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim H.D. Hamdy Salad Han Gagas Handoko Adinugroho Happy Ied Mubarak Hardi Hamzah Harfiyah Widiawati Hari Puisi Indonesia (HPI) Hari Santoso Harie Insani Putra Haris del Hakim Haris Priyatna Hary B Kori’un Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Helmi Y Haska Helwatin Najwa Hendra Sugiantoro Hendri R.H Hendry CH Bangun Henry Ismono Hepi Andi Bastoni Heri KLM Heri Latief Herie Purwanto Herman Rn Heru CN Heru Joni Putra Hudan Hidayat Hudan Nur I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat I Tito Sianipar Ibnu Wahyudi Icha Rastika Idha Saraswati Ignas Kleden Ignatius Haryanto Ilenk Rembulan Ilham Q Moehiddin Ilham Yusardi Imam Muhtarom Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indira Permanasari Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Irfan Budiman Ismi Wahid Istiqamatunnisak Iwan Komindo Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar Iyut FItra Izzatul Jannah J Anto J.S. Badudu Jafar M. Sidik Jamal D Rahman Jamal T. Suryanata Jamil Massa Janual Aidi Januardi Husin Javed Paul Syatha Jefri al Malay JJ Kusni JJ Rizal Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Khoirul Zaman Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Joss Wibisono Jual Buku Paket Hemat Judyane Koz Jusuf AN Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Ken Rahatmi Khairul Amin Khairul Mufid Jr Khoshshol Fairuz Kirana Kejora Koh Young Hun Komang Ira Puspitaningsih Komunitas Deo Gratias Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) Kritik Sastra Kurniawan Kurniawan Junaedhie Lan Fang Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lela Siti Nurlaila Lidia Mayangsari Lie Charlie Liestyo Ambarwati Khohar Liza Wahyuninto Lukas Adi Prasetyo Luky Setyarini Lutfi Mardiansyah M Fadjroel Rachman M. Arman A.Z M. Arwan Hamidi M. Faizi M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S M. Mustafied M. Nahdiansyah Abdi M. Shoim Anwar M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Mainteater Bandung Maman S. Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Bo Niok Mario F. Lawi Mark Hanusz Marsudi Fitro Wibowo Martin Aleida Martin Suryajaya Marwanto Maryati Mashuri Matdon Matroni A. el-Moezany Maya Mustika K. Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mezra E. Pellondou MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mihar Harahap Mila Novita Misbahus Surur Muhajir Arrosyid Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih Muhammad Amin Muhammad Antakusuma Muhammad Iqbal Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Rain Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Mulyadi J. Amalik Munawir Aziz Murparsaulian Musdalifah Fachri Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W. Hasyim N. Syamsuddin CH. Haesy Naskah Teater Nazaruddin Azhar Nelson Alwi Nenden Lilis A Neni Nureani Ni Putu Rastiti Nirwan Dewanto Nita Zakiyah Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Nur Faizah Nur Syam Nur Wahida Idris Nurani Soyomukti Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurrudien Asyhadie Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurur Rokhmah Bintari Nuryana Asmaudi Odi Shalahuddin Oei Hiem Hwie Okky Madasari Okta Adetya Olivia Kristina Sinaga Otto Sukatno CR Oyos Saroso HN Pablo Neruda Pamusuk Eneste Pandu Radea Parakitri Parulian Scott L. Tobing PDS H.B. Jassin Pengantar Buku Kritik Sastra Pepih Nugraha Pesan Al Quran untuk Sastrawan Petrik Matanasi Pipiet Senja Pitoyo Boedi Setiawan Ponorogo Pramoedya Ananta Toer Pringadi Abdi Surya Prof Dr Faisal Ismail MA Prosa Puisi PuJa Puji Santosa Pungkit Wijaya PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Radhar Panca Dahana Ragil Supriyatno Samid Rahmat Sudirman Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ramadhan Pohan Rameli Agam Ramon Damora Ranang Aji SP Ratih Kumala Ratna Ajeng Tejomukti Ratu Selvi Agnesia Raudal Tanjung Banua Reko Alum Reny Sri Ayu Resensi Revolusi RF. Dhonna Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rukardi S Yoga S. Jai S. Satya Dharma S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabpri Piliang Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifur Rohman Sainul Hermawan Sajak Sal Murgiyanto Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Salyaputra Samsudin Adlawi Sandipras Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Perlawanan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sekolah Literasi Gratis (SLG) STKIP Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shafwan Hadi Umry Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sita Planasari A Siti Irni Nidya Nurfitri Siti Rutmawati Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad St Sularto Sudarmoko Sulaiman Tripa Sultan Yohana Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Suroto Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaiful Amin Syarif Hidayat Santoso Syarifudin Syifa Amori Syifa Aulia Tajuddin Noor Ganie Tantri Pranashinta Tanzil Hernadi Taufik Ikram Jamil Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theo Uheng Koban Uer Theresia Purbandini Thowaf Zuharon Tien Rostini Titian Sandhyati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toef Jaeger Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tri Wahono Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udin Badruddin Udo Z. Karzi Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Umi Laila Sari Umi Lestari Universitas Indonesia Untung Wahyudi Virdika Rizky Utama Vyan Taswirul Afkar W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Widi Wastuti Wiji Thukul Wisnu Kisawa Wiwik Widayaningtias Y. Thendra BP Yona Primadesi Yosephine Maryati Yosi M Giri Yudhis M. Burhanuddin Yulizar Fadli Yurnaldi Yusri Fajar Yuyuk Sugarman Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zulkarnain Zubairi